ABSTRAK
Mengambil sistem hukum yang berasal dari negara lain yang dikembangkan
menjadi model hukum di negeri sendiri, bukanlah sesuatu yang baru bagi
Negara Indonesia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh Asas konkordansi yang
dianut sebagai politik hukum Indonesia pada masa Hindia Belanda dan terus
dikembangkan pada masa kemerdekaan menjadikan sebuah contoh nyata,
Transplantasi hukum terus berlangsung yang dimulai dari zaman pra Kolonial
Belanda, hingga sekarang. Begitu juga mengenai Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang diamanatkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga dibentuklah Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK pada beberapa kota di
Indonesia. Konon Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
ditransplantasi dari Common Law System dengan model The Small Claims
Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT). Small Claims Court (SCC)
dan The Small Claims Tribunal (SCT) berhasil ditransplantasikan dalam hal
substansinya tapi gagal dalam penerapannya karena terjadi benturan perbedaan
sistem hukum, dimana sistem hukum Indonesia memiliki struktur, substansi dan
budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum yang lain.
*
Penulis adalah Dosen pengajar Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum
Universitas Universitas Udayana, Denpasar
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Gunawan Widjaya, 2008, Transplantasi Trusts Dalam KUH Perdata, KUHD dan Undang
Undang Pasar Modal, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. h.21
2
undang tentang perlindungan konsumen, sehingga tanggal 20 April 1999
diundangkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disebut sebagai UUPK), dan berlaku setahun kemudian. Terbitnya UUPK bukan
hanya berupa inisiatif, kebutuhan dan desakan dari dalam negeri saja namun dibalik
itu adanya ketergantungan antar negara yang menjadi dampak dari globalisasi.
2
Rachmadi Usman, 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.5
3
dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Lembaga ini diharapkan mampu
mengakomodir asas trilogi peradilan “sederhana, cepat dan biaya ringan”. Pasal 47
UUPK mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan di luar
pengadilan, diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi.
4
PEMBAHASAN
Transplantasi Hukum
3
Tri Budiyono, 2009, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan Studi
Transplantasi Doktrin Yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, Griya Media,
Salatiga, h. 9
4
Alan Watson, 1974, Legal Transplants an Approach to Comparative Law, Scottish
Academic Press, America, h. 22.
5
Frederick Schauer. The Politics and Incentives of Legal Transplantations. CID (Center
for International Development at Harvard University) Working Paper No. 44. April 2000.
5
4. Tri Budiyono, Transplantasi Hukum6 adalah pengambilalihan aturan
hukum (legal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau
institusi hukum (legal institution) dari suatu sistem hukum yang lain
atau dari wilayah hukum ke wilayah hukum yang lain. Transplantasi
hukum dapat menimbulkan harmonisasi hukum apabila adanya
kesesuaian yang meliputi aturan hukumnya, ajaran hukumnya, struktur
hukumnya, atau institusi hukumnya. Semuanya bergantung dari
substansi yang ditransplantasikan.
6
Tri Budiyono, Menggagas Sintesa Global-Lokal dalam Membangun Hukum Ekonomi,
Jurnal Ilmu Hukum, Edisi April-Oktober 2002, hal. 1
7
Alan Watson, Op. cit., h. 5.
8
Alan Watson, 2006, Legal Transplants and European Private Law, University of
Belgrade School of Law, Pravni Fakultet, Belgrade, h. 6-7.
6
Swiss, sedangkan hukum administrasi negara diambil dari model hukum Prancis.
Dengan memilih berbagai model hukum, melalui kebijakan transplantasi kata
Orucu Turki di bawah rezim Mustafa Kemal Al-Taturk, berhasil meletakkan politik
hukum transplantasi menjadi alat legitimasi budaya, karena pada akhirnya model
hukum yang dipilih tidak terikat pada salah satu budaya yang dominan.
Hal di atas kini dialami pula oleh sebuah negara baru yang merupakan
pecahan Indonesia, Timor Leste, yang harus melakukan harmonisasi terhadap
produk-produk bentukan hukum Indonesia, hukum Portugis, hukum adat, dan
hukum dari wilayah Amerika latin, mulai dari isi konstitusinya sampai dengan
prosedur berperkara di pengadilan.9
9
Duarte Tilman Soares, Perbandingan Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan
Hukum yang berlaku di Indonesia. Makalah seminar di fakultas hukum uksw, tanggal 18 Februari
2003.
10
Evaristus Hartoko W, 2002, Good Corporate Governance in Indonesia, Griffin’s View
on International and Comparative Law, Volume 3 Number 1, Januari 2002, h. 103
11
Ibid, h.109
7
Pengertian Sengketa dan Sengketa Konsumen
Istilah sengekta dan konflik seringkali digunakan secara bergantian dan
dianggap memiliki pengertian yang sama, namun sebenarnya dua terminologi ini
memiliki karekteristik yang berbeda. Tidak setiap konflik menimbulkan sengketa,
sebaliknya setiap sengketa adalah konflik. 12 Apabila kajian dari sudut pandang
psikologi, dikenal jenis konflik kejiwaan yang bukan persengketaan hukum. Satu
konflik yang mengemuka biasanya mempercepat satu krisis mental, dan bisa
dibedakan dari konflik dasar (root conflict) yang timbul sejak kanak-kanak. Begitu
pula di bidang sosiologi dikenal konflik kelompok (group conflict) dan lain-lain.13
Konflik atau sengketa berasal dari terminologi kata bahasa Inggris conflic,
yang berarti persengketaan, perselisihan, percekcokan atau pertentangan. Konflik
atau persengketaan tentang sesuatu terjadi antara dua pihak atau lebih. Masyarakat
pada saat ini dihadapkan pada beberapa pilihan penyelesaian sengketa, sesuai
dengan tingkat kepentingan dan pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam
mamandang konflik atau sengketa itu sendiri. Konflik atau sengketa dapat
diselesaikan melalui mekanisme litigasi, non litigasi maupun advokasi. 14
Laura Nader dan Harry Tood membedakan pengertian conflict
(perselisihan) dengan dispute (sengketa), bahkan conflict (perselisihan) sendiri
dapat dibedakan antara pre-conflict (praperselisihan) dan conflict (perselisihan).
Nader dan Todd memberikan pengertian konflik adalah perselisihan yang hanya
melibatkan kedua pihak saja, sedangkan sengketa adalah perselisihan antara dua
pihak atau lebih yang sudah bersifat terbuka dan penyelesaiannya melibatkan pihak
ketiga.15
Sengketa menurut B.N. Marbun adalah pertikaian, perselisihan atau sesuatu
yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, yang bisa
12
Abu Rohmad, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang,
h. 9
13
Ahmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Iblam,
Jakarta, h. 63.
14
Rachmad Syafa’at, 2006, Mediasi dan Advokasi Konsep dan Implementasinya, Agritek
YPN Malang Kerjasama dengan SOFA Press, Malang, h. 33.
15
Ihromi, 1993, Beberapa Catatan Mengenai Metode Sengketa yang Digunakan Dalam
Antropologi Hukum, dalam Antropologi Hukum; Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h.
210-211.
8
meningkat menjadi sengketa hukum.16 Sedangkan Witanto memberikan pengertian
sengketa sebagai konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-
kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atau suatu objek
kepentingan yang bisa menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain 17
Berdasarkan kedua pengertian sengketa diatas, maka dapat diuraikan
menjadi beberapa elemen antara lain:18
1. Adanya dua pihak atau lebih;
2. Adanya Hubungan atau kepentingan yang sama terhadap objek
tertentu;
3. Adanya pertentangan dan perbedaan persepsi;
4. Adanya akibat hukum.
Sengketa merupakan fenomena yang universal yang dapat dijumpai pada
setiap lapisan masyarakat. Bagaimana sengketa tersebut diselesaikan, tidak ada
suatu bentuk yang seragam, artinya pihak yang bersengketa dapat melakukan
berbagai pilihan tindakan dengan tujuan agar sengketa tersebut dapat
diselesaikan.19
Cristoper W. Moore, membedakan sengketa menjadi 2 (dua), yaitu sebagai
berikut:20
a. Sengketa atau konflik yang tidak realistik (unrealistic conflict),
yaitu ketika para pihak bertindak seolah-olah mereka berkonflik,
meskipun tidak ada kondisi objektif bagi kelanjutan konflik dan;
b. Konflik yang realistik (realictic conflict) merupakan betul-betul
berasal dari konflik-konflik interest.
16
B.N. Marbun, 2006, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. h. 285
17
D. Y Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi (dalam Perkara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan), Alfabeta, Bandung, h. 2
18
Ibid, h. 3
19
Kurniawan, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Problematika Kedudukan dan
Kekuatan Putusan BPSK, UB Press, Malang, h. 44.
20
Cristoper W. Moore, 1996, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving
Conflict, Jossey-Bass Publishers, San Francisco, h. 162.
9
Sedangkan A.Z. Nasution,21 memberikan pengertian bahwa sengketa
konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau
privat) tergantung produk konsumen, barang dan jasa konsumen tertentu.
Sedangkan Sidharta22 menyatakan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa
berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen
Dalam UUPK menyebutkan bahwa sengketa konsumen merupakan bagian
dari institusi administrasi Negara yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini adalah BPSK. Pasal 1
butir 11 UUPK mengatur bahwa yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
21
A.Z. Nasution, 2004, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.221
22
Sidharta,2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, h.135
23
Satjipto Raharjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 255-257
10
Saxon, seperti Inggris dengan Negara-negara jajahannya, seperti Amerika,
Australia, India, Pakistan, Malaysia, dan sebagainya. Civil Law adalah sistem
hukum Barat yang merupakan sistem hukum modern yang diadopsi hampir oleh
mayoritas bangsa-bangsa di dunia. Prinsip utama yang mendasari sistem hukum
Eropa Kontinental atau Civil Law adalah bahwa hukum memperoleh kekuatan
mengikat karena diwujudkan. Menurut Frederich Julius Stahl24, konsep sistem
hukum ini ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu:
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia,
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu,
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Kekuatan mengikat karena diwujudkan artinya bahwa hukum memperoleh
kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan yang berbentuk undang-
undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi dan kompilasi tertentu
semata-mata untuk kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan
kalau pergaulan atau hubungan dalam masyarakat di atur dalam peraturan-peraturan
tertulis. Sehingga Hakim menurut sistem hukum Civil Law tidak leluasa untuk
menciptakan hukum yang mengikat masyarakat, putusan Hakim dalam suatu
perkara, hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja (doctrins Rea Ajudicata).
Sumber hukum pada sistem Civil Law meliputi:
1. Undang-undang yang dibentuk pemegang kekuasaan legislatif;
2. Peraturan-peraturan yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif
berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang;
3. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh
masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.
Berdasarkan sumber hukum tersebut, maka kaidah hukum dalam sistem
Civil Law adalah:
1. Hukum bersifat konservatif;
2. Hakim hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis;
24
Mariam Budiardjo, 1982, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, h.58
11
3. Hakim hanya sebagai cerobong undang-undang;
4. Jika terjadi pertentangan antara undang-undang dengan yurispruensi,
maka dimenangkan undang-undangnya;
5. Indonesia menganut sistem Common Law dan Civil Law dengan skala
prioritas Civil Law diiringi Common Law.
Sedangkan sistem hukum Common Law, merupakan sistem hukum yang
berkembang di bawah pengaruh sistem yang bersifat adversarial dalam sejarah
England berdasarkan keputusan pe-ngadilan yang berdasarkan tradisi, custom, dan
pre-seden. Bentuk reasoning yang digunakan dalam Common Law dikenal dengan
casuistry atau case based reasoning. Common Law dapat juga berbentuk hukum
tak tertulis ataupun hukum tertulis seperti tertuang dalam statutes maupun codes.
Sistem Common Law merupakan sistem hukum yang memakai logika
berpikir induktif dan analogi. Sistem hukum Common Law memiliki konsep Rule
of Law yang menekankan pada tiga tolak ukur:
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak
adanya suatu kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary
power), dalam artian seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar
hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menhadapi hukum (equality before the
law), ketentuan ini berlaku bagi orang biasa ataupun pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusan
pengadilan.25
25
Ibid
12
2. Kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan
peraturan administrasi Negara.
Dengan berdasarkan sumber hukum tersebut, kaidah hukum dalam sistem
Common Law adalah:
a. Hukum merupakan lembaga kebudayaan yang te-rus mengalami
perkembangan;
b. Hukum merupakan hasil daya cipta manusia;
c. Hukum tidak memer-lukan kodifikasi, karena hukum yang
terkodifikasi hanyalah sebagian saja dari hukum;
d. Putusan pengadilan adalah hukum.
Perbedaan yang sangat mendasar antara kedua sistem hukum tersebut dapat
dilihat dalam sistem hukum Civil Law mengambil bentuk tertulis yang
dikodifikasikan dalam perundang-undangan. Sedangkan sistem hukum Common
Law lebih mengacu kepada hukum kebiasaan (customary law) yang cenderung
tidak tertulis. Sehingga sumber hukum utama dari Civil Law adalah peraturan
perundang-undangan walaupun terdapat sumber hukum lain, seperti kebiasaan,
yurisprudensi dan doktrin. Berbeda dengan sistem hukum Common Law yang
sumber hukum utamanya adalah yurisprudensi (judge made by law/binding force of
precedent), dimana masalah-masalah hukum diselesaikan kasus perkasus dan
hasilnya tercermin dalam putusan-putusan hakim (yurisprudensi). Proses peradilan
dengan sistem juri dikenal dalam sistem hukum Common Law tidak dikenal dalam
sistem Civil Law.
26
Titik Triwulan Tutik,2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,
h. 10
13
Lawrence M. Friedman27, berpendapat bahwa sistem hukum merupakan
satu sistem yang meliputi elemen-elemen struktur hukum, substansi hukum dan
budaya hukum. Friedman memberikan pandangan terhadap ketiga unsur tersebut
sebagai berikut:
27
Lawrence M. Friedman, American Law: as an Introduction, Jurnal Keadilan Vol. 2 No.
1 Tahun 2002.
28
Ibid
14
system hokum perdata, pidana, system hokum Tata Negara, system hokum ekonomi
dan sebagainya, masing-masing system tersebut memiliki karakter masing-masing.
Karakter hokum nasional Indonesia berupa sitem hokum campuran (mixed
legal sytem), namun lebih banyak diisi oleh tradisi hokum barat, baik dalam
lingkungan hokum public maupun hokum privat. Suatu Negara juga memiliki
system hokum asli dengan dipengaruhi sistem hukum besar dunia yang saling
berpengaruh sama kuatnya. Variasi pertemuan sistem hokum tersebut menurut Esin
Orucu29, dapat terjadi pada tingkatan ide, konsep, dan solusi serta pada tingkatan
struktur, istitusi, dan metode. Dalam suatu sistem, peraturan-peraturan hukum tidak
berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, sebagai konsekuensi adanya keterkaitan
antara aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat.
Pertemuan suatu system hokum dapat dilakukan dengan cara adopsi system
hokum. Adopsi adalah masuknya pranata hukum asing yang mempunyai sistem
hukum yang berbeda merujuk pada perpindahan norma-norma hukum atau
ketentuan hukum tertentu dari suatu Negara tertentu ke Negara lain selama suatu
proses pembuatan hukum. Adopsi hukum sering dilakukan pada pembuatan
peraturan perundang-undangan, dimana legislatif mempunyai dua opsi pilihan
dalam membuat aturan, yaitu meminjam atau mengambil alih hukum atau undang-
undang yang telah ada dan berlaku pada Negara lain, atau melakukan sendiri proses
pencarian norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang dianggap cocok dan sesuai
dengan identitas bangsa dan negara tersebut yang sejalan dengan tradisi, budaya,
dan sejarahnya negaranya, karena setiap Negara memiliki tradisi, budaya, sejarah,
dan identitas yang berbeda. Masuknya pranata hukum yang berasal dari tradisi
hukum Anglo Saxon dengan sistem hukumnya Common Law ke seluruh dunia
memberikan alasan dilakukannya adopsi pranata hukum asing karena:
a. Transplantasi hukum dilakukan dengan mudah, cepat, dan
merupakan sumber hukum baru yang potensial;
29
Esin Orucu, Critical Comparative Law: Considering Paradoxes for Legal System in
Transition, Vol. 4.1, June 2000, Netherlands Comparative Law Association p. 27.
15
b. Transplantasi hukum seringkali mengikuti suatu masa pejajahan
(kolonialisme); dan
c. Transplantasi hukum tidak lepas dari peran serta kalangan ahli
hukum, yang cenderung mencontoh hukum yang bagi mereka
diangap baik dan bagus
Masuknya sistem hukum Common Law dalam pranata ekonomi Indonesia,
memerlukan suatu penyesuaian karena hukum harus memberikan legalitas terhadap
segala perubahan yang terjadi, agar pranata hukum asing tersebut tidak terganggu
dan saling bertabrakan. Untuk itu reformasi di bidang hukum sebagai akibat
masuknya pranata hukum asing di Indonesia merupakan hal yang sangat penting
dan mendesak untuk dilakukan. Perubahan hukum tersebut mencakup pembaharuan
dalam berpikir, tingkah laku, pola hidup yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan. Perbedaan sistem hukum ini harus dapat diatasi dengan
pembaharuan hukum sebagaimana konsep dan pendapat Mochtar Kusumaatmaja,
bahwa fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”30 (law as a tool
social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. 31 Hukum sebagai katalisator,
hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui
pembaharuan hukum (law reform) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi
hukum32
Lebih jauh Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana
lebih luas dari hukum sebagai alat karena:
a. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses
pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika
dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan
30
Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,
Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18
Juli 2003, h. 7.
31
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV.
Mandar Maju, Bandung, h. 5
32
I Putu Rasmadi Arsha Putra, I Ketut Tjukup dan Nyoman A. Martana, Tuntutan Hak
dalam Penegakan Hak Lingkungan (Environmental Right) Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 2, No.
1, Januari – Juni 2016 h.98
16
yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada
tempat lebih penting.
b. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang
tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana
pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia
ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk
menolak penerapan konsep seperti itu.
c. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional,
maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi
sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Tahun 1999, pemerintah Indonesia mengundangkan UUPK. Pasal 45 ayat
(2) UUPK mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa. Sedangkan dalam Pasal 47 UUPK mengatur penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan mengenai tindakan
tertentu untuk menjamin tidak terjadi kembali atau tidak terulang kembali kerugian
yang diderita oleh konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar
pengadilan, maka dibentuk BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UUPK.
Berdasarkan amanat Pasal 49 UUPK, BPSK pertama kali diresmikan pada
tahun 2001, yaitu dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun
2001 tentang Pembentukan BPSK pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang,
Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar. Kemudian pada
tahun yang sama, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan
mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi
BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di kota Kupang, kota
17
Samarinda, kota Sukabumi, kota Bogor, Kota Kediri, kota Mataram, kota
Palangkaraya dan pada kabupaten Kupang, kabupaten Belitung, kabupaten
Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, kabupaten Ogan Komering
Ulu, dan kabupaten Jeneponto. Terakhir, pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan
Presiden No. 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di kota Padang, kabupaten
Indramayu, kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang.
Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan melalui BPSK ditemukan
berbagai kekurangan atau kelemahan sehingga diperlukan optimalisasi melalui
upaya perubahan terhadap konsep, sistem hukum dan implementasi peran BPSK
sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengeta konsumen di luar pengadilan.
Sistem hukum yang tidak efektif tentu berakibat pada terhambatnya tujuan hukum
yang dicapai. Dalam suatu sistem, peraturan-peraturan hukum tidak berdiri sendiri,
tetapi saling berhubungan, sebagai konsekuensi adanya keterkaitan antara aspek-
aspek kehidupan dalam masyarakat.
Apabila diletakkan dalam konteks sistem hokum yang dikemukakan oleh
Lawrence M. Friedman, materi UUPK ini adalah subsistem substance, yaitu
peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi harus berperilaku. Putusan
BPSK masih dimungkinkan diajukan keberatan atas ke Pengadilan Negeri oleh
pelaku usaha. Tidak konsistennya sifat putusan BPSK yang final dan mengikat,
yang tidak sejalan dengan tujuan pembentukan BPSK yakni menyelesaikan
sengketa secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Kultur hukum masyarakat
Indonesia sejatinya didominasi oleh Kultur penyelesaian sengketa dengan
mengelola sendiri sengketa tersebut dan diselsaikan dengan secara musyawarah
untuk mencapai mufakat. Penyelesaian sengketa dengan musyawarah untuk
mencapai mufakat dapat dilakukan apabila para pihak berada dalam kesetaraan,
sehingga tidak diperlukan campur tangan pihak ketiga. Cara penyelesaian sengketa
secara musyawarah untuk mencapai mufakat dapat mengurangi rasa permusuhan di
antara para pihak yang bersengketa. Kultur dan penyelesaian sengketa yang
demikian sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, antara
lain nilai kekeluargaan dan musyawarah. Berdasarkan pandangan-pandangan
tersebut, pengaturan tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK harus
18
diarahkan pada penyelesaian secara musyawarah sebagai kultur dasar masyarakat
Indonesia. Putusan BPSK yang didasarkan pada hasil musyawarah harus ditegaskan
bersifat final dan mengikat serta dapat langsung dieksekusi.
Konsep BPSK yang mengadopsi SCT dan SCC yang dibentuk di seluruh
kota kabupaten harus dikembalikan pada roh utama lembaga tersebut. BPSK
merupakan perpaduan antara lembaga ADR (alternative dispute resolution) atau
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang simpel dan fleksibel, dan lembaga
Pengadilan yang memiliki otoritas dalam membuat putusan. Merujuk pada sistem
hukum Lawrence M. Friedman, lembaga BPSK ini adalah subsistem structure yang
disebut sebagai kerangka badan (skeleton), tubuh institusional dari sistem tersebut
(the institutional body of the system). Oleh karena itu BPSK harus didorong menjadi
lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang kuat dan dapat
dipercaya.
Penerapan hukum anggota BPSK perlu terus didorong agar tidak terjebak
pada caracara berhukum yang sangat legal-positivistik. Anggota BPSK perlu
memiliki pandangan ‘skeptisisme peraturan’. Hal ini disebabkan karakteristik
sengketa konsumen seringkali bersifat khas dan kompleks sehingga memerlukan
penyelesaian yang tidak kaku dan terbelenggu bunyi undang-undang, apalagi
dengan substansi UUPK yang terbatas dan beberapa diantaranya bermasalah.
Hukum Progresif tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang ‘datar’, melainkan
mengandung muatan modalitas yang kuat. Modalitas tersebut adalah compassion,
emphaty, sincerety, dan dare. Sebagai konsekuensi dari pardigma ‘hukum untuk
manusia’, maka penegakan hukum tidak boleh bersifat datar, melainkan penuh
dengan keterlibatan nurani untuk melindungi dan melayani manusia. Perlu adanya
unsur akademisi hukum dalam keanggotaan BPSK, agar dapat memberikan
perspektif yang lebih luas dalam memandang hukum bukan hanya yang tertulis
dalam undang-undang saja (law as what in the books), melainkan juga hukum
sebagai realitas yang hidup dalam masyarakat (law in action).
Sehingga budaya hokum perlu dirubah oleh konsumen maupun pelaku
usaha untuk meyakinkan tujuannya para pihak yang bersengketa menuju kerukunan
tanpa permasalahan yang timbul kemudian, maka lebih ditekankan pada cara
19
mediasi dan kompromi yang bias di selesaikan dengan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, dengan BPSK sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang adil,
efektif dan efisien.
PENUTUP
Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Ali, Ahmad, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Iblam,
Jakarta.
B.N. Marbun, 2006, Kamus Hukum Indonesia”, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Nader, Laura dan Harry Todd dalam Ihromi, 1993, Beberapa Catatan Mengenai
Metode Sengketa yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum, dalam
Antropologi Hukum; Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta.
Nasution, A.Z, 2004, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV.
Mandar Maju, Bandung.
Triwulan Tutik, Titik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Pertama, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta.
21
Usman, Rachmadi 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Watson, Alan 2006, Legal Transplants and European Private Law, University of
Belgrade School of Law, Pravni Fakultet, Belgrade.
Widjaya, Gunawan, 2008, Transplantasi Trusts Dalam KUH Perdata, KUHD dan
Undang Undang Pasar Modal Ed. 1. Cet.1, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
2. Sumber Lain
Arsha Putra, I Putu Rasmadi, I Ketut Tjukup, dan Nyoman A. Martana dkk,
Tuntutan Hak dalam Penegakan Hak Lingkungan (Environmental Right)
Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 2, No. 1, Januari – Juni 2016.
Orucu, Esin, Critical Comparative Law: Considering Paradoxes for Legal System
in Transition, Vol. 4.1, June 2000, Netherlands Comparative Law
Association.
22
3. Undang-undang
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
23