Anda di halaman 1dari 7

PENGANTAR ILMU HUKUM

Review Jurnal Manusia, Hukum dan Masyarakat

Nama : Maulita Firdarani


NIM : 11191130000043
Kelas : HI 2 B
Dosen : Dr. Fitra Deni SH., M.Si., M.Kn.

Judul Jurnal : Pembentukan Undang-Undang yang Mengikuti Masyarakat


Penulis : Muhammad Fadli
Dimuat di : Jurnal Legislasi Indonesia
Tahun Publikasi : 2018
Link : http://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/12/pdf

Abstrak
Undang-undang merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
memiliki proses pembentukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang dibentuk dengan
cermat dan hati-hati karena menyangkut kepentingan masyarakat dan negara, tahap pembentukan
undang-undang melewati proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan. Namun, dalam pembentukannya, Undang-undang relatif lama
dan justru malah tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dengan perkembangannya. Maka dari
itu, Perppu menjadi salah satu alternative solusi dengan mempertimbangkan memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat. Kemudian, memberikan kewenangan kepada institusi yang telah
ada untuk mengulas kembali Undang-undang yang tidak sesuai lagi terhadap perkembangan
masyarakat.

1. Latar Belakang

Pembentukan setiap peraturan perundang-undangan berbeda-beda baik dari tahapannya


maupun pembahasannya. Pembentukan undang-undang memiliki proses yang lama menilik dari
prosedur yang harus dilalui, ini karena undang-undang merupakan peraturan yang menyangkut
kepentingan masyarakat luas dengan macam-macam karakteristik harus dilakukan seksama dan
hati-hati. Peraturan yang dijadikan pedoman dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan
saat ini adalah UU P3. UU P3 saat ini menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dianggap masih terdapat kekurangan
dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu untuk diganti.
Hal tersebut memperjelas bahwa undang-undang dalam pembentukannya melalui proses
yang panjang, terutama dalam pembahasannya di lembaga legislatif. Hal ini harusnya menjadi
perhatian bagi pemerintah, DPR, dan semua pemangku kebijakan. Karena banyak RUU yang
berlarut-larut dalam pembahasan dan perdebatan yang tidak menghasilkan titik temu,
mengakibatkan terabaikannya kepentingan rakyat yang bersifat urgent. Padahal, dinamika
masyarakat bergerak dengan cepat, dan kepastian hukum mengenai beberapa aspek yang juga
berubah sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Pembahasan ini akan menghubungkan antara
pembentukan undang-undang oleh badan legislative, politik hukum, dan dampak yang
ditimbulkan kepada perkembangan masyarakat.

2. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
bagaimana pembentukan undang-undang di Indonesia yang merupakan negara Reechstat, dan
bertradisi hukum civil law, dan bagaimana solusi agar dapat menciptakan suasana hukum yang
responsive dalam mengikuti dinamika sosial yang berkembang di masyarakat agar tidak
terjadinya ketidakpastian atau kekosongan hukum.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis-empiris, atau yang dapat dikatakan dengan
penelitian lapangan. Penulis meneliti keadaan sebenarnya yang terjadi di masyarakat, dengan
maksud mengetahui dan menemukan fakta-fakta yang dibutuhkan, lalu diidentifikasi dan dicari
penyelesaian dari masalah tersebut, atau yang disebut dengan solusi.

4. Pembahasan

A. Pembentukan Undang-Undang di Indonesia sebagai Negara Hukum


Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) memiliki konsekuensi yang mengharuskan
segala tindakan yang dilakukan pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus berdasarkan
dengan hukum yang berlaku. Dalam Peraturan Perundang-undangan, Indonesia hanya mengenal
satu nama undang-undang yang berlaku, yaitu keputusan yang dibentuk Dewan Perwakilan
Rakyat, yang disetujui bersama oleh Presiden, dan disahkan oleh Presiden. Bukan tanpa alasan
UU harus dibentuk dan disetujui bersama DPR, karena Dewan Perwakilan Rakyat adalah badan
legislative yang merupakan representasi dari rakyat yang dipilih oleh rakyat itu sendiri, amanat
yang diberikan tercantum pada Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu, “Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang.”.
Pembentukan undang-undang bukan hanya monodisipliner Ilmu Hukum, namun ilmu lainnya
khususnya Ilmu Politik turut memberikan sumbangsih dalam pembentukan undang-undang,
aspirasi dan kepentingan yang mewakili suatu kelompok maupun individu dibahas bersama
untuk sama-sama mendapatkan undang-undang yang tepat. DPR-RI adalah lembaga legislatif
yang terdiri dari perwakilan partai-partai politik yang diyakini menjadi wadah aspirasi kelompok
masyarakat. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang merupakan produk politik, di
mana politik hukum (legal policy) sangat berpengaruh dalam pembentukan undang-undang.
Politik hukum artinya arah/keinginan yang dimaksud pembuat UU/UUD ketika isi UU/UUD itu
dibuat melalui perdebatan suatu lembaga yang membuatnya untuk kemudian dirumuskan ke
dalam kalimat-kalimat hukum.
Menurut Tongam Renikson Silaban salah satu tahapan yang paling krusial dalam
pembentukan undang-undang adalah tahapan perencanaan. Tahap perencanaan adalah di mana
DPR dan Presiden menyusun RUU yang nantinya akan dibahas. Proses ini umumnya dinamakan
Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang
disusun untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan
(Prolegnas Prioritas Tahunan/ProlegPT). RUU yang telah disusun dalam Prolegnas Jangka
Menengah dan Prolegnas Prioritas tahunan diurutkan prioritas pembahasannya. Pimpinan DPR
akan mengumumkan adanya RUU dan membagikan RUU yang kemudian akan dibahas di rapat
paripurna. DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa
persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti
dengan dua tingkat pembicaraan. Rangkaian proses pembahasan RUU ini merupakan proses
yang lama dan tanpa adanya kepastian waktu pengesahan. Tak jarang proses ini malah
mengakibatkan mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum menjadi
terbengkalai
Politik hukum, atau perdebatan yang menyangkut kepentingan suatu ketentuan yang akan
diatur terkadang tidak mudah untuk mendapatkan kesepakatan di antara pembentuk undang-
undang. Ketidaksatuan sepakat inilah yang membuat RUU sangat lama untuk akhirnya disahkan
menjadi UU. Namun, bagaimanapun juga suatu peraturan yang baik diperlukan adanya politik
hukum, yang pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menentukan apakah suatu wacana
hukum penting atau tidak untuk dijadikan hukum yang diberlakukan.

B. Pembentukan Undang-Undang yang Responsif terhadap Perkembangan Sosial


Masyarakat
Indonesia merupakan negara hukum yang menggunakan sistem Eropa kontinental mengikuti
tradisi civil law. Tradisi civil law ini cenderung kuat untuk menerima hukum sebagai sesuatu
yang final (finite scheme), hukum adalah sesuatu yang sudah selesai dibuat (oleh legislatif)
(Bergh, 1980) dan bukan sesuatu yang setiap kali dibuat (oleh pengadilan). Cara berhukum inilah
yang membuat hukum menjadi sulit untuk mengikuti perkembangan masyarakat. Namun, ini
sebagai konsekuensi negara hukum di mana segala tindakan pemerintah harus berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan. Hukum dibuat secara tertulis memberikan jaminan dalam
kepastian hukum, namun di sisi lain hukum menjadi sulit untuk beradaptasi dengan cepat.
Hukum dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan masyarakat, tidak lain karena
fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan warga masyarakat.
Dari segi perubahan hukum terhadap perubahan masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Perubahan hukum yang bersifat ratifikasi. Dalam hal ini, masyarakat telah berubah terlebih
dahulu dan telah mempraktekkan perubahan tersebut. Kemudian diubahlah hukum untuk dapat
menyesuaikan perubahan yang ada.
2. Perubahan hukum yang bersifat proaktif. Dalam hal ini, masyarakat belum mempraktikkan
perubahan, namun telah muncul ide-ide yang berkembang terhadap perubahan tersebut. Maka
hukum terlebih dulu diubah untuk dapat mempercepat praktik perubahan dari masyarakat. Dalam
hal ini, berlakulah ungkapan “hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat” (law as a tool of
social engineering), suatu ungkapan yang awal mulanya diperkenalkan oleh ahli hukum USA
yaitu, Roscoe Pound.
Yang terjadi di Indonesia adalah perubahan hukum yang bersifat ratifikasi, di mana
perubahan masyarakat menjadi suatu ‘alarm’ bagi pemangku kebijakan yang berwenang untuk
merubah hukum yang ada. Seharusnya, Indonesia memberi kewenangan kepada lembaga yang
sudah ada, seperti Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan atau Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk mengevaluasi dan
menganalisis terhadap undang-undang yang perlu direvisi, dan membentuk aturan hukum baru
yang kemudian direkomendasikan kepada lembaga pemerintah atau instansi yang berwenang
(kementerian/ lembaga) yang terkait dengan materi aturan tersebut) untuk kemudian mengajukan
usulan RUU.
Pemberian kewenangan kepada lembaga yang telah ada tanpa harus membentuk lembaga
baru lagi, dapat mengoptimalkan kinerja lembaga tersebut yang diharapkan dapat terus
mengevaluasi hukum yang telah ada dan memperbaharui hukum atau undang-undang yang tidak
relevan lagi dengan perkembangan masyarakat. Kemudian, memberikan kewenangan terhadap
lembaga peradilan untuk melakukan law review yang meninjau mana undang-undang yang sudah
tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat. Pemberian kewenangan tersebut dapat diberikan
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) yang terlebih dahulu memiliki
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-
undang. Pembaharuan hukum sebagai bentuk responsive atas perubahan masyarakat belumlah
cukup apabila tidak disertai proses pembentukan undang-undang yang tidak memakan waktu
lama.
Selain memberikan wewenang terhadap lembaga yang telah ada, haruslah ditetapkan
pembatasan waktu pembahasan pembentukan suatu Undang-Undang. Jika proses pembentukan
undang-undang tersebut melewati masa yang telah ditentukan, maka pemerintah harus
menindaklanjutinya dengan cara membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) dengan dasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketidakpastian atau
kekosongan hukum. Kekosongan hukum merupakan permasalahan dalam praktik hukum,
Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai: interpretasi hukum, kekosongan hukum
(leemten in het recht), antinomi dan norma yang kabur (vage normen).
Pembentukan hukum melalui jalur Perppu bukanlah tanpa alasan untuk menggantikan UU,
karena jika dalam prosesnya saja UU tidak mampu bergerak cepat hadir sebagai payung hukum
bagi kebutuhan masyarakat terlebih lagi bila bersifat urgent, Perppu dapat menggantikan karena
Perppu merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk dalam hal ikhwal
kegentingan memaksa. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945
disebutkan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Hal mengenai Perppu sebagai jalur tempuh lain dapat dijadikan masukan dalam
pembaharuan UU P3 ke depannya. Sehingga ungkapan usang dalam Bahasa Belanda, Het Recht
Hinkt Achter De Feiten Aan, yang artinya hukum atau undang-undang selalu berjalan di
belakang peristiwa yang muncul di Masyarakat dapat dihindari dengan pembentukan undang-
undang yang responsive dan cepat tanggap terhadap dinamika masyarakat yang progresif.

5. Kesimpulan

Undang-undang adalah salah satu dari Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk melalui
proses panjang sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang dirancang dan dibahas oleh DPR
yang merupakan lembaga legislative yang diisi oleh perwakilan-perwakilan dari partai politik.
Maka keterlibatan politik hukum di sinilah yang membuat pembahasan akan undang-undang
membuahi ketidaksepakatan antar banyak pihak, yang membuat proses menjadi lebih lama.
Dengan tidak ditetapkannya waktu pasti dalam pembahasan undang-undang, maka seringkali
menyebabkan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan perkembangan sosial yang terjadi di
masyarakat, hal inilah yang merupakan permasalahan dalam praktik penerapan hukum.
Solusi yang diberikan oleh penulis adalah dengan menempuh jalur pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai hukum yang dibentuk yang didasari oleh
kegentingan masyarakat. Memberikan kewenangan terhadap lembaga yang telah ada, untuk
mengevaluasi undang-undang yang sudah tidak relevan dan harus diperbaharui. Lalu,
memberikan tenggat waktu untuk DPR-RI dalam membahas undang-undang agar tidak berlarut,
jika melebihi masa yang ditentukan, akan menempuh jalur Perppu.

6. Kelebihan

Penulis memaparkan fakta yang ada di lapangan bisa dengan mudah dipahami, karena dalam
mengembangkan kalimatnya, penulis memulai dari akar permasalahan terlebih dahulu, yang
kemudian membawanya ke permasalahan inti yang terjadi di lapangan. Sebagai contoh, dalam
memaparkan permasalahan mengenai proses pembahasan undang-undang yang memakan waktu
lama, kita terlebih dahulu dijelaskan apa itu undang-undang, lalu peraturan pembentukannya di
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang dijadikan sebagai pedoman, lalu berbicara mengenai tahapannya mulai dari
pengajuan RUU, pembahasan RUU di sidang paripurna yang kemudian menjadi faktor lamanya
proses pembahasan, kemudian penulis menyimpulkan bahwa proses yang lama itulah yang
menjadi permasalahan bagi masyarakat yang membutuhkan kepastian hukum atas perkembangan
yang terjadi.
Kemudian, penulis menyisipkan pernyataan dari banyak ahli untuk mendukung argumennya,
sehingga jika dikatakan, argument yang disampaikan dapat dikatakan valid jika menilik pada
pernyataan para ahli. Terlebih lagi, bila penulis menyatakan suatu argument yang bersifat
sensitive, seperti politik hukum, di situ penulis menyisipkan pernyataan ahli yang mengatakan
bahwa politik hukum memang dibutuhkan.
Penulis juga tidak hanya mengkritik apa yang jadi permasalahan, namun juga memberikan
solusi yang konkrit atas setiap permasalahan. Seperti, lamanya pembahasan undang-undang oleh
DPR dapat diatasi dengan pemberlakuannya tenggat waktu yang ditentukan agar tidak berlarut
dalam pembahasannya. Lalu, kekosongan hukum yang diakibatkan oleh lamanya pembahasan
Undang-Undang, dapat menempuh jalur Perppu untuk dapat mengisi kekosongan atau
ketidakpastian hukum tersebut.

7. Kekurangan

Pada setiap pembahasan, penulis sering mengulangi pernyataan yang telah disebutkan
sebelumnya, sehingga terkesan berputar-putar dan tidak efektif. Penulis dalam melampirkan
beberapa kasus undang-undang yang harus direvisi juga tidak mendetail, justru penulis malah
melampirkan lebih dari satu kasus tanpa dijelaskan lagi satu-persatu, ini mungkin yang dapat
mempersulit orang awam yang belum tahu kasus tersebut dalam mengertinya.
Penulis juga tidak menyebutkan bahwa Perppu adalah peraturan yang dibuat oleh presiden,
atas kesubjektifan apa yang dianggap genting oleh presiden itu sendiri, dan juga bergantung pada
persetujuan DPR. Maka, bila undang-undang dalam pembahasannya saja sudah berlarut-larut
dibahas di sidang paripurna, maka Perppu bisa saja bernasib sama dengan undang-undang yang
tak kunjung disahkan.

8. Komentar

Jurnal ini secara keseluruhan sudah membahas apa yang tergambar dalam judul, yaitu
mengenai “Pembentukan Undang-Undang yang Mengikuti Perkembangan Masyarakat”.
Argumen-argumen yang dibangun oleh penulis dapat diterima secara nalar, dengan bahasa yang
mudah dipahami pula, sehingga orang yang belum terlalu paham tentang hukum pun akan
mengerti, karena setiap pernyataan mengandung penjelasan yang konkrit dari penulis. Setiap
argumen pun didukung oleh pernyataan para ahli.
Namun, penulis dalam memaparkan argumennya hanya kurang dalam bukti empiris yang
ada di masyarakat, melalui pernyataan atau data dari masyarakat itu sendiri, penulis dapat
melibatkan setidaknya pernyataan langsung dari satu orang yang merupakan orang biasa, bukan
seorang ahli. Agar kami sebagai pembaca, yang juga sebagai masyarakat biasa, dapat mendengar
opini dari masyarakat itu sendiri juga.
Referensi yang diambil dari jurnal ini juga merupakan dari buku-buku, jurnal-jurnal, dan
peraturan perundang-undangan yang kredibel. Sehingga jurnal ini juga dapat dikatakan kredibel,
bagi pelajar atau mahasiswa yang ingin menjadikan jurnal ini sebagai referensi bagi karya tulis
mereka.

Anda mungkin juga menyukai