Anda di halaman 1dari 13

PENOLAKAN OMNIBUS LAW MENURUT PARADIGMA

SOSIOLOGI HUKUM DAN TEORI KONFLIK

Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan (L)

Dosen Pengampu:

Dr. Agus Riwanto, S.H., S.Ag., M.Ag.

Disusun oleh:

1. Tiara Vicky Merliana (E0020429)


2. Irene Intan Cahyaning Tyas (E0020461)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Omnibus Law yang menjadi peraturan di Indonesia pada prosesnya
mengalami banyak hal dan tidak membuka arus demokrasi dari masyarakat.
Terdapat beberapa pasal yang diubah dan pada akhirnya mendapat penolakan dari
masyarakat salah satunya tentang ketenagakerjaan. Dari sisi sosiologi hukum,
revolusi sosial, sebagai jawaban yang diinginkan oleh masyarakat modern dewasa
ini tidak akan pernah terjadi karena dihambat oleh adanya mobilitas sosial melalui
dekomposisi tenaga kerja dan kelas menengah baru. Pasal yang berpotensi
menjadi alat legalitas melakukan penindasan Hak Asasi Manusia dan diskriminasi
harus dikawal lebih lanjut oleh akademisi sehingga praktek-praktek
penyalahgunaan peraturan dalam Omnibus Law tidak akan terjadi. Rancangan
Undang-Undang Cipta Kerja telah disinggung oleh Joko Widodo pada akhir tahun
2019 yang memuat mengadakan diskusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
segera membuat Undang-Undang sekaligus merevisi puluhan UU yang disebut
Omnibus Law1. Omnibus Law sendiri lahir untuk perbaikan dari berbagai sector
sehingga dapat bertindak untuk mengambil keputusan yang lebih cepat. Dalam
penyusunan Omnibus Law pemerintah seperti memutuskan sebuah kebijakan
reformasi regulasi. Omnibus Law seakan akan menjadi jalan pintas untuk
mengatur karena terdapat sentralisasi kebijakan dari pemerintah pusat.
Sentralisasi ini diharapkan untuk mewujudkan simplikasi perizinan dan peraturan
melalui satu produk hukum. RUU Cipta Kerja ini telah sah menjadi Undang-
Undang pada rapat paripurna tanggal 5 Oktober 20202. Omnibus Law terdiri dari
ribuan halaman untuk melepaskan tumpang tindih peraturan. Untuk pertama
kalinya, pemerintah berkiblat dari tradisi hukum common law, berbeda dengan

1
Kompas.com, (2019), “Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo dalam Pelantikan Periode 2019-
2024”, https://jeo.kompas.com/naskah-lengkap-pidato-presiden-joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-
2019-2024. Diakses 24 Juni 2022.
2
Agustiyanti, (2017), “Jokowi Sebut 42 Ribu Aturan Hambat RI Ikuti Perubahan Global”,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171024125609-92-250596/jokowi-sebut-42-ribu-aturan-
hambat-ri-ikuti-perubahan-global. Diakses 24 Juni 2022.
hukum perundang-undangan lainnya yang mengikuti tradisi civil law. Perubahan
metode yang diterapkan oleh legislatif dalam penyesunannya ini mendapatkan
tentangan dari masyarakat. Sampai saat ini, Omnibus Law masih menjadi isu yang
belum terselesaikan walaupun sudah sah menjadi sebuah Undang-Undang.
Delapan hari setelah pengesahan RUU, terjadi protes oleh masyarakat yang
menentang Omnibus Law. Tidak terkecuali aliansi akademisi yang turut serta
menolak UU tersebut. Berdasarkan kajian, UU Cipta Kerja mengandung cacat
formil dan materiil, mengancam hak asasi manusia, kehidupan berbangsa dan
negara3. Prosedur dan materi UU Cipta kerja dinilai memainkan logika hukum
dan memanipulasi prosedur demokrasi. Maka dari itu, Omnibus Law sebagai
produk hukum baru perlu dikaji lebih dalam karena sebuah Undang-Undang yang
sudah sah namun masih mendapatkan pertentangan dari masyarakat membuktikan
sebuah rakyat yang krisis kepercayaan dan kurangnya legitimasi pemerintah
dalam menjalankan roda pemerintahan. Dari sudut pandang sosiologi hukum,
tentunya undang-undang yang sudah sah dan rampung pengerjaannya dianggap
masih belum selesai sebelum konflik antar rakyat dan pemerintah terselesaikan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka penulis
merumuskan beberapa poin-poin yang akan ditelaah lebih lanjut sebagai berikut :
1. Bagaimana penolakan Omnibus Law ini ditinjau dari sisi sosiologi hukum?
2. Bagaimana penolakan-penolakan yang terjadi dapat melahirkan sebuah
revolusi sosial ditinjau teori konflik?
3. Bagaimana peran dari perusahaan dalam menanggapi proses penolakan oleh
masyarakat?

C. Maksud dan Tujuan


Tulisan ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk mengetahui penolakan
Omnibus Law ditinjau dari sisi sosiologi hukum, mengetahui berbagai penolakan

3
Rosseno Aji, (2020), “Aliansi Akademisi Dukung Demo Tolak Omnibus Law, Sebab…”,
https://nasional.tempo.co/read/1397859/aliansi-akademisi-dukung-demo-tolak-omnibus-law-sebab.
Diakses 24 Juni 2022.
yang terjadi dapat melahirkan sebuah revolusi sosial ditinjau dari teori konflik,
serta mengetahui peran dari perusahaan dalam menanggapi proses penolakan oleh
masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penolakan Omnibus Law Ditinjau dari Sisi Sosiologi Hukum


Pembentukan RUU melalui metode Omnibus Law memunculkan
perlawanan di masyarakat yang materi muatannya menimbulkan kontroversi.
Menurut Fahri Bachmid, omnibus law adalah sebuah konsep produk hukum yang
mempunyai fungsi mengintegrasikan beragam materi, subjek, tema, dan peraturan
perundang-undangan di berbagai bidang menjadi suatu produk hukum yang besar
dan menyeluruh4. Omnibus law dalam UU Cipta Kerja adalah udang-undang baru
yang menyatukan regulasi dan memotong beberapa pasal dari undang-undang
sebelumnya termasuk pasal mengenai ketenagakerjaan yang menjadi peraturan
perundang-undangan yang makin sederhana. Permasalahan mengenai peraturan
perundang-undangan selain dapat dikaji melalui ilmu hukum, dapat juga dikaji
melalui sosiologi hukum. Peraturan perundang-undangan agar menjadi baik dan
fungsional di masyarakat tak hanya diminta untuk memiliki dasar pertimbangan
dari filosofis dan yuridis yang kuat, namun juga perlu adanya pertimbangan dari
sisi sosiologis mengenai ubi ius societas yang menjelaskan bahwa dimana ada
hukum disitu juga ada masyarakat yang sering disebut sebagai hukum dalam
masyarakat (law in society), dimana dalam proses dan pengesahan produk hukum
maka akan mendapatkan penerimaan, protes, dan penolakan dari masyarakat.
Selain itu, dari sisi sosiologi hukum mengenai UU Cipta Kerja dalam menciptakan
kaidah baru seharusnya lebih baik dari sebelumnya. Namun, pada UU Cipta Kerja
tentang ketenagakerjaan terdapat nilai didalam kaidahnya dianggap lebih buruk
dari undang-undang sebelumnya. Hal tersebut berkaitan dengan pengesahan UU
Cipta Kerja yang didapatkan adalah protes dan penolakan dari berbagai lapisan
masyarakat sehingga berpotensi saat undang-undang tersebut diterapkan akan
tetap bermasalah serta tidak berjalan secara efektif.
Masyarakat menganggap bahwa RUU Cipta Kerja yang menjadi UU kini
sangat meresahkan masyarakat, terutama kalangan buruh. Hal itu terjadi karena

4
Hepridayanti dan Agus Machfud Fauzi, (2021), Perlawanan Masyarakat Pada Pengesahan UU Cipta Kerja
Dalam Sudut Pandang Sosiologi Hukum, Jurnal Reformasi Hukum, Vol.15, No.1, Hal 77-91.
ada beberapa alasan yaitu pengabaian perlindungan dan kesejahteraan pekerja,
kualitas upah minimum, pesangon dan jaminan sosial yang telah berkurang.
Berbagai alasan muncul yang menyebabkan perlawanan masyarakat terhadap
RUU Cipta Kerja, berawal dari terbatasnya ruang partisipasi masyarakat hingga
pasal-pasal didalam UU Cipta Kerja yang dianggap bermasalah serta pengesahan
undang-undang cipta kerja yang cenderung tergesa-gesa. Terbatasnya ruang
partisipasi masyarakat, dalam prosesnya dianggap tak transparan pada
masyarakat, dan legislasi yang condong melalaikan demokrasi. Selain itu, tidak
adanya penyebarluasan informasi yang diberikan mengenai bahasan atau draft
RUU Cipta Kerja kepada masyarakat. Oleh karena itu, perjalanan proses
pembuatan UU Cipta Kerja mengakibatkan terbatasnya partisipasi aktif dari
masyarakat dan menjadi jauh dari pemantauan masyarakat. Terdapat pula pasal di
dalam UU Cipta Kerja yang diduga memiliki masalah di pemaknaannya
diantaranya pasal tentang ketenagakerjaan, pasal tentang lingkungan hidup, pasal
tentang pers, dan pasal tentang pendidikan. Hal ini disebabkan adanya anggapan
bahwa UU Cipta Kerja yang hanya mengguntungkan investor dan berpotensi
merugikan hak-hak pekerja. Berdasarkan hal itu, masyaralat lantas melakukan
berbagai perlawanan dan penolakan di berbagai wilayah di Indonesia. Ditinjau
dari sisi sosiologi mengenai perlawanan dan penolakan masyarakat pada
pengesahan UU Cipta Kerja, teori sosiologi modern yang dikemukakan Robert K.
Merton tentang strukturalisme fungsional menggambarkan masyarakat awal
sangat berharga, karena macam tersebut dapat menunjukkan bahwa hukum adalah
fenomena sosial yang bergantung pada faktor lain dalam masyarakat.
Teori struktural fungsional merupakan sistem yang memiliki pengaruh
besar pada ilmu sosial dan memiliki tujuan untuk menggapai tatanan sosial. Jika
terjadi konflik, maka teori structural fungsional akan berfokus pada bagaimana
menyelesaikan permasalahan agar masyarakat tetap seimbang. Selain teori
structural fungsional, pengesahan UU Cipta Kerja ini juga dapat dikaji lewat
fungsi manifest dan juga fungsi laten. Dimana fungsi manifest dari pengesahan
UU Cipta kerja yaitu memberikan peluang lebih banyak untuk investor yang akan
masuk ke Indonesia, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mempermudah
perizinan usaha, membuka lapangan kerja baru, peningkatan produktivitas
pekerja, pemberdayaan UMKM dan koperasi. Selain itu, fungsi laten dalam
pengesahan UU Cipta Kerja yaitu instrumen perizinan yang diatur lebih dominan
kepada para investor dan tenaga kerja asing yang mana menjadi semakin lebih
mudah untuk masuk ke Indonesia dan berdampak pada tenaga kerja Indonesia
yang akan semakin sulit dalam mencari pekerjaan. Pada intinya perspektif
sosiologi hukum menganggap bahwa penolakan tersebut pasti akan terjadi, namun
dalam merespon penolakan tersebut harus memikirkan kelebihan dan kekurangan
dalam setiap tindakan yang akan dilakukan. Bagi pemerintah dalam mengambil
setiap kebijakan setidaknya harus memperhatikan secara matang dampak yang
akan timbul dari diberlakukannya suatu aturan perundang-undangan, terutama
dalam mensejahterakan kehidupan rakyat5.

B. Penolakan-penolakan Yang Terjadi Dapat Melahirkan Sebuah Revolusi


Sosial Ditinjau dari Teori Konflik
Dalam sosiologi hukum mencakup ideologi, hukum itu sendiri, negara
serta individu dalam memandang kasus ini tak hanya selesai dalam pengesahan
Omnibus Law RUU Cipta Kerja, akan teteapi juga mengenai bagaimana
masyarakat dapat menerima keberadaan hukum bagi pemegang otoritas hukum
semuanya diperuntukan bagi tujuan kemanusiaan sebab manusia sendiri
merupakan subjek hukum (przooniljk). Terdapat beberapa perubahan baru dalam
pasal omnibus law yang dinilai merugikan pekerja serta memiliki ancaman dalam
penindasan Hak Asasi Manusia. Demonstrasi mengenai Omnibus Law RUU Cipta
Kerja selama pandemi merupakan indikasi masyarakat Indonesia yang sadar akan
hukum dan memperjuangkan hak-hak mereka. Marx menyebutkan bahwa
masyarakat kapitalis apat menggali lubangnya sendiri dan akan runtuh dengan
revolusi sosial yang dilakukan oleh masyarakat proletar. Dalam hal ini masyarakat
proletar dapat didefiniskan sebagai pekerja yang tidak memiliki kontrol serta
akses terhadap alat-alat produksi. Banyak sekali terjadi demonstrasi serta usaha
yang lain yang dilakukan demi tercapainya perubahan atau revolusi. Akan tetapi,
revolusi dari para pekerja, rakyat, dimana mereka tidak memiliki akses terhadap

5
Hanifah Az Zahra dan Agus Machfud F, (2021), “Dampak Sosial Omnibus Law Cipta Kerja Perspektif
Sosiologi Hukum”, Jurnal Hukum dan Kemanusiaan, Vol.15, No.1, Hal 91-100.
alat produksi ini tidak akan pernah terjadi. Hal ini karna paada perkembangannya
dalam era post-kapitalisme, kepemilikan alat produksi dan kontrol terhadap alat
produksi memiliki pemisahan. Kepemilikan alat produksi tidak lagi menjadi
terbatas, akan tetapi dapat dimiliki oleh siapapun selama individu tersebut
memiliki modal. Hal ini dapat dilihat dalam pasar saham dari perusahaan besar
yang dapat dibeli oleh masyarakat umum.
Revolusi sosial yang selama ini diharapkan tidak mudah untuk terjadi
sebab adanya dekomposisi tenaga kerja. Pekerja memiliki sifat heterogen dan
masih terdapat diferensiasi di dalamnya. Pekerja ataupun kaum buruh bisa terbagi
menjadi terdidik dan tidak terdidik, memiliki saham dan tidak memiliki saham.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan pendemo yang ikut serta turun dalam aksi
demonstrasi. Banyaknya demonstran tidakah sebanding dengan banyaknya angka
tenaga kerja yang telah terikat dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Masih ada
kelompok pekerja yang memilih untuk tidak turun serta dalam aksi. Sehingga,
dapat terlihat jelas diferensiasi pada klas pekerja dan kaum buruh.
Dekomposisi pekerja dapat juga menghadirkan kelas menengah yang
baru. Stratifikasi dalam masyarakat bersifat lebih fleksibel tak seperti pada era
kapitalisme awal. Mobilitas soial yag terjadi dapat terbuka serta siapa saja yang
memenusi persyaratan dapat masuk dalam kelas menengah baru. Syarat tersebut
dapat berupa modal serta menjadi tenaga kerja terdidik dan juga memiliki soft-
skill serta hard-skill yang mumpuni. Seringkali dijumpai hal seperti ini daam
contohnya peningkatan pangkat pada pekerjaan karena prestasi atau kepemilikan
sahamnya. Ketiga poin dari antitesis Dahrendolf terhadap teori Marx dapat
menjelasskan semua rangkaian peristiwa dalam mengawal Omnibus Law RUU
Cipta Kerja di Indonesia ini. Terdapat bebrapa kemungkinan bahwasannya
revolusi sosial pada masyarakat modern tak akan pernah terjadi sebab terhambat
oleh adanya mobilitas sosial melalui dekomposisi tenaga kerja serta kelas
menengah baru6.

6
Nada I Asmani dan Agus M F, (2021), “Penolakan Omnibus Law Menurut Paradigma Sosiologi Hukum
dan Teori Konflik”, Jurnal Imu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, Vol.6, No.1, Hal 102-
112.
Revolusi sosial sebagai tuntutan bagi masyarakat atas penolakan Omnibus
Law RUU Cipta Kerja yang sudah di sahkan akan dinilai tidak mudah untuk
diwijudkan disebabkan perbedaan kelas dan diferensiasi pekerja paa masyarakat
modern. Pasal-pasal yang memiliki potensi menjadi alat legalitas guna melakukan
penindasan Hak Asasi Manusia serta diskriminasi perusahaan terhadap pekerja
harus terus dikawal lebih lanjut oleh akademisi sehingga dalam prakteknya
penyalahgunaan peraturan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak akan
terjadi.

C. Peran Dari Perusahaan Dalam Menanggapi Proses Penolakan Oleh


Masyarakat
Pihak perusahaan menjadi salah satu kekuatan yang memberikan
dukungan kepada pihak legislatif untuk menyegerakan Rancangan Undang-
Undang Omnibus Law. Beberapa perusahaan, ada yang melarang pekerjanya
untuk ikut aksi, tetapi ada juga beberapa perusahaan yang mengizinkan
pekerjanya terjun dalam aksi penolakan UU Cipta Kerja. Perusahaan yang
melarang pekerjanya untuk mengikuti aksi penolakan UU Cipta Kerja
mengancam akan memutus hubungan kerja (PHK) untuk pekerja yang melakukan
aksi mogok kerja karena menolak UU Cipta Kerja, mereka menggunakan
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 137 bahwa
PHK diperkenankan karena aksi mogok nasional buruh dinilai ilegal dan bukan
karena negosiasi yang gagal7. Namun, menurut pengamat ketenagakerjaan di
Universitas Airlangga, Hadi Subhan beranggapan bahwa PHK tidak bisa
dilakukan dalam hal ini karena penggunaan undang-undang yang relevan tidak
tepat, dan perlawanan menolak UU Omnibus Law itu hanya demonstrasi bukan
pemogokan kerja. Penolakan ini dilakukan untuk menyampaikan tuntutan
langsung kepada perusahaan, maka tindakan tersebut bisa disebut mogok kerja,
yang berbeda dengan tuntuntan pekerja yang saat ini diperlihatkan kepada
pemerintah. Maka dari itu, apabila perusahan melakukan intimidasi kepada

7
Hepridayanti dan Agus Machfud Fauzi, (2021), Perlawanan Masyarakat Pada Pengesahan UU Cipta Kerja
Dalam Sudut Pandang Sosiologi Hukum, Jurnal Reformasi Hukum, Vol.15, No.1, Hal 77-91.
pekerja yang melakukan aksi penolakan UU Cipta Kerja, maka pekerja tersebut
akan mendapatkan pendampingan hukum untuk menindak lanjuti intimidasi yang
dilakukan perusahaan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat kita simpukan bahwasannya
Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dalam beberapa waktu telah disusun oleh
pemerintah, dimana dalam penciptaannya tidak pernah lepas dari tujuan
pemerintah sendiri untuk mampu mngatur para pekerja dari berbagai sektor. Akan
tetapi, RUU Cipta Kerja merupakan produk hukum yang telah disusun serta
disahkan pada 5 Oktober 2020 justru menuai kontroversi bagi masyarakat,
utamanya bagi kaum buruh yang merasa sangat dirugikan dengan adanya RUU
Cipta Kerja ini. Penolakan ini terjadi pada kalangan buruh dan didukung dengan
kalangan mahasiswa. Mereka yang menolak RUU ini menggelar aksi demo
bersama elemen butur, organisasi non pemerintah, serikat buruh serta mahasiswa.
Pada pihak pemerintah sendiri telah mendesak agar RUU tersebut segera
disahkan. Kepentingan yang berbeda inilah yang memicu terjadinya demonstrasi.
Aksi demo juga dikarenakan terjadinya perubahan keseimbangan dala masyarakat
yang dikhawatirkan oleh kalangan buruh akan hilangnya hak hak mereka. Secara
sosiologi hukum, demonstrasi berkaitan dengan konflik serta faktor penyebabnya.
Teori konflik dari beberapa tokoh juga menjelaskan bahwa konflik terjadi sebab
kebutuhan yang tidak terpenuhi baik kebutuhan secara mental, fisik maupun
sosial. Posisi yang berbeda-beda di dalam kehidupan masyarakat memunculkan
otoritas dan konsesnsus yang berbeda pula. Jadi, dalam setiap posisi mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda. Dalam kasus ini berarti bahwa pemerintah serta
pihak demonstran mempunyai kepentingan masing-masing. Pemegang otoritas
juga mempunyai kekuatan guna menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang
melanggar aturan yang sudah ditetapkan.

B. Saran
Sebelum mengadopsi konsep hukum Omnibus Law pada pembentukan
peraturan perundang-undangan , pemerintah beserta Dewan Perwakilan Rakyat
perlu untuk melakukan kajian lebih lanjut terhadap peraturan mana saja yang
memerlukan revisi. Kemudian, dalam proses legislasi, DPR seharusnya
melakukan diskusi terbuka bersama dengan pemerintah serta memberikan ruang
yang seluas-luasnya bagi pastisipasi masyarakat. Dengan diadakan dengan adanya
trasnparansi serta keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Omnibus Law RUU
Cipta Kerja dan juga tidak tergesa-gesa dalam pembentukannya, dapat
meminimalisir bentuk perlawanan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Agustiyanti, (2017), “Jokowi Sebut 42 Ribu Aturan Hambat RI Ikuti Perubahan Global”,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171024125609-92-250596/jokowi-
sebut-42-ribu-aturan-hambat-ri-ikuti-perubahan-global. Diakses 24 Juni 2022.
Fajar Kurniawan, (2020) “Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja Dengan Konsep
Omnibus Law Pada Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 Tentang
Pemberian Pesnagon Kepada Pekerja yang di PHK’’, Jurnal Panorama Hukum,
Vol. 5, No. 1.
Ferdi Gultom dan Agus M F, (2021), “Demo Penolakan RUU Cipta Kerja dalam
Kacamata Teori Konflik Sosiologi”, Doktrina: Journal of Law, Vol. 4, No.1, Hal
53-67.
Hanifah Az Zahra dan Agus M F, (2021), “Dampak Sosial Omnibus Law Cipta Kerja
Perspektif Sosiologi Hukum”, Jurnal Hukum dan Kemanusiaan, Vol.15, No.1,
Hal 91-100.
Hepridayanti dan Agus M F, (2021), Perlawanan Masyarakat Pada Pengesahan UU Cipta
Kerja Dalam Sudut Pandang Sosiologi Hukum, Jurnal Reformasi Hukum, Vol.15,
No.1, Hal 77-91.
Kompas.com, (2019), “Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo dalam Pelantikan
Periode 2019- 2024”, https://jeo.kompas.com/naskah-lengkap-pidato-presiden-
joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-2019-2024. Diakses 24 Juni 2022.
Munadhil Abdul Muqsith, (2020) “UU Omnibus Law yang Kontoversial”, Jurnal
ADALAH: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No.3.
Nada I Asmani dan Agus M F, (2021), “Penolakan Omnibus Law Menurut Paradigma
Sosiologi Hukum dan Teori Konflik”, Jurnal Imu Hukum, Perundang-undangan
dan Pranata Sosial, Vol.6, No.1, Hal 102-112.
Rosseno Aji, (2020), “Aliansi Akademisi Dukung Demo Tolak Omnibus Law, Sebab…”,
https://nasional.tempo.co/read/1397859/aliansi-akademisi-dukung-demo-tolak-
omnibus-law-sebab. Diakses 24 Juni 2022.

Anda mungkin juga menyukai