Anda di halaman 1dari 5

Mamuju, 6 Maret 2023

BAHAN BACAAN
FOKUS ISSU :
1. Kebijakan UU/Perppu Cipta Kerja : Karpet Merah bagi Korporasi
2. Pelemahan Demokrasi dalam KUHP
3. Kebijakan Harga BBM yang menambah beban Rakyat khususnya kelas Pekerja
4. ...
Berangkat dari kesadaran bahwa Indonesia adalah Negara yang menganut sistem Demokrasi. Artinya
secara konsep bernegara, kedaulatan harus berada ditangan Rakyat. Segala keputusan politik yang
melahirkan kebijakan dalam Negara harus berangkat dari keinginan dan kepentingan Rakyat banyak.
Hanya saja dalam perjalannya, penerapan nilai-nilai Demokrasi di Indonesia masih saja jauh dari
sebagaimana harusnya. Tentunya karena akibat dari kebijakan yang dibuat oleh Negara sering kali
cenderung mengancam hak ber-demokrasi bahkan hak mendasar rakyat seperti akses terhadap sumber-
sumber kehidupannya yang jelas dilindungi dan diakui oleh Pasal 33 dalam UUD 1945. Bukan hanya UU
PMA yang diketahui jebolan Rezim Orde Baru itu mengancam hak ber-demokrasi dan hak mendasar
rakyat banyak, bahkan sampai dengan Rezim Jokowi saat ini pun beberapa kebijakan yang perlahan
berujung pada pemiskinan rakyat banyak juga bahkan terkait kebijakan berupa UU yang lahir semakin
memperparah ancaman atas hak dasar rakyat dan justru dianggap lebih berpihak pada korporasi asing
dibanding rakyat banyak. Seolah dalam perjalanannya Negara hanya dijadikan mesin untuk memproduksi
kepentingan para korporasi asing.
1. Kebijakan Harga BBM yang menambah beban Rakyat khususnya Kelas Pekerja
Setelah menghilangnya secara perlahan-lahan BBM jenis premium, ditahun 2022 kemarin Pemerintah
justru mengeluarkan kebijakan pencabutan subsidi BBM yang mengarah pada lonjakan kenaikan harga
berjenis Pertalite. Dengan dalih naiknya harga minyak dunia dan pembengkakan keuangan Negara,
bukannya mengevaluasi penyaluran BBM subsidi yang selalu tidak tepat sasaran pada masyarakat kelas
ekonomi menengah kebawah justru Pemerintah mengambil langkah mencabut subsidi BBM yang
mengakibatkan kenaikan harga ditengah rakyat Indonesia yang diketahui masih sementara berupaya
memulihkan perekonomiannya akibat bencana Pandemi Covid-19. Tak terkecuali khususnya Rakyat di
Provinsi Sulawesi Barat yang harus menanggung beban kenaikan harga BBM ini ditengah sementara
proses pulih dari dua bencana sekaligus yaitu selain Pandemi juga baru saja dihantam Gempa Bumi
berkekuatan 6,2 SR.
Parahnya kebijakan pencabutan subsidi BBM ini dilakukan dengan disatu sisi Pemerintah tetap
melanjutkan pembiayaan untuk berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti salah satunya
Megaproyek pembangunan IKN yang diketahui membutuhkan anggaran sangat besar. Diketahui pada
sidang paripurna pembahasan Rancangan APBN 2023, Joko Widodo menyebutkan, mega proyek IKN
akan menggunakan dana yang berasal APBN untuk membangun Kawasan Inti Pusat Pemerintahan
sebesar 20% dari total ongkos pembangunan Rp.486 triliun. Dana publik dalam APBN seharusnya
dikembalikan untuk kebutuhan dan kegentingan saat ini, yakni mensubsidi bahan bakar kendaraan rakyat
banyak. Dengan cara inilah pengurus negara seharusnya dapat melindungi rakyat dari krisis ekonomi,
bukannya justru lebih memprioritaskan pembiayaan terhadap proyek-proyek strategis nasional yang
secara substansi belum terlalu dibutuhkan oleh rakyat banyak saat ini. Apalagi diketahui dengan kenaikan
harga BBM maka secara otomatis akan ikut membuat naiknya berbagai harga bahan pokok bahkan tarif
trasportasi umum baik itu yang didarat maupun dilaut. Beban biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar
Nelayan saat melaut juga akan bertambah pula ditengah ketidakpastian wilayah tangkap mereka akibat
ancaman perampasan ruang atas nama pembangunan. Bahkan para petani juga akan ikut menanggung
beban tambahan karna kenaikan harga BBM otomatis menambah biaya produksi mereka ditengah tidak
bersahabatnya cuaca akibat dampak dari krisis iklim.
2. Pelemahan Demokrasi dalam Kebijakan KUHP
Kebijakan KUHP yang sebelumnya mendapat gelombang penolakan besar oleh berbagai kelompok civil
society (masyarakat sipil) di tahun 2019 (bahkan sampai memakan korban jiwa) karena dianggap berisi
beberapa pasal yang melemahkan Demokrasi. Jelas tertulis larangan kritik Pemerintah dan Lembaga
Negara dalam pasal 240-241, larangan kritik presiden dan wakil presiden juga di tulis dalam pasal 218-
219, sampai larangan kritik pejabat dan pengurus negara yang sah jelas diatur dalam pasal 441-442.
Bahkan dalam KUHP juga diatur di pasal 256 tentang wajibnya melakukan pemberitahuan/izin ketika
ingin menyelenggarakan aksi demonstrasi yang tentu bisa mengancam kekuatan gerakan mahasiswa di
Indonesia dalam mengontrol jalannya Negara. Parahnya adalah ketika pasal-pasal yang dimaksud diatas
dilanggar oleh rakyat atau berbagai kelompok civil society maka sanksinya jelas adalah pidana. Namun
sayangnya pengurus negara justru memperlihatkan sikap seolah memilih tutup mata dan telinga atas
desakan suara-suara penolakan dari rakyatnya karna juga ternyata kebijakan itu berujung tetap disahkan
di tahun 2022 kemarin.
3. Kebijakan UU/Perppu Cipta Kerja (Omnibuslaw) : karpet merah bagi Korporasi
Diketahui bersama bahwa UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) yang disahkan tahun 2020 kemarin telah
menimbulkan gejolak perlawanan rakyat karna dianggap melalui kebijakan ini Negara justru memberikan
karpet merah terhadap investor asing tanpa mempertimbangkan keselamatan dan kepentingan rakyatnya.
Setelah beberapa kali gelombang perlawanan dilangsungkan, Mahkamah Konstitusi pun mengindahkan
desakan penolakan rakyat dengan keluarnya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan
bahwa UU Cipta Kerja dianggap Inkonstitusional. Alih-alih melaksanakan putusan MK tersebut,
parahnya Pemerintah justru menerbitkan Perppu tentang Cipta Kerja ditahun 2022 kemarin yang isinya
secara substansi tidak jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja sebelumnya. Ini tentunya sangat jelas adalah
wujud pembangkangan konstitusi demi memenuhi kepentingan elit bisnis dan politik.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja terbukti digenting-gentingkan dan dipaksakan keberlakuannya. Perppu
Cipta Kerja merupakan strategi Pemerintah menghindari amar Putusan MK 91, yang membangkang
konstitusi setelah sebelumnya Presiden dan DPR melawan hukum menyusun UU Cipta Kerja dengan
proses yang tertutup, hingga akhirnya diputus inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki baik formil
maupun materiilnya secara partisipatif bermakna.
Manuver politik Presiden seharusnya telah kandas, sebab DPR tidak membahas dan menyetujui Perppu
Cipta Kerja pada masa persidangan. Tidak dibahas dan disetujuinya Perppu Cipta Kerja, dengan demikian
Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan 30 Desember 2022 lalu harus batal demi hukum. Sebagaimana
diatur Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah
itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika
tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pasca Perppu Cipta Kerja tidak disetujui oleh DPR pada sidang paripurna, maka kini harusnya tidak ada
lagi Perppu atau UU Cipta Kerja, bahkan seluruh aturan pelaksana keduanya pun hapus dengan
sendirinya. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, maka aturan dan pelaksana kebijakan seperti Bank
Tanah, Upah Murah, Proyek Strategis Nasional, Food Estate, Impor Pangan, Pengampunan Bisnis Ilegal
di Kawasan Hutan, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus dll harus segera dihentikan
Pemerintah.
Kini keberpihakan Presiden terhadap petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, masyarakat
miskin perkotaan dan pedesaan serta kelompok rentan lainnya kembali diuji, Presiden harus menerbitkan
Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu Cipta Kerja. Sudah cukup kesombongan Presiden dan DPR
yang ugal-ugalan dan sewenang-wenang mengesahkan UU/Perppu Cipta Kerja. Presiden seharusnya
sadar bahwa ia tidak pantas dan tidak berhak mengeksploitasi sumber-sumber agraria, mengobral
fleksibilitas tenaga kerja, merusak lingkungan, dan menghegemoni kepentingan elit bisnis dan politik
yang melanggar berbagai hak asasi petani, buruh, nelayan masyarakat adat, perempuan, masyarakat
miskin perkotaan dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.

Ancaman UU/Perppu Cipta Kerja di sektor Agraria dan Pangan


Selain itu, beberapa pasal dalam Perppu Cipta Kerja ini dianggap mengancam hak rakyat banyak, seperti
Bank Tanah masih saja diatur dalam Perppu ini. Jelas tercantum pada Pasal 125-135 Perppu Cipta Kerja,
Bank Tanah tidak ubahnya seperti lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan menyelewengkan
reforma agraria. Bank Tanah adalah lembaga yang mengembalikan praktik-praktik penjajahan seperti
domein verklaring dan menyimpangi hak menguasai dari negara (HMN) melalui Hak Pengelolaan (HPL).
Maka model dan cara kerja Bank Tanah bertentangan dengan Konstitusi dan UUPA 1960. Bank Tanah
sebagai lembaga penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan tidak dapat diragukan. Sebab 99% pasal di
dalamnya hanya dibuat untuk melayani pengusaha, bahkan dapat dipergunakan sebagai cara untuk
memutihkan konsesi korporasi yang bermasalah seperti beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, telah
kadaluarsa, ditelantarkan, dan menimbulkan konflik agraria serta kerusakan lingkungan, bahkan
melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara yang koruptif.
Perppu Cipta Kerja juga mempermudah eksploitasi sumber-sumber agraria yang diiringi kerusakan
lingkungan akibat kemudahan izin berusaha korporasi, pelemahan partisipasi masyarakat, dan pelemahan
pengawasan. Substansi Perppu Cipta Kerja memperluas dan memperkuat ancaman perampasan tanah dan
meningkatkan potensi kriminalisasi petani, masyarakat adat dan pembela lingkungan hidup dalam Pasal
162 Perppu Cipta Kerja bagi yang menolak kegiatan pertambangan. Kemudian pada konteks
perlindungan kawasan pesisir, melalui Pasal 26A Perppu Cipta Kerja melakukan penghapusan syarat-
syarat penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan.
Dampak lain Perppu Cipta Kerja yaitu ancaman liberalisasi pangan melalui food estate dan kemudahan
impor pangan. Jutaan hektar tanah direkayasa menjadi lokasi penghasil barang mentah industri makanan
seperti kentang, bawang, singkong dll. Padahal pada praktiknya food estate telah gagal mewujudkan
kedaulatan pangan, hal ini dibuktikan dengan jutaan ton komoditas pangan terutama beras, gula, garam,
kedelai dll selama ini diperoleh dengan cara impor dari negara lain. Food estate dan impor pangan hanya
memperkaya elit politik dan kartel pangan di Indonesia.
Ancaman UU/Perppu Cipta Kerja di Sektor Buruh
Skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya
kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Padahal, jika berbicara
mengenai kebijakan pengupahan, mestinya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja. Dimana upah
pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk
penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.
Kondisi tersebut menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah
ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang
menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis
di Indonesia, sehingga dengan adanya Perppu Cipta Kerja melegitimasi politik upah murah di Indonesia.
Perppu Cipta Kerja masih mengatur ketentuan alih daya (outsource) yang sama dalam UU Cipta Kerja
juga masih mengatur mengenai istilah alih daya melalui Pasal 81 angka 18 dan 20 yang memperjelas
legitimasi atas penerapan sistem outsourcing. Jika kita melihat UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa
pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan
dengan proses produksi, pada Perppu Cipta Kerja tidak ada lagi penjelasan ketentuan yang mengatur
batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Sehingga, Perppu Cipta Kerja dapat
memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja berbagai
tugas hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang.
Ancaman UU/Perppu Cipta Kerja di Sektor Lingkungan
Pada sektor lingkungan hidup, perubahan iklim menjadi salah satu poin menimbang kemendesakan
diterbitkannya Perppu, namun justru kontradiktif dengan substansi Perppu Cipta Kerja yang jauh dari
komitmen perlindungan lingkungan hidup. Pertama, Perppu Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan
jaring perlindungan lingkungan hidup. Ketentuan yang berkaitan dengan AMDAL, yaitu Pasal 22 dan
Pasal 26 Perppu Cipta Kerja mereduksi keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan dokumen
AMDAL hingga mereduksi keterlibatan organisasi lingkungan hidup dan pakar. Pada prinsipnya
dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau
kegiatan. Ketentuan ini mereduksi pentingnya AMDAL sebagai landasan dasar penetapan keputusan
kelayakan lingkungan. Bahkan terdapat ketentuan yang menghapus hak gugat warga negara terhadap izin
lingkungan.
Kedua, Perppu Cipta Kerja yang copy-paste UU Cipta Kerja juga mengubah UU Penataan Ruang yang
selama ini menjadi bagian dari jaring perlindungan lingkungan hidup. Beberapa ketentuan pasal penting
dalam Penataan Ruang diubah melalui Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 20 ayat (5) Perppu Cipta Kerja yang
memberikan peluang untuk memutihkan pelanggaran atau kejahatan ruang.
Ketiga, persoalan perlindungan lingkungan hidup benar-benar diabaikan dengan mengobral Sumber Daya
Alam yang bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan, melalui perubahan beberapa UU
sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Perkebunan,
UU Pangan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU Pertambangan, dan lain
sebagainya. Seperti, Perppu Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 18 UU Kehutanan terkait ketentuan
batas minimal luas kawasan hutan, yang semula harus dipertahankan minimal 30% dengan tujuan untuk
mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Dihapusnya pasal ini
akan semakin mempercepat deforestasi hutan yang tersisa. Pasal 36 angka 3 Perppu Cipta Kerja juga
mengubah Pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur alih fungsi kawasan hutan.
Perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah yang didasari hasil penelitian terpadu, pada
Perppu Cipta Kerja mengubah kata “didasari” dengan “mempertimbangkan”. Hal ini membuktikan
pelemahan terhadap hak partisipatif masyarakat dalam bentuk penelitian dalam mempertahankan kawasan
hutan tersebut hanya dijadikan bahan pertimbangan saja bukan suatu hal yang mutlak bagi pemerintah
dalam mengambil kebijakan alih fungsi kawasan hutan.
Disisi lain, mengenai percepatan pengukuhan kawasan hutan negara secara sepihak oleh Pemerintah, hal
ini tidak jauh berbeda dengan asas domein verklaring. Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan
terhadap usulan perubahan fungsi dan peruntukan Kawasan hutan juga dihapus. Kondisi ini akan
menghilangkan mekanisme check and balances terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Contohnya pada April 2022 Menteri LHK menetapkan KHDPK di Pulau Jawa, KHDPK seluas 1,1 juta
hektar ini bukannya melepaskan tanah-tanah dari kawasan hutan, melainkan secara sepihak mengklaim
desa, kampung dan tanah-tanah petani sebagai kawasan hutan negara. Kesimpulannya KHDPK hanya
benar dalam dua hal yakni: Pertama, membenar-benarkan klaim hutan negara melalui tangan Menteri
LHK. Kedua, membenar-benarkan klaim ilegal hutan dan tanah untuk Perhutani. Pendekatan
“pragmatisme” tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, bahkan dapat melahirkan masalah baru
yang semakin memperumit konflik agraria.
Selain itu, “keterlanjuran” pada Pasal 110A dan 110B dalam Perppu Cipta Kerja merupakan mekanisme
untuk mengakomodasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan oleh korporasi. Setidaknya hingga Agustus
2022, teridentifikasi sebanyak 1.192 subjek hukum yang beraktivitas dalam Kawasan hutan. Dari 1.192
subjek hukum tersebut sebanyak 616 adalah korporasi, dan jenis aktivitas terbanyak adalah perkebunan
857 unit kegiatan dengan total luasan mencapai 3,3 juta hektar. Selanjutnya pertambangan sebanyak 130
unit kegiatan dan 205 unit kegiatan lainnya.
Ancaman UU/Perppu Cipta Kerja di Sektor Pendidikan
Isi Perppu Cipta Kerja juga mengatur tentang pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan. Pada
paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65, di mana pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan
dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha. Salah satu dampaknya akan membuat kampus untuk
berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH atau modeling corporate university, Negara
melepaskan tanggung jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari
pendanaannya sendiri. Disanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa, kemitraan, dosen
NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik. Seperti yang terjadi terhadap kampus-
kampus yang telah menerapkan PTNBH. Komersialisasi dan kenaikan biaya pendidikan tinggi yang
konsisten setiap tahun; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif
melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi; outsourcing pekerja akademik,
pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun non-dosen dalam PTNBH diatur secara seragam
menuju “tenaga kontrak” universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode
pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta
menumbuhkan neo fasis dalam pendidikan.

***
MURBA
CP (081299534677)

Anda mungkin juga menyukai