Abstrak
Penelitian ini berjudul Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-
XVIII/2020 Terkait Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Dalam
Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan rumusan masalah
pertama, Bagaimanakah Akibat Hukum Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan? Kedua. Bagaimanakah Kepastian
Hukum Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapang Kerja Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi? metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
(normative reserch). Kesimpulan dalam dalam peneliatan ini pertama, Putusan
mahkamah konstitusi bagaiamanapun modelnya baik itu putusan kostitusional bersyarat
maupun inkonstitusional bersyarat tetap memiliki kekuatan hukum sejak dibacakan
dalam sidang yang terbuka untuk umum. Kedua segala hal yang berkaitan dengan
Undang-Undang tersebut semestinya juga dianggap tidak berlaku lagi, walaupun
sifatnya bersyarat. Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
walaupun diputuskan inkonstitusional bersyarat terhadap aturan pelaksananya seperti
Peraturan Pemerintah haruslah ditangguhkan juha untuk pelaksanaanya.
Setidaknya, terdapat dua asas dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang
dilanggar dalam penyusunan Undang-Undang CIPTAKER, yakni asas keterbukaan dan
asas dapat dilaksanakan. (Undang-Undang 12/2011). Pertama, berkaitan dengan asas
keterbukaan, asas ini mewajibkan proses perencanaan hingga pengundangan suatu
peraturan perundang-undangan perlu untuk bersifat transparan dan terbuka agar
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sayangnya,
baik Rancang Undang-Undang CIPTAKER dan Naskah Akademiknya baru dapat diakses
secara resmi setelah Surat Presiden diserahkan pada DPR. Dalam tahap ini, tahap
penyusunan Rancangan Undang-Undang sebenarnya sudah selesai dan dengan
diserahkannya Surat Presiden, maka Rancangan Undang-Undang tersebut akan
dilanjutkan ke tahap pembahasan. Selain itu, masyarakat juga tidak memiliki akses
untuk dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses
penyusunannya. (Media Indonesia, 2020) Kedua, berkaitan dengan asas dapat
dilaksanakan, asas ini menyatakan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut
di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Jika kita melihat
pada materi Undang-Undang CIPTAKER, justru Undang-Undang ini memandatkan hal-hal
yang sangat mendasar yang sebelumnya diatur dalam tataran Undang-Undang untuk
diatur di dalam Peraturan Pemerintah, seperti terkait dengan pembagian kewenangan.
Adapun penyusun Undang-Undang berargumen bahwa penghapusan pengaturan-
pengaturan prinsipil yang sebelumnya menjadi materi muatan Undang-Undang ini
adalah untuk memberikan fleksibilitas bagi Pemerintah Pusat dalam mengambil
kebijakan mengikuti dinamika masyarakat dan global yang semakin cepat. Sebagai
konsekuensi dari pandangan tersebut, Undang-Undang CIPTAKER justru memandatkan
454 peraturan yang didelegasikan untuk mengimplementasikan peraturan ini. Melihat
hal ini, justru dikhawatirkan Undang-Undang CIPTAKER tidak dapat 2 langsung
dioperasionalisasikan dengan baik sebelum Peraturan pelaksana yang dimandatkan
diselesaikan. Disamping itu, Undang-Undang CIPTAKER juga mengamanatkan agar
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah mengalami perubahan dalam
Undang-Undang CIPTAKER agar disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah Undang-
Undang CIPTAKER disahkan. Hal ini tentu tidak realistis dalam pelaksanaannya,
mengingat tidak mudah untuk menyesuaikan peraturan pelaksana dari 76 Undang-
Undang. (Indonesian Center for Environmental Law, 2020)
Praktik buruk proses legislasi Undang-Undang ini tidak berhenti pada saat
disahkan oleh DPR RI saja, namun pasca diundangkan juga masih mengandung kesalahan
perumusan yang berdampak pada substansi pasal yang dikandungnya. Keadaan cacat
formil yang melekat pada Undang-Undang CIPTAKER tersebut tak pelak dapat
melahirkan rantai ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraannya
Metode penulisan
Pembahasan
Pada prinsipnya Judicial Review yang dilakukan oleh suatu badan kekuasaan
kehakiman sebagaimana halnya di Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi, adalah
merupakan suatu upaya melakukan interpretasi konstitusi. Apabila dari hasil
interpretasi menyatakan adanya pelanggaran konstitusionalitas, maka undang-undang
dinyatakan tidak dapat diberlakukan dalam arti dicabut dan tidak mempunyai daya laku
yang mengikat. Satu amar putusan yang mengabulkan satu permohonan pengujian, akan
menyatakan satu pasal, ayat atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-
undang secara keseluruhan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian sebagai konsekuensinya undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-
undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan
demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-
undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi.
Berbeda halnya dengan putusan yang bersifat condemnatoir, yang mana putusan
jenis ini berisikan penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan
suatu prestasi. Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada
penggugat atau pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap tergugat atau
termohon. ( Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010). Lebih lanjut lagi
sebagaimana pada hukum acara lainnya, putusan Mahkamah Konstitusi sejak dibacakan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum juga memiliki 3 (tiga) kekuatan, yakni
kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial.
Namun menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat
condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dalam hal permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.
(Maruarar Siahaan, 2005)
Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau
ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang itu secara keseluruhan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang diuji itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Substansi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang
termuat dalam suatu undang-undang yang dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi
(legally null and void). Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi
hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali
putusan semacam itu dinilai dapat menyebabkan terjadinya kekosongan dan kekacauan
hokum.
Namun menurut Prof. Jimlly putusan Mahkama Konsitutsi yang sifatnya final,
akan langsung berlaku mengikat sejak diucapkannya dalam siding pleno terbuka untuk
umum. Artinya bahwa efek dari putusan itu bersifat prospektif ke depan (forward
looking), bukan berlaku kebelakang (backward looking). (Jimlli Assidiqie, 2005). Hal ini
berarti bahwa segal perbuatan hukum yang sebelumnya dianggap sah atau tidak sah
secara hukum, tidak berubah menjadi tidak sah atau menjadi sah, hanya karena putusan
Mahkamah Konstitusi berlaku mengikat sejak ppengucapannya dalam siding pleno
terbuka untuk umum. Perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan perintah undang-
undang yang belum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah
perbuatan yang sah secara hukum, namun jika perbuatan tersebut dilakukan
berdasarkan perintah undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka perbuatan tersebut menjadi
perbuatan yang tidak sah secara hukum
Kepastian Hukum Suatu Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapang Kerja Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi
Maka secara sederhana kita dapat menarik kesimpulan dari kedua pasal tersebut
di atas bahwa Undang-Undang akan hilang daya berlakunya setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, yang putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetapnya
sejak dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Demikian dapat dilihat
bahwa tidak terdapat ruang yang memungkinkan dimuatnya penangguhan waktu
berlakunya kekuatan mengikat suatu putusan Mahkamah Konstitusi.
Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat
menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah
dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
harus dinyatakan berlaku kembali, karena sifat putusanya inkonstitusional bersyarat
maka Mahkamah Konstitusi masih memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk
meperbaiki aspek formil dalam Undang-Undang CIPTAKER tersebut selama dua tahun
dan menangguhkan pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Selama masa perbaikan tersebut, maka terhadadap segala hal yang berkaitan
dengan Undang-Undang CIPTAKER haruslah ditangguhkan juga, seperti Peraturan
Pemerintah, walaupun dalam Undang-Undang Mahkamah konstitusi tidak mengatur
tentang penangguhan tersebut secara eksplisit dan implisit namun dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yakni dalam pasal 24 ayat (1) tegas mengatakan bahwasannya
“kekuasaan kehakimana merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dengan dijaminnya konstitusional
putusan Mahkamah Konstitusi, maka penagguhan akibat putusan a quo dianggap
beralasan demi hukum.
KESIMPULAN
Daftar Pustaka