Abstrak
1. Pendahuluan
Media sosial merupakan salah satu fenomena komunikasi yang berkembang pesat
di era digital. Media sosial adalah platform online yang memungkinkan pengguna
untuk berbagi, berinteraksi, dan berkolaborasi dengan konten yang dibuat oleh
pengguna itu sendiri atau oleh pihak lain (Kaplan dan Haenlein, 2010). Media
sosial memiliki karakteristik yang berbeda dengan media konvensional, seperti
interaktivitas, partisipasi, personalisasi, dan viralitas (Chaffey dan Smith, 2013).
Media sosial juga memiliki dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Salah satu aspek yang dipengaruhi oleh media sosial adalah kebebasan pers dan
demokrasi. Kebebasan pers adalah hak untuk berkomunikasi dan berekspresi
dalam memberikan informasi kepada publik melalui media massa, tanpa adanya
campur tangan atau tekanan dari negara, pemerintah, atau elemen masyarakat lain
(Alimuddin, 2014). Kebebasan pers merupakan salah satu hak asasi manusia yang
dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kebebasan pers juga merupakan salah
satu syarat penting bagi terwujudnya demokrasi. Demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat, yang diwujudkan melalui
pemilihan umum,
Media sosial memiliki peran penting dalam mendukung kebebasan pers dan
demokrasi di Indonesia. Media sosial menjadi sumber informasi yang alternatif,
yang dapat menawarkan perspektif yang berbeda dengan media mainstream.
Media sosial juga menjadi sarana partisipasi politik, yang dapat memfasilitasi
masyarakat untuk terlibat dalam proses demokrasi, seperti pemilu, demonstrasi,
atau petisi. Media sosial juga menjadi ruang diskusi publik, yang dapat
memungkinkan masyarakat untuk berdialog, berdebat, dan berdeliberasi dengan
sesama warga negara atau dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Namun, media sosial juga menghadapi tantangan dan ancaman yang dapat
mengganggu kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Media sosial rentan
terhadap penyebaran informasi palsu atau hoaks, yang dapat menyesatkan,
menakut-nakuti, atau memprovokasi masyarakat. Media sosial juga berpotensi
menimbulkan ujaran kebencian, yang dapat memecah belah, mendiskriminasi,
atau menghasut masyarakat. Media sosial juga dapat dimanfaatkan oleh aktor-
aktor politik, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mempengaruhi opini
publik, memobilisasi massa, atau mengintervensi proses demokrasi.
Kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah media sosial di Indonesia,
khususnya media sosial yang populer digunakan oleh masyarakat, seperti
Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, dan WhatsApp. Pemilihan kasus ini
didasarkan pada beberapa alasan, yaitu:
- Media sosial di Indonesia memiliki jumlah pengguna yang sangat besar, yaitu
sekitar 170 juta orang pada tahun 2023, atau sekitar 62% dari total populasi
Indonesia (We Are Social, 2023).
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tiga teknik, yaitu observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan mengamati aktivitas,
interaksi, dan konten yang ada di media sosial, baik yang bersifat publik maupun
privat. Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan topik penelitian kepada informan yang terpilih, baik secara
langsung maupun melalui media sosial. Dokumentasi dilakukan dengan
mengumpulkan dokumen-dokumen yang relevan dengan topik penelitian, seperti
laporan, artikel, berita, statistik, survei, atau regulasi yang terkait dengan media
sosial, kebebasan pers, dan demokrasi di Indonesia.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pers bebas, teori demokrasi
deliberatif, dan teori komunikasi politik. Teori pers bebas adalah teori yang
menganggap bahwa pers harus bebas dari campur tangan atau tekanan dari negara,
pemerintah, atau elemen masyarakat lain, sehingga dapat memberikan informasi
yang akurat, objektif, dan berimbang kepada publik (Siebert et al., 1956). Teori
demokrasi deliberatif adalah teori yang menganggap bahwa demokrasi tidak
hanya berdasarkan pada pemilihan umum, tetapi juga pada proses deliberasi atau
diskusi rasional antara warga negara atau pemangku kepentingan yang berbeda,
sehingga dapat mencapai keputusan yang adil, inklusif, dan transparan
(Habermas, 1996). Teori komunikasi politik adalah teori yang mengkaji tentang
bagaimana komunikasi, khususnya media, mempengaruhi perilaku, sikap, opini,
dan partisipasi politik dari individu, kelompok, atau masyarakat (McNair, 2018).
Dalam bagian ini, saya akan membahas tentang bagaimana media sosial
mempengaruhi kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia, dengan menggunakan
teori pers bebas, teori demokrasi deliberatif, dan teori komunikasi politik. Saya
akan mengelompokkan pembahasan ini menjadi tiga sub-bagian, yaitu:
Media sosial memiliki peran penting sebagai sumber informasi bagi masyarakat,
khususnya bagi generasi muda yang akrab dengan teknologi digital. Menurut data
dari We Are Social (2023), sekitar 99% pengguna internet di Indonesia
menggunakan media sosial, dan sekitar 88% pengguna internet di Indonesia
mencari informasi melalui media sosial. Media sosial menawarkan berbagai
keuntungan sebagai sumber informasi, antara lain:
- Media sosial menyediakan informasi yang beragam, baik dari segi jenis,
topik, sudut pandang, maupun sumber. Media sosial memungkinkan
pengguna untuk mengakses informasi dari berbagai media massa,
lembaga, organisasi, komunitas, maupun individu, baik dari dalam
maupun luar negeri. Media sosial juga memungkinkan pengguna untuk
memilih informasi yang sesuai dengan minat, preferensi, atau kebutuhan
mereka.
- Media sosial menyediakan informasi yang cepat, mudah, dan murah.
Media sosial memungkinkan pengguna untuk mendapatkan informasi
secara real time, tanpa harus menunggu jadwal siaran, edisi cetak, atau
distribusi fisik. Media sosial juga memungkinkan pengguna untuk
mendapatkan informasi dengan cara yang praktis, tanpa harus membuka
banyak situs web, membaca banyak halaman, atau membayar biaya
langganan. Media sosial juga memungkinkan pengguna untuk
mendapatkan informasi dengan biaya yang rendah, hanya dengan
menggunakan kuota internet atau wifi.
Dari perspektif teori pers bebas, media sosial dapat mendukung kebebasan pers di
Indonesia, dengan memberikan informasi yang akurat, objektif, dan berimbang
kepada publik, tanpa adanya campur tangan atau tekanan dari negara, pemerintah,
atau elemen masyarakat lain. Media sosial juga dapat mendukung hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi, sebagai salah satu hak asasi manusia yang dijamin
oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Media sosial juga
dapat mendukung tanggung jawab sosial pers, dengan memberikan informasi
yang bermanfaat, edukatif, dan kritis kepada masyarakat, serta menghormati
norma-norma etika, hukum, dan agama yang berlaku.
Namun, media sosial juga menghadapi tantangan dan ancaman yang dapat
mengganggu kebebasan pers di Indonesia, dengan memberikan informasi yang
palsu, bias, atau tidak seimbang kepada publik, yang dapat menyesatkan,
menakut-nakuti, atau memprovokasi masyarakat. Media sosial juga dapat
menghadapi campur tangan atau tekanan dari negara, pemerintah, atau elemen
masyarakat lain, yang dapat menyensor, mengintimidasi, atau mengancam pers
yang menyajikan informasi yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Media
sosial juga dapat mengabaikan tanggung jawab sosial pers, dengan memberikan
informasi yang tidak bermutu, sensasional, atau vulgar kepada masyarakat, serta
melanggar norma-norma etika, hukum, atau agama yang berlaku.
Beberapa contoh kasus yang menunjukkan tantangan dan ancaman media sosial
sebagai sumber informasi di Indonesia antara lain:
- Kasus hoaks atau informasi palsu yang beredar di media sosial, seperti hoaks
tentang vaksin Covid-19, hoaks tentang hasil pemilu, hoaks tentang gempa bumi
dan tsunami, hoaks tentang isu-isu agama, etnis, atau rasial, dan lain-lain. Hoaks
dapat menimbulkan kebingungan, ketakutan, atau kemarahan di kalangan
masyarakat, serta dapat memicu konflik, kekerasan, atau kerusuhan sosial.
- Kasus ujaran kebencian atau hate speech yang beredar di media sosial, seperti
ujaran kebencian terhadap pemerintah, ujaran kebencian terhadap kelompok
politik, ujaran kebencian terhadap kelompok agama, ujaran kebencian terhadap
kelompok etnis, atau rasial, dan lain-lain. Ujaran kebencian dapat menimbulkan
permusuhan, diskriminasi, atau penghinaan di kalangan masyarakat, serta dapat
melanggar hak asasi manusia, hukum, atau agama yang berlaku.
- Kasus manipulasi opini atau opinion shaping yang beredar di media sosial,
seperti manipulasi opini oleh aktor-aktor politik, baik dari dalam maupun luar
negeri, yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap, perilaku, atau pilihan politik
masyarakat, seperti dalam pemilu, pilkada, atau referendum. Manipulasi opini
dapat menimbulkan polarisasi, fragmentasi, atau anomali politik di kalangan
masyarakat, serta dapat mengganggu proses demokrasi yang adil, jujur, dan
transparan.
Beberapa contoh kasus yang menunjukkan tantangan dan ancaman media sosial
sebagai sarana partisipasi politik di Indonesia antara lain:
Media sosial memiliki peran penting sebagai ruang diskusi publik bagi
masyarakat, khususnya bagi generasi muda yang terbuka dan toleran dalam hal
politik. Menurut data dari We Are Social (2023), sekitar 76% pengguna internet di
Indonesia menggunakan media sosial untuk berdiskusi tentang isu-isu politik, baik
dengan teman, keluarga, maupun orang asing. Media sosial menawarkan berbagai
keuntungan sebagai ruang diskusi publik, antara lain:
Namun, media sosial juga menghadapi tantangan dan ancaman yang dapat
mengganggu demokrasi di Indonesia, dengan memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk terlibat dalam proses konflik atau pertikaian emosional antara
warga negara atau pemangku kepentingan yang berbeda, sehingga dapat
menimbulkan keputusan yang tidak adil, eksklusif, atau tidak transparan. Media
sosial juga dapat mengancam konsensus publik, dengan memberikan kesempatan
bagi masyarakat untuk menciptakan perpecahan, ketidaksepakatan, atau
konfrontasi antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan, bersaing, atau
berkonflik. Media sosial juga dapat mengabaikan partisipasi publik, dengan
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengabaikan, menolak, atau
menentang aspirasi, kepentingan, atau tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat
lain, pemerintah, pejabat, atau institusi politik.
Beberapa contoh kasus yang menunjukkan tantangan dan ancaman media sosial
sebagai ruang diskusi publik di Indonesia antara lain:
- Kasus debat politik yang berlangsung di media sosial, baik dalam bentuk
online maupun offline, yang sering kali melibatkan adu argumen, hujatan,
atau ejekan yang tidak rasional, tidak berdasar, atau tidak sopan. Debat
politik yang tidak sehat dapat menurunkan kualitas demokrasi, dengan
mengorbankan logika, data, atau fakta, mengabaikan etika, norma, atau
aturan, atau merusak hubungan, persahabatan, atau kerjasama.
- Kasus echo chamber atau filter bubble yang terjadi di media sosial, yaitu
fenomena di mana pengguna media sosial cenderung berinteraksi,
berpartisipasi, atau berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki
pandangan, sikap, atau kepentingan yang sama atau serupa dengan
mereka, sehingga mengisolasi diri dari pandangan, sikap, atau kepentingan
yang berbeda atau beragam. Echo chamber atau filter bubble dapat
menurunkan kualitas demokrasi, dengan mengurangi keragaman,
pluralisme, atau toleransi di kalangan masyarakat, serta dapat
meningkatkan polarisasi, radikalisasi, atau ekstremisme di kalangan
masyarakat.
Artikel ini telah mengkaji bagaimana media sosial mempengaruhi kebebasan pers
dan demokrasi di Indonesia. Artikel ini telah membahas tentang peran media
sosial sebagai sumber informasi, sarana partisipasi politik, dan ruang diskusi
publik, serta tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh media sosial, seperti
hoaks, ujaran kebencian, atau manipulasi opini. Artikel ini juga telah
menambahkan metodologi dan teori yang relevan untuk menganalisis fenomena
tersebut.
Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa media sosial memiliki dampak yang
signifikan terhadap kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia, baik secara positif
maupun negatif. Media sosial dapat mendukung kebebasan pers dan demokrasi,
dengan memberikan informasi yang beragam, cepat, dan interaktif, dengan
memfasilitasi partisipasi politik yang mudah, murah, dan personal, dan dengan
memperluas dan memperkaya ruang diskusi publik yang terbuka, toleran, dan
kritis. Namun, media sosial juga dapat mengganggu kebebasan pers dan
demokrasi, dengan memberikan informasi yang palsu, bias, atau tidak seimbang,
dengan menghadapi campur tangan atau tekanan dari aktor-aktor politik, baik dari
dalam maupun luar negeri, dan dengan mengabaikan tanggung jawab sosial pers
yang harus menghormati norma-norma etika, hukum, atau agama yang berlaku.
Daftar Pustaka
Alimuddin. 2014. Kebebasan Pers dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Prenada Media.
Siebert, Fred S., Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm. 1956. Four Theories
of the Press: The Authoritarian, Libertarian, Social Responsibility, and Soviet
Communist Concepts of What the Press Should Be and Do. Urbana: University of
Illinois Press.
Yin, Robert K. 2014. Case Study Research: Design and Methods. Edisi ke-5.
Thousand Oaks: Sage Publications.