IPS
KELAS
VIII E
Aksi #ReformasiDikorupsi-
#MosiTidakPercaya: Mengevaluasi Gerakan
Mahasiswa
Widisandika-Opini
🔊 Dengarkan Berita
Oleh Hendry Sihaloho*
Satu tahun kemudian, 7-9 Oktober 2020, para mahasiswa kembali ke jalan. Kali ini,
mereka memprotes pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Prosesnya
dinilai kurang transparan dan minim partisipasi publik. Selain itu, RUU Cipta Kerja
bercorak kapitalistik dan memperkukuh kekuasaan para oligark. Mosi tidak percaya
pun dilayangkan kepada penguasa.
Hingga akhir Oktober, demonstrasi menolak pengesahan RUU Cipta Kerja terus
berlangsung. Bahkan, mahasiswa di Lampung bertolak ke Ibu Kota untuk
menyuarakan penolakan menjelang peringatan satu tahun pemerintahan Joko
Widodo-KH Ma’ruf Amin, Rabu, 21 Oktober 2020.
RUU Cipta Kerja ketok palu pada Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu. Presiden
punya waktu 30 hari untuk meneken beleid itu. Menurut Pasal 73 ayat (2) UU
12/2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan kendati Kepala Negara tidak
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 30 hari. Artinya, presiden meneken
atau tidak, secara dejure UU Cipta Kerja dinyatakan sah pada 6 November
mendatang. Namun, tak sampai 30 hari, Kepala Negara telah meneken UU Cipta
Kerja, Senin, 2/11/2020.
Makna dari proses ini adalah gerakan mahasiswa perlu napas panjang. Jika benar-
benar menolak Omnibus Law, maka mesti mengatur irama gerakan. Mahasiswa bisa
berkaca pada Aksi #ReformasiDikorupsi.
Pertama, aksi itu tidak akan mencapai tujuan, yaitu mencabut Omnibus Law. Muskil
rasanya pemerintah daerah dan DPRD menyetujui hal tersebut. Sebab, ide Omnibus
Law datang dari eksekutif. Gagasan tersebut disambut baik oleh legislatif. Itulah
mengapa mencuat tagar #MosiTidakPercaya. Dalam hal ini, mosi tidak percaya
ditujukan pada sistem yang dijalankan mereka yang berkuasa, khususnya
pemerintah-DPR.
Ketiga, menaruh harapan kepada pemerintah daerah dan DPRD memberi jalan pada
oportunisme. Kita tahu bahwa dari sembilan fraksi di parlemen, hanya dua fraksi
yang menolak RUU Cipta Kerja, yakni PKS dan Demokrat. Artinya, mereka yang
berdemonstrasi ke DPRD akan disambut politikus dua partai itu. Padahal, partai
politik masih menjalankan praktik oligarki-keputusan partai ditentukan segelintir
elite.
Lampung merupakan salah satu daerah dengan jumlah massa terbanyak, baik pada
aksi #ReformasiDikorupsi maupun #MosiTidakPercaya. Bedanya secara mendasar
adalah aksi #MosiTidakPercaya berujung kaos, sedangkan aksi
#ReformasiDikorupsi berlangsung aman.
Friksi
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah kaos. Relatif jarang aksi demonstrasi
di Lampung berujung kerusuhan. Apalagi, menyebabkan demonstran luka berat.
Setidaknya, dalam dua dekade terakhir, aksi demonstrasi yang menelan korban jiwa
pada 28 September 1999. Waktu itu, mahasiswa Lampung memprotes dan menolak
Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Unjuk rasa
tersebut berujung gugurnya dua mahasiswa Universitas Lampung (Unila), yaitu
Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah.
Sejauh ini, belum diketahui dalang kerusuhan pada aksi penolakan UU Cipta Kerja.
Namun, mahasiswa perlu melindungi gerakan dari segala potensi, termasuk
penumpang gelap yang bisa memantik kerusuhan saat aksi.
Bukan tidak mungkin gerakan itu didiskreditkan. Kerusuhan saat aksi yang kemudian
direspons aparat dengan menangkap para demonstran dan sweeping merupakan
indikasi untuk mendegradasi demonstrasi. Seolah-olah narasi yang hendak dibangun
adalah demonstrasi pasti rusuh. Tujuannya satu: menggagalkan aksi menolak
Omnibus Law. Kesan ini linier dengan surat telegram kapolri, di mana salah satu
poinnya menginstruksikan kapolda melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan
pendeteksian dini guna mencegah unjuk rasa.
Memperlemah Gerakan
Gerakan mahasiswa perlu menyadari bahwa perjuangan menolak Omnibus Law tidak
seperti membalikkan telapak tangan. Upaya-upaya untuk mengegolkan UU Cipta
Kerja merupakan keniscayaan. Karena itu, penguasa menyiapkan sejumlah langkah, di
antaranya membangun narasi hoax, meminta tidak demo karena pandemi Covid-19,
serta mengajak masyarakat menjaga ketertiban dan keamanan.
Selain itu, ada ikhtiar untuk memperlemah gerakan. Sejumlah media mewartakan
ihwal kepala daerah yang menolak Omnibus Law, di antaranya Gubernur DI
Yogyakarta Hamengku Buwono X, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno,
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Gerakan mahasiswa juga jangan terjebak pada pasal per pasal UU Cipta Kerja. Bila
Anda hanya menolak pasal-pasal terkait ketenagakerjaan, namun manafikan klaster
lain seperti lingkungan dan masyarakat adat, itu artinya melegitimasi Omnibus Law.
Secara legal, Anda menerima konsep Omnibus Law yang pro kapital.
Idealisme
Kita tahu bahwa aksi menentang revisi UU KPK merenggut nyawa beberapa
demonstran di antaranya mahasiswa. Mereka gugur memperjuangkan gerakan moral,
di mana pemerintah dan DPR mengebiri kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Sementara, mahasiswa di Lampung makan bersama gubernur dan kapolda di Rumah
Kayu-sebuah restoran ternama di Bandar Lampung.
Idealisme dan independensi merupakan ruh dalam gerakan sosial. Ia adalah fondasi
perlawanan terhadap ketidakadilan dan kemudaratan. Mahasiswa- agent of change-
patut menjaga integritas dan kredibilitas. Sebab, Anda adalah calon-calon penguasa.
Orang boleh sepintar apa pun, secerdas apa pun, sekritis apa pun, tapi ia tak ada
arti bila tidak punya idealisme.(*)
Catatan Penulis : Artikel ini merupakan pandangan pribadi, tidak mewakili organisasi.