Hukum merupakan suatu peraturan yang bersifat memaksa yang berfungsi untuk mengatur
dan melindungi kepentingan masyarakat. Seperti yang kita ketahui, adanya hukum itu sebagai
batasan dan aturan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan juga untuk menyetarakan
penguasa dan masyarakat. Negara Indonesia yang seharusnya negara hukum sesuai UUD 1945
pasal 1 ayat (3) kini telah menjadi negara kekuasaan. Mengingat bahwa Indonesia sebagai Negara
yang menganut sistem demokrasi sudah seharusnya dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja
melibatkan seluruh stakeholder terutama masyarakat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, dan
juga perlunya penginformasian secara masif kepada publik dan masyarakat umum terhadap proses
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) yang
disahkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2020 silam selalu menjadi topik yang
kontroversial dan penuh dengan problematik. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan investasi
dan menciptakan lapangan kerja, undang-undang ini menuai kritik dan penolakan dari berbagai
kalangan karena makna dari “Cipta Kerja” itu menjadi klise karena substansi yang dimuat dalam
undang-undang tersebut malah banyak menuai kerugian terhadap pekerja dan lingkunga, yang
lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korban atas ketidakbijakan pemerintah baik legislatif
maupun eksekutif hari ini. Sehingga nama yang lebih cocok untuk undang-undang ini adalah
“Cipta Bencana” atau “Cipta Sengsara”
Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden ketika hal ihwal
kegentingan yang memaksa. Untuk mengukur kegentingan memaksa tersebut akan diserahkan
kepada subjektifitas presiden. Namun Ukuran objektif penerbitan Perpu baru dirumuskan oleh MK
dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Adapun tiga syarat mutlak pembentukan Perppu
menurut Putusan tersebut adalah :
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat berdasarkan undang-undang
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum,
atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang
melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan
keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Adapun alasan Penerbitan Perppu Cipta Kerja ini, Presiden Jokowi dalam pemaknaan hal ihwal
kegentingan memaksa berdasarkan subjektivitasnya terdapat tujuh kondisi yang dianggap
memenuhi parameter kegentingan memaksa, yaitu:
1. Pertama, pemenuhan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
2. Kedua, penyerapan tenaga kerja dan adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang
dapat mengganggu perekonomian nasional.
3. Ketiga, perlunya penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan cipta
kerja.
4. Keempat, kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja.
5. Kelima, perlunya terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan sejumlah
permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang dengan
metode omnibus.
6. Keenam, pelaksanaan putusan MK yang membatalkan UU Cipta Kerja sebelumnya.
7. Ketujuh, respons terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi
yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Berdasarkan kepada tujuh indikator tersebut yang menjadi alasan pemerintah mengeluarkan
Perppu Cipta Kerja menurut hemat kami, itu tidak menggambarkan kegentingan memaksa yang
telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Keputusan Presiden Jokowi dalam menerbitkan
Perppu, sejatinya merupakan bentuk penghinaan terhadap perintah MK, padahal MK telah
memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dan harus memberikan ruang
partisipasi masyarakat dalam pembentukanya. Alih-Alih menuruti Perintah MK atas nama
konstitusi negara sebagai peraturan tertinggi, Presiden Jokowi justru menggunakan mekanisme
Perppu yang mana justru tidak memberikan ruang partisipasi sama sekali dalam
pembentukannya.
DPR secara resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Perppu Ciptaker tersebut
disetujui kurang dari dua bulan sejak Surat Presiden (Surpres) dikirim ke DPR pada 7 Februari
lalu. Sepekan kemudian, Badan Legislasi DPR menggelar rapat maraton membahas Perppu
tersebut.
Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-
2023 di kompleks parlemen, Selasa (21/3). Dikeluarkannya Perppu Ciptakerja oleh Presiden
sejatinya merupakan bukti nyata pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Padahal menurut Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi
telah memerintahkan DPR dan pemerintah untuk segera memperbaiki pasal-pasal bermasalah
dengan memaksimalkan partisipasi publik dalam pembuatanya. MK telah memberikan waktu
kepada pembuat undang-undang selama 2 (dua) Tahun) atau akan dinyatakan inkonstitusional
permanen, pemerintah mensiasati jalan pintas demi melegalkan produknya yakni, PERPPU No.2
Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja dalam hal ini mencerminkan kurangnya meaningful participation
sesuai dalam putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 (hal. 393), MK mengartikan meaningful
participation (partisipasi publik yang bermakna) sebagai :
Sikap yang diambil oleh DPR hari ini seolah sudah menjadi kebiasaan buruk dalam menjaga
etika moral konstitusional setelah sebelumnya banyak Undang-Undang kontroversial yang
disahkan juga. Perpu Ciptaker disahkan di tengah gelombang penolakan oleh berbagai elemen
masyarakat sejak akhir 2022 lalu. Hingga kini sejumlah elemen, terutama dari kelompok buruh
dan mahasiswa terus menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan Perppu itu oleh DPR.
UU Cipta Kerja di samping mengatur dan berdampak pada dunia ketenagakerjaan, ternyata
menimbulkan problematika juga terhadap lingkungan. Pasca diundangkan dihari selasa kemarin,
muatan dalam UU Cipta Kerja secara substansi mengubah aturan dalam UU Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU Kehutanan. Dalam beberapa paragraf
tersebut mengalami banyak perubahan pasal sebagai berikut :
Pasal 22 (Angka 5)
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat
(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena
dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 26 UU PPLH
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang
transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap dokumen amdal.
Dalam Perpu Cipta Kerja yang sudah disahkan menyebutkan dalam penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) melibatkan masyarakat yang terdampak langsung
sebagaimana yang tertuang pada pasal tersebut. Padahal dalam UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, selain masyarakat yang terdampak, pemerhati lingkungan
dan masyarakat lain yang terpengaruh atas segala keputusan amdal juga dilibatkan.
Ketentuan tentang pemberian informasi yang transparan dan lengkap, serta hak masyarakat
untuk mengajukan keberatan atas dokumen amdal juga dihapus dalam UU dan Perpu Cipta
Kerja.
2. Pasal 22 angka 8 sampai angka 10 UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan Pasal
29 sampai Pasal 31 UU PPLH yang secara substansi mengatur tentang Komisi Penilaian
AMDAL. Dengan dihapusnya Komisi Penilaian Amdal yang disederhanakan dengan
tahapan Uji Kelayakan Lingkungan yang Tim Ujinya dibentuk oleh pemerintah pusat,
maka pemerintah daerah kehilangan wewenangnya dalam menentukan kebijakan tersebut
dan dinilai sebagai bentuk pelemahan terhadap nilai dari kualitas Amdal tersebut.
secara substansi kewenangan pemerintah daerah dalam hal menentukan bank pemerintah
dalam hal dana penjamin pemulihan fungsi lingkungan hidup dan menetapkan pihak ketiga
yang melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup yang secara kewenangan ditegaskan
menjadi kewenangan pemerintah pusat
UU maupun Perpu Cipta Kerja tidak memberikan sanksi pidana bagi pelaku usaha di
kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan, yang telah beroperasi sejak sebelum
aturan ini berlaku. Merujuk pada pasal diatas, mereka diberi waktu untuk
menyelesaikan persyaratan administrasi paling lambat 2 November 2023, dan seolah-
olah menimbulkan pemahaman bahwasanya pelanggaran tersebut bisa diselesaikan
oleh uang karena ada diksi “dan/atau” dan juga sebagai bentuk menyediakan karpet
merah bagi investor dengan sanksi yang lemah. Padahal hingga saat ini setidaknya ada
1.000 perusahaan lebih yang mengalihfungsikan hutan secara besar-besaran dan
merusak ekosistemnya seperti 857 (Usaha Perkebunan Sawit), 130 (Usaha
Pertambangan), 205 (Perusahaan Lainnya).
6. Perubahan pada Paragraf 4 Kehutanan Pasal 36 (Angka 2) yang mengubah Pasal
18 dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Pasal 36 (Angka 2)
Pasal 18 UU Kehutanan
(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi
manfaat lingkungan, manfaat sosial. dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan
sebaran yang proporsional.
UU Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30
persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional
yang harus dipertahankan dalam rangka mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial dan
ekonomi hutan bagi masyarakat setempat. Namun, angka minimal 30 persen itu dihapus
baik dalam UU maupun Perppu Cipta Kerja. Dengan dihapuskannya angka minimal 30
persen tersebut memicu pembangunan yang rakus dan juga deforestasi yang tidak
terkendali, hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah telah mengkhianati janjinya
dalam transisi menuju energi bersih dan memperbaiki kondisi lingkungan.
Pasal 64
Pada pasal ini tidak adanya pembatasan mengenai peran Outsourcing yang dilakukan
oleh perusahaan dan tidak adanya pembatasan mengenai jenis pekerjaan yang dapat
memakai outsourcing seperti yang termuat pada UU ketenagakerjaan sebelumnya. Akan
tetapi di ketentuan yang diatur oleh Perppu Cipta Kerja aturan mengenai jenis-jenis
pekerjaan yang dapat di outsourcing dihapuskan sehingga akan menimbulkan tanda
tanya bagi pekerja kalau di Perppu semua jenis pekerjaan dapat di alih dayakan
(outsourcing) dan juga berpotensi besar mengeksploitasi para pekerja
Pasal 79
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan
kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4
(empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam
kerja; dan b.
b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pada pasal ini memuat mengenai ketetapan hak istirahat bagi pekerja yang hanya 1 hari
dalam seminggu dengan kata lain pekerja diwajibkan untuk bekerja selama 6 hari
seminggu, jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan yang lama disebutkan bahwa
karyawan pekerja berhak mendapatkan hari libur mingguannya sebanyak dua hari jika
sudah bekerja selama 8 jam perharinya.
3. Pasal 88D ayat 2 : Upah minimum akan dihitung dengan menggunakan formula
yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks
tertentu.
4. Pasal 156, berisi mengenai hak dan kewajiban dari perusahaan terkait Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) Pasal ini menjadi salah satu isu utama yang membutuhkan
perhatian serius, mengingat klausul pesangon yang tercantum dalam Perppu memiliki
nominal yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan batas minimal yang diatur dalam
ketentuan sebelumnya. Berdasarkan ketentuan sebelumnya, pekerja akan berhak atas
pesangon dengan nominal dua kali lipat lebih besar daripada jumlah yang diatur dalam
Perppu, serta menerima uang penghargaan apabila diberhentikan oleh perusahaan, Jika
dillustrasikan menggunakan aturan sebelumnya, ketika seorang karyawan yang telah
bekerja 8 tahun, maka perusahaan wajib membayar pesangonnya sebesar 9 bulan upah.
Pada kenyataannya, Perppu Cipta Kerja telah menjadi kontroversi dan menuai berbagai pro
dan kontra di masyarakat. Meskipun Pemerintah mengklaim bahwa peraturan tersebut dibuat
untuk memperkuat ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, namun banyak yang menilai bahwa
isi dari Perppu tersebut justru cenderung merugikan buruh dan masyarakat kecil. Selain itu,
terdapat berbagai kebijakan yang dinilai memiliki potensi merugikan lingkungan, terutama dalam
hal persetujuan izin lingkungan, perlindungan hutan dan lahan, serta sentralisasi pemerintah pusat
yang dimana hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah pusat telah
mengesampingkan amanat reformasi soal otonomi daerah seluas-luasnya. Banyak bencana
ekologis yang akan terjadi jika Perppu ini betul-betul sudah direalisasikan karena secara ilmiah
jika ruang terbuka hijau atau kawasan hutan yang diubah menjadi proyek ataupun gedung-gedung
bahkan lebih parah lagi pertambangan akan menimbulkan emisi ataupun polusi yang lebih banyak
sehingga meningkatkan suhu bumi dan semakin banyak bencana yang akan terjadi. Maka dengan
itu Cipta Kerja ini bisa disebut juga Cipta Bencana, karena selain membuka dan menciptakan
pekerjaan, UU ini akan menciptakan bencana juga.
Sikap yang diambil oleh DPR hari ini seolah sudah menjadi kebiasaan buruk dalam
menjaga etika moral konstitusional setelah sebelumnya banyak Undang-Undang kontroversial
yang disahkan juga terkhusus Perppu Ciptaker yang cacat secara formil. Nama Dewan
Perwakilan Rakyat rasanya sudah tidak layak disandang oleh mereka karena kebijakan yang
dirancang atau dikeluarkan oleh mereka dalam beberapa tahun kebelakang selalu menimbulkan
kontoversi dan tidak mendengarkan aspirasi dari rakyatnya, hal tersebut merupakan contoh dari
pengkhiatan terhadap rakyatnya sendiri dan kebijakan yang Durhaka Pada Rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, W. (2017). Hak Asasi Manusia: Studi Hak-hak Buruh di Indonesia. Dimensi Vol.6
(1) hlm. (106-125).
https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/528/395
https://narasi.tv/read/narasi-daily/wawancara-bivitri-susanti-soal-perppu-cipta-kerja-cara-
culas-pemerintah-membajak-demokrasi
https://kontras.org/2022/12/31/terbitnya-perppu-cipta-kerja-bentuk-pembajakan-
demokrasi-dan-tegaskan-pemerintahan-otoritarian/
https://www.walhi.or.id/pulihkan-indonesia-batalkan-uu-cipta-kerja
https://www.mongabay.co.id/2023/01/23/menyoal-perppu-uu-cipta-kerja-1/
Undang Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.