Anda di halaman 1dari 17

PERSPEKTIF HUKUM ALAM DALAM REVISI UNDANG-UNDANG

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT HUKUM

OLEH:
ALVIN JOE,SH
NIM: 230721010036

UNIVERSITAS SAMRATULANGI
MAGISTER HUKUM
MANADO
2023

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................................................3
B.Rumusan Masalah.....................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………7
A. Hukum Alam dalam Konstruksi Sistem Hukum..................................................................7
B. Revisi UU KPK dalam Perspektif Hukum Alam................................................................11
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................15
A. Kesimpulan.........................................................................................................................15
B. Saran...................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Revisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti peninjauan


(pemeriksaan) kembali untuk perbaikan.1 Dalam Black Law Dictionary, Revise
berarti To review, re-examine for correction; to go over a thing for the purpose of
amending, correcting, rearranging, or otherwise improving it; as, to revise
statutes, or a judgment.2 Secara lebih khusus, Black Law Dictionary memberikan
definisi mengenai revision of statue yaitu an examination and the review of an
existing law with the possibility of restating the law to improve it.3 Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa revisi (khususnya revisi undang-undang)
adalah merupakan upaya untuk melakukan pengujian, perbaikan, dan perubahan
terhadap suatu undang-undang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.4
Terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam peraturan perundang-undangan dilihat
dalam tiga aspek yaitu aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. 5 Unsur filosofis
diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan

1
https://kbbi.web.id/revisi (Diakses pada tanggal 24 September Pukul 11.34 WIB).
2
https://thelawdictionary.org/revise/ (Diakses pada tanggal 24 September Pukul 11.39
WIB).
3
https://thelawdictionary.org/revision-of-statute/ (Diakses pada tanggal 24 September
Pukul 11.44 WIB).
4
Kebutuhan masyarakat dalam hal ini berkaitan juga dengan perkembangan zaman, yang
berdampak dalam berbagai kehidupan masyarakat baik itu dalam faktor politik, ekonomi, hukum,
teknologi, sosial, dan faktor-faktor lainnya.
5
Oleh Jimly Asshidiqie pembentukan sebuah aturan tidak hanya memperhatikan aspek
filosofis, sosiologis, dan yuridis melainkan juga harus memperhatikan faktor politis dan
administratif. Lebih lanjut dalam Muhtadi, “Tiga Landasan Keberlakuan Peraturan Daerah (Studi
Kasus Raperda Penyertaan Modal Pemerintah Kota Bandar Lampung Kepada Perusahaan Air
Minum “Way Rilau” di Kota Bandar Lampung”, Jurnal Fiat Justisia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2013,
hlm. 213.
3
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Kemudian unsur
yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. 6 Dengan
demikian maka revisi suatu undang-undang diperlukan untuk memenuhi aspek
filosofis, sosiologis, dan yuridis supaya sesuai dengan kehendak dan
perkembangan masyarakat.

Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya


disebut Revisi UU KPK) menjadi “buah bibir” di kalangan masyarakat umum,
khususnya mahasiswa. Mahasiswa khususnya memberikan respon dengan adanya
aksi massa yang dilakukan di beberapa kota diantaranya Yogyakarta, Jakarta,
Surabaya, Malang, dan dimungkinkan akan disusul oleh beberapa mahasiswa dari
berbagai daerah di Indonesia.7 Respon mahasiswa yang kritis dan dinamis tersebut
membuktikan bahwa begitu penting dan krusialnya UU KPK ini sehingga sikap
para mahasiswa dan masyarakat pada umumnya menjadi sangat kritis dan
responsif terkait dengan permasalahan ini.

Revisi UU KPK sejatinya berkaitan dengan kedudukan KPK dalam


lembaga negara (termasuk berkaitan dengan independensi KPK), fungsi dan tugas
KPK yang diperbaharui, serta prioritas penyelesaian suatu perkara korupsi yang
ditangani oleh KPK. Dengan demikian, maka masalah revisi UU KPK ini
sejatinya dapat dipandang dari berbagai sudut pandang, namun jika dilihat dari

6
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt59394de7562ff/arti-landasan-filosofis--
sosiologis--dan-yuridis (Diakses pada tanggal 24 September Pukul 12.15 WIB).
7
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/09142281/mahasiswa-tuntutan-kami-jelas-
batalkan-rkuhp-dan-uu-kpk-enggak-ada?page=all (Diakses pada tanggal 24 September Pukul
12.25 WIB).

4
inti permasalahannya, maka revisi UU KPK ini sangat dominan dalam perspektif
hukum. Hal ini tidak berarti bahwa masalah hukum hanya berkaitan dengan
rumpun dan keilmuwan hukum itu sendiri, melainkan sebagaimana yang
disampaikan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “ilmu hukum memiliki hakikat
interdisipliner” sehingga perkembangan hukum juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain di luar hukum.8 Dalam hal ini, undang-undang dapat dilihat dari dua
segi, yaitu sebagai produk politik dan di satu sisi sebagai produk hukum. Undang-
undang sebagai produk politik9 menegaskan bahwa dalam pembuatan suatu
undang-undang, biasanya dipengaruhi oleh konfigurasi-konfigurasi politik yang
berkembang pada saat itu. Hal ini juga sebagaimana yang disampaikan oleh Philip
Nonet dan Philip Selznick10 yang menyatakan bahwa tiga bentuk hukum yang
dipengaruhi oleh politik hukum suatu negara, yaitu: repressive law, autonomous
law, dan responsive law. Hal ini oleh Philip Nonet dan Philip Selznick
digambarkan bahwa hukum tidak sepenuhnya berada pada kondisi yang “netral”
dan “independen” karena selalu berkaitan dan berkelindan dengan realitas
sosialnya. Selain itu hubungan antara konfigurasi politik dengan produk hukum
suatu negara digambarkan oleh Mahfud MD dalam gambar berikut.

Gambar 1. Pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum

8
Mansyur Efendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dinamika/Dimensi Hukum,
Politik, Ekonomi, dan Sosial, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 40.
9
Dalam hal ini digunakan istilah “undang-undang sebagai produk politik, bukan hukum
sebagai produk politik”. Hal ini untuk mempertegas bahwa independensi hukum tetap ada dan
terjaga untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan. Kata kunci untuk memudahkan pembedaan antara
hukum dan undang undang dapat dilihat dalam pembedaan istilah ius dan lex. Lebih lanjut dapat
dilihat dalam Sven Gunther, Is Ius Equal To Lex? Or: What Is Ius Civile? A Greco-Roman
Approximation In The Institutes Of Justinian, Journal Acta Classica Vol. LXII No. 1, Juli 2019,
hlm. 70-72.
10
Lebih lanjut dapat dilihat dalam Ryan Muthiara Wasti, “Pengaruh Konvigurasi Politik
Terhadap Produk Hukum Pada Masa Pemerintahan Soeharto di Indonesia”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke- 45 No. 1, Maret 2015, hlm. 84-85.

5
Berdasarkan konsep diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu produk hukum (dalam
hal ini termasuk RUU KPK) juga dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang
menyertainya. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis revisi UU KPK
dalam perspektif hukum alam atau hukum kodrat.

B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Alam dalam Konstruksi Sistem Hukum?

2. Bagaimana Perspektif Hukum alam dalam Revisi UU KPK?

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Alam dalam Konstruksi Sistem Hukum

Hukum alam (the natural right/natural law) merupakan suatu teori hukum
yang memandang hukum secara universal, sehingga hukum dipandang memiliki
prinisip-prinsip bagi semua umat manusia.11 Dengan demikian, maka hukum alam
tidak mengatur secara detail sehingga hanya bersifat umum, abstrak, dan reflektif.
12
Hukum alam juga memiliki hubungan yang erat dengan adanya postulat hukum
(jural postulates), keadilan substansial (substantial justice), dan prinsip-prinsip
fundamental dari ilmu hukum (fundamental principles of law). Meski masih
bersifat teoretis dan abstrak, namun hukum alam tidak dapat dinyatakan berada
pada ruang hampa (awang-awang). Hal ini dikarenakan ketika kaidah hukum
alam yang abstrak tersebut turun membumi dan diterapkan dalam kasus konkret,
maka hukum alam akan memiliki implikasi yang signifikan dalam kehidupan
manusia.13 Hal ini dapat dicontohkan ketika hukum alam berbicara mengenai trias
politica, euthanasia, hukuman mati, hak pilih rakyat, dan lain sebagainya.

Hukum alam sebagai sebuah paradigma yang berkembang pesat pada


masa awal Yunani kuno banyak mendasarkan pada pemikiran-pemikiran dari
Aristoteles. Aristoteles secara umum membagi keadilan menjadi lima jenis. Lima
jenis keadilan tersebut didasari pada sebuah dasar yang bernama hukum alam.
Menurut Aristoteles, hukum alam merupakan kebebasan yang dapat dinikmati
oleh setiap warga polis yang mengikuti kegiatan politik. Kebebasan yang dimiliki
oleh setiap warga polis tersebut adalah berbeda-beda sesuai dengan peran setiap
warga di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, berikut ini merupakan lima tipe

11
Khoirur Rizal Lutfi, “Teori Hukum Alam dan Kepatuhan Negara Terhadap Hukum
Internasional”, Jurnal Yuridis No.1 Vol. 1, Juni 2014, hlm. 96.
12
Munir Fuadi, 2014, Teori-Teori Besar (Grand Theori dalam Hukum), Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, hlm. 39.
13
Ibid.

7
keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles berdasarkan atas teori hukum alam,
yaitu14:

1. Keadilan mengenai pembagian jabatan dan benda publik.


Pembagian ini berdasarkan atas persamaan geometris, sehingga secara
umum berlaku sebuah prinsip bahwa “kepada yang sama penting
diberikan yang sama, kepada yang tidak sama penting, diberikan
yang tidak sama”.
2. Keadilan dalam transaksi jual-beli.
Keadilan ini oleh aristoteles dikaitkan dengan prinsip “harga barang
berbanding terbalik dengan posisi kedua orang dalam masyarakat”.
Dengan demikian, harga barang dalam masyarakat dianggap adil apabila
dalam transaksi jual beli, melihat pada aspek dengan siapa kita menjual
dan siapa yang membelinya.
3. Keailan dalam hukum pidana
Bagi Aristoteles, keadilan dalam hukum pidana juga dilakukan atas
persamaan geometris. Dalam hal ini Aristoteles melihat bahwa keadilan
dalam hukum pidana berkaitan dengan siapa yang melakukan suatu tindak
pidana tersebut. Hal ini bisa saja seorang pangeran melakukan tindak
pidana tertentu kepada masyarakat yang hanya dikenai hukuman selama
tiga bulan, sedangkan ketika rakyat menghina seorang raja, rakyat tersebut
dapat dikenai hukuman mati. Hal ini dimungkinkan terjadi sesuai pendapat
Aristoteles karena hukum pidana juga melihat siapa dan kedudukan yang
melakukan tindak pidana tersebut. Hal ini berkaitan dengan dampak dari
adanya suatu tindak pidana tersebut. Meski begitu, Aristoteles menolak
prinsip “lex talionis” yaitu prinsip pembalasan yang mengedepankan
bahwa “mata dibalas dengan mata, gigi dibalas dengan gigi”. Oleh karena
itu, mesi melakukan tindak pidana yang notabene sama, hal itu dapat
dibedakan sanksi hukumnya karena berbeda kedudukan individu dalam
suatu masyarakat.

14
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 30-31.

8
4. Keadilan dalam bidang privat.
Keadilan privat ini berdasarkan atas kesamaan asimetris. Hal ini bisa
dicontohkan apabila seseorang mencuri maka ia harus dihukum sesuai apa
yang terjadi, dengan tidak mengindahkan kedudukan dari kedua belah
pihak. Berdasarkan prinsip ini, Aristoteles menolak adanya bunga dari
uang. Hal ini dimaksudkan supaya uang adalah alat untuk menentukan
secara jelas harga barang, tidak untuk yang lain. Oleh karena itu,
berlakulah prinsip “pecunia non parit pecuniam”, yang artinya bahwa
uang tidak boleh menghasilkan uang.
5. Keadilan dalam bidang penafsiran hukum
Keadilan dalam hal ini ditekankan pada aspek sifat keumuman dari
undang-undang yang harus diterapkan pada kasus yang konkret. Menurut
Aristoteles, hakim supaya bertindak secara in concreto, atau seolah-olah ia
menyaksikan diri peristiwa tersebut. Dalam penerapan hukum secara in
concreto ini tidak berlaku kesamaan geometris dan asimetris lagi,
melainkan lebih menekankan pada epikea, yaitu sesuatu yang berkaitan
dengan rasa pantas yang berkaitan dengan prinsip-prinsip regulatif di mana
prinsip ini memberikan pedoman bagi praktik hidup negara melalui
hukum.

Pemikiran Aristoteles dalam hukum alam menjadi landasan berpijak para


pemikir setelah Aristoteles. Salah satu tokoh yang kemudian menjadi “jembatan”
antara perspektif hukum alam dengan agama adalah St. Agustinus. Salah satu
ajaran St. Agustinus yang berdasarkan atas perspektif hukum alam yaitu “Jangan
engkau berbuat kepada orang lain apa yang engkau tidak inginkan orang berbuat
kepadamu”. Ajaran St. Agustinus kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas
yang menyatakan bahwa hukum alam merupakan hasil akal budi manusia (rasio)
yang bersumber dari tuhan. Dalam hal ini Thomas Aquinas juga mengembangkan
asas hukum dalam perspektif hukum alam diantaranya “jangan merugikan orang
lain”, “jangan membunuh”, dan “jangan mencuri”.15

15
F.X. Adji Samekto, “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum
Doktrinal”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1, Januari 2012, hlm. 76-77.

9
Hukum alam di bidang kenegaraan atau kepemerintahan salah satunya
dikembangkan oleh Montesquieu. Montesquieu mengedepankan sebuah ajaran
yang terkenal sebagai “the separation of power” atau trias politica yang
menkankan bahwa kekuasaan harus dibatasi supaya menghindari kesewenang-
wenangan.16 Dalam membahas revisi UU KPK ini akan berfokus pada konsep
trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu.

10
B. Revisi UU KPK dalam Perspektif Hukum Alam

Revisi UU KPK sejatinya sudah sejak lama didengungkan terutama pada


masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun baru terlaksana
pada masa Presiden Joko Widodo, tepatnya pada tahun 2019.17 Tepatnya pada
tahun 2019, Pemerintah bersama DPR mengesahkan RUU KPK menjadi revisi
UU KPK. Hal ini mengakibatkan bahwa revisi UU KPK sudah fix menjadi
undang-undang, tinggal menunggu proses administratif untuk mendapat
salinannya. Dalam beberapa tuntutan mahasiswa, terdapat beberapa hal yang
“rancu” dan dianggap melemahkan KPK, beberapa hal tersebut sekaligus akan
dibahas dan dilihat dalam perspektif hukum alam, khususnya berdasarkan atas
konsep trias politica menurut Montesquieu. Beberapa hal yang menjadi polemik
dalam RUU KPK yaitu:

1. Pasal 1 angka 7 dan Pasal 24 ayat (2) yang menegaskan bahwa


pegawai KPK tidak lagi independen dan status pegawai negeri tetap akan
berubah. Hal ini jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 36/PUU-XV/201718 yang berkaitan dengan hak angket DPR atas KPK.
Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa kedudukan KPK adalah sebagai
bagian dari lembaga eksekutif sehingga KPK juga merupakan bagian dari
subjek hak angket oleh DPR. Meski begitu, hak angket DPR terhadap KPK
tidak dapat dilakukan terhadap kegiatan KPK yang merupakan ranah pro-

16
Daya Negri Wijaya, “Montesquieu dan Makna Sebuah Keadilan”, Jurnal Ilmiah
Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 1 No. 02, Desember 2016, hlm. 81.
17
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/17/16171491/jalan-panjang-revisi-uu-kpk-
ditolak-berkali-kali-hingga-disahkan?page=all (Diakses pada tanggal 25 September Pukul 12.25
WIB).
18
https://mkri.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=36%2FPUU-
XV%2F2017 (Diakses pada tanggal 25 September Pukul 13.25 WIB).

11
justisia, diantaranya adalah: penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka secara sederhana secara fungsional KPK tetap
bersifat independen, sedangkan secara struktural KPK berada dalam ranah
eksekutif atau bertanggung jawab terhadap pemerintah. Sehingga masalah status
pegawai berubah adalah tetap tidak masalah, selama upaya fungsional dari KPK
untuk menegakkan hukum untuk tetap diperkuat dan ditingkatkan
independensinya. Hal inii berdasarkan asas hukum yang berbunyi “Inde
datae leges be fortior omnia posset” yang berarti hukum dibuat, jika
tidak maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak
terbatas. Sehingga pembatasan kekuasaan KPK dan perubahan status
pegawai negeri adalah dapat dibenarkan selama kegiatan pro-justisia
KPK tetap dijaga dan diperkuat independensinya.
2. Pasal 12b dan Pasal 12c yang menegaskan bahwa KPK perlu meminta
izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penyitaan,
dan penggeledahan. Adanya Dewan Pengawas dalam KPK sejatinya
dapat dibenarkan jika Dewan Pengawas dikaitkan dengan lembaga
pengawasan eksternal yang berfungsi secara structural, karena secara
strukural KPK merupakan bagian dari lembaga eksekutif, meskipun
secara fungsional KPK merupakan lembaga yang independen. Jika proses
penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan yang merupakan rangkaian
proses pro-justisia yang harusnya tidak boleh dicampuri oleh pihak
manapun. Hal ini dapat menghambat proses pro-justisia KPK karena
harus meminta izin terlebih dahulu kepada Dewan Pengawas yang dapat
menciderai esensi due process of law serta bertentangan dengan asas
hukum yang berbunyi “justitiae non est neganda, non differenda”, yang
berarti keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda. Sehingga,
kewajiban izin bagi KPK dalam melakukan penyadapan, penyitaan, dan
penggeledahan kepada Dewan Pengawas adalah tidak dapat dibenarkan
dan cenderung mereduksi esensi penegakan hukum korupsi.
3. Pasal 43 dan 43a yang menegaskan bahwa penyelidik hanya boleh dari
kepolisian. Hal ini jika dikaitkan dengan Hukum Acara Pidana secara
umum yang berdasarkan atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) maka penyelidik hanya boleh dari kepolisian. Akan

12
tetapi jika melihat fungsi dari KPK untuk memberantas korupsi dan
korupsi juga merupakan suatu tindak pidana khusus yang hukum
acaranya berbeda atau berada di luar KUHAP maka hal ini jelas
bertentangan dengan esensi dari didudukkannya korupsi sebagai suatu
extraordinary crime sehingga hukum acaranya harus berbeda dengan
KUHAP pada umumnya. Sehingga, hal ini bertentangan dengan asas
hukum yang berbunyi Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua yang
berarti bahwa Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak
layak.
4. Pasal 45 dan 45a tentang tidak adanya penyidik yang independen. Hal
ini justru bertentangan dengan Putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015
yang sejatinya memberikan pembolehan terhadap KPK untuk merekrut
penyidik independen. Meski begitu, terkait dengan hal ini, Putusan MK
Nomor 109/PUU-XIII/2015 sejatinya hanya memuat ketentuan
diskresional bagi KPK untuk merekrut penyidik independen. Hal ini
dapat mengarah pada konsepsi open legal policy yang secara hukum
konstitusional yang merupakan ranah lembaga legislatif. Hal ini
sebagaimana dalam asas hukum yang berbunyi Cum duo inter se
pugnantia reperiuntur in testamento, iltimum ratum est yang berarti
Jika terdapat perbedaan dalam suatu hakikat, maka terlihat jelas
adanya 2 persepsi yang berbeda. Dengan demikian maka dalam pasal
ini harus dianalisis secara teknis supaya lebih optimal.
5. Pasal 12 a tentang penuntutan KPK tidak lagi independen (harus
koordinasi dengan kejaksaan agung). Dalam hal ini berkaitan dengan
independensi KPK maka dapat ditegaskan sekali lagi bahwa KPK itu
independen secara fungsional tapi menjadi lembaga eksekutif secara
struktural. Dengan demikian, maka koordinasi dengan kejaksaan agung
dalam proses penuntutan di KPK adalah tidak bertentangan dengan
konsep trias politica karena secara struktural antara KPK dan Jaksa
Agung merupakan sama-sama lembaga eksekutif. Hal yang perlu
menjadi permasalahan adalah peraturan pelaksana dari Pasal 12 a
tersebut. Sehingga hal ini sesuai dengan asas hukum yang berbunyi
“Lex

13
nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam” yang berarti bahwa
“Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan
tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.”
6. Pasal 12 dan Pasal 11 huruf b tentang hilangnya kriteria kasus yang
meresahkan publik, serta perkara yang menjadi perhatian masyarakat.
UU KPK sebelum direvisi telah memberikan penekanan tentang adanya
prioritas bagi kasus yang meresahkan publik. Secara umum, kasus yang
meresahkan publik dalam UU KPK sebelum revisi menimbulkan
kekaburan hukum serta tidak memiliki kepastian hukum. Hal ini
dikarenakan tidak dijelaskannya parameter tentang kasus yang
meresahkan publik. Harusnya parameter meresahkan publik dijelaskan
dalam UU KPK sebelum revisi. Namun, keberadaan revisi UU KPK yang
menghilangkan kriteria kasus yang meresahkan publik dapat mereduksi
tingkat kepercayaan masyarakat. Hal ini berdasarkan atas asas hukum
yang berbunyi “Le salut du people est la supreme loi” yang artinya
bahwa “hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat”.
Harusnya prioritas kasus yang meresahkan masyarakat tetap diadakan
dengan penambahan parameter kriteria tetnag kasus yang meresahkan
masyarakat tersebut.
7. Pembatasan kewenangan KPK dalam mengelola Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara dibatasi
Pembatasan mengenai kewenangan KPK dalam mengelola Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sebenarnya perlu dikaji lebih
lanjut. Hal ini karena KPK seringkali menemui ketidakpatuhan beberapa
lembaga terhadap LHKPN. Jika menilik kembali dalam sebuah asas
hukum yang berbunyi “Malus Bonum Ubi Se Simulat Tum Est
Pessimus” yang artinya bahwa “Penjahat tidaklah lebih jahat kecuali
bila ia berpura – pura berbudi”. Sehingga potensi korupsi akan lebih
besar jika KPK dilemahkan dalam mengelola LHKPN.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada revisi UU KPK tersebut bisa ditilik dari dua sisi yaitu
apakah ini merupakan penguatan atau justru pelemahan. Jika dilihat secara umum, revisi
UU KPK juga telah mengejawentahkan konsepsi hukum alam khususnya terkait ajaran
pemisahan kekuasaan. Khususnya ketika secara struktural KPK dikatakan independen
sedangkan secara fungsional KPK sebagai lembaga eksekutif. Namun, tak jarang
beberapa poin dalam revisi UU KPK justru merupakan upaya untuk memberi kepastian
hukum pada KPK serta memperkuat KPK dan bertentangan dengan ajaran hukum alam.
Namun terlepas pro maupun kontra, solusi supaya revisi UU KPK untuk dapat dibenahi
adalah dengan mengembalikan kepada konteks hukum alam, di mana salah satu
pengejawentahannya dalam dunia peradilan ada di Mahkamah Konstitusi. Sehingga
constitutional review menjadi langkah yang progresif dan optimal selain langkah aksi
dan petisi yang berfokus pada penyuaraan aspirasi.

B. Saran

Dalam constitutional review yang perlu diutamakan adalah pengujian secara


formil, maupun materil, karena jika hanya secara materil, akan berpotensi dibatalkan
oleh MK dengan alasan open legal policy, oleh karena itu perlu dimaksimalkan pada
pengujian secara formilnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Efendi, Mansyur dan Taufani S. Evandri. 2012. HAM dalam


Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial. Bogor: Ghalia
Indonesia.

Fuadi, Munir. 2014. Teori-Teori Besar (Grand Theori dalam Hukum). Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.

Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:


Kanisius.

B. Jurnal Ilmiah

Adji Samekto, F.X. “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran


Hukum Doktrinal”,.Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1.Januari 2012.

Gunther, Sven Is. Ius Equal To Lex? Or: What Is Ius Civile? A Greco-Roman
Approximation In The Institutes Of Justinian. Journal Acta Classica Vol.
LXII No. 1. Juli 2019.

Lutfi, Khoirur Rizal. “Teori Hukum Alam dan Kepatuhan Negara Terhadap
Hukum Internasional”. Jurnal Yuridis No.1 Vol. 1. Juni 2014.

Muhtadi. “Tiga Landasan Keberlakuan Peraturan Daerah (Studi Kasus Raperda


Penyertaan Modal Pemerintah Kota Bandar Lampung Kepada Perusahaan
Air Minum “Way Rilau” di Kota Bandar Lampung”. Jurnal Fiat Justisia.
Vol. 7 No. 2, Agustus 2013.

Wasti, Ryan Muthiara .“Pengaruh Konvigurasi Politik Terhadap Produk Hukum


Pada Masa Pemerintahan Soeharto di Indonesia”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke- 45 No. 1, Maret 2015.

Wijaya, Daya Negri “Montesquieu dan Makna Sebuah Keadilan”.Jurnal Ilmiah


Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 1 No. 02. Desember 2016.

16
C. Website

https://kbbi.web.id/revisi (Diakses pada tanggal 24 September Pukul 11.34 WIB).


https://thelawdictionary.org/revise/ (Diakses pada tanggal 24 September Pukul
11.39 WIB).
https://thelawdictionary.org/revision-of-statute/ (Diakses pada tanggal 24
September Pukul 11.44 WIB).
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt59394de7562ff/arti-landasan-
filosofis--sosiologis--dan-yuridis (Diakses pada tanggal 24 September Pukul
12.15 WIB).
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/09142281/mahasiswa-tuntutan-
kami-jelas-batalkan-rkuhp-dan-uu-kpk-enggak-ada?page=all (Diakses pada
tanggal 24 September Pukul 12.25 WIB).
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/17/16171491/jalan-panjang-revisi-uu-
kpk-ditolak-berkali-kali-hingga-disahkan?page=all (Diakses pada tanggal
25 September Pukul 12.25 WIB).
https://mkri.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=36%2FPUU-
XV%2F2017 (Diakses pada tanggal 25 September Pukul 13.25 WIB).

17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai