Anda di halaman 1dari 6

MATA KULIAH DOSEN

FILSAFAT HUKUM DR. IR. H. SUPARTO, S.H., S.IP., M.M., M.Si., M.H., C.L.A

OLEH :

MURZA AZMIR

231022149

KELAS A EKSEKUTIF

PROGRAM PASCA SARJANA (S2) ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

2024
KARAKTER DAN DISHARMONI PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN DI BIDANG MINYAK DAN
GAS BUMI (MIGAS) DALAM PERSPEKTIF PASAL 33
UUD 1945

Abstrak

Minyak dan gas bumi (Migas) merupakan sumberdaya alam strategis yang
tidak terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia. Oleh karena itu pengelolaan dan
pemanfaatannya harus sesuai dengan konstitusi negara yaitu Undang - Undang
Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 33 UUD 1945 ditentukan bahwa negara
mempunyai hak menguasai atas cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter dari peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan Migas menurut Pasal 33 UUD 1945
dan upaya yang dapat dilakukan untuk harmonisasi peraturan perundangan-
undangan tersebut. Berdasarkan penelitian bahwa karakter peraturan perundang-
undangan dibidang pengelolaan Migas dalam perspektif Pasal 33 UUD 1945
mulai dari Indische Mijnwet Stb1899 No. 214 Jo. Stb 1906 No. 434 tentang
Konsesi Pertambangan, UU. No 44/PRP/1960 tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi, UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pembentukan PERTAMINA dan UU
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terjadi dinamika mulai dari
yang sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945 sampai ke yang tidak.
Ketidaksesuaian tersebut salahsatu penyebabnya adalah adanya tekanan dunia
internasional dan masih adanya kepentingan global dalam hal pengelolaan Migas
di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan
disharmoni antar peraturan perundang - undangan dan ketidaksesuaian dengan
UUD 1945 adalah :

1) Mengubah/mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau


seluruh pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, oleh
lembaga/instansi yang berwenang membentuknya.
2) Mengajukan permohonan pengujian kepada lembaga yudikatif (judicial
review) 3). Menerapkan asas hukum/doktrin hukum.

A. PENDAHULUAN

Pada tahun 1899, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerbitkan


peraturan perundangan dibidang Migas yang dikenal dengan “Indische
Mijnwet 1899 No. 214 tanggal 23 Mei 1899 Jo. Stb 1906 No. 434 tentang
Konsesi Pertambangan ”. Di dalam peraturan perundangan ini, Pemerintah
Hindia Belanda melakukan diskriminasi penggolongan antara Perusahaan
Belanda dengan Perusahaan Non-Belanda. Pasca Revolusi Kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945, Indische Mijnwet 1899 masih tetap diberlakukan
hingga tahun 1960 meskipun peraturan ini sangat bertentangan dengan
semangat dan jiwa yang terdapat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945). Hal itu terjadi akibat belum adanya suatu peraturan perundangan
terkait pengelolaan Migas di Indonesia dan sesuai dengan ketentuan yang
terdapat pada Aturan Peralihan I UUD 1945. Pemerintah Indonesia saat itu
telah melakukan berbagai macam upaya untuk pembentukan peraturan
perundangan dibidang Minyak & Gas (Migas) yang berjiwa nasionalis sesuai
semangat Pasal 33 UUD 1945, salah satunya adalah membatalkan hak-hak
pertambangan yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
kepada Perusahaan Migas (vide UU No. 10 Tahun 1959) dan mewajibkan
semua perusahaan migas harus berbadan hukum Indonesia (vide UU No.78
Tahun 1958).
Pada tanggal 26 Oktober 1960, Peraturan perundangan pertama di
Indonesia terkait bidang migas yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang (Perpu) No. 44 Tahun 1960 resmi diundangkan. Didalam UU ini
secara resmi telah mengembalikan kedaulatan migas ke tangan Ibu Pertiwi
dan dalam konsiderannya menyatakan Perpu ini merupakan amanah dari
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan
Manifesto Politik Republik Indonesia sebagaimana telah ditegaskan dalam
Pidato Presiden Sukarno tahun 1960. Peraturan perundangan ini secara tegas
menyatakan Indische Mijnwet tidak berlaku lagi dan kemudian mengganti
sistem Konsesi Migas menjadi sistem Kontrak Karya.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam artikel ini akan dibahas tentang
Karakter dari peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan Migas
menurut Pasal 33 UUD 1945 dan upaya yang dapat dilakukan untuk
harmonisasi peraturan perundangan tersebut.

B. PEMBAHASAN

1. Karakter dan Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di


Bidang Migas
Disharmoni (ketidaksesuaian) peraturan perundang-undangan
terjadi dikarenakan egoisme sektoral kementerian/ lembaga dalam proses
perencanaan dan pembentukan hukum atau adanya kepentingan sosio
politik tertentu, sebagai contoh adalah : perubahan UU Ketenagakerjaan
dan UU Migas karena desakan lembaga IMF pada masa lalu. Sebelumnya,
L.M. Gandhi telah mengidentifikasi 8 (delapan) faktor penyebab
timbulnya keadaan disharmoni dalam praktek hukum di Indonesia, yakni:
(Sidharta, A, Hukum dan Logika, Penerbit Alumni Bandung, 2006).
a. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-
undangan. Selain itu, jumlah peraturan yang makin besar
menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenai semua
peraturan tersebut. Dengan demikian pula, ketentuan yang
mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-
undang yang berlaku niscaya tidak efektif;
b. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan;
c. Perbedaan antara peraturan perundang- undangan dengan kebijakan
instansi pemerintah. Kita kenal berbagai juklak, yaitu petunjuk
pelaksanaan yang malahan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang akan dilaksanakan;
d. Perbedaan antara peraturan perundang- undangan dengan
yurisprudensi dan surat Edaran Mahkamah Agung;
e. Kebijakan-kebijakan bertentangan;
f. instansi Pusat yang saling Perbedaan antara kebijakan Pemerintah
Pusat dan Daerah;
g. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian
tertentu;
h. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena
pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.

Disharmoni peraturan perundang-undangan memiliki dampak yang


amat besar bagi kelangsungan hidup bernegara, karena dapat
mengakibatkan terjadinya beberapa hal sebagai berikut :

a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya;


b. Timbulnya ketidakpastian hukum;
c. Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan
efisien;
d. Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan
pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, dan
penyelesaian sengketa.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa di dalam


sejarah Indonesia terdapat 3(tiga) peraturan perundangan nasional
dibidang Migas yakni:

a. Perpu No 44/PRP/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;


b. Undang-Undang No. 8/1971 tentang Pembentukan PERTAMINA;
dan
c. Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Namun UU 22 Tahun 2001 mengkonstruksikan BP Migas sebagai


organ pemerintah hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan
atas pengelolaan migas sedangkan pengelolaan migas secara langsung
pada sektor hulu dilakukan oleh badan usaha milik negara maupun badan
usaha bukan milik negara /swasta berdasarkan prinsip persaingan usaha
yang sehat, efisien, dan transparan. Pemerintah kemudian menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 (tentang Pengalihan dan
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas)
untuk mencegah kevakuman aturan serta memberikan regulasi usaha hulu
migas setelah BP Migas dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan
mengembalikan seluruh fungsi BP Migas kepada Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral (ESDM), Kewenangan tersebut saat ini dijalankan
oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi/SKK Migas.
Hal tersebut diatas membuktikan bahwa sejak diundangkannya UU
No. 22 Tahun 2001, kebijakan migas di Indonesia di bidang hilir migas
juga menjadi lebih liberal karena secara bertahap memasukkan peranan
swasta dalam kegiatan distribusi BBM baik untuk subsidi BBM Subsidi
maupun Non-Subsidi.

2. Upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi disharmoni


peraturan perundangan di bidang migas.

Menurut AA Oka Mahendra, menyatakan bahwa dalam hal terjadi


disharmoni peraturan perundang-undangan terdapat 3 (tiga) cara untuk
mengatasi permasalahan tersebut yaitu : (A.A Oka Mahendra, Harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan, (Artikel Kemenkumham, 19 Maret 2010).

a. Mengubah/ mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau


seluruh pasal peraturan perundangundangan yang bersangkutan, oleh
lembaga/instansi yang berwenang membentuknya.
b. Mengajukan permohonan uji materiil kepada lembaga yudikatif.
c. Menerapkan asas hukum/doktrin hukum sebagai berikut:

a) Lex Superior Derogat Legi Inferiori


Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi
mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih
rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih
tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi
wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

b) Lex Specialis Derogat Legi Generalis


Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum yang umum.

c) Lex Posterior Derogat Legi Priori


Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan
aturan hukum yang lama.

C. PENUTUP

Kesimpulan
Karakter peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan
Migas dalam perspektif Pasal 33 UUD 1945 mulai dari Indische Mijnwet
Stb1899 No. 214 Jo. Stb 1906 No. 434 tentang Konsesi Pertambangan,
UU. No 44/PRP/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU
No. 8 Tahun 1971 tentang Pembentukan PERTAMINA dan UU No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terjadi dinamika mulai dari
yang sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945 sampai ke yang tidak.
Ketidaksesuaian tersebut salahsatu penyebabnya adalah adanya tekanan
dunia internasional dan masih adanya kepentingan global dalam hal
pengelolaan kekayaan alam migas di Indonesia. Sebagai salah satu contoh
adalah tidak direalisasikannya rancangan undang undang (RUU) Migas
baru oleh DPR dan Pemerintah. Di dalam RUU Migas tersebut, seluruh
pengelolaan Migas baik hulu dan hilir diintegrasikan dalam suatu Badan
Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK), badan ini langsung bertanggung
jawab kepada Presiden. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan disharmoni antar peraturan perundang-undangan dan
ketidak sesuaian dengan UUD 1945 adalah :

a. Mengubah/ mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau


seluruh pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, oleh
lembaga/instansi yang berwenang membentuknya.
b. Mengajukan permohonan uji materiil kepada lembaga yudikatif
sebagai berikut ;

1. Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar


kepada Mahkamah Konsitusi.
2. Untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung 3).
Menerapkan asas hukum/doktrin hukum.

Tanggapan/ Saran
Bahwa saya setuju dan sejalan dengan tulisan atau artikel ini
dikarenakan Untuk melakukan harmonisasi peraturan perundangan-
undangan dibidang pengelolaan Migas dan agar selaras dengan jiwa Pasal
33 UUD 1945 dapat dilakukan dengan cara memasukkannya dalam UU
Omnibus Law.Karena makna har harmonisasi peraturan perundangan-
undangan dibidang pengelolaan Migas dan agar selaras dengan jiwa Pasal
33 UUD 1945 yang mengandung arti; “dikuasai” bahwa kekuasaan Negara
terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan perekonomian,
peraturan yang melarang penghisapan orang yang lemah oleh orang yang
bermodal sehingga berkesesuaian dengan sila kelima yaitu “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Anda mungkin juga menyukai