Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS BERDASARKAN TEORI GERAKAN SOSIAL

DEMO RUU CIPTA KERJA (OMNIBUS LAW)


Oleh : Tresa Febrianita
NIM 1806010
Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Univerista Pendidikan Indonesia

1. Artikel Berita : Gelombang Demo-Mogok Nasional Buruh Tolak Omnibus Law UU


Cipta Kerja ( https://news.detik.com/berita/d-5202627/gelombang-demo-mogok-
nasional-buruh-tolak-omnibus-law-uu-cipta-kerja/3 )

2. Artikel berita yang berjudul “Gelombang Demo-Mogok Nasional Buruh Tolak


Omnibus Law UU Cipta Kerja” yang ditulis oleh Hestiana Dharmastuti dari
detikNews memberi potret dan menjelaskan mengenai banyaknya aksi demo dan
mogok kerja di sejumlah daerah dalam rangka untuk menolak RUU Cipta kerja
(Omnibuslaw). Dalam artikel ini dikatakan bahwa buruh satu suara menolak omnibus
law UU Cipta Kerja. Ribuan buruh turun ke jalan dan mogok kerja nasional di
sejumlah penjuru daerah. RUU Cipta Kerja resmi disahkan di rapat paripurna DPR di
gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin (5/10/2020). Turut hadir dalam rapat
Menko Perekonomian Airlanga Hartarto, Menaker Ida Fauziyah, Menteri LHK Siti
Nurbaya Bakar, Menkeu Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menteri ATR/BPN
Sofyan Djalil, dan Menkum HAM Yasonna Laoly. Ketua Badan Legislasi (Baleg)
DPR Supratman Andi Agtas sebelumnya membacakan laporan Baleg terkait
pembahasan RUU Cipta Kerja. Pembahasan RUU Ciptaker dilaksanakan dalam 64
kali rapat, termasuk saat masa reses. Dari 9 fraksi DPR, 6 fraksi menyetujui RUU
Cipta Kerja, 1 fraksi, yaitu PAN, menyetujui dengan catatan, sementara 2 fraksi, yaitu
Demokrat dan PKS, menyatakan menolak RUU Cipta Kerja. Atas pengesahan UU
Cipta Kerja, serikat buruh akan mogok nasional mulai tanggal 6 hingga 8 Oktober
2020. Sedikitnya 32 federasi dan konfederasi serikat buruh akan bergabung dalam
mogok nasional itu. Mogok nasional akan diikuti 2 juta buruh.
3. Analisis Berdasarkan Teori Gerakan Sosial
Pada awal tahun 2020, pemerintah Indonesia tengah disibukkan dengan
pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang mana RUU ini
diusung dengan menerapkan konsep Omnibus Law. Berita dari laman
kemenkunham.go.id mengatakan bahwa pemerintah membuat RUU Cipta Kerja
dengan tujuan untuk membangun perekonomian Indonesia dan mengurangi angka
pengangguran, dan mampu menarik investor agar bisa menanam modal di Indonesia.
Konsep Omnibus Law ini merupakan konsep yang baru digunakan dalam
sistem perundang-undangan di Indonesia. Sistem ini biasanya disebut sebagai
Undang-Undang sapu jagat karena mampu mengganti beberapa norma undang-
undang dalam satu peraturan dan konsep ini juga dijadikan misi untuk memangkas
beberapa norma yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan
merugikan kepentingan negara (Kurniawan, 2020 : 64).
Dalam proses perancangannya, RUU Cipta Kerja ini sudah mendapatkan
banyak opini masyarakat yang menyatakan tidak setuju dengan adanya RUU Cipta
Kerja. Banyak hal yang membuat RUU ini sangat ditolak oleh masyarakat. Dalam
proses perancangannya, RUU ini hanya diberi deadline oleh Presiden selama 100 hari
dan tidak melibatkan banyak pihak dalam proses perancangannya. Berkaitan dengan
buruh, banyak buruh yang mengecam agar RUU ini tidak disahkan karena banyak hak
dari pekerja yang dipangkas. Hingga pada tanggal , RUU Cipta Kerja Omnibus Law
di sahkan dan terjadilah gelombang demo dan mogok kerja hampir di seluruh wilayah
di Indonesia.
Jika ditinjau berdasarkan teori gerakan sosial. Demonstrasi yang dilakukan
oleh para buruh, mahasiswa dan yang lainnya dalam menuntut Omnibus Law ini
termasuk kedalam gerakan sosial. Gerakan sosial secara teoritis merupakan sebuah
gerakan yang terbangun berdasarkan prakarsa masyarakat dengan tujuan untuk
melontarkan tuntutan atas perubahan dalam institusi maupun kebijakan dari
pemerintah yang dirasa sudah maupun tidak sesuai lagi dengan kehendak sebagian
masyarakat. (Marpuah, 2020 : 125). Gerakan tolak Omnibus Law yang terjadi di
setiap daerah di Indonesia muncul karena adanya ketidakadilan terhadap masyarakat
dan sikap kesewenang-wenangan terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep
teori gerakan sosial dan jika dihubungkan dengan kesewenang-wenangan, RUU Cipta
Kerja Omnibus Law ini sejak awal memang tidak transparan kepada masyarakat
mengenai pemangkasan Undang-Undang, perancangan yang tidak melibatkan banyak
pihak, versi draf RUU Cipta kerja yang 5 kali terus berubah-ubah jumlah halaman dan
terdapat kata-kata yang dihapus dari UU No 13 Tahun 3003 di RUU Cipta Kerja dan
menimbulkan kekhawatiran publik yaitu adanya pasal selundupan. Pada akhirnya,
masyarakat merasa pasal-pasal yang ada dalam RUU Cipta Kerja malah merugikan
pihak masyarakat.
Demontrasi sebagai aksi kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia
merupakan bentuk dari Gerakan Tolak Omnibus Law dan akan memberikan efek
jangka panjang terutama ini berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Demontrasi ini juga terogranisir, yang mana didalamnya terdapat banyak organisasi-
organisasi mahasiswa, komunitas buruh, dan komunitas lainnya yang turut menolak
Omnibus Law. Meskipun dari berbeda komunitas atau organisasi, Gerakan Tolak
Omnibus Law di Indonesia memiliki tujuan yang sama, yaitu tidak ingin
kesejahteraan masyarakat Indonesia terancam dan sama-sama ingin menuntut
keadilan dan mengembalikan keadaan sebelumnya. Masyarakat juga melakukan usaha
agar aspirasinya di dengar oleh pemerintah, dan memanfaatkan peluang yang ada agar
secepatnya permasalahan terselesaikan. Menurut Tilly (dalam Silvana dan
Sulityaningsih,2017: 832) mengatakan aksi kolektif bisa menjadi gerakan sosial jika
memenuhi lima komponen yaitu kepentingan, organisasi, mobilisasi, kesempatan dan
tindakan kolektif itu sendiri . Komponen pertama yaitu kepentingan. Kepentingan
adalah sebuah upaya untuk memperhitungkan rugi dan untung yang dihasilkan dari
interaksi antar kelompok. Hal ini berhubungan dengan persoalan ekonomi dan
kehidupan politik. Komponen yang kedua yaitu organisasi. Organisasi merupakan
kelompok yang bisa mempengaruhi kemampuan untuk bertindak demi sebuah
kepentingan yang ingin diraih. Komponen yang ketiga adalah mobilisasi. Mobilisasi
merupakan sebuah proses dimana kelompok tersebut berusaha untuk memperoleh
kontrol kolektif atas sumber daya yang dibutuhkan agar bisa melakukan tindakan. Hal
ini berhubungan dengan faktor-faktor produksi seperti tanah, pekerja, kapital, dan
teknologi. Komponen yang keempat yaitu peluang. Peluang yang dimaksud disini
menyangkut tentang hubungan antara kelompok dengan lingkungan disekitarnya.
Komponen yang kelima yaitu tindakan kolektif. Tindakan kolektif ini berhubungan
dengan konflik kepentingan.
Menurut Suharko (dalam Argenti, 2016) menyatakan jenis-jenis gerakan sosial
diantaranya : (1) gerakan protes, gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang
sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan
sosial di sebagian besar negara industri, (2) Kedua, gerakan regresif, gerakan yang
bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes, dan
(3) gerakan religius, gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-
hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap
beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan. Maka dari itu,
Gerakan Tolak Omnibus Law yang dilakukan mahasiswa dan buruh termasuk
kedalam gerakan sosial protes.
Sebelum mengetahui pada tahap apa demontrasi Gerakan Menolak Omnibus
Law, menurut Siahaan (dalam Kamaruddin, 2012) proses tahapan sebuah gerakan
sosial, adalah meliputi: (1) Tahap ketidaktentraman (keresahan), ketidakpastian, dan
ketidakpuasan, yang semakin meningkat; (2) Tahap perangsangan, yakni ketika
perasaan ketidakpuasan sudah semakin memuncak. Penyebabnya sudah diidentifikasi,
dan ada ajakan, serta petunjuk-petunjuk dari kalangan tokoh sebagai pembangkit
semangat emosi massa; (3) Tahap formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah
muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan taktik telah
dimatangkan; (4) Tahap institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih
dari pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideologi, serta rencana telah
diwujudkan. Tahap ini seringkali merupakan akhir dari kegiatan aktif gerakan sosial;
(5) Tahap pembubaran (disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi
atau justeru mengalami pembubaran. Jika ditinjau sesuai dengan situasi saat ini,
gerakan sosial menolak Omnibus Law sudah berada pada tahap Formalisasi, karena
dalam demontrasi, pemimpin-peminpin demontrasi sudah di tentukan oleh setiap
organisasinya, para pendukung juga sudah dibentuk dengan terorganisir, dan
demontrasi sebagai taktik agar keresahan masyarakat didengar dan tujuan lainnya agar
tujuan bersama tercapai.

Referensi:
Kurniawan, F. (2020). Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja Dengan Konsep
Omnibus Law. Jurnal Panorama Hukum, 5(1), 63-76.

Marpuah, M. (2020). Dinamika Organisasi Muhammadiyah Sebagai Gerakan Pembaharuan


Di Provinsi Sumatera Barat. Penamas, 33(1), 113-132.
Silvana, A., & Sulistyaningsih, T. (2017). Gerakan Sosial Yayasan Borneo Orangutan
Survival Foundation (BOS) Berbasis Komunitas Dalam Penyelamatan Orangutan Di
Kalimantan Tengah. Research Report, 829-834.
Argenti, G. (2016). Gerakan sosial di Indonesia: Studi kasus gerakan mahasiswa tahun
1974. Jurnal Politikom Indonesiana, 1(1), 4.
Kamaruddin, S. A. (2012). Pemberontakan petani UNRA 1943 (Studi kasus mengenai
gerakan sosial di Sulawesi Selatan pada masa pendudukan Jepang). Hubs-
Asia, 10(1).
https://news.detik.com/berita/d-5202254/omnibus-law-uu-cipta-kerja-draf-tujuan-poin-serta-
mengapa-banyak-ditolak

Anda mungkin juga menyukai