ARTIKEL OPINI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pendidikan Bahasa Indonesia
yang Dibina oleh Ibu Aptia Ardiasri M.Pd.
Oleh
Adib Ahmad Istiqlal
180535632509
PENDAHULUAN
September 2019, suatu hal yang besar terjadi di Indonesia yang didasari oleh
sebuah pengubahan undang-undang buatan Batavia yang telah lama melekat di bumi
pertiwi ini. MPR dan DPR mengatakan akan mengubahnya dengan undang-undang
Indonesia “banget“. Masyarakat yang mendengar hal ini merespon dengan tidak baik
layaknya sorakan “tidak setuju”, oleh karena itu masyarakat tanah air bahwa hal ini
patut didemonstrasikan dengan serius. 8 peraturan kontroversial untuk KUHP dan 15
peraturan kontroversial untuk KPK yang membuat bumi pertiwi berguncang dengan
turunnya mahasiswa hampir seluruh Indonesia dan anak-anak SMK. Layaknya 98,
kejadian ini menumpahkan darah seperti catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) 5 orang meningga dunia diantaranya, 3 orang meninggal dengan
keterangan yang kurang pasti dan 2 mahasiswa meninggal dengan tembakan
(Wijaya,30 Oktober 2019).
Ketika nyawa lebih murah daripada sekedar tulisan yang kurang masuk akal,
apakah ini berarti bahwa Indonesia bukan lagi bersistem demokrasi dari rakyat oleh
rakyat untuk rakyat? Jawaban itu bisa dijawab dari sudut pandang masing-masing dan
kepedulian oleh orang tersebut.
ISI
Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV (RUU KUHP
Pasal 128 Ayat 1), begitulah bunyi pasal 128 ayat 1 salah satu isi dari RUU KUHP
yang kebanyakan orang beranggapan itu menyalahi dan tidak berdasar dengan sistem
demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Mahasiswa merasa RUU KUHP dan KPK
ingin mengembalikan masa di mana rakyat tidak bisa berpendapat dengan bebas,
berekspresi dengan luas, dan hanya bisa berpendapat dalam bayang-bayang semata
yang membuat kejadian ini mirip dengan masa yang hampir semua kalangan tua dan
muda tau … iya, masa Orde Baru. Orde Baru adalah awalan yang pas untuk
membahas kejadian demo tanggal 23 September 2019 yang terjadi hampir terjadi di
seluruh bumi pertiwi.
Orde Baru adalah masa yang dimulai dari keluarnya Supersemar tahun 1966,
dimana masa keawalan Orde Baru adalah masa keemasan Indonesia, masa yang
kental dengan nama “ Soeharto “ dan dimasa ini juga masa kegegelapan Indonesia
berada (Wanandi, 2014). Indonesia kembali menjadi anggota PBB, dan menjalankan
Pembangunan Lima Tahun (Pelita), sukses KB, pendapatan perkapita Indonesia yang
naik drastis dari $70 tahun 1968 mencapai $1,565 pada tahun 1996 dan mengurangi
buta huruf. Semakin lama, Orde Baru menjadi pisau terhadap rakyat dimana korupsi
dan nepotisme merajalela, terjadinya kesenjangan sosial ditahun 1997 dimana nilai
tukar rupiah menjadi Rp 2.682 per dollar AS dan semakin menurun hingga Rp 11.000
per dollar AS (Salamah,2001), kritik dibungkam dan oposisi dilarang serta kebebasan
pers sangat terbatas hingga orang yang berpendapat yang berhubungan dengan
pemerintah dapat menjadi ranjau bagi orang tersebut dan puncak dari Orde Baru
adalah pada tanggal 21 Mei 1998 atau yang terkenal dengan kejadian Trisakti 98.
21 Mei 1998 dan 23 September 2019 adalah tanggal sejarah bagi rakyat
Indonesia dan tanggal yang memiliki kejadian yang konteks nya sama, sama-sama
mencegah keburukan menyebar dipemerintahan dengan mahasiswa sebagai tokoh
utamanya. Mendesak pembatalan revisi UU KPK, menunda RUU KUHP, dan
mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Rangkaian unjuk rasa ini
dimulai pada tanggal 23 September 2019 di daerah Gejayan, Yogyakarta; Alun-alun
Tugu Kota Malang, Semarang dan Balikpapan dengan diikuti oleh mahasiswa dari
berbagai universitas dan insitute.
PENUTUP