Anda di halaman 1dari 5

PROPOSAL RENCANA TESIS PROGRAM MAGISTER KONSENTRASI

TATA KELOLA PEMILIHAN UMUM


“IMAM WAHYUDI, S.Sos”

A. Latar Belakang
Demokrasi merupakan suatu sistem yang telah disepakati
oleh para pendiri negara ini. Secara etimologis, demokrasi
merupakan gabungan antara dua kata dari bahasa Yunani,
yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein atau cratos yang
berarti kekuasaan. Jadi demokrasi berarti kedaulatan yang berada
di tangan rakyat. Dengan kata lain, kedulatan rakyat mengandung
pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah Negara
dibawah kendali rakyat.1
Pengertian demokrasi secara istilah menurut para ahli,
adalah sebagai berikut:2
Joseph A. Shumpter
“Demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk
mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh
kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas
suara rakyat”.
Sidney Hook:
“Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-
keputusan pemerintahan yang penting secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan
secara bebas dari rakyat dewasa”.
Henry B. Mayo:
“Demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang
menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik”.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan
kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama
lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini
diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi
dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Akan tetapi ada satu lagi Pilar Demokrasi yang sering
terlupakan pada saat orang membahas demokrasi yaitu kebebesan
pers. Meskipun berada diluar system yang formal akan tetapi
kebebasan pers juga diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.
Setelah runtuhnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya
Presiden Soeharto, membawa perubahan yang besar terhadap
1
R.Masri Sareb Putra (ed), Etika dan Tertib Warga Negara, (Jakarta: Salemba Humanika,
2010),hal.148
2
Ibid, hal 148

1
keberadaan lembaga pers sebagai pilar demokrasi keempat.
Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh media menjadi
dasar respon dan sikap masyarakat terhadap berbagai isu yang
berkembang disekeliling masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori
McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000 :
66) yang menjelaskan bahwa media sebagai window on event and
experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan
khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media
merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
Letak kekuatan Media massa inilah yang mampu
menyebarluaskan informasi dengan persuasi yang besar kepada
masyarakat sehingga beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan
menjadikan media massa sebagai alat untuk tujuan politik.
Kebutuhan masyarakat akan informasi yang besar terkait kondisi
politik di sekitarnya menjadikan media massa dengan leluasa
menyampaiakan informasi sesuai dengan kepentingan para
pemiliknya.
Akan tetapi daya tarik media massa akhirnya mendapatkan
kompetitor dari social media yang dalam beberapa tahun terakhir
menjadi fenomena global. Social media menjadi katarsis bagi
masyarakat yang selama ini merasa kurang dapat menyalurkan
ide dan pandangan politik yang berkembang disekitar mereka.

B. Rumusan Masalah
Diawali dengan facebook, yang diikuti dengan twitter dan
Instagram, social media menjadi hal yang sangat dominan
dimasyarakat. Pada awalnya media social yang hanya digunakan
untuk “pamer” aktivitas sehari hari akhirnya berkembang dan
dimanfaatkan sebagai ajang pertarungan politik di masyarakat.
Sifat anonimitas media social yang menjadikan masyarakat
terperangkap dalam isu-isu yang beredar tanpa bisa mengetahui
siapa dan darimana informasi tersebut berasal. Masyarakat
merasa perlu untuk menyebarluaskan informasi yang viral dan
bombastis agar tidak dicap tidak up to date. Banyak pihak-pihak
yang memanfaatkan media social untuk berbagi pesan yang
berimplikasi membangun opini untuk mendukung tujuan politik
tertentu.
Pengaruh kuat media social pada sebuah negara bisa
dilihat pada “Arab Spring’ di Timur Tengah. Media social mampu
menggerakkan masyarakat untuk melakukan aksi dan revolusi
pada sebuah negara. Tunisia dan Mesir adalah contoh nyata
bagaimana media social bisa digunakan untuk menggalang massa
untuk melakukan sebuah gerakan. Akan halnya yang terjadi di
Indonesia adalah penggalangan massa pada aksi 212. Lonjakan
pemberitaan dan banjir informasi di media social menunjukkan
bahwa masyarakat benar-benar memanfaatkan media social untuk
agenda social dan politik dalam kehidupan sehari-hari. Pada
penyelenggaraaan PEMILU 2019 yang telah terlaksana pada 17
April 2019, KPU sebagai penyelenggara Pemilu juga dihantam oleh
berbagai berita yang beredar melalui social media. Media sosial
yang seharusnya jadi diskusi yang membangun, bisa berubah
menjadi ajang saling menjatuhkan. Masyarakat dengan mudah

2
menyebar berita palsu alias hoax dimedia sosial tanpa dicerna dan
disaring terlebih dahulu. Salah satu berita yang dimulai dari
media social adalah isu 70juta surat suara yang sudah tercoblos.
Pemberitaan tersebut membuat para Komisioner KPU melaporkan
kasus tersebut ke Kepolisian Republik Indonesia. Meskipun
penyelenggara yakin bahwa berita tersebut adalah palsu akan
tetapi penyebaran informasi yang masiv pada tataran akar rumput
pengguna media social bisa menjadikan keraguan pada proses
pemilu yang sedang berlangsung. Inti dari Pemilu adalah
Kepercayaan Publik pada proses penyelenggara dan pelaksanaan
kegiataan Pemilu. Tanpa adanya Kepercayaan publik pada
penyelenggaraan Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU maka proses
demokrasi menjadi percuma. Upaya deligitimasi inilah yang harus
diantisipasi oleh penyelenggara Pemilu di masa depan. Ketika
proses tahapan dan penyelenggaraan sudah dilaksankan dengan
transparan dan diawasi oleh berbagai pihak maka upaya
deligitimasi penyelenggara pemilu menjadi hal patut diwaspadai.
Salah satu isu yang beredar melalui group sosial media
pada saat hari pemungutan suara adalah seluruh masyarakat
yang memiliki Kartu Tanda Penduduk bisa mencoblos di TPS mana
saja. Isu ini tentu saja menjadi tantangan sendiri bagi petugas
pemungutan suara. Para petugas dibenturkan dengan masyarakat
yang sangat antusias menggunakan hak pilih mereka. Sementara
menurut aturan terdapat hal-hal yang mengatur penggunaan hak
suara jika masyarakat tidak terdaftar pada DPT pada wilayah
tertentu. Hal-hal yang bersumber dari media social inilah yang
digunakan dasar untuk “berdebat” dengan petugas penyelenggara
pemilu. Akibat informasi yang tidak jelas yang bersumber dari
medsos ini kemudian memancing ketidakpuasan dari sebagian
kecil masyarakat yang merasa hak pilihnya dipersulit. Secara
hukum dan administratif mungkin ketidakpuasan mereka dapat
dikalahkan dengan seperangkat aturan yang menaungi
pelaksanaan Pemilu. Akan tetapi akumulasi kekecewaan yang
dilontarkan sebagian kecil dari masyarakat melalui media social
bisa membentuk opini negatif penyelenggara Pemilu yang
diinginkan oleh para penyebar berita palsu atau Hoax.
KPU sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk Undang-
undang untuk melaksanakan pemilu harus mulai berbenah untuk
menghadapi era medsos dimasa yang akan datang. Belajar dari
pelaksanaan Pemilu 2019 yang diwarnai dengan banyaknya berita
palsu/Hoax yang berkembang, KPU sebagai institusi juga harus
menyiapkan strategi menghadapi dan menanggapi berita palsu
yang beredar pada saat Tahapan Pemilu. KPU sebagai institusi
maupun individu2 didalamnya harus bisa menjawab persoalan
dan isu yang berkembang di masyarakat sehingga tetap bisa
menjaga marwahnya sebagai penyelenggara Pemilu

3
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan cara yang
paling efektif untuk memberikan pemahaman dan penjelasan
kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemilu
terutama pada era Media Sosial sekaligus menerapkan Counter Isu
terhadap upaya-upaya pendelegitimasian lembaga Penyelenggara
Pemilu.

D.Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pegetahuan social yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam Bahasa dan
dalam peristilahannya (Kirk & Miller dalam Moleong, 2002;3)

4
IMAM WAHYUDI,S.Sos
No Peserta : 1903200166
PROGRAM MAGISTER GASAL – KERJASAMA
KOMISI PEMILIHAN UMUM

Anda mungkin juga menyukai