Anda di halaman 1dari 9

Isian Substansi Proposal l

PENELITIAN TESIS MAGISTER (PTM)


Petunjuk:Pengusul hanya diperkenankan mengisi di tempat yang telah disediakan sesuai dengan petunjuk
pengisian dan tidak diperkenankan melakukan modifikasi template atau penghapusan di setiap bagian.

Tuliskan judul usulan penelitian


JUDUL USULAN
Kebebasan Berpendapat dan Media Sosial: Jejaring Wacana dalam Kontroversi Revisi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Ringkasan penelitian tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang penelitian, tujuan dan
tahapan metode penelitian, luaran yang ditargetkan, serta uraian TKT penelitian yang diusulkan.
RINGKASAN
Perkembangan teknologi media baru (media sosial) memiliki potensi untuk meningkatkan mutu
demokrasi dan memperkaya demokrasi (1), serta mengatasi paradoks dalam sistem komunikasi
massa yang tidak setara (2). Media sosial yang memiliki jangkauan luas, kecepatan dan efisiensi,
telah berperan memperkuat ide dan praktek kebebasan. Dengan media sosial kini siapa pun
memiliki kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (3). Media sosial menyebarluaskan
gagasan setiap orang dan membuat setiap orang terhubung satu sama lain.
Sebaliknya, media sosial juga sekaligus memberikan tantangan dan bahaya bagi demokrasi.
Meleburnya yang privat dan publik menyebabkan media sosial dibayangkan seperti ruang
komunikasi di mana orang dapat berbicara sekehendak hati dan mengabaikan hal-hal yang
fundamental dalam komunikasi: penghormatan dan empati kepada lawan bicara serta ansipasi
atas dampak ujaran atau pernyataan (2). Tanpa disadari atau pun sadar warga media sosial
meyebarkan kabar hoax berupa ungkapan kebencian pada kelompok tertentu yang berbeda baik
karena ras, agamagender, kecacatan, dan orientasi seksual.
Dengan kata lain, teknologi media baru ini seperti pisau bermata dua, yaitu memiliki manfaat
sekaligus bahaya bagi proses demokrasi pada sebuah masyarakat. Tantangan ini dialami oleh
semua negara di dunia yang harus menjawab tantangan ini sesuai dengan kondisi sosial,
politik, hukum dan budaya masing-masing. Di Indonesia, persoalan itu dijawab dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun
2016. Sejak pembahasan hingga penerapan setelah disahkan, UU ITE sering mendapat kritik
karena dianggap mengancam kebebasan pendapat. Oleh karena itu sejak tahun awal tahun 2020
timbul wacana revisi undang-undang tersebut, yang kemudian menimbulkan kontroversi dan
debat di kalangan publik. Penelitian ini akan memetakan perdebatan wacana dan peserta (aktor)
debat revisi tersebut yang terjadi di dalam paltform media sosial, dengan menggunakan metode
Discourse Network Analysis (DNA). Penelitian ini ditargetkan menuju TKT 2, sehingga
mencapai penyusunan alternatif metodologi, prosedur dan tahapan yang dapat digunakan untuk
keberlanjutan penelitian ini.

Penelitian ini adalah tahap pertama dari penelitian yang lebih luas berjudul “Teknologi Media
Baru dan Demokrasi di Indonesia” yang diupayakan memberi jawaban bagi persoalan tantangan
media sosial terhadap demokrasi dalam konteks Indonesia. Secara keseluruhan penelitian ini
dibagi ke dalam tiga tahun. Tahun pertama, yaitu tahun ini, penelitian menitikberatkan pada
kajian kasus media sosial dalam konteks misinformasi, disinformasi dan lain-lain, dalam ruang
publik maupun penggunaaanya oleh organisasi non-negara. Tahun kedua penelitian menekankan
kajian pada peran platform, algoritma dan artificial intelligence (AI) dalam proses demokrasi
dan wacana publik di Indonesia. Sedangkan pada tahun ketiga, penelitian mengarah kepada
kajian pada institusi negara dan prosedur formal dalam proses demokrasi digital, yaitu
menyangkut tanggung jawab platform media sosial dan regulasinya.
Hasil temuan pada penelitian ini akan dikirimkan ke jurnal nasional terakreditasi seperti Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (UGM, Sinta 1) atau Jurnal Komunikasi Indonesia (UI, Sinta 2).
Temuan-temuan dari Indonesia diyakini sangat penting bagi kajian demokasi digital di dunia,
karena Indonesia disebut sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Karena itu kajian
ilmiah dengan kasus Indonesia akan menyumbang kepada “body of knowledge” tentang
demokrasi dan dunia digital yang saat ini berkembang pesat.

Kata kunci maksimal 5 kata


KATA KUNCI
Media Sosial, Demokrasi, Kebebasan berbicara, Discourse Network Analysis, Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Latar belakang penelitian tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang dan permasalahan
yang akan diteliti, tujuan khusus dan studi kelayakannya. Pada bagian ini perlu dijelaskan
uraian tentang spesifikasi keterkaitan skema dengan bidang fokus atau renstra penelitian PT.
LATAR BELAKANG
Sejak ditetapkan pada 2008 hingga 2020 Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE) telah
melahirkan 700 kasus (4). Sepanjang tahun 2021, Amnesty International Indonesia (AII)
mencatat terdapat 84 kasus pelanggaran berekspresi dengan total 98 korban(5). Menurut
monitoring jaringan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), pelapor yang
banyak mengunakan UU ITE adalah pejabat publik, terlapor tertinggi adalah masyarakat awam
(6,7). Sedangkan pejabat publik berada di rangking bawah sebagai terlapor. Makin tingginya
jumlah kasus pelanggaran terhadap UU ITE terutama menyangkut kekebebasan berbicara
memunculkan berbagai perdebatan untuk segera merevisi UU ITE.
UU ITE dianggap mengandung “pasal karet” yang berpotensi membatasi kebebasan
berpendapat, terutama menyangkut Pasal 27, 28 dan 29. Pasal-pasal itu masih dianggap
“memberangus” hak berbicara warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945(8). Pasal-pasal
ini dianggap dijadikan sarana balas dendam, membungkam kritik, bahkan menjadi senjata politik
(9). UU ITE tidak demokratis dan mengancam berbagai macam ekspresi warga negara di media
sosial (10).
Berbagai kelompok masyarakat mendorong agar Pasal 27, 28 dan 29 di tinjau dan direvisi
kembali (11,12). Wacana untuk merevisi UU ITE yang didorong oleh kelompok-kelompak
Masyarakat mendapat hadangan dari kelompok lain yang menganggap UU ITE sudah jelas dan
terang, tidak perlu di revisi. Pertarungan wacana ini berlangsung di media massa offline maupun
online serta media sosial oleh para aktor aktor (aktivis, lembaga pemerintah, legislator, dan
akademisi) (13) yang memiliki kepentingan dalam revisi UU ITE. Para aktor berusaha
mempengaruhi kebijakan publik dengan memproduksi wacana dengan tujuan agar wacana
tersebut diterima oleh khalayak yang lebih luas.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui jaringan aktor-aktor (orang dan organisasi) yang terlibat dalam wacana revisi
UU ITE?
2. Menganalisis Wacana saja yang dikemukan oleh aktor, baik yang pro maupun kontra,
dalam wacana revisi UU ITE?
3. Menganalisis wacana paling dominan dalam wacana revisi UU ITE?

Urgensi Penelitian
Kebebasan berpendapat adalah prasyarat untuk demokrasi (14). Hak dasar yang harus diberikan
kepada seluruh masyarakat dalam negara demokratis (15). Begitu pentingnya kebebasan
berpendapat, negara-negara demokrasi melindunginya dengan undang-undang (16). Kehadiran
media baru dan media media sosial makin menguatkan kebebasan berpendapat dan partisipasi
masyarakat dalam politik (17). Bahkan di beberapa negara media sosial menjadi sarana
menumbangkan para diktator (18,19). Di Indonesia media menjadi sarana publik untuk
menyuarakan protes dan koreksi pada kebijakan pemerintah (20–22). Namun, kebebasan
berbicara di media sosial juga menghadirkan tantangan yang baru, muculnya pertengkaran dan
perdebatan yang tidak berujung (23), echo chambers (24), hoaks, fake news, dan misinformasi
(25–27). Kompleksitas yang muncul di media sosial mendorong banyak negara untuk membuat
regulasi yang mengatur internet dan media sosial, yang pada gilirannya ternyata regulasi yang
dibuat sering membungkam kebebasan berbicara (28). Hal yang sama terjadi pada UU ITE
sehingga banyak kelompok masyarakat yang mendorong untuk segera direvisi. Penelititan ini
bertujuan untuk memetakan berbagai aktor dan wacana yang berkembang dalam perdebatan
revisi UU ITE.

Tinjauan pustaka tidak lebih dari 1000 kata dengan mengemukakan state of the art dalam bidang
yang diteliti/teknologi yang dikembangkan. Sumber pustaka/referensi primer yang relevan dan
dengan mengutamakan hasil penelitian pada jurnal ilmiah dan/atau paten yang terkini.
TINJAUAN PUSTAKA
Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat
Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah menempati stratum teratas yang diterima oleh
banyak negara karena dianggap mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan
politik (29). Demokrasi menjadi pusat dan tumpuan harapan akan masa depan yang lebih cerah
dan cita-cita menuju suatu kehidupan yang penuh kebebasan dan bermartabat (30). Gagasan dan
janji akan kesetaraan dan kebebasan mendorong banyak negara bekas jajahan di Asia dan Afrika,
misalnya, untuk memeluk sistem demokrasi.
Salah satu prinsip utama sistem demokrasi adalah unsur kebebasan bebicara. Dalam demokrasi
masing-masing warga negara mempunyai suara yang sama yang perlu didengarkan bersama
semua orang lain (31). Artinya demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat, persaingan, dan
pertentangan di antara individu, kelompok, antara individu dan kelompok, antara individu dan
pemerintah, kelompok dan pemerintah dan di antara lembaga pemerintah (32). Bila kebebasan
berbicara dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik akan terancam. Kebebasan berpendapat
adalah sarana utama dan eksklusif bagai tindakan politik (33). Kebebasan dan kemerdekaan
berpendapat dalam demokrasi merupakan hak alamiah dan tidak boleh dilanggar oleh Negara
(34,35).
Kebebasan Berpendapat di Media Sosial
Kebebasan masyarakat dalam berekspresi dan mengemukakan pendapatnya merupakan hak dan
tanggung jawab dari negara demokrasi. Media sosial sebagai bentuk perkembangan teknologi
informasi komunikasi merupakan sarana komunikasi yang tidak dapat diabaikan keberadaannya.
Media sosial sebagai ruang publik baru merealisasikan kebebasan berekspresi dan berpendapat
mendorong demokrasi yang partisipatif (36).
Kebebasan berpendapat benar-benar dirayakan melalui media baru. Bukan sekadar hak untuk
mengeluarkan pendapat, tetapi juga sebagai arena suara rakyat penyeimbang bagi demokrasi itu
sendiri (37). Media sosial adalah wadah alternatif dalam menyampaikan pendapat dan ekspresi
terkait dengan problem atau kegelisahan yang dihadapi. Oleh karena itu, tanpa mengenal batas
ruang dan waktu publik bebas menyampaikan ide atau gagasannya lewat media sosial (38).
Discourse di Ruang Publik: Pertarungan Wacana Revisi UU ITE
Ruang Publik memungkinkan para warga negara untuk bebas menyatakan sikap mereka. Karena
ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warga negara untuk
menggunakan kekuatan argumen (39). Habermas membayangkan ruang publik sebagai jembatan
yang menghubungkan kepetingan dalam ruang privat dengan kepentingan ruang publik. Ruang
publik berupaya menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda sehingga mampu
dipertemukan dan berdiskursus untuk mencapai konsensus bersama (34).
Media baru menghadirkan ruang publik baru yang akan menghidupkan kembali diskusi
demokratis (3). McQuail mengatakan Media elektronik membuka peluang yang besar terjadinya
dialog antara politikus dan warga negara yang aktif (40). Ruang publik menjadi ajang untuk
mendiskusikan atau mengkritik berbagai kebijakan publik baik oleh berbagai aktor maupun
jaringan para aktor yang berkualisi untuk mendukung atau menggalkan sebuah kebijakan publik.
Papacharissi mengingatkan, meskipun diskusi politik di media sosial menjanjikan demokrasi
langsung, kontribusinya terbatas dalam model demokrasi perwakilan yang tidak mendukung
saluran umpan balik langsung ke institusi politik (3). Oleh karena itu, tanpa saluran komunikasi
yang tepat, pembicaraan politik jarang benar-benar berubah menjadi praktik demokrasi (3).
Discourse Network Analysis
Media cenderung mengabaikan unsur keterkaitan atau keterhubungan antara wacana satu dengan
wacana lainnya. Discourse Network Analysis (DNA) adalah salah satu pendekatan termutakhir
dalam menganalisis konten media sosial yang berjumlah besar. DNA mencoba melihat
keterhubungan antar wacana, hubungan ini dapat menghasilkan suatu interpretasi tersendiri
terkait suatu fenomena tertentu. Interpretasi ini dapat dicapai melalui keterhubungan antar
wacana yang membentuk jaringan serta menjelaskan relasi wacana di dalamnya. Relasi ini dapa
memberikan penjelasan mengenai aktor-aktor yang terlibat dan peran masing-masing dalam
suatu peristiwa. Selain itu, keterhubungan antar wacana ini juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pentingnya suatu topik, stance, serta argumen dalam sebuah teks wacana (41).
Relasi ini dapat memberikan penjelasan mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam suatu
peristiwa serta masing-masing perannya (13). Selain itu, keterhubungan antar wacana ini juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi pentingnya suatu topik, posisi serta argumen dalam
sebuah teks wacana. DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara sistematis suatu relasi
sebuah wacana dalam berbagai dokumen sehingga bisa membentuk sebuah jaringan yang
kompleks. DNA kemudian mamppu memvisualkan wacana baik itu wacana politik ataupun
sosial budaya ke dalam sebuah jaringan (42). Ada dua kata kunci utama dalam teori jaringan
wacana. Pertama adalah aktor: Jaringan fenomena komunikasi melihat fenomena atau peristiwa
dari sisi mikro (aktor), bukan makro. Kata kunci kedua adalah relasi, yaitu bagaimana aktor-
aktor ini berelasi satu sama lain (43).
DNA dapat menggambarkan aktor-aktor yang terlibat di dalam sebuah peristiwa (44). Setiap
wacana di berbagai media dapat membentuk rangkaian jaringan yang terhubung antara satu
dengan lainnya. Teks wacana yang terdapat di media juga dapat memberikan gambaran terkait
jaringan aktor yang terlibat dalam sebuah peristiwa atau kejadian. Menurut Hajer (45) proses
pertarungan antara aktor terjadi dalam proses pengambilan kebijakan publik, beberapa aktor
memiliki kepentingan dalam suatu kebijakan. Aktor mempengaruhi kebijakan publik dengan
memproduksi wacana dengan tujuan agar wacana tersebut diterima oleh khalayak yang lebih
luas. Setiap aktor memberikan argumen untuk meyakinkan publik bahwa apa yang mereka
katakan itu benar (41).
Jaringan wacana sebagai metode yang berusaha menggambarkan dan menjelaskan jaringan
sosial dan struktur jaringan. Jaringan secara sederhana didefinisikan sebagai serangkat aktor
yang memiliki yang mempunyai relasi dengan aktor lain dalam tipe relasi tertentu. DNA
menggambarkan relasi aktor (bisa orang, lembaga, perusahan, negara dan lain sebagai) satu
dengan yang lain dalam strukur sosial tertentu (13).

Peta Jalan Penelitian


Peneliti Pertama telah melakukan penelitian mengenai teknologi media baru dan masyarakat
digital, baik kajian literatur maupun penelitian empiris. Thesis master peneliti di Ohio University
berjudul “Mapping Notions of Cyberspace” (2005) memetakan pemikiran dalam dunia Internet.
Sedangkan disertasi peneliti di universitas yang sama berjudul “Homeland, Identity and Media”
(2007) melihat bagaimana media baru berperan pada kehidupan diaspora Indonesia di New York
City, Amerika Serikat. Kajian yang lain berjudul “Increasingly Virtual Community: How
Communication Technologies Constantly Redefine Social Relationships” dimuat dalam Jurnal
Paramadina, 4, 2011. Artikel popular peneliti juga dimuat di Majalah Tempo, 2-8 Januari 2017,
berjudul “Media Sosial yang Beradab”. Sebagai kelanjutan, peta jalan penelitian bisa
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Peta Jalan Penelitian


Metode atau cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ditulis tidak melebihi 600 kata.
Bagian ini dilengkapi dengan diagram alir penelitian yang akan dikerjakan selama waktu yang
diusulkan. Bagan penelitian harus dibuat secara utuh dengan penahapan yang jelas, semua
tahapan untuk mecapai luaran beserta indikator capaian yang ditargetkan. Pada bagian ini harus
juga dijelaskan tugas masing-masing anggota pengusul sesuai tahapan penelitian yang diusulkan.
METODA
DNA adalah pendekatan metodologi terbaru yang mengkombinasikan analisis wacana dan
analisis jaringan sosial untuk mengidentifikasi sebuah wacana dalam berbagai dokumen
sehingga membentuk sebuah jaringan. DNA mengkombinasikan analisis isi yang berbasis
kualitatif yaitu analisis wacana dengan analisis jaringan sosial untuk mengetahui gagasan-
gagasan aktor secara relasional dan sistematis (41). Pendekatan ini memungkinkan untuk
mengidentifikasi secara sistematis suatu struktur wacana dalam berbagai dokumen tekstual
seperti media cetak dan online (44,46).

Data akan diperoleh dengan mengunduh berita tentang revisi UU ITE dari tiga media online,
yaitu kompas.com, detik.com dan tempo.co, pada periode 1 Januari 2021 hingga 31 Desember
2021. Media-media tersebut dipilihkan karena ketiganya media online yang aktif memberitakan
tentang UU ITE dan juga media online yang kredibel serta memiliki banyak pembaca.

Pengolahan Data dengan aplikasi DNA


Aplikasi DNA secara umum telah memiliki prosedur formal dan urut yang memungkinkan
memastikan analisis jaringan wacana dan aktoir bisa dilakukan dengan baik. Tahapan analisis
DNA adalah sebagai berikut:
1. Membuat DNA database. Di sini peneliti menggunakan Local DNA File.
2. Mengidentifikasikan user dan permissions set. Disini peneliti menggunakan default user
3. Menentukan statement type. Menggunakan default statement type yakni:
• Person dengan tipe data short text
• Organization dengan tipe data short text
• Concept dengan tipe data short text
• Agreement dengan tipe data Boolean
4. Memasukkan data kedalam DNA database. Dilakukan dengan cara manual
5. Koding data. Dilakukan dengan membuat DNA statements yang terdiri dari:
• Person: Orang atau aktor yang berbicara atau membuat pernyataan.
• Organization: Organsasi yang membuat pernyataan adalah orang yang berafiliasi
dengannya.
• Concept: Representasi abstrak dari topik yang dibahas
• Agreement: Menunjukkan apakah aktor setuju dengan konsep atau tidak.
6. Ekspor data yang sudah di-coding
7. Visualisasi data menggunakan Gemphi

Adapun tahapan dan alur penelitian dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:
Gambar 2. Tahapan Penelitian
.

Jadwal penelitian disusun dengan mengisi langsung tabel berikut dengan memperbolehkan
penambahan baris sesuai banyaknya kegiatan.
JADWAL PENELITIAN

Bulan
No Nama Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Kajian pustaka
2. Persiapan penelitian
3. Pengumpulan Data
4. Analisis Data
5. Penulisan Laporan Penelitian/Artikel
6. Presentasi Laporan Baik dalam konferensi
maupun internal penelitian
7. Pengiriman artikel ke jurnal ilmiah untuk
publikasi

Daftar pustaka disusun dan ditulis berdasarkan sistem nomor sesuai dengan urutan pengutipan.
Hanya pustaka yang disitasi pada usulan penelitian yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas S. Media Baru, Partisipasi Politik dan Kualitas Demokrasi. Konf Nas Komun.
2014
2. Sudibyo A. Jagat Digital. 1st ed. Jakarta: KPG; 2019.
3. Papacharissi Z. Democracy online: Civility, politeness, and the democratic potential of
online political discussion groups. New Media Soc. 2004;6(2):259–83.
4. Amnesty International. KERTAS KEBIJAKAN Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil
atas Revisi UU ITE. Jakarta; 2021.
5. Yla/kid. Amnesty Catat 84 Kasus Kriminalisasi Ekspresi Pakai UU ITE selama 2021
[Internet]. CNN Indonesia. 2021 [cited 2022 Jan 30]. Available from:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211213140639-12-733388/amnesty-catat-84-
kasus-kriminalisasi-ekspresi-pakai-uu-ite-selama-2021
6. Rasdianto FY. INVESTIGASI Para Penunggang UU ITE [Internet]. Detik.com. 2021
[cited 2022 Feb 1]. Available from:
https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20210301/Para-Penunggang-UU-ITE/
7. Gerintya S. Jerat UU ITE Banyak Dipakai oleh Pejabat Negara [Internet]. Tirto.id. 2018
[cited 2022 Feb 1]. Available from: https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-
pejabat-negara-c7sk
8. Gunawan H. Tinjauan Yuridis Terhadap Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di Media
Sosial Dikaitkan Dengan Kebebasan Berpendapat Dan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik. Res Nullius Law J. 2020;2(1):76–86.
9. Permatasari IA, Wijaya JH. Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik Dalam Penyelesaian Masalah Ujaran Kebencian Pada Media Sosial. J Penelit
Pers dan Komun Pembang. 2019;23(1):27–41.
10. Nurlatifah M. Ancaman kebebasan berekspresi di media sosial. Jurnal [Internet].
2018;(September 2016):hal 4-5. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/324138459_
11. Sidik S. Dampak Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Uu Ite)
Terhadap Perubahan Hukum Dan Sosial Dalam Masyarakat. Jurist-Diction.
2013;1(3):933–48.
12. Febriansyah FI, Purwinarto HS. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Ujaran
Kebencian di Media Sosial. J Penelit Huk Jure. 2020;20(2):177.
13. Leifeld P. Policy debates and discourse network analysis: A research agenda. Polit Gov.
2020;8(2):180–3.
14. Massaro TM, Norton H. Free Speech and Democracy a Primer for Twenty-First Century
Reformers. UC Davis L Rev. 2021;54:1631.
15. Marwadianto M. Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. J HAM [Internet].
2020;11(1):1–4. Available from:
https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/view/976/pdf
16. Voorhoof D, Cannie H. Freedom of expression and information in a democratic society:
The added but Fragile value of the European convention on human rights. Int Commun
Gaz. 2010;72(4):407–23.
17. Tucker JA, Theocharis Y, Roberts ME, Barberá P. From liberation to turmoil: Social
media and democracy. J Democr. 2017;28(4):46–59.
18. Lynch M, Freelon D, Aday S. How Social Media Undermines Transitions to Democracy
[Internet]. 2016. 1–40 p. Available from: http://www.peacetechlab.org/blogs-bullets-iv
19. Richter C, Richter C, Antonakis A. Digital Media and the Politics of Transformation in
the Arab World and Asia. Digital Media and the Politics of Transformation in the Arab
World and Asia. 2018.
20. Sahidin D. “Teknik Critical Discourse Analysis (CDA) pada Pembelajaran Cerpen.” J
Ilm Progr Stud Pendidik Bhs dan Sastra Indones. 2015;4(2):91–105.
21. Gazali E. Learning by clicking: An experiment with social media democracy in
Indonesia. Int Commun Gaz. 2014;76(4–5):425–39.
22. Shah N, Sneha PP, Chattapadhyay S. Digital activism asia. In: Digital Activism in Asia
Reader. 2015.
23. Ceron A, Memoli V. Flames and Debates: Do Social Media Affect Satisfaction with
Democracy? Soc Indic Res. 2016;126(1):225–40.
24. Justwan F, Baumgaertner B, Carlisle JE, Clark AK, Clark M. Social media echo
chambers and satisfaction with democracy among Democrats and Republicans in the
aftermath of the 2016 US elections. J Elections, Public Opin Parties [Internet].
2018;28(4):424–42. Available from: https://doi.org/10.1080/17457289.2018.1434784
25. Mansur S, Saragih N, Ritonga R, Damayanti N. Fake News on Social Media and
Adolescent’s Cognition. J ASPIKOM. 2021;6(1):29.
26. Wang P, Angarita R, Renna I. Is this the Era of Misinformation yet. 2018;1557–61.
27. Hossova M. Fake News and Disinformation: Phenomenons of Post-Factual Society.
Media Lit Acad Res. 2018;1(2):27–35.
28. Chakim ML. Freedom of Speech and the Role of Constitutional Courts: The Cases of
Indonesia and South Korea. Indones Law Rev. 2020;10(2):191–206.
29. Nugroho H. Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk
Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia. J Pemikir Sosiol. 2015;1(1):1.
30. Baechler J. Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis. 1st ed. Yogyakarta; 2001.
31. Boyle DB 7 K. Demokrasi: 80 Tanya-Jawab. 1st ed. Yogyakarta: kanisius; 2000.
32. Surbakti R. Memahami Ilmu Politik. 1st ed. Jakarta: Gramedia; 1992.
33. Bruno L. Strategi Politik. J Chem Inf Model. 2019;53(9):1689–99.
34. Wattimena RAA. Negara Hukum Klasik. Yogyakarta: kanisius; 2007.
35. Pureklolon TT. Negara Hukum dalam dalam Pemikiran Politik. Yogyakarta: kanisius;
2020.
36. Nasution L. Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Ruang Publik di Era
Digital. ’Adalah. 2020;4(3):37–48.
37. Syahri AS. Kebebasan Berpendapat Melalui Media Baru Dalam Bayang-Bayang Uu
Informasi Dan Transaksi Elektronik (Ite). J Cakrawala. 2010;10(1):26–31.
38. Jamal F, Natsif FA. Kebebasan Berpendapat Di Media Sosial Dalam Perspektif Asas
Cogitationis Poenam Nemo Patitur. Alauddin Law Dev J [Internet]. 2020;2:210–20.
Available from: http://103.55.216.56/index.php/aldev/article/view/15395
39. Hardiman FB. Demokrasi Delibiratif. 1st ed. Yogyakarta: Kanisius; 2009.
40. Wahid U. Komunikasi Politik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media; 2016.
41. Leifeld P, Haunss S. Political discourse networks and the conflict over software patents
in Europe. Eur J Polit Res. 2012;51(3):382–409.
42. Illahi Ulfa AA, Pratama B. Discourse Networking Analysis AS Alternative Research
Method In Communication Science Studies - Discourse Networking Analysis sebagai
Metode Penelitian Alternatif dalam Kajian Ilmu Komunikasi. J Penelit Komun dan
Opini Publik. 2017;21(2):223278.
43. Eriyanto. Analisis Jaringan Komunikasi. 1st ed. Jakarta: Kencana; 2014.
44. Leifeld P, Eriyanto, Ali DJ, Leifeld P, Muller A, Rinscheid A, et al. Reconceptualizing
Major Policy Change in the Advocacy Coalition Framework: A Discourse Network
Analysis of German Pension Politics. Polit Gov. 2020;8(2):169–98.
45. Eriyanto, Ali DJ. Discourse network of a public issue debate: A study on covid-19 cases
in indonesia. J Komun Malaysian J Commun. 2020;36(3):209–27.
46. Buckton CH, Fergie G, Leifeld P, Hilton S. A discourse network analysis of UK
newspaper coverage of the “sugar tax” debate before and after the announcement of the
Soft Drinks Industry Levy. BMC Public Health. 2019;19(1):1–14.

Anda mungkin juga menyukai