Anda di halaman 1dari 17

AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVIII/2020 TERKAIT

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR DALAM SISTEM


PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Dimas Illiyyin Abdillah

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

Abstrak

Penelitian ini berjudul Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-
XVIII/2020 Terkait Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Dalam
Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan rumusan masalah
pertama, Bagaimanakah Akibat Hukum Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan? Kedua. Bagaimanakah Kepastian
Hukum Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapang Kerja Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi? metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
(normative reserch). Kesimpulan dalam dalam peneliatan ini pertama, Putusan
mahkamah konstitusi bagaiamanapun modelnya baik itu putusan kostitusional bersyarat
maupun inkonstitusional bersyarat tetap memiliki kekuatan hukum sejak dibacakan
dalam sidang yang terbuka untuk umum. Kedua segala hal yang berkaitan dengan
Undang-Undang tersebut semestinya juga dianggap tidak berlaku lagi, walaupun
sifatnya bersyarat. Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
walaupun diputuskan inkonstitusional bersyarat terhadap aturan pelaksananya seperti
Peraturan Pemerintah haruslah ditangguhkan juha untuk pelaksanaanya.

kata kunci : Akibat Hukum; Putusan mahkamah Konstitusi; pengujian undang-undang;


pembentukan undang-undang;
Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatatnegaraan di Indonesia berperan sebagai the


guardian of the constitution agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan
secara konsisten oleh segenap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi
berfungsi untuk mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara
konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan
konstitusi (Iskandar Muda, 2020). Selain itu Mahkamah Konstitusi berperan tunggal
sebagai penafsir tertinggi atas Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian direfleksikan
melalui putusannya (constitutional court). Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses
penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses
penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers)
dan satu kewajiban konstitusional (constituinal obligation). (Iskandar Muda, 2020)

Sepanjang berdirinya, dari tahun 2003 sampai sekarang Mahkamah Konstitusi


telah menangani berbagai macam perkara sebagai penjewantahan atas kewenangan
konstitusinalitasnya. Kinerja Mahkamah Konstitusi menguji secara materiil (judicial
review) terhadap materi sebuah undang-undang sesungguhnya tidaklah sederha. Hal ini
mengingat bahwa produk hukum berupa undang-undang (dalam arti formal) dibuat
melalui mekanisme yang sedemikian ketat. Secara formal sebuah undang-undang yang
disetujui oleh DPR (legislative) sebagai lembaga pemebentuk undang-undang dalam
sistem ketatanegaraan (constitutional system) merupakan produk final dan dipandang
sebagai perwujudan dari aspirasi masyarakat. Kehadiran sebuah produk undang-undang
seringkali diwarnai dengan kontroversi, penolakan baik saat undang-undang tersebut
dibuat maupun pasaca undang-undang tersebut dilaksanakan.

Tahun 2019 pemerintah mengajukan rancangan undang-undang Cipta Lapangan


Kerja (undang-undang CIPTAKER) dengan sistem Omnibus Law. Sedari awal pembetukan
undang-undang CIPTAKER telah banyak menuai polemik di hadapan publik, aksi
penolakan dengan jalan demonstrasi menjadi pilihan konstitusional bagi eleman
masyarakat. Undang-Undang CIPTAKER merupakan produk yang dipaksakan disahkan
oleh pemerintah sehingga melanggar tata aturan yang ada. “Dipaksakan” adalah kata
yang menggambarkan bagaimana cara DPR dan Pemerintah dalam menyusun Undang-
Undang ini. Selain mangandung masalah pada aspek materiil, Undang-Undang CIPTAKER
juga tidak cukup memiliki landasan hukum yang kuat karena tidak memenuhi syarat-
syarat tahapan berdasarkan pembentukan peraturan perundangan.

Setidaknya, terdapat dua asas dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang
dilanggar dalam penyusunan Undang-Undang CIPTAKER, yakni asas keterbukaan dan
asas dapat dilaksanakan. (Undang-Undang 12/2011). Pertama, berkaitan dengan asas
keterbukaan, asas ini mewajibkan proses perencanaan hingga pengundangan suatu
peraturan perundang-undangan perlu untuk bersifat transparan dan terbuka agar
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sayangnya,
baik Rancang Undang-Undang CIPTAKER dan Naskah Akademiknya baru dapat diakses
secara resmi setelah Surat Presiden diserahkan pada DPR. Dalam tahap ini, tahap
penyusunan Rancangan Undang-Undang sebenarnya sudah selesai dan dengan
diserahkannya Surat Presiden, maka Rancangan Undang-Undang tersebut akan
dilanjutkan ke tahap pembahasan. Selain itu, masyarakat juga tidak memiliki akses
untuk dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses
penyusunannya. (Media Indonesia, 2020) Kedua, berkaitan dengan asas dapat
dilaksanakan, asas ini menyatakan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut
di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Jika kita melihat
pada materi Undang-Undang CIPTAKER, justru Undang-Undang ini memandatkan hal-hal
yang sangat mendasar yang sebelumnya diatur dalam tataran Undang-Undang untuk
diatur di dalam Peraturan Pemerintah, seperti terkait dengan pembagian kewenangan.
Adapun penyusun Undang-Undang berargumen bahwa penghapusan pengaturan-
pengaturan prinsipil yang sebelumnya menjadi materi muatan Undang-Undang ini
adalah untuk memberikan fleksibilitas bagi Pemerintah Pusat dalam mengambil
kebijakan mengikuti dinamika masyarakat dan global yang semakin cepat. Sebagai
konsekuensi dari pandangan tersebut, Undang-Undang CIPTAKER justru memandatkan
454 peraturan yang didelegasikan untuk mengimplementasikan peraturan ini. Melihat
hal ini, justru dikhawatirkan Undang-Undang CIPTAKER tidak dapat 2 langsung
dioperasionalisasikan dengan baik sebelum Peraturan pelaksana yang dimandatkan
diselesaikan. Disamping itu, Undang-Undang CIPTAKER juga mengamanatkan agar
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah mengalami perubahan dalam
Undang-Undang CIPTAKER agar disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah Undang-
Undang CIPTAKER disahkan. Hal ini tentu tidak realistis dalam pelaksanaannya,
mengingat tidak mudah untuk menyesuaikan peraturan pelaksana dari 76 Undang-
Undang. (Indonesian Center for Environmental Law, 2020)

Praktik buruk proses legislasi Undang-Undang ini tidak berhenti pada saat
disahkan oleh DPR RI saja, namun pasca diundangkan juga masih mengandung kesalahan
perumusan yang berdampak pada substansi pasal yang dikandungnya. Keadaan cacat
formil yang melekat pada Undang-Undang CIPTAKER tersebut tak pelak dapat
melahirkan rantai ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraannya

Tentu saja untuk memastikan agar peraturan perundang-undangan tersebut


dapat mendukung tegaknya prisip negara hukum (rechtsstaat) maka setidaknya
memiliki dua tertib, yaitu tertib dasar Peraturan Perundang-Undangan dan Tertib
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tertib dasar Peraturan Perundang-
Undangan tersebut berkaitan dengan asas, jenis, hierarkir dan materi muatan,
sementara tertib Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut memuat
tentang perencanaan, penyusunan, pembahsan, pengesahan atau penetapan dan
pengundangan. (Natabayan, 2006)

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-


undangan, pada bagian penjelasan umum menerangkan bahwa pentingnya dua tertib
yang disebutkan diatas. Pengakuan tersebut terwujud dengan Undang-Undang P3
memuat materi-materi pokok tentang asas; jenis, hierarki, dan materi muatan
Peraturan Perundang-Undangan; perencanaan; penyusunan; tekhnik penyusunan;
pembahasan dan pengesahan/penetapan rancangan Peraturan Perundang-Undangan.
(Anggono, 2020)

Pasca dikeluarkanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU/-XVIII/2020


yang menyatakan bahwa Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang CIPTAKER tersebut
inkonstitusional tentu saja menegaskan bahwa proses pembentukan Undang-Undang
tersebut sejak awal pembentukannya memanglah tidak sesuai dengan tetib hukum
seperti yang penulis dijelaskan diatas. Walaupun Mahkamah Konstitusi telah
menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut inkonstitusional, namun Mahkamah
Konstitusi masih meberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki
Undang-Undang tersebut dengan deadlines 2 tahun, setelah 2 tahun jika tidak ada
perbaikan maka Undang-Undang tersebut baru dinyatakan tidak berlaku kembali.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sesungguhnya melahirkan confusion


(kerancuan) dan ketidakpastian hukum, Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran
Prioritas Baku” mengemukakan ada tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum yakni
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari
ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta
diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur
tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Menurut Radbruch,
“kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati”. (Theo Huijbers, 1982)

Hukum seharusnya memberikan kepastian hukum, karena apabila tidak


memberikan kepastian hukum maka hukum akan kehilangan makna dan tidak lagi
dijadikan sebagai pedoman, yang menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai
kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman
perilaku bagi semua orang”, dengan demikian kepastian hukum dalam suatu peraturan
menjadi mutlak karena hukum berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati
sebagaimana disampaikan Radbruch, yaitu kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di
mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. (Fence M. Wantu,
2007)

Metode penulisan

Penyusunan penulisan ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang


dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah data sekunder terutama peraturan
perundang-undangan, putusan mahkamah konstitusi, jurnal, teori dan pendapat para
ahli.

Pembahasan

Akibat Hukum Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Sistem Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan

Pada prinsipnya Judicial Review yang dilakukan oleh suatu badan kekuasaan
kehakiman sebagaimana halnya di Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi, adalah
merupakan suatu upaya melakukan interpretasi konstitusi. Apabila dari hasil
interpretasi menyatakan adanya pelanggaran konstitusionalitas, maka undang-undang
dinyatakan tidak dapat diberlakukan dalam arti dicabut dan tidak mempunyai daya laku
yang mengikat. Satu amar putusan yang mengabulkan satu permohonan pengujian, akan
menyatakan satu pasal, ayat atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-
undang secara keseluruhan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian sebagai konsekuensinya undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-
undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan
demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-
undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi.

Putusan yang demikian akan berdampak luas dan membutuhkan mekanisme


prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakuan suatu
ketentuan tersebut dan bagaimana pula mekanisme agar masyarakat dapat mengetahui
bahwa norma tersebut tidak lagi berlaku. Dengan kewenangan judicial review demikian
sesungguhnya telah turut menjadi policy maker melalui pengujian dan tafsir yang
digunakan Mahkamah Konstitusi untuk penyelesaian perselisihan yang dihadapkan
padanya. Hal demikian merupakan sesuatu yang dipandang paradoksal. (Maruarar
Siahaan, 2009)

Pada tanggal 25 November 2021 Mahkamah Konsitusi mengeluarkan putusan


pembatalan bersyarat terhadap Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (CIPTAKER). Putusan Inkonsitusional bersyarat sejatinay bukan pertamakali di
keluarkan oleh Mahkamah Konsitusi gagasan inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) pertamakali muncul dalam Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal
24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-
Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Pemerintah
Daerah yang melarang seseorang untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota
DPR, DPD, dan DPRD serta sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala jika pernah
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Dalam perkara tersebut Mahkamah Konsitusi berpendapat bahwa pemberlakuan


pasal-pasal tersebut melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the
law), melanggar hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945.

Sebagaimana diketahui, Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang


Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa amar putusan yang dijatuhkan terhadap
perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ialah berupa
mengabulkan, menolak, atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima. (UU
23/2003). Namun demikian apabila hanya didasarkan pada ketiga jenis amar putusan
tersebut, maka akan sulit untuk menguji undang-undang di mana sebuah undang-
undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum, padahal dalam
rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah dalam pelaksanaannya akan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak. Putusan pengujian undang-
undang yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaannya tidak hanya
berupa menolak, mengabulkan, atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima,
namun dapat juga berupa putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional).

Putusan inkonstitusional bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan


yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma,
akan tetapi model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran
(interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
dari undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan yang pada dasarnya
dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap
mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat
deklaratif putusan tersebut merupakan pernyataan permulaan yang digantungkan
kepada pelaksanaan norma yang diuji ataupun pembuatan undang-undang yang diuji di
mana harus didasarkan pada tafsiran, arah, pedoman, dan rambu-rambu yang diberikan
Mahkamah Konstitusi. Jika syarat yang ditentukan Mahkamah Konstitusi dipenuhi maka
norma tersebut tetap dapat dipertahankan keberlakuannya (conditionally constituonal)
meskipun pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi (condionally
unconstitutional). (Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali,
2013)

Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang memperoleh


kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan, sehingga pelaksanaan
putusan Mahkamah Konstitusi dilaksanakan sejak selesai dibacakan putusan yang
bersangkutan. Setelah pengujian atas undang-undang diputuskan final, maka seperti
yang ditentukan oleh pasal 47, putusan tersebut langsung berlaku mengikat sejak
diucapkan dalam siding pleno terbuka untuk umum. (Jimly Asshiddiqie, 2006)

Menurut Maruarar Siahaan, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan


organ atau aparat khusus yang bertugas sebagai lembaga eksekutorial, atau aparat yang
bertugas melaksanakan putusannya. Jika organ pembentuk undang-undang (pemerintah
atau lembaga negara lainnya) tidak mentaati putusan Mahkamah Konstitusi, dan
sebaliknya justru tetap menjalankan undang-undang yang tidak lagi memiliki kekuatan
mengikat, maka menurut Maruarar itu diluar tanggung jawab Mahkamah Konstitusi,
melainkan satu tindakan yang pengawasannya ada dalam mekanisme hukum dan
tatanegara itu sendiri. Lebih lanjut Maruarar menyebutkan, bahwa perbuatan yang
dilaksanakan atas dasar undang-undang yang sudah dinyatakan batal dan tidak berlaku
mengikat, merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Jika dikemudian dari terjadi
kerugian atas tindakan aparat pemerintah tersebut, justru mereka barus
mempertanggungjawabkannya secara perseorangan (personal liability). (Maruarar
Siahaan, 2005)
Melihat perkembangan dan realita yang mengiringi perjalanan Mahkamah
Konstitusi hingga saat ini, tidak jarang putusan-putusannya yang bersifat final dan
mengikat itu menyangkut pengujian undang-undang sangat sulit dalam pelaksanaan dan
tindak lanjutnya serta dengan mudah dapat disimpangi/diabaikan.

Padahal gagasan pembentukan lembaga peradilan konstitusi merupakan


pengembangan dari asas demokrasi dimana hak-hak politik rakyat dan hak asasi manusia
merupakan basic theme dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Hak-hak dasar
tersebut harus dijamin secara konstitusional dalam sebuah konstitusi serta harus pula
diwujudkan secara institusional melalui lembaga negara yang melindungi hak
konstitusional (Palguna, 2013).

Putusan Mahkamah Konstitusi termasuk ke dalam jenis putusan yang bersifat


declaratoir constitutif. Bersifat declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar
banya menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Bersifat
constitutif artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan
hukum dan/atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru, ini merupakan ekses dari
putusan yang bersifat declarotoir. Karena sifat declatoir dan constitutief itu pula, maka
Mahkamah Konstitusi tidak memerlukan adanya organ atau aparat khusus yang bertugas
sebagai lembaga eksekutorial atau pihak yang bertugas melaksanakan putusannya. Jadi,
ketika suatu putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan suatu undang-undang tidak
berlaku mengikat dikarenakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka
dengan sendirinya putusan tersebut juga sekaligus menciptakan suatu keadaan hukum
yang baru. (Denny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar, 2007)

Berbeda halnya dengan putusan yang bersifat condemnatoir, yang mana putusan
jenis ini berisikan penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan
suatu prestasi. Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada
penggugat atau pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap tergugat atau
termohon. ( Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010). Lebih lanjut lagi
sebagaimana pada hukum acara lainnya, putusan Mahkamah Konstitusi sejak dibacakan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum juga memiliki 3 (tiga) kekuatan, yakni
kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial.
Namun menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat
condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dalam hal permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.
(Maruarar Siahaan, 2005)

Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau
ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang itu secara keseluruhan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang diuji itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Substansi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang
termuat dalam suatu undang-undang yang dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi
(legally null and void). Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi
hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali
putusan semacam itu dinilai dapat menyebabkan terjadinya kekosongan dan kekacauan
hokum.

Namun menurut Prof. Jimlly putusan Mahkama Konsitutsi yang sifatnya final,
akan langsung berlaku mengikat sejak diucapkannya dalam siding pleno terbuka untuk
umum. Artinya bahwa efek dari putusan itu bersifat prospektif ke depan (forward
looking), bukan berlaku kebelakang (backward looking). (Jimlli Assidiqie, 2005). Hal ini
berarti bahwa segal perbuatan hukum yang sebelumnya dianggap sah atau tidak sah
secara hukum, tidak berubah menjadi tidak sah atau menjadi sah, hanya karena putusan
Mahkamah Konstitusi berlaku mengikat sejak ppengucapannya dalam siding pleno
terbuka untuk umum. Perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan perintah undang-
undang yang belum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah
perbuatan yang sah secara hukum, namun jika perbuatan tersebut dilakukan
berdasarkan perintah undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka perbuatan tersebut menjadi
perbuatan yang tidak sah secara hukum

Menilik dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU/-XVIII/2020 tentang


CIPTAKER, bahwa dari putusan tersebut maka mengharuskan pemerintah untuk
menangguhkan semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
11 tahun 2020 sampai pada batas waktu yang telah disyaratkan oleh Mahkamah
Konsitutisi yaitu 2 (dua) tahun. Sebagai bagian dari peradilan administrasi, Mahkamah
Konstitusi juga memiliki kepentingan agar supaya setiap kaidah yurisprudensi dan
putusannya yang bersifat final dan mengikat itu ditindaklanjuti oleh lembaga DPR dan
Presiden, dalam hal ini melalui undang-undang yang dibahas kedua lembaga negara
tersebut.

Menurut Prof. Maruarr, apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan


sebuah Undang-Undang batal dan tidak berlaku lagi maka perbuatan yang dilaksanakan
atas dasar undang-undang yang sudah dinyatakan batal dan tidak berlaku mengikat,
merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Jika dikemudian dari terjadi kerugian
atas tindakan aparat pemerintah tersebut, justru mereka barus
mempertanggungjawabkannya secara perseorangan (personal liability). (Maruarar
Siahaan, 2006)

Kepastian Hukum Suatu Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapang Kerja Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi

Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan “Putusan Mahkamah


Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum” dan Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” sehingga selama belum
diucapkan dalam sidang pleno, Undang-Undang masih memiliki kekuatan berlaku.

Maka secara sederhana kita dapat menarik kesimpulan dari kedua pasal tersebut
di atas bahwa Undang-Undang akan hilang daya berlakunya setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, yang putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetapnya
sejak dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Demikian dapat dilihat
bahwa tidak terdapat ruang yang memungkinkan dimuatnya penangguhan waktu
berlakunya kekuatan mengikat suatu putusan Mahkamah Konstitusi.

Sebagaiaman yang telah dijelaskan diatas bahwa putusan mahkamah konstitusi


tidak hanya membatalkan sebuah Undang-Undang namun juga membatalkan secara
bersyarat terhadap sebuah Undang-Undang. Pada tanggal 25 September 2021 Mahkamah
Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 91/PUU/-XVIII/2020 yang intinya mengabulkan
yang menyatakan bahwa Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang CIPTAKER
Conditonaly Unconstitutional. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi
menginstruksikan kepada pemerintah untuk memperbaiki Undang-Undang tersebut
dalam jangka waktu dua tahun. Dalam amar pertimbangannya Mahkamah Konstitusi
mengatakan bahwa apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dapat dipenuhi oleh
pembuat undang-undang, maka Undang-Undang CIPTAKER dengan sendirinya, demi
hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Selama dua
tahun tersebut pembuat Undang-Undang tidak diperkenankan untuk membuat aturan
pelaksana sebagai turunan dari Undang-Undang CIPTAKER. Dengan demikian terhadap
aturan pelaksana yang telah dibuat oleh pemerintah sebelumnuya sebagai turunan dari
Undang-Undang CIPTAKER dengan sendirnya juga ditangguhkan pelaksanaanya.
Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan turunan dari Undang-Undang CIPTAKERJA
semestinya tidak dapat diberlakukan kembali atau juga ikut ditangguhkan
pelaksanaanya, hal ini dikarenan bahwa aturan induk dari Peraturan Pelaksana (Undang-
Undang CIPTAKER) telah dinyakatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi
walaupun sifatnya bersyarat.

Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat
menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah
dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
harus dinyatakan berlaku kembali, karena sifat putusanya inkonstitusional bersyarat
maka Mahkamah Konstitusi masih memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk
meperbaiki aspek formil dalam Undang-Undang CIPTAKER tersebut selama dua tahun
dan menangguhkan pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

Selama masa perbaikan tersebut, maka terhadadap segala hal yang berkaitan
dengan Undang-Undang CIPTAKER haruslah ditangguhkan juga, seperti Peraturan
Pemerintah, walaupun dalam Undang-Undang Mahkamah konstitusi tidak mengatur
tentang penangguhan tersebut secara eksplisit dan implisit namun dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yakni dalam pasal 24 ayat (1) tegas mengatakan bahwasannya
“kekuasaan kehakimana merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dengan dijaminnya konstitusional
putusan Mahkamah Konstitusi, maka penagguhan akibat putusan a quo dianggap
beralasan demi hukum.

Berdasarkan penjelasan serta alasan di atas, menurut hemat penulis,


penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi bukanlah sesuatu
yang haram dilakukan. Landasan teoritis dan normatif menunjukan bahwa penangguhan
tersebut dapat saja dilakukan manakala ada alasan dan kebutuhan yang urgen untuk
itu. Apabila dikaitkan dengan Pasal 47 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum” maka penagguhan berlakunya akibat hukum. Maka kalau kita pertegas kembali
makna rumusan Pasal 47 itu ialah untuk mempertegas sifat dan kekuatan hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar, yaitu final dan terakhir. Hal mana merupakan suatu penegasan bahwa tidak ada
upaya hukum apapun yang dapat membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi karena
sifatnya final and binding. Soal kapan amar putusan itu akan diberlakukan dan
dilaksanakan, Pasal 47 tidak membatasinya. Berdasarkan logika yang paling sederhana
pun pendapat yang mengatakan penangguhan berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi
sebagai pengingkaran Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, sulit diterima dan
tentu saja mudah dipatahkan, karena toh putusan tersebut tetap inkracht sejak selesai
diucapkan. Artinya, apa pun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam amar
putusannya tetap saja mengikat dan harus dipatuhi.

KESIMPULAN

1. Putusan Inkonsitusional bersyarat sejatinaya bukan pertamakali di keluarkan oleh


Mahkamah Konsitusi gagasan inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) pertamakali muncul dalam Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009
bertanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)
huruf g Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 58 huruf f Undang-
Undang Pemerintah Daerah yang melarang seseorang untuk dapat mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta sebagai calon kepala daerah dan
wakil kepala jika pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Putusan inkonstitusional bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan yang
secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan
tetapi model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran
(interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
dari undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan yang pada dasarnya
dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap
mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sifat deklaratif putusan tersebut merupakan pernyataan permulaan yang
digantungkan kepada pelaksanaan norma yang diuji ataupun pembuatan undang-
undang yang diuji di mana harus didasarkan pada tafsiran, arah, pedoman, dan
rambu-rambu yang diberikan Mahkamah Konstitusi.
Perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan perintah undang-undang yang belum
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah perbuatan yang
sah secara hukum, namun jika perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan perintah
undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi serta mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat maka perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang
tidak sah secara hukum Menilik dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU/-
XVIII/2020 tentang CIPTAKER, bahwa dari putusan tersebut maka mengharuskan
pemerintah untuk menangguhkan semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 sampai pada batas waktu yang telah
disyaratkan oleh Mahkamah Konsitutisi yaitu 2 (dua) tahun. Menurut Prof. Maruarr,
apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebuah Undang-Undang
batal dan tidak berlaku lagi maka perbuatan yang dilaksanakan atas dasar undang-
undang yang sudah dinyatakan batal dan tidak berlaku mengikat, merupakan suatu
perbuatan melawan hukum.
2. Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan “Putusan Mahkamah
Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum” dan Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” sehingga selama
belum diucapkan dalam sidang pleno, Undang-Undang masih memiliki kekuatan
berlaku.
Maka secara sederhana kita dapat menarik kesimpulan bahwa Undang-Undang akan
hilang daya berlakunya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, yang putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam
sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja apabila dalam
tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan
perbaikan, maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-
Undang yang telah dicabut atau diubah tidak berlaku kembali, karena sifat
putusanya inkonstitusional bersyarat maka Mahkamah Konstitusi masih memberikan
kesempatan kepada pemerintah untuk meperbaiki aspek formil dalam Undang-
Undang CIPTAKER tersebut selama dua tahun dan menangguhkan pelaksanaan
Undang-Undang tersebut.
Selama masa perbaikan tersebut, maka terhadadap segala hal yang berkaitan
dengan Undang-Undang CIPTAKER haruslah ditangguhkan juga, seperti Peraturan
Pemerintah, walaupun dalam Undang-Undang Mahkamah konstitusi tidak mengatur
tentang penangguhan tersebut secara eksplisit dan implisit namun dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yakni dalam pasal 24 ayat (1) tegas mengatakan bahwasannya
“kekuasaan kehakimana merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Daftar Pustaka

Bayu Dwi Anggono, Pokok-Pokok Pemikiran Penataan Peraturan Perundang-Undangan


Di Indonesia. (Jakarta: Konstitusi Press. 2020)
Denny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar. Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial
Review Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Mimbar
Hukum Volume 19, Nomor 3, Oktober 2007.
Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Oktober 2007, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada)
H.A.S. Natabayan, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. (Jakarta:
Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2006)
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya
Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013)
Indonesian Center for Environmental Law, Berbagai Problematika Dalam Undang-
Undang Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam, SERI #3 • SERI
ANALISIS, 6 Oktober 2020
Iskandar Muda, Perkembangan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi.
(Surakarta: CV. KEKATA GROUP, 2020)
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta, Konstitusi Press.
2006)
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (Jakarta:
Konstitusi Press. 2005) Jakarta.
Maruarar Siahaan. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi.
JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 16 JULI 2009
Media Indonesia, “Partisipasi Basa-Basi” Media Indonesia, 6 Februari 2020
https://mediaindonesia.com/podium/288103/partisipasi-basa-basi
Undang-undang Nomor 12/2011 Tentang Pembentuka Peraturuan Perundang-undangan
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi
Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali. Model dan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang
(Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2013)
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. (Jakarta, Kanisius, 1982)

Anda mungkin juga menyukai