Anda di halaman 1dari 23

PENEGAKAN HUKUM KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI MEDIA SOSIAL

KRITIK TERHADAP PEMERINTAH BERDASARKAN UU ITE

(Studi Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyati)

TUGAS MAKALAH INDIVIDU

MATA KULIAH HUKUM INFORMASI TEKNOLOGI

DOSEN :

NAMA : SUNARDI SUDIRMAN., S.H.

NIM : 2202210022

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS BUNG KARNO

TAHUN 2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat serta

tebukti sudah memberikan kemanfaatan bagi para penggunanya. Setiap individu

dapat mengakses infomasi hanya dengan ponsel atau alat komunikasi lain yang

terkoneksi dengan internet. Masyarakat yang berasal dari berbagai usia dan berbagai

golongan dapat dengan mudah mengakses internet sebagai sarana komunikasi dan

berbagi informasi tanpa batasan waktu, salah satu medianya ialah melalui media

sosial.

Tiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat, di mana itu merupakan

hak asasi yang melekat pada setiap manusia yang termaktub dalam Pasal 23 ayat (2)

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dasar hukum mengenai

kebebasan berpendapat tersebut, masyarakat beranggapan untuk bebas

mengeluarkan pikiran dan gagasannya, salah satunya dengan melakukan kritik

terhadap pemerintah. Akan tetapi, dalam prakteknya, banyak timbul permasalahan

terkait dengan penyampaian kritik oleh masyarakat terhadap pemerintah melalui

media sosial tersebut.

Indonesia merupakan Negara Hukum dimana setiap tindakan warga

negaranya diatur secara yuridis dalam peraturan perundang-undangan, begitu pula

dengan pengaturan mengenai etika penyampaian kritik melalui media sosial.

Instrumen hukum yang mengatur dalam bidang teknologi informasi, terutama

berkaitan dengan etika dalam penyampaian kritik yaitu diatur dalam UU No. 19

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik mengatur mengenai penegakan hukum terhadap pelanggaran

dalam penggunaan teknologi informasi, salah satunya bagi individu yang

2
menggunakan media teknologi infomasi seperti media sosial sebagai media

penyampaian kritik terhadap pemerintah. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik lahir untuk mengejar ketertinggalannya terhadap

perkembangan teknologi dan informasi. Sekalipun dikenal adagium het recht hink

achter de feiten aan yang berarti bahwa hukum akan selalu tertinggal di belakang

perkembangan zaman, tetapi UU ITE dibentuk untuk selalu mengikuti perkembangan

zaman

Kasus yang baru-baru ini kita ketahui mengenai pemberitaan terkait adanya

laporan Polisi yang dilayangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan

Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan di Polda Metro Jaya atas dugaan

pencemaran nama baik yang menjerat Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan

Direktur Lokataru Haris Azhar keduanya adalah aktivis HAM dan sekaligus

Pengacara Kemanusiaan yang dimana masih menuai protes dan saat ini telah

berstatus sebagai Tersangka karena berawal dari unggahan video diskusi di kanal

YouTube pribadi milik Haris Azhar terkait diskusi tersebut, Fatia dan Haris

mengunggah video berjudul 'Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer

Intan Jaya, Jenderal BIN Juga Ada'.1

Dalam video tersebut keduanya mengungkapkan nama-nama penguasa yang

diduga "bermain" dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Salah satunya adalah

Luhut. Dalam hasil kajian tersebut terdapat indikasi relasi antara konsesi perusahaan

dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua dengan mengambil satu kasus

di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Dalam laporannya, ada empat perusahaan di Intan

Jaya yang teridentifikasi, yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT

Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan

1 Fitria Chusna Farisa, "Perjalanan Kasus Luhut Vs Haris Azhar hingga Ditetapkan Tersangka Pencemaran

Nama Baik", baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/03/19/17000011/perjalanan-kasus-luhut-vs-haris-azhar-hingga-


ditetapkan-tersangka-pencemaran?page=all. Diakses pada tanggal 17 Juni 2022.

3
PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan). Dua dari empat perusahaan itu yakni PT

Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) adalah konsesi

tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer atau polisi, termasuk

Luhut. Setidaknya, ada tiga nama aparat yang terhubung dengan PT MQ. Mereka

adalah purnawirawan polisi Rudiard Tampubolon, purnawirawan TNI Paulus

Prananto, dan Luhut.2

Uraian terkait kasus di atas dinilai sebagai upaya kriminalisasi dan

pembungkaman kerap menimpa pihak-pihak yang selalu menyuarakan mengkritikan

kepada Pemerintah, hal itu masih menjadi ancaman bagi Masyarakat yang sering

menunjukkan bahwa ada bentuk diskriminasi penegakan hukum. UU ITE sebelum

direvisi maupun setelah direvisi, memang seringkali menimbulkan kontroversi terkait

pasal-pasal tertentu.. Untuk meminimalisasi dampak negatif tentu saja perlu adanya

batasan untuk menjamin perlindungan hukum dan ketertiban masyarakat. Berkaitan

dengan problematika tersebut, maka penulis mengangkat tema makalah yang

berjudul. “Kebebasan Berpendapat Melalui Media Sosial Kritik Terhadap

Pemerintah Berdasarkan UU ITE (Studi Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyati)”.

B. RUMUSAN MASALAH

Isu hukum dalam penyusunan makalah ini akan dikaji dengan menjawab

permasalahan-permasalahan hukum sebagai berikut:

1. Bagaimana idealnya penerapan UU ITE dalam melindungi kebebasan

berpendapat ?

2. Bagaimana penegakan hukum UU ITE dalam kasus Haris Azhar dan Fatia

Maulidiyati ?

2 Ibid.

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. IDEALNYA PENERAPAN UU ITE DALAM MELINDUNGI KEBEBASAN

BERPENDAPAT

Negara indonesia adalah Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar

kekuasaan Negara dan penyelenggaraan Negara tersebut dalam segala bentuknya

dilakukan dibawah kekuasaan hukum.3 Negara yang berdasarkan kekuasaaan hukum

berarti Negara dengan segala tindakan pemerintahanya harus berdasarkan hukum

sehingga kecil kemungkinan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, Negara

atau pemerintah harus menjamin tertib hukum, menjamin tegaknya hukum dan

menjamin tercapainya tujuan hukum.4 Indonesia memiliki prinsip yang tak terelakan

yaitu mengenai kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi, Prinsip tersebut

terdapat dalam International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR), yang

kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan menetapkan UU No. 12

Tahun 2005 tentang International Covenant On Civil and Political Rights (Konvenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).5

Masyarakat Internasional bersepakat menjadikan HAM sebagai tolak ukur

pencapaian bersama (a commond standard of achievement for all peoples and all nations)

dengan ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim

HAM yang terdiri dari tiga dokumen inti yaitu, Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia

(DUHAM) Tahun 1948, Konvenan Hak Sipil dan Politik, Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya.6 Seperti halnya Hak Bebas berpendapat yang merupakan kebebasan dalam

berbicara dan berpendapat secara bebas tetapi bertanggungjawab. Pengaturan tentang

3 Hamid S. Attamimi dalam Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Pres Yogyakarta. hlm. 14
4 Tahir Azhary, 2009, Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta. hlm. 63.
5 Muhardi Hasan dan Estika Sari, 2005, Hak Sipil dan Politik, Vol. 4, No. 1, hlm. .21
6 Retno Kusniati, Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Konsepsi Negara

Hukum, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Jambi, Hotel
Ceria, Jambi, 24 Mei 2011.

5
HAM khususnya dalam kebebasan berpendapat di media sosial di Indonesia telah

tercantum dalam UUD, yakni pada bab XA UUD RI Tahun 1945 Pasal 28 e ayat (3)

yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat”.

Dalam hal ini pembentukan persepsi merupakan suatu hal mendasar sebelum

seseorang berpendapat maupun mengambil kesimpulan.7 Kebebasan informasi dan

menyatakan pendapat adalah hak setiap warga negara. Karena itu adalah hak dasar

bagi manusia sebagai bagian dari negara, hak ini harus dipenuhi dan dilindungi dari

berbagai intervensi pemangku kepentingan. Oleh karena itu masyarakat memerlukan

ruang publik politik yang dimaknai sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang

memungkinkan warga negara untuk membentuk opini dan kehendak bersama secara

diskursif.8

Jaminan hak juga tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 14 dan 23 ayat (2) yang menyatakan

bahwa:

a Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang

diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

b Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis

sarana yang tersedia.

c Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan

pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak

maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,

ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

7 Dwi Nikmah Puspitasari, Kebebasan Berpendapat Dalam Media Sosial, 2016, Vol. 2. No. 14, hlm. 3
8 Ifdhal Kasim, 2001, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarta. hlm. 12

6
Indonesia juga menjadi negara pihak dengan meratifikasi berbagai perjanjian

internasional HAM yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Artinya,

merujuk pada berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, hak atas kebebasan

berpendapat dan berekspresi, termasuk hak atas informasi, dan kebebasan pers

diakui, dijamin, dan dilindungi oleh hukum nasional. Negara perlu secara tegas

membedakan mana saja pendapat yang secara konten dilindungi dan tidak dilindungi

dan menggunakan pendekatan nondiskriminasi dimana negara tidak ikut campur

dan membatasi konten mana yang diperbolehkan atau tidak baik melalui peraturan

perundang-undangan maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.9

Kondisi pembatasan hak berpendapat dan berekspresi spesifik, hanya dalam

kondisi bahwa pembatasan yang dilakukan harus disediakan hukum (provided by law),

hanya dapat dilakukan berdasarkan 2 alasan yang dikemukakan di atas (alasan

menghormati hak atau reputasi orang lain dan alasan keamanan, ketertiban umum

dan kesehatan dan moral publik),10 dan harus secara ketat sesuai dengan asas

keperluan dan proporsionalitas.11 Provided by Law berarti bahwa hukum yang

mengatur pembatasan tersebut tidak boleh hukum adat, hukum agama atau hukum

kebiasaan lainnya. Hukum harus disusun dengan ketelitian yang memadai untuk

memungkinkan seseorang mengatur perilakunya sebagaimana mestinya dan harus

dapat diakses oleh publik. Hukum tersebut tidak boleh dalam bentuk diskresi yang

memberikan keleluasaan tidak terbatas pada pelaksanaan pembatasan.

9 Darwin, 2003, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,

hlm. 10
10 Harus sejalan dengan hanya 2 alasan yang dapat dibenarkan, negara peserta juga harus mengupayakan bahwa

pembatasan ini tidak dapat digunakan untuk melakukan tindakan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan,
ancaman terhadap kehidupan yang harus dijalankan sesuai dengan batasan pada ayat (3) Pasal 19 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966. Dalam Zainal Abidin, & dkk, 2021, Mengatur Ulang Kebijakan
Tindak Pidana di Ruang Siber Studi Tentang Penerapan UU ITE di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR), Jakarta Selatan, hlm. 24
11 Human Rights Committee,, Ibid.

7
Hukum yang mengatur pembatasan tersebut pun tidak boleh diskriminatif,

harus sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966,12 serta

secara rinci memuat perbuatan apa yang masuk ke dalam kategori yang diatur sebagai

pembatasan.13Alasan sah pembatasan yang pertama adalah untuk menghormati

“hak” atau reputasi orang lain. Hak tersebut yaitu hak-hak yang diatur dalam

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966 ataupun secara umum

dalam hukum internasional tentang hak asasi manusia.14

“Others” atau orang lain dalam batasan ini spesifik terhadap orang (individu

ataupun kelompok individu) dalam suatu komunitas, termasuk dalam bentuk

kelompok kepercayaan atau etnis.15 Perlu dicatat juga bahwa Komentar Umum PBB

Nomor 34 memberi catatan pada figur publik di mana definisi tentang perlindungan

“others” tidak dapat disematkan pada semua orang.16 Semua figur publik, termasuk

yang menjalankan otoritas politik tertinggi seperti kepala negara dan pemerintahan,

sah menjadi sasaran kritik dan oposisi politik. Menurut komite HAM, Negara pihak

seharusnya tidak melarang kritik terhadap institusi seperti tentara atau pemerintah.17

UU ITE digagas agar dapat memberikan perlindungan yang optimal terhadap

segala aktivitas yang dilakukan melalui media elektronik. Hal ini sejalan dengan

Resolusi Sidang Umum PBB No. 67/189 Tanggal 20 Desember 2012, yang menyatakan

kejahatan siber telah berkembang pesat, dan bahkan telah dilakukan secara

transnasional. Pada Konsep UU ITE dan concern dari PBB, kita menyadari hukum

12 Ibid
13 Ibid
14 Ibid
15 Human Rights Committee (b), Faurisson v. France, Communication No. 550/93; Human Rights Committee (c),

Concluding observations on Austria (CCPR/C/AUT/CO/4); Human Rights Committee (a)., Op.Cit., para. 28
Dalam Zainal Abidin, & dkk, 2021, Mengatur Ulang Kebijakan Tindak Pidana di Ruang Siber Studi Tentang Penerapan
UU ITE di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jakarta Selatan, Ibid.
16 Human Rights Committee (d), Concluding observations on Slovakia (CCPR/CO/78/SVK); Human

Rights Committee (e), Concluding observations on Israel (CCPR/CO/78/ISR, communication No. 550/93; Human
Rights Committee (b), Op.Cit.,Faurisson v. France; Human Rights Committes (c), Op.Cit., Human Rights
Committee (a), Op.Cit., Ibid.
17 Human Rights Committee (a), Ibid.

8
siber bertujuan untuk mencegah dan memberantas perkembangan kejahatan siber.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 50/PUU-VI/2008 yang menguji Pasal 27

ayat (3) UU ITE, memberikan pertimbangan bahwa pada dasarnya Pasal 27 ayat (3)

UU ITE yang mengatur penghinaan dan pencemaran nama baik ialah bentuk

pembatasan terhadap kebebasan berpendapat (freedom of speech), untuk memberikan

kepastian hukum dalam penggunaan media informasi dan teknologi. Pembatasan

tersebut didasarkan pada Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945.

Negara perlu secara tegas membedakan mana saja pendapat yang secara

konten dilindungi dan tidak dilindungi dan menggunakan pendekatan non-

diskriminasi dimana negara tidak ikut campur dan membatasi konten mana yang

diperbolehkan atau tidak baik melalui peraturan perundang-undangan maupun

kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kondisi pembatasan hak berpendapat dan

berekspresi spesifik, hanya dalam kondisi bahwa pembatasan yang dilakukan harus

disediakan hukum (provided by law), hanya dapat dilakukan berdasarkan 2 alasan yang

dikemukakan di atas (alasan menghormati hak atau reputasi orang lain dan alasan

keamanan, ketertiban umum dan kesehatan dan moral publik),dan harus secara ketat

sesuai dengan asas keperluan dan proporsionalitas. Sejalan dengan komentar UMUM

PBB Nomor 34 menyatakan bahwa Semua figur publik, termasuk yang menjalankan

otoritas politik tertinggi seperti kepala negara dan pemerintahan, sah menjadi sasaran

kritik dan oposisi politik. Menurut komite HAM, Negara pihak seharusnya tidak

melarang kritik terhadap institusi seperti tentara atau pemerintah.

Penelitian yang dilakukan The Institute for Digital Law and Society terhadap 190

kasus UU ITE pada 2018 menunjukkan 41 kasus dikenai Pasal 27 ayat (3), 19 kasus

Pasal 28 ayat 2 (SARA), 17 kasus Pasal 27 ayat 1, dan 7 kasus, pasal 27 ayat (2).18 Semua

18 M. fatahillah akbar, 2021, Budaya UU ITE, https://mediaindonesia.com/opini/385897/budaya-uu-ite , Diakses

pada tanggal 17 juni 2022

9
kasus itu ialah berkaitan dengan konten, sedangkan kejahatan-kejahatan yang

berkaitan dengan sistem teknologi dan komputer, tidak ada dalam seluruh objek

penelitian tersebut. Hal ini menunjukkan UU ITE masih hanya menjadi alat

pemidanaan bagi kejahatan konvensional yang dilakukan melalui teknologi.

Perbuatan asusila atau penghinaan yang dilakukan melalui elektronik akan menjadi

kasus UU ITE.19

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia. Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang

sangat fundamental. Pada dasarnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi

adalah hak yang penikmatannya menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab

khusus, oleh karenanya dapat dibatasi dengan pembatasan yang harus secara tegas

dan jelas. Dengan demikian hak-hak terkait kebebasan berpendapat melalui media

sosial dapat dilaksanakan baik dari kemanfaatan di masayarakat dan dapat menjadi

sarana ketertiban agar tidak menimbulkan kesalpahaman terlebih berujung kepada

laporan pidana.

19 Ibid

10
2. PENEGAKAN HUKUM UU ITE DALAM KASUS HARIS AZHAR DAN FATIA

MAULIDIYATI

Menurut Soerjono Soekanto terdapat 5 (lima) faktor yang sangat

mempengaruhi penegakan hukum. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat,

sehingga merupakan esensi dari penegakan hukum, dan merupakan tolak ukur dari

efektivitas penegakan hukum tersebut adalah:

1. Faktor hukumnya sendiri, terutama undang-undang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan

hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Faktor

masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

4. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.20

Ditinjau dari faktor hukumnya sendiri, terutama undang-undang mempunyai

peranan yang cukup besar dalam hubungannya dengan pelaksanaannya yang

dilakukan oleh para penegak hukum. Nada yang mungkin agak ekstrim dapat

dikatakan, bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus

dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang akan sulit

sekali dilaksanakan, dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut

telah menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan

peraturan tersebut.21

Setidaknya 3 (tiga) permasalahan besar yang terkait dengan kualitas peraturan

perundang-undangan, yaitu: Pertama, adanya multitafsir, disharmoni atau tidak

20 Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet 14, Rajawali Press,

Jakarta, hlm. 8-9.


21 Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar Baru, Bandung, hlm.

25

11
sinkron antara peraturan yang satu dengan yang lain, dan belum responsif terhadap

kebijakan pembangunan. Kedua, proses pembentukan peraturan perundang-

undangan masih belum tertib, lama, dan menimbulkan biaya tinggi. Ketiga,

koordinasi dan komunikasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

masih belum maksimal karena masih terdapat ego sektoral.22

Faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum yang berasal dari

hukumnya sendiri, terutama UU disebabkan, karena tidak diikutinya asas-asas

berlakunya UU, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk

menerapkan UU, dan ketidakjelasan arti kata-kata di dalam UU yang mengakibatkan

kesimpangsiuran di dalam penafsiran dan penerapannya.23 masih terdapat ego

sektoral. Menurut Soerjono Soekanto secara konsepsional, maka inti dari penegakan

hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.24

Pada 19 Maret 2021 Haris Azhar Direktur Lokataru dan Fatia Maulidiyanti,

Koordinator KontraS ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama

baik Luhut. Keduanya jadi tersangka, enam bulan setelah Luhut membuat laporan di

Polda Metro Jaya pada September 2021. Luhut melaporkan Haris dan Fatia atas

tuduhan pencemaran nama baik perihal video yang diunggah oleh akun Youtube

Haris Azhar pada Agustus 2021. Video memuat hasil riset soal tambang emas Blok

Wabu di Intan Jaya, Papua, dan dugaan keterlibatan sejumlah perusahaan, seperti PT

22 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2016, Dokumen

Pembangunan Hukum Nasional Tahun 2016, Percetakan Pohon Cahaya, Jakarta Timur, hlm. 60.
23 Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-Faktor Yang. Op.Cit., hlm. 17-18. Lihat Juga Musakkir, 2014, Problematika

Hukum dan Peradilan, Problem Penegakan Hukum Oleh Aparat Penegak Hukum di Indonesia, Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, Juli 2014, Jakarta, hlm. 152.
24 Wicipto Setiadi, 2014, Problematika Hukum dan Peradilan, Problem Penegakan Hukum Oleh Aparat Penegak

Hukum di Indonesia, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, Juli 2014, Jakarta,
hlm. 125.

12
Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki

Luhut.

Dalam pengaturan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, diatur unsur ‘penghinaan’ dan

‘pencemaran nama baik’ yang merujuk pada Pasal 310 KUHP. Unsur itu bersifat

sangat subjektif dan dapat menjadi bahan karet bagi penegak hukum. Naik atau tidak

perkaranya, dapat dipengaruhi berbagai kepentingan. Dalam asas legalitas, terdapat

kewajiban bagi penegak hukum, untuk mengatur pasal yang tegas dan tidak

multitafsir, sebagaimana ada dalam prinsip lex certa (harus jelas) dan lex stricta (harus

tegas). Pencemaran nama baik dikenal juga dengan pidana terhadap kehormatan.25

Pencemaran nama baik merupakan ujaran atau ucapan atau perkataan yang

tidak benar yang menimbulkan kerugian kepada korban. Bunyi lengkap Pasal 310

KUHP :

a Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan

menuduh sesuatu hal, yang maksudunya terang supaya hal itu diketahui

umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

b Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,

dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena

pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

c Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang

dilakukan demi keuntungan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.

Sementara dalam Rumusan Pasal 310 ayat (1) tersebut mengandung beberapa

unsur penting yaitu :

25 M. Fatahillah Akbar, 2021, Budaya UU ITE, https://mediaindonesia.com/opini/385897/budaya-uu-ite

, Diakses pada Tanggal 17 Juni 2022

13
a Dengan sengaja

b Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain

c Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan

d Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.

Jika kita mengacu pada unsur Pasal 310 di atas, maka pencemaran nama baik

dapat ditafsirkan sebagai delik materiil. Delik materiil merupakan delik yang dapat

dipidana jika akibat yang dilarang telah muncul.

Tafsir terhadap delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur alam Pasal

310, beberapa ilmuwan hukum pidana memberikan tafsir yang beragam (E. Utrecht,

van Bemmelen, Moeljatno, Roeslan Saleh, Adami Chazawi), namun dapat

disimpulkan dalam matrik sebagai berikut :

NO. UNSUR PASAL TAFSIR

1. Dengan sengaja “dengan sengaja” adalah unsur kesalahan


yang pertama dan unsur kesalahan kedua
ada pada kata-kata “dengan maksud”.
Sikap batin “sengaja” ditujukan pada
perbuatan menyerang kehormatan atau
nama ba ik orang (perbuatan dan objek
perbuatan)

2. Menyerang kehormatan atau Perbuatan menyerang (aanranden),


nama baik orang lain tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa
yang diserang (objeknya) memang bukan
fisik tapi perasaan mengenai kehormatan
dan perasaan mengenai nama baik orang.
Objek yang diserang adalah
rasa/perasaan harga diri mengenai
kehormatan (eer), dan rasa/perasaan
harga diri mengenai nama baik
(goedennaam) orang
3. Menuduh melakukan suatu Dengan menggunakan kata/kalimat
perbuatan tertentu melalui ucapan, dengan menuduhkan
suatu perbuatan tertentu. Jadi yang
dituduhkan si pembuat haruslah
merupakan perbuatan tertentu, dan
bukan hal lain misalnya menyebut
seseorang dengan kata-kata yang tidak
sopan, seperti bodoh, malas, anjing
kurapan dan lain sebagainya.

14
4. Dengan maksud yang nyata sikap batin “maksud” ditujukan pada
supaya diketahui oleh umum unsur “diketahui oleh umum” mengenai
perbuatan apa yang dituduhkan pada
orang itu.

Dalam Pasal 310 ayat (2) ada tambahan unsur tulisan atau gambar yang

disiarkan di muka umum. Unsur ini dapat ditafsirkan sebagai berikut:

No. UNSUR TAFSIR

1. Tulisan atau gambar Tulisan adalah hasil dari pekerjaan menulis


baik dengan tangan maupun alat apapun
yang wujudnya berupa rangkaian kata-
kata/kalimat dalam bahasa apapun yang
isinya mengandung arti tertentu,
atau menyerang kehormatan dan nama baik
orang di atas sebuah kertas atau benda
lainnya yang sifatnya dapat ditulisi
misalnya: kertas, papan, kain dan lain-lain.

Gambar atau gambaran atau lukisan adalah


tiruan dari benda yang dibuat dengan
coretan tangan melalui alat tulisan
misalnya pensil, kuas dan cat, dengan alat
apapun di atas kertas atau benda lainnya
yang sifatnya dapat digambari/ditulisi.
Gambar ini harus mengandung suatu makna
yang sifatnya mencemarkan nama baik atau
kehormatan orang tertentu (yang dituju).

2. Disiarkan, dipertunjukan atau Disiarkan (verspreiden), maksudnya ialah


ditempel dimuka umum bahwa tulisan atau gambar tersebut dibuat
dalam jumlah yang cukup banyak, dapat
dicetak atau diperbanyak, lalu disebarkan
dengan cara apapun. Misalnya
diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak,
atau dibagi-bagikan kepada siapapun
(umum).

Oleh sebab itu verspreiden dapat pula


diterjemahkan dengan kata menyebarkan.
Dalam cara menyebarkan sekian banyak
tulisan atau gambar kepada khalayak ramai,
telah nampak maksud si penyebar agar isi
tulisan atau makna dalam gambar yang
disiarkan, yang sifatnya penghinaan
diketahui umum.

15
Dipertunjukkan (ten toon gesteld) adalah
memperlihatkan tulisan atau gambar yang
isi atau maknanya menghina kepada
umum, sehingga orang banyak
mengetahuinya. Menunjukkan bisa terjadi
secara langsung. Pada saat menunjukkan
pada umum ketika itu banyak orang, tetapi
bisa juga secara tidak langsung. Misalnya
memasang spanduk yang isinya bersifat
menghina di atas sebuah jalan raya,
dilakukan pada saat malam hari yang ketika
itu tidak ada seorangpun yang melihatnya.

Sedangkan ditempelkan (aanslaan),


maksudnya ialah tulisan atau gambar
tersebut ditempelkan pada benda lain yang
sifatnya dapat ditempeli, misalnya papan,
dinding gedung, pohon dan sebagainya.

Kompleksitas masalah pencemaran nama baik yang ditujukan kepada

perseorangan maka dalam rumusan R-KUHP maka meskipun para sebagian ilmuwan

menafsirkan delik pencemaran nama baik sebagai delik materiil namun sebagian

ilmuwan hukum pidana lainnya menyatakan bahwa delik pencemaran nama baik

sebagai delik formil.26 Perbedaan pendapat ini muncul karena rumusan delik ini tidak

menggunakan kata-kata “menimbulkan”, “mengakibatkan” yang merupakan ciri dari

rumusan delik materiil. Namun tentunya, pemaknaan delik formil atau delik materiil

jangan hanya difahami dari rumusan kata-kata tersebut, tetapi harus dengan melihat

lebih dalam lagi, yaitu makna yang ditimbulkan dari delik tersebut.

Pencemaran sendiri berasal dari kata “cemar” yang menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai ternoda, kotor atau tercela. Pencemaran

diartikan sebagai perbuatan mencemari atau mengotori. Sementara itu, kehormatan

diartikan sebagai nama baik atau harga diri. Dari pemaknaan yang diberikan oleh

KBBI jelas bahwa perbuatan pencemaran nama baik, berarti rangkaiaan perbuatan

26 Ahmad Sofian, 2017, Tafsir Pencemaran Nama Baik, https://business-law.binus.ac.id/2017/12/28/tafsir-pasal-

pencemaran-nama-baik/. Diakses pada tanggal 17 Juni 2022.

16
yang menimbulkan rusaknya harga diri, kotornya harga diri atau nama baik

seseorang, dan perbuatan itu dilakukan dengan melawan hukum atau bertentangan

dengan etika.

Menurut ilmu hukum pidana, tindak pidana terhadap kehormatan terdiri atas

4 bentuk, yaitu: (1) menista (secara lisan), (2) menista secara tertulis, (3) fitnah, (4)

penghinaan ringan. Tetapi dalam KUHPidana (Wetboek van Strafrecht) dimuat juga

tindak pidana lainnya yang erat kaitannya dengan kehormatan, yaitu: pemberitahuan

fitnah, persangkaan palsu, dan penistaan terhadap yang meninggal.27

Jika melihat pada pertimbangan putusan MK tersebut, MK berpendapat

bahwa delik terhadap kehormatan harus mengacu kepada orang, bukan badan.

Alasan ini didasarkan pada alasan pemohon uji materi bahwa kritik terhadap institusi

seringkali disalahgunakan untuk menyerang balik pemberi kritik dengan

menggunakan norma perlindungan terhadap kehormatan. Selain itu, perlindungan

yang berlebihan terhadap defamation (pencemaran nama baik) dianggap membatasi

kemerdekaan menyatakan pendapat.

Dalam Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyati yang telah memberikan berita

melalui media sosial atau you tube terkait hasil riset yang dialkukan oleh beberapa

NGO (Non-Governmental Organization) yang mana dalam riset tersebut sudah

dilakukan dengan persiapan dan pertimbangan tertentu. Semua hasil data tersebut

dilakukan dengan berdasarkan indikator atau terukur dalam penyajiaannya

keterangan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kasus tersebut perlu

menjelaskan bentuk atau perbuatan yang dimaksud adalah sebagai bentuk kritik

kepada pemerintah dengan jabatan yang dilaksanakan atau secara personal.

Bahwa dalam kasus tersebut delik pencemaran nama baik ini tidak serta merta

dapat dipidana jika akibat yang dilarang tersebut tidak dapat dibuktikan di

27 Leden Marpaung, 2010, Tindak Pidana terhadap Kehormatan, Sinar Grafika. Jakarta. hlm. 8

17
pengadilan. Akibat yang dilarang tersebut dapat berupa kerugian materiil atau

kerugiaan non-materiil, dan kedua jenis kerugian ini harus bisa dinilai atau diukur. Di

samping kerugian yang harus bisa dibuktikan sebagai akibat dari perbuatan

pencemaran, aspek lain yang juga perlu dibuktikan adalah “menyerang”

dan “kehormatan”. Kedua unsur ini menjadi sulit dibuktikan karena menyerang yang

dimaksudkan bukanlah menyerang dengan senjata, tetapi dengan perkataan.

Perkataan ini yang digunakan pun sulit diukur, karena bisa saja perkataan tersebut

merupakan kritik atau keluhan atau sebuah ucapan yang mengandung kebenaran.

Sulit membedakan antara menyerang, mengkritik dan mengeluh.

Pengaturan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, diatur unsur ‘penghinaan’ dan

‘pencemaran nama baik’ yang merujuk pada Pasal 310 KUHP. Unsur itu bersifat

sangat subjektif dan dapat menjadi bahan karet bagi penegak hukum. Naik atau tidak

perkaranya, dapat dipengaruhi berbagai kepentingan. Dalam penegakan hukum,

penerapan UU ITE harus bersifat sebagai sarana terakhir (ultimum remedium). Harus

ditegaskan bahwa penegak hukum wajib melakukan mediasi penal antara korban dan

pelaku untuk mencapai perdamaian. Bisa dimungkinkan juga, penegakan hukum

hanya dikenai dalam kasus pengulangan tindak pidana (residivist) sehingga

penumpukan perkara UU ITE dan penuhnya penjara karena kejahatan ITE seperti ini

dapat dihindari.

Putusan No. 50/PUU-VI/2008 yang menguji Pasal 27 ayat (3) UU ITE,

memberikan pertimbangan bahwa pada dasarnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang

mengatur penghinaan dan pencemaran nama baik ialah bentuk pembatasan terhadap

kebebasan berpendapat (freedom of speech), untuk memberikan kepastian hukum

dalam penggunaan media informasi dan teknologi. Pembatasan tersebut didasarkan

pada Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945.

18
Dalam Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyati merupakan implikasi dari UU

ITE yang belum maksimal. Dalam pengaturan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, diatur unsur

‘penghinaan’ dan ‘pencemaran nama baik’ yang masih merujuk pada Pasal 310

KUHP. Belum bisa menjawab bagaimana terkait perkembangan teknologi Unsur itu

bersifat sangat subjektif dan dapat menjadi bahan karet bagi penegak hukum.

Sehingga mengatur Naik atau tidak perkaranya, dapat dipengaruhi berbagai

kepentingan. Dalam asas legalitas, terdapat kewajiban bagi penegak hukum, untuk

mengatur pasal yang tegas dan tidak multitafsir, sebagaimana ada dalam prinsip lex

certa (harus jelas) dan lex stricta (harus tegas). Hal ini sejalan dengan yang dikemukan

Soerjono Soekanto oleh faktor-Faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum

yang berasal dari hukumnya sendiri, terutama UU disebabkan karena tidak diikutinya

asas-asas berlakunya UU, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat

dibutuhkan untuk menerapkan UU, dan ketidakjelasan arti kata-kata di dalam UU

yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran dan penerapannya.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak yang penikmatannya

menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karenanya dapat

dibatasi dengan pembatasan yang harus secara tegas dan jelas. Negara perlu

secara tegas membedakan mana saja pendapat yang secara konten dilindungi dan

tidak dilindungi dan menggunakan pendekatan non-diskriminasi dimana negara

tidak ikut campur dan membatasi konten mana yang diperbolehkan atau tidak

baik melalui peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah. Kondisi pembatasan hak berpendapat dan berekspresi

spesifik, hanya dalam kondisi bahwa pembatasan yang dilakukan alasan

menghormati hak atau reputasi orang lain dan alasan keamanan, ketertiban umum

dan kesehatan dan moral publik dan harus secara ketat sesuai dengan asas

keperluan dan proporsionalitas.

2. Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyati merupakan implikasi dari UU ITE yang

belum maksimal. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, diatur unsur penghinaan dan

pencemaran nama baik yang masih merujuk pada Pasal 310 KUHP Unsur itu

bersifat sangat subjektif dan dapat menjadi bahan karet bagi penegak hukum.

Sehingga mengatur Naik atau tidak perkaranya, dapat dipengaruhi berbagai

kepentingan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum yang

berasal dari hukumnya sendiri, terutama UU disebabkan karena tidak diikutinya

asas-asas berlakunya UU, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat

dibutuhkan untuk menerapkan UU, dan ketidakjelasan arti kata-kata di dalam UU

yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran dan penerapannya.

20
B. SARAN

1. Pada dasarnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak yang

penikmatannya menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh

karenanya dapat dibatasi dengan pembatasan yang harus secara tegas dan jelas

dengan pengaturan yang susuai dengan dinamika perkembangan teknologi.

Dengan demikian hak-hak terkait kebebasan berpendapat melalui media sosial

dapat dilaksanakan baik dari kemanfaatan dimasayarakat dan dapat menjadi

sarana ketertiban agar tidak menimbulkan kesalpahaman terlebih berujung

kepada laporan pidana

2. Bahwa sudah seharusnya UU ite dilakukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE memiliki

batasan yang lebih jelas dan tegas, serta tidak lagi merujuk pada Pasal 310 KUHP

peninggalan Belanda yang bersifat sangat subjektif dan karet tersebut. Pasal 27

ayat (3) UU ITE bisa juga dihapuskan, dan kita merujuk pada Pasal 28 ayat (2) UU

ITE, yakni ujaran kebencian yang mengandung SARA dipidana. Hal ini lebih tegas

dan jelas jika dibandingkan dengan ‘penghinaan’ tanpa batasan yang jelas. Unsur

SARA dapat menjadi salah satu Batasan.

21
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Pres Yogyakarta.

Tahir Azhary, 2009, Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta.

Darwin, 2003, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung,

Ifdhal Kasim, 2001, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet 14, Rajawali
Press, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar Baru,
Bandung,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2016,
Dokumen Pembangunan Hukum Nasional Tahun 2016, Percetakan Pohon Cahaya, Jakarta Timur.

Musakkir, 2014, Problematika Hukum dan Peradilan, Problem Penegakan Hukum Oleh Aparat
Penegak Hukum di Indonesia, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia Cetakan
Pertama Jakarta.

Leden Marpaung, 2010, Tindak Pidana terhadap Kehormatan, Sinar Grafika. Jakarta.

Wicipto Setiadi, 2014, Problematika Hukum dan Peradilan, Problem Penegakan Hukum Oleh Aparat
Penegak Hukum di Indonesia, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia Cetakan
Pertama, Jakarta.

Dalam Zainal Abidin, & dkk, 2021, Mengatur Ulang Kebijakan Tindak Pidana di Ruang Siber Studi
Tentang Penerapan UU ITE di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jakarta
Selatan.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang International Covenant On Civil And Political
Rights (Konvonen Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)

22
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
KUHPIDANA

JURNAL
Dwi Nikmah Puspitasari, Kebebasan Berpendapat Dalam Media Sosial, 2016, Vol. 2. No. 14.

Muhardi Hasan dan Estika Sari, 2005, Hak Sipil dan Politik, Vol. 4, No. 1.

Retno Kusniati, Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Konsepsi
Negara Hukum, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah Kementrian
Hukum dan HAM Jambi, Hotel Ceria, Jambi, 24 Mei 2011.

WEBSITE

Ahmad Sofian, 2017, Tafsir Pencemaran Nama Baik, https://business-


law.binus.ac.id/2017/12/28/tafsir-pasal-pencemaran-nama-baik/. Diakses pada tanggal 17 Juni
2022.

Fitria Chusna Farisa, "Perjalanan Kasus Luhut Vs Haris Azhar hingga Ditetapkan Tersangka
Pencemaran Nama Baik",
baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/03/19/17000011/perjalanan-kasus-luhut-
vs-haris-azhar-hingga-ditetapkan-tersangka-pencemaran?page=all. Diakses pada tanggal 17
Juni 2022.

M. Fatahillah Akbar, 2021, Budaya UU ITE, https://mediaindonesia.com/opini/385897/budaya-uu-


ite , Diakses pada tanggal 17 juni 2022

23

Anda mungkin juga menyukai