Anda di halaman 1dari 6

JURNAL ARTIKEL

PUTUSAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT MENCIPTAKAN


KETIDAKPASTIAN HUKUM DALAM UU CIPTA KERJA
Oleh :
Navaratu Annisa Devi
(1223050129)
Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah & Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email : navaratu14@gmail.com

Abstrak: Sebuah undang-undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara


umum. Padahal, di dalam rumusan yang sangat umum tersebut belum diketahui apakah
pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Sedangkan, MK
dituntut untuk memutuskan apakah sebuah undang-undang bertentangan atau tidak
dengan konstitusi. Putusan model inkonstitusional bersyarat artinya pasal yang
dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945,
contohnya pada fenomena saat ini yaitu, Mahkamah telah menyatakan bahwa Undang-
Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut berujung pada
dikeluarkannya putusan inkonstitusional bersyarat. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis putusan tersebut dalam UU Cipta Kerja. Metode penelitian ini
menggunakan literature review dan berdasarkan data informasi yang diperoleh dari studi
kepustakaan, seperti buku, jurnal, situs web, dan hal-hal yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti. Dalam pengumpulan data, saya juga menggunakan pendapat
dari diri saya sendiri. Hasil dan analisis dari tulisan ini memberikan gambaran bahwa
putusan inkonstitusional bersyarat dalam UU Cipta Kerja menciptakan sebuah
ketidakpastian hukum.
Kata Kunci : Undang-Undang, Putusan Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja, UUD
1945.
Jurnal Artikel, 28 Oktober 2022

Abstract: A law often has a generally formulated nature. In fact, in this very general
formulation, it is not known whether its implementation will conflict with the 1945
Constitution or not. Meanwhile, the Constitutional Court decides whether or not a law
contradicts the constitution. The conditional unconstitutional model decision means that
the article requested for review is stated in accordance with the 1945 Constitution, for
example in the current phenomenon, namely, the Court has stated that the Job Creation
Law is contrary to the 1945 Constitution. This is in the issuance of a conditional
unconstitutional decision. This study was conducted to analyze the decision in the Job
Creation Act. This research method uses a literature review and is based on information
data obtained from literature studies, such as books, journals, websites, and matters
relevant to the problems studied. In collecting data, I also use my own opinion. The results
and analysis of this paper illustrate that the conditional unconstitutional decisions in the
Job Creation Law create legal uncertainty.
Keywords: Law, Conditional Unconstitutional Decisions, Job Creation Law, 1945
Constitution.

Pendahuluan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas menegaskan
fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the
constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara
berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak
asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga
negara. Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud di atas
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang jumlah perkaranya paling banyak diantara kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang lain.1
Putusan inkonstitusional merupakan pasal yang dimohonkan untuk diuji,
dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang
dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK
tidak dipenuhi. Jadi, pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan
sebagai inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh
MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK.2 Untuk inkonstitusional bersyarat akan
dicantumkan penafsiran yang kemudian dinyatakan secara tegas akan penjelasan
kelanjutannya berupa pernyataan apabila melakukan suatu tindakan tertentu. Apabila
pasal yang dimaksud dilakukan secara x berupa tindakan dengan x berupa tindakan pula
maupun hal yang dicantumkan oleh MK, akan dinyatakan tidak melanggar UUD 1945
atau tidak inkonstitusional lagi. Secara faktualnya, penerapan inkonstitusional bersyarat
bersifat kurang efektif. Hal ini karena pada dasarnya sifat putusan itu adalah mengikat
atau menjadi memperlihatkan bahwa seolah-olah hukum itu tidak tegas dan tidak ada
kepastian hukumnya.
MK menyatakan pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara
bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum adalah mengikat sepanjang tidak
dimaknai memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) tidak berlaku untuk jabatan yang
dipilih (elected officials); (b) berlaku terbatas jika jangka waktunya haanya selama 5
tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (c) dikecualikan untuk mantan
terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan narapidana; (d) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK bersifat final dan mengikat sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka
untuk umum, konsekuensinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak

1
Faiz Rahman and Dian Agung Wicaksono, ‘Eksistensi Dan Karakteristik Putusan Bersyarat Mahkamah
Konstitusi’, Jurnal Konstitusi, 13.2 (2016), 348 <https://doi.org/10.31078/jk1326>.
2
‘TINDAK LANJUT’, 2021.November (2021), 2021.
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan MK juga harus
dilaksanakan sejak putusan dibacakan dan mengikat semua pihak, baik individu maupun
institusi/lembaga. Dengan demikian, terhadap Putusan MK terkait UU Cipta Kerja harus
ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah.
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan omnibus law yang
mengatur perubahan peraturan beragam sektor dengan tujuan memperbaiki iklim
investasi dan mewujudkan kepastian hukum. Terobosan Omnibus Law memungkinkan
80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal direvisi dengan UU Cipta Kerja yang
mengatur multisektor. Dengan demikian, revisi memangkas pasal-pasal yang tidak
efektif. Terobosan ini diperlukan untuk memperbaiki iklim berusaha, memperbaiki
kebijakan horizontal dan vertikal yang saling berbenturan, meningkatkan indeks regulasi
Indonesia yang masih rendah, mengatasi fenomena hyper regulation dan kebijakan tidak
efisien, serta UU yang bersifat sektoral dan sering tidak sinkron. Tujuan utama dari UU
Cipta Kerja adalah mendorong investasi, mempercepat transformasi ekonomi,
menyelaraskan kebijakan pusat-daerah, memberi kemudahan berusaha, mengatasi
masalah regulasi yang tumpang tindih, serta untuk menghilangkan ego sektoral.
Pengesahan UU Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap
perkembangan ekonomi yang baik.3

Metodologi
Dalam melakukan penelitian, saya sebagai penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif atau penelitian yang menganalisis dan menafsirkan makna suatu
fenomena dengan membandingkan dan memberikan informasi yang kredibel yang dapat
diperoleh. Selain itu pengambilan data tidak hanya menggunakan metode penelitian
kualitatif, saya sebagai penulis juga mengambil data dari jurnal yang sudah publish.
Rentang waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2022 sampai
selesai.. Analisis data dilakukan dalam dua tahap pertama yaitu, melakukan pencarian
data dari media elektronik dan juga pemikiran diri sendiri dan tahap yang kedua adalah
menyusun kerangka data yang telah diperoleh.

Hasil dan Pembahasan


Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja Tahun
2020 inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki
Undang-Undang tersebut paling lama dua tahun, yakni sampai dengan 25 November
2023. Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang “tidak dilakukan perbaikan dalam
waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan”. Namun, pengadilan menyatakan bahwa
Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan
pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan. Jika
tidak dilakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja akan menjadi inkonstitusional

3
M Insa Ansari, ‘Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja’, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum
Nasional, 9.1 (2020), 71–90.
secara permanen dan Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-
undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja akan berlaku
kembali. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan
uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sejatinya, Putusan
Hakim dimaksudkan untuk mengakhiri persengketaan maupun perbedaan tafsir terhadap
suatu ketentuan. Namun Putusan ini justru menimbulkan dualisme terkait keberlakuan
UU Cipta Kerja, karena disatu sisi UU ini dinyatakan inkonstitusional, namun di sisi yang
lain UU ini tetap tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam proses pengesahannya, MK juga melihat UU Cipta Kerja (omnibus law)
tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembahasan. Terutama menyangkut
dengan partisipasi publik dalam proses pembentukan sangat minim dan adanya ketentuan
yang berbeda di RUU Cipta Kerja versi Paripurna dengan UU Cipta Kerja. Meski
menyatakan UU itu cacat formil, MK tidak secara tegas-tegas membatalkan UU,
melainkan “inkonstitusional bersyarat”. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan
oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak
didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika
pembentukan Undang-Undang. Kemudian dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi
perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden
karena alasan itulah UU Cipta Kerja dianggap cacat formil. MK menyatakan bahwa UU
tetap berlaku selama dua tahun ke depan, tapi pemberlakuannya dibatasi. UU Cipta Kerja
baru akan dinyatakan inkonstitusional secara permanen bila perbaikan sebagaimana yang
dimaksud tidak dilakukan dalam waktu dua tahun.4 Beberapa orang menyatakan bahwa
UU Cipta Kerja masih berlaku hingga batas waktu perbaikan, sementara kelompok yang
lain justru menyatakan bahwa UU itu tidak boleh lagi diberlakukan sama sekali. Namun,
permohonan uji formil ini dikabulkan, putusan inkonstitusional bersyarat yang
dikeluarkan MK justru mengundang perdebatan karena memunculkan tafsir yang ambigu.
Tafsir tersebut sering disebut dengan nama Tafsir Ganda. Kondisi inkonstitusional
bersyarat bermakna bahwa suatu ketentuan dinyatakan tidak berlaku sejak putusan
tersebut dibacakan hingga kondisi yang diharapkan sudah tercapai, atau akan menjadi
konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi. Namun, putusan
MK atas UU Cipta Kerja menimbulkan perdebatan karena potensi tafsir ganda. Putusan
itu berkebalikan dengan makna inkonstitusional bersyarat yang selama ini dipahami.
Secara formal, putusan tersebut juga menuntut pembentuk undang-undang untuk
merumuskan aturan baku terkait penggunaan omnibus law, baik dalam bentuk dasar
hukum yang memberikan legitimasi, maupun dari segi aturan teknis pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan merujuk
pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan
peraturan perubahannya UU No. 15 Tahun 2019. Tapi UU tersebut belum
mengakomodasi penggunaan undang-undang omnibus, yaitu penggunaan satu UU untuk
mengatur banyak sektor atau mengatur sejumlah undang-undang lain. Setelah aturan yang
memberikan legitimasi pada penggunaan omnibus dirumuskan, baru proses perbaikan
terhadap UU Cipta Kerja dapat dilakukan.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan kepada Menko dan menteri terkait
untuk segera menindaklanjuti putusan MK itu secepat-cepatnya dengan waktu paling

4
Jangka Waktu, ‘KETIDAKPASTIAN HUKUM JANGKA WAKTU PENETAPAN STATUS TERSANGKADARI
PROSES PENYIDIKANSAMPAI PELIMPAHAN PERKARA’, 5.2 (1945).
lama dua tahun untuk melakukan revisi atau perbaikan – perbaikan. Lalu MK
memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang
bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan
pelaksanaan baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja.
Lalu mengapa UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat? Mahkamah
menjelaskan alasan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena
Mahkamah hendak menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang
ditimbulkan. Kemudian, Mahkamah mempertimbangkan harus menyeimbangkan antara
syarat pembentukan sebuah Undang-Undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil
guna mendapatkan Undang-Undang yang memenuhi unsur kepastian hukum,
kemanfaatan, keadilan, serta mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya UU
Cipta Kerja.5 Selain itu, didapatkan dua fakta baru. Pertama, fakta pembentuk undang-
undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal, itu
artinya saat pembentukan undang-undang tersebut tidak memberikan akses pada
masyarakat. Kedua, fakta bahwa penamaan UU Cipta Kerja ternyata menggunakan nama
baru yaitu UU tentang Cipta Kerja. Dengan adanya penamaan baru suatu undang-undang
yaitu UU tentang Cipta Kerja yang kemudian dalam Bab Ketentuan Umum diikuti dengan
perumusan norma asas, tujuan dan ruang lingkup yang selanjutnya dijabarkan dalam bab
dan pasal-pasal terkait dengan ruang lingkup tersebut, maka UU 11/2020 tidaklah sejalan
dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-
olah sebagai undang-undang baru. Namun, substansi terbesar dalam UU 11/2020 telah
ternyata adalah merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang,” jadi
seharusnya tidak memerlukan nomenklatur baru.

Simpulan
Mahkamah seharusnya tidak menutup mata bahwa peraturan-peraturan yang ada
berlebihan dan tumpang tindih sehingga menyebabkan ego sektoral dan ketidakpastian
hukum dalam penerapannya. Jangka waktu dua tahun tidak lama dan mungkin tidak
cukup untuk memperbaiki cacat-cacat formal. Jika pun pemerintah telah memperbaiki
cacat-cacat tersebut, masih terdapat risiko diajukannya permohonan baru untuk menguji
secara formal Undang-Undang Cipta Kerja yang telah diperbaiki secara resmi. Hal lebih
buruk adalah, tidak begitu jelas bagaimana pemerintah akan memperbaiki cacat tersebut.

5
Dixon Sanjaya and others, ‘PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91 / PUU-XVIII / 2020 Dixon Sanjaya ( Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara ) Rasji ( Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara , Meraih Sarjana Hukum Pada Fakultas
Hukum U’, 4.3 (2021), 3255–79.
DAFTAR PUSTAKA

Ansari, M Insa, ‘Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja’, Jurnal Rechtsvinding Media
Pembinaan Hukum Nasional, 9.1 (2020), 71–90
Rahman, Faiz, and Dian Agung Wicaksono, ‘Eksistensi Dan Karakteristik Putusan
Bersyarat Mahkamah Konstitusi’, Jurnal Konstitusi, 13.2 (2016), 348
<https://doi.org/10.31078/jk1326>
Sanjaya, Dixon, Pengujian Formil Undang-undang Cipta, Kerja Dalam, and Putusan
Mahkamah, ‘PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91 / PUU-XVIII /
2020 Dixon Sanjaya ( Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara ) Rasji (
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara , Meraih Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum U’, 4.3 (2021), 3255–79
‘TINDAK LANJUT’, 2021.November (2021), 2021
Waktu, Jangka, ‘KETIDAKPASTIAN HUKUM JANGKA WAKTU PENETAPAN
STATUS TERSANGKADARI PROSES PENYIDIKANSAMPAI PELIMPAHAN
PERKARA’, 5.2 (1945)

Anda mungkin juga menyukai