Anda di halaman 1dari 6

Tugas UTS

Nama Mahasiswa : Dedi Saputra


Jurusan : Ilmu Komunikasi Politik Univ. Paramadina
Mata Kuliah : Ekonomi Politik Kebijakan Komunikasi
Dosen : Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si

KEHADIRAN UU ITE PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK KAJIAN KOMUNIKASI


(STUDI KASUS IDRIS AZHAR DAN FATIAH)

A. Latar Belakang
Saat ini kemajuan teknologi informasi yang terintegrasi dalam dunia cyber (internet)
tidak dapat dipungkiri telah menimbulkan berbagai kemudahan dalam interaksi antar subyek
dalam suatu Negara bahkan antar dunia. Internet merupakan jaringan paling luas di dunia
komunikasi dan interaksi yang mudah antara orang-orang di seluruh lapisan masyarakat
dunia melalui layar mini bentuk datar hal ini kemudian dikenal dengan lahirnya dunia datar
(the flat world). Segala sesuatu di dalamnya diberbagai belahan dunia mana pun telah
terhubung dengan perangkat komunikasi yang terhubung dengan bantuan Internet,saat ini
seseorang dapat mengakses dan memperoleh berbagai informasi yang ingin diketahui yang
sedang terjadi diseluruh Negara tanpa ada batasan.

Namun demikian patut kita sadari secara bersama bahwa perkembangan teknologi
komputer dan internet saat ini telah memberikan efek baik negative maupun positif bagi kita
semua sebagai pengguna, serta juga memainkan peran penting dalam mendefinisikan dan
menciptakan dunia maya (dunia digital) dan melahirkan peraturan hukum dunia maya
terhadap perkembangan kejahatan di dunia maya atau biasa disebut cybercrime. Internet pada
awalnya diciptakan bukan direncanakan untuk pemantauan dan pelacakan perilaku para
pengguna internet, tetapi dirancang demi kepentingan penggunaan militer masa perang dunia
waktu itu.

Kehadiran TI saat ini dan masa depan tidak hanya berdampak kepada perkembangan
teknologi itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi aspek kehidupan lainnya seperti ekonomi,
budaya, masyarakat, politik, kehidupan pribadi masyarakat bahkan sektor agama. Jaringan
informasi global atau internet saat ini telah menjadi sarana untuk melakukan kejahatan baik
secara nasional maupun internasional. Internet adalah alat bagi penjahat untuk melakukan
kejahatan bersifat local, global, internasional dan melampaui batas atau kedaulatan nasional
(Abdullah, cybercrime100.blogspot.com, diakses 19 April 2023, pukul 08.00 WIB).

Dengan kehadiran Teknologi informasi yang semakin pesat dan dikhawatirkan akan
menimbulkan masalah besar ditengah masyarakat maka Negara Indonesia telah membuat
sebuah undang-undang yang berkaitan dengan transaksi dan interaksi masyarakat di dunia
digital yang disebut dengan Undang-undang ITE. Dengan ditetapkannya Undang-Undang
Informasi dan Komunikasi Nomor 11 Tahun 2008 ini Transaksi elektronik dianggap aturan
baru dan semua warga dianggap sadar yang harus mematuhi seluruh aturan yang berada
dalam undang-undang ITE tersebut tanpa terkecuali. Sebagai produk hukum kekuasaan
negara, hukum berperan sebagai sarana kontrol negara atas sistem informasi dan transaksi
elektronik yang bebas.

Pro dan kontra kehadiran Undang-undang ITE terus bergulir ditengah masyarakat,
satu sisi sebagian memanggap Undang-undang ITE memberangus demokrasi di Indonesia
yang menjamin kebebasan dalam menyatakan pendapat dimuka umum, namun disisi lain ada
yang mendukung karena menganggap Kebebasan yang kebablasan akan mengancam hak
privasi individu lain seperti munculnya berita hoaks serta untuk menghindari kejahatan-
kejahatan yang muncul dari transaksi elektronik tersebut seperti investasi bodong dan lain-
lain.

Salah satu kasus yang memantik diskusi panjang yang berkaitan dengan UU ITE adalah
kasus Azhar dan Fatia bermula Video berjudul Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi
ekonomi-ops militer Intan Jaya yang telah disebarkan oleh terdakwa Haris Azhar pada 18
Januari 2021 lewat akun Youtube pribadinya yang memiliki 216.000 subcriber. Akibatnya
Azhar dan Fatiah harus berhadapan dimuka persidangan karena didakwa melanggar pasal 27
ayat 3 UU ITE.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis sangat tertarik untuk menganalisa secara
mendalam kehadiran Undang-Undang ITE tersebut dalam perspektif kajian Ekonomi politik
dalam kebijakan komunikasi.
B. Analisis Masalah

Saat ini teknologi telah memasuki sendi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, ini
tidak bias lepas dari interaksi globalisasi yang menyebabkan akselerasi dan perubahan. A.
Nawawi Rambe dalam Saefulloh (2011) memandang globalisasi sebagai proses sosial, proses
sejarah, dan juga sebagai proses alamiah yang membuat segala semua negara di dunia terikat
satu sama lain yang akan mewujudkan satu tatanan kehidupan baru ataupun kesatuan
konsistensi dengan menghilangkan batas-batas geogragfis, ekonomi serta budaya di dalam
masyarakat dunia perihal hal tersebut adalah suatu pergeseran pola lintas komunikasi global.

Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian masyarakat


informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan tentang informasi dan
transaksi elektronik di tingkat nasional sebagai jawaban perkembangan yang terjadi baik di
tingkat regional maupun internasional. Berdasarkan kondisi tersebut maka Pemerintah
Negara Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaski Elektronik (selanjutnya disingkat UU
ITE).

Tak bisa kita pungkiri dengan kehadiran undang-undang ITE ini sejak awal telah
menuai pro dan kontra ditengah masyarakat Indonesia, hingga saat ini deretan kasus yang
terjadi ditengah masyarakat terkait dengan ITE terus meningkat. Salah satu kasus yang
menarik adalah kasus Direktur eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras
yaitu Fatia Maulidiyanti yang diseret ke persidangan karena didakwa telah melanggar pasal
27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik tentang undang-undang ITE. Kasus ini telah
memantik diskusi yang panjang dikalangan akademisi baik pakar hukum, pegiat demokrasi
bahkan para politisi ditanah air. Sebagian menganggap kasus ini sarat dengan kepentingan
pihak tertentu yang telah melakukan kriminalisasi karena pasca reformasi rakyat Indonesia
dijamin oleh konstitusi dalam menyampaikan gagasan maupun pendapatnya dimuka umum.

Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) mengatakan bahwa kasus Haris dan Fatia menambah panjang daftar kasus
kriminalisasi berdalih pelanggaran UU ITE. "Pasal 27 ayat 3 UU ITE kerap digunakan untuk
mengkriminalisasi mereka yang lantang berpendapat tanpa melihat melihat apakah memang
ada usur penghinaan atau tidak," kata Fajri dalam diskusi yang diselenggarakan oleh STH
Jentera Indonesia, Kamis, 6 April 2023.
(sumber. https://nasional.tempo.co/read/1715616/haris-azhar-dan-fatia-maulidiyanti-
didakwa-langgar-uu-ite-direktur-pshk-desak-hakim-gunakaninterpretasi futuristik)
Penulis berpandangan kasus yang menimpa Haris Azhar dan Fatia diatas tersebut harus
dilihat secara komprehensif dan dikaji dari berbagai aspek. Pada aspek politik saya kira
sangat penting dibatasi mana ruang public dan mana ruang privat yang menjadi ruang untuk
mendiskusikan sesuatu masalah yang menyebut nama pribadi seseorang, hal ini penting
dilakukan agar masing-masing pihak tidak merasa dirinya diserang pribadinya yang
memunculkan opini yang buruk tentang pribadi seseorang yang sedang dibicarakan di media
social yang kebenaranya harus betul-betul diuji validitasnya bukan hanya opini belaka saja.
kasus Azhar dan Fatia bermula Video berjudul Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi
ekonomi-ops militer Intan Jaya yang telah disebarkan oleh terdakwa Haris Azhar pada 18
Januari 2021 lewat akun Youtube pribadinya yang memiliki 216.000 subcriber. Bermula
disinilah Luhut Binsar Panjaitan merasa nama baiknya tercemar akibat dari ungkapan Azhar
dan Fatia dalam video tersebut.

Secara pribadi Luhut Binsar Panjaitan perlu menjaga nama baiknya karena sedang
menjabat sebagai menko Maritim dan Investasi, jika dirinya tidak mengambil langkah hokum
dirinya khawatir opini yang berkembang tersebut dianggap benar oleh orang lain, namun
disisi lain dirinya juga tersendera oleh situasi Indonesia yang sedang menjalankan demokrasi
yang menjamin kekebasan berfikir dan mengemukan pendapat dimuka umum. Menurut saya
dilematis inilah yang sedang terjadi dinegara kita yang demokratis. Penulis sangat
berpendapat bahwa satu sisi kita memiliki imunitas untuk menyampaikan gagasan, fikiran
serta pendapat dimuka umum, namun kita harus menyadari juga bahwa kita harus
mempertimbangkan juga hak privasi orang lain yang harus kita jaga hak pribadinya dimuka
umum.

Penulis sangat sependapat dengan pemerintah yang mengatakan hadirnya Undang-


undang ITE ini untuk mengatur dan menjaga seluruh percakapan warga Negara di Media
social agar tidak ada warga Negara yang lainnya dirugikan oleh warga Negara lain.
Kebebesan berekspresi sangat penting dalam Negara demokrasi, namun kebebasan yang
kebablasan justru merusak demokrasi itu sendiri. Namun penulis juga menentang jika
pengaturan tersebut untuk membatasi atau membredel kebebasan warga negaranya untuk
mengkritik lembaga Negara atau jabatan seseorang yang diembannya, karena lembaga
Negara dan jabatan yang melekat pada seorang warga Negara tersebut wajib kita kritisi jika
terjadi penyimpangan, karena lembaga dan jabatan yang diembanya merupakan jabatan
public, maka sebagai warga Negara kita wajib memberikan kritikan.
Pada kesimpulanya, dalam melihat kasus Azhar dan Fatia diatas dalam aspek kebijakan
komunikasi, kehadiran Undang-Undang ITE sangat diperlukan untuk mengatur ruang public
agar ruang public itu tidak mencederai hak atau ruang privat orang lain, karena kita adalah
Negara yang berpedoman pancasila yang menjunjung tinggi nilai kearifan local. Meskipun
dalam Negara demokrasi kita diberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat diruang
umum, namun kebebesan tersebut harus diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi kebebesan
yang kebablasan. Dan terakhir yang saat ini menjadi abu-abu adalah bagaimana memisahkan
ruang pribadi seseorang dan mana ruang jabatan seseorang yang patut kita cermati,
sebagaimana kasus Binsar panjaitan ini, satu sisi Pihak Azhar dan Fatia menganggap
pihaknya mengomentari Luhut Binsar panjaitan sebagai penjabatan Menkomarves, namun
disisi lain Luhut menganggap pribadinya diserang karena memunculkan opini liar disekitar
orang terdekatnya terutama keluarga jika tidak mengambil langkah hokum maka apa yang
dibicarakan oleh Azhar dan fatia dianggap benar, maka langkah hokum dianggap jalan
terbaik untuk membersihkan nama baiknya meskipun dirinya dianggap anti demokrasi.
Daftar pustaka

Atmaja, AP Edi. 2014. Kedaulatan Negara di Ruang Maya: Kritik UU ITE dalam Pemikiran
Satipto Rahardjo. Jurnal Opinio Juris. –September 2014.

CNBCINDONESIA,
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%20201
6.pdf

Fathan Aliqa. Menilik Sejarah UU ITE. https://kumparan.com/host/menilik-sejarah-uu-ite-


1usFAjRCvWB/full. Diakses pada: 31 Maret 2023.

Heryanto, Gun Gun. 2019. Panggung Komunikasi Politik. Yogyakarta: IRCiSoD.

https://www.kompas.tv/article/166986/banyak-kasus-uu-ite-safenet-indonesia-semakin-
mendekati-otoritarianisme-digital?page=2 diakses pada Minggu, 26/03/2023 pada
Pukul 12:42 WIB.

Sugiono, Shiddiq. 2020. Fenomena Industri Buzzer di Indonesia: Sebuah Kajian Ekonomi
Politik Media. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 4 Nomor 1 (2020) 47-66.

Suparman, dkk. 2023. Tinjauan Kritis Pasal 27 & Pasal 28 UU ITE Terhadap Kebebasan
Pers. Jurnal Risalah Kenotariatan. Volume 4, No. 1, Januari-Juni 2023.

https://nasional.tempo.co/read/1715616/haris-azhar-dan-fatia-maulidiyanti-didakwa-
langgar-uu-ite-direktur-pshk-desak-hakim-gunakaninterpretasi futuristik)

Anda mungkin juga menyukai