Anda di halaman 1dari 8

PENGANTAR ILMU POLITIK (B)

NAMA : DANDI DARWANTO


NIM : 203030703114

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
TAHUN 2020
RINGKASAN
8
KEKUASAAN MEDIA (MEDIA POWER)

A. PERGESERAN PENGERTIAN “POWER”

"Power tend to corrupt but absolute power corrupts absolutely"


demikian diktum kekuasaan yang dikemukakan oleh John Emerich
Edward Dahlberg First Baron Acton 1887 di Inggris. Inti tulisan dari
tokoh yang dikenal dengan nama singkat Lord Acton ini ialah, manusia yang
mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan
itu absolut, pasti akan menyalahgunakannya.

Berdasar diktum di atas, agar penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi,


diberlakukanlah suatu mekanisme untuk mengatur kekuasaan.

Timbulnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan, merupakan upaya


menjamin agar kekuasaan tidak disalahgunakan dan hakhak warga negara tidak
dilanggar. Upaya pembatasan kekuasaan itulah yang kemudian memunculkan istilah
konstitusionalisme, yaitu suatu

sistem asas-asas pokok yang menetapkan dan membatasi kekuasaan.

sekaligus memberikan hak bagi yang memerintah (the ruler), dan yang diperintah
(the ruled) (Budihardjo, 1982: 99) Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah
demokrasi. Merupakan sistem yang mengatur hubungan antara pihak penguasa
atau penyelenggara kekuasaan, dengan pihak yang dikuasai atau yang memberi
kekuasaan. Sistem demokrasi berkait dengan beberapa aspek pengaturan.
Pertama, pembentukan negara atau kekuasaan negara. Kedua, dasar dari
kekuasaan negara. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Keempat, masalah kontrol
rakyat sebagai basis demokrasi, dan kelima persoalen hak-hak asasi yang dimiliki
warga negara (Yuliantoro, 2012: Untuk menjamin itu, kekuasaan dibagi sedemikian
rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan kekuasaan diperkecil, yakni dengan
cara menyerahkannya kepada beberapa orang atau badan, dan tidak memusatkan
kekuasaan pemerintah di tangan satu orang, atau satu badan. Perumusan yuridis
prinsip-prinsip demokrasi ini dikenal dengan istilah negara hukum, dan Rule of Law.

Sementara itu, Henry B. Mayo mendefinisikan sistem politik demokratis sebagai one
in which public policies are made on majority basis, by representatives subject to
effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of
political equality and underconditions of political freedom (Mayo, 1960: 70). Atau
sistem politik yang kebijaksanaan umumnya ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politikKalau dicermati, apa yang menjadi fokus kajian
demokratisasi pada abad ke-19 dan ke-20 sebagaimana diungkapkan di atas,
pembatasan terhadap kekuasaan lebih diarahkan pada kekuasaam negara, atau
pemerintah. Demokratisasi pada konteks itu, dipahami sebagai suatu proses
meniadakan kesenjangan, antara mereka yang terlalu berkekuasaan dan
berprerogasi, dengan mereka yang terlalu kurang berkedayaan

Demokratisasi lebih banyak diarahkan untuk mengatur kewenangan "negara" agar


menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintahan untuk tidak disalahgunakan
oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Sekaligus menjamin hak-hak
asasi dari warga negaranya.

Prinsip dasarnya "The government consent of the governed and government by laws
not by men" (Pemerintahan yang disetujui oleh yang diperintah dan pemerintahan
berdasar hukum bukan oleh manusia)

B. MENGKRITISI MEDIA YANG TENDS TO CORRUPT

Dalam perkembangannya, demokrasi tidak hanya menyentuh kekuasaan politik


yang berkait dengan pemerintah atau negara, Kemajuan teknologi di bidang
komunikasi, yang dikuti meningkatnya peran media massa sebagai sumber utama
informasi masyarakat, dan ekspansinya secara komersial yang semakin meluas,
telah menempat kan institusi media sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan.

Memang pada awalnya media massa justru merupakan komponen yang dibutuhkan
untuk mengontrol kekuasaan pemerintah yang berkuasa atau negara. Dalam fungsi
tradisionalnya, media massa diposisikan sebagai "watch dog" kekuasaan, bahkan
diletakkan sebagai kekuatan the fourth estate of democracy, pilar keempat
demokrasi, di Juar kekuatan cksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam konteks itu
demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan pers (freedom of the press) tujuannya
tidak lain merupakan kekuatan kontrol terhadap kekuasaan.

Maksudnya, dengan berita dan opini media massa menjaga agar tidak
terjadi abuse of power dari penyelenggara kekuasaan negara. Melalui kebebasan
pers itulah akan terwujud suatu pemerintahan yang hatihati, cerdas, dan bijaksana.
Karena itu, keberadaan freedom of publication menjadi salah satu prasyarat
terwujudnya sistem demokrasi.g uuak
Perkembangan teknologi komunikasi, globalisasi, dan komersial isasi media massa
telah memunculkan pergeseran. Dewasa ini media massa tumbuh tidak hanya
menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan.

Media massa sendiri telah menjadi kekuatan yang berpengaruh secara politik,
ekonomi, dan budaya. Kekuatan media massa justru bisa menjadi ancaman
tersendiri bagi demokrasi.

Studi James Curran dan Jean Seaton, mengungkap perjalanan in dustrialisasi dan
globalisasi media massa di Inggris dan Amerika Utara. Mereka menyampaikan kritik
terhadap liberalisme media serta mengungkap bahayanya. Curan dan Seaton
menyimpulkan, isi media massa tidak saja memiliki konsekuensi yang luas, tetapi
juga mampu membentuk khalayak, menciptakan kelas, dan selera tertentu (currant
and seaton, 2003: chapter 13). Menurut dua peneliti Inggris ini, dengan liberalisme
perkembangan Media justru merongrong Demokrasi.

Analisis hain dikemukakan oleh kritikus media, Noam Chomsky.

la khawatir pada gerak masyarakat kapitalis liberal, yang mulai "kongcalingkong"


dengan model propaganda baru. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur
oleh tokoh-tokoh yang punya senjata dan uang. Para elite kekuasaan dan elite bisnis
berkolaborasi mengatur isi media. Akibatnya, menurut Chomsky kebebasan pers
yang diiwai demokrasi dan liberalisme, telah disusupi corong-corong propaganda
segelintir orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu. Setiap
suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis

(Herman & Chomsy, 2000).


Apa yang diungkapkan Herman dan Chomsky di atas sering dike.

nal sebagai analisis instrumentalis. Fokusnya pada penggunaan media sebagai


instrumen para kapitalis untuk membuat komoditas informasi yang diproduksi oleh
industri media menjadi sesuai dengan kepentingan mereka. Chomsky dan Herman,
menggambarkan model propaganda yang diterapkan dalam industri media Amerika
Serikat oleh kelompok pemilik modal yang membuat kelompok tersebut mampu
menetapkan premis-premis wacana publik, menentukan informasi apa yang boleh
dikonsumsi publik, dan terus-menerus mengelola pendapat publik melalui
propaganda (Herman & Chomsky, 2000:179). Karena media massa merupakan
instrumen propaganda, maka Chomsky melihat isi media lebih dipenuhi oleh
kebohongan semata.

Masih banyak berbagai kajian tentang kekuatan media dan kemampuannya


berpengaruh terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Intinya, walau
kekuatan media masih dipandang secara berbeda, namun telah memunculkan
pemikiran akan pentingnya suatu sistem media yang lebih adil dan demokratis.
Salah satunya dikemu

kakan oleh Robert McChesney:

"Miltions of people who had never though much about media are now actively
working to make media and to change media policies to blast open the system. It is
becoming an accepted observation that any effort to democratize society must
include a campaign to change the media system or else the prospect or success will
be far lower." (Hacket & Carrol, 2006:x)

Bagi Chesney, demokratis tidaknya suatu negara, tidak cukup hanya dilihat dari
sistem politiknya saja. la menekankan pentingnya perubahan sistem media sebagai
bagian dari demokratisasi masyarakat. Maka jutaan orang yang duhulunya tidak
pernah memikirkan tentang media, sekarang bekerja keras, berjuang mengubah
sistem dan kebijakan media. Untuk mendemokratisasikan masyarakat, harus pula
dilakukan kampanye untuk mengubah sistem media, jika itu tidak dilakukan, hasil
yang dikatakan sebagai "demokratisasi" tersebut, akan semakin jauh dari yang
diharapkan.
Kendati tuntutan liberalisme dalam bisnis media massa begitu kuat, terutama dari
para industriawan media, namun sebenarnya demokratisasi penyiaran tidak identik
dengan liberalisme. Secara konseptual, prinsip dasar demokrasi penyiaran telah
diungkapkan oleh Denis McQuail, yaitu adanya beberapa keadaan sebagai berikut
(Mo

Quail 2002: 144):

1. Kebebasan publikasi (freedom of publication). Hal ini merupakan dasar utama


demokrasi, yang menjamin adanya kebebasan berpendapat, menyampaikan
informasi, dan mengetahui kebenaran.

2. Keragaman pemilikan media (plurality of ownership of media)Pluralitas pemilikan


media merupakan hal penting untuk mengurangi bias kepentingan pemilik media.
Semakin plural kepemilikan Media, akan mendorong semakin beragam pula isi
media yang ada.

3. Keragaman informasi yang tersedia untuk publik (diversity of information available


to public). Keragaman informasi atau sisi dari berbagai media massa yang ada
dalam suatu sistem, selayaknya merefleksikan keragaman realitas sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakatnya.

4. Keragaman pendapat yang disampaikan (diversity of expression of opinion).


Sistem media massa setidaknya memberikan kesempatan akses yang kurang lebih
sama pada berbagai kelompok sosial, oudaya yang ada di masyarakat.
4. Jangkauan yang luas (extensive reach). Maksudnya media massa mampu
menjangkau secara luas berbagai khalayak yang ada. Tidak ada lagi daerah
blankspot secara geografis ataupun budaya.

5. Keberadaan informasi dan budaya yang berkualitas untuk publik (quality of


information and culture available to public). Maksudnya informasi dan budaya yang
disampaikan pada publik terjamin kualitasnya serta didasarkan pada standar dan
prinsip kebebasan dan keberagaman (freedom and diversity).

6. Media massa memberikan dukungan pada sistem politik yang demokratis


(adequate support for the democratic political system).

7. Media massa menghormati sistem hukum (respect for yudicial system).


Menghargai sistem hukum, tidak memengaruhi jalannya peradilan, dan
menjujunjung asas praduga tidak bersalah.

8. Sistem media massa menghormati hak asasi manusia, baik secara individual
maupun secara umum (respect for individual and general human rights). Artinya, di
dalam pengungkapan isi, media dituntut senantiasa menghargai privasi maupun hak
asasi secara umum.

Undang-Undang Penyiaran mengamanatkan keberadaan Komisi Penyiaran


Indonesia (KPI) di tingkat pusat, dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) di
tingkat provinsi. Tujuan keberadaan KPI ialah wujud representasi publik untuk
membangun sistem penyiaran yang demokratis. Oleh sebab itu, berdasar KPI diberi
kewenangan menetapkan standar program siaran, pedoman perilaku penyiaran,
mengawasi, hingga menerapkan sanksinya. KPI juga memiliki tugas dan kewajiban
ikut membantu pengaturan infrastruktur penyiaran, membangun iklim persaingan
sehat, memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang.

Karena sifat Undang-Undang Penyiaran cukup "adikal", yaitu menata industri media
penyiaran, sekaligus menggeser peran negara, ma ka penolakanpun terjadi.
Kalangan industri penyiaran sejak awal me nolaknya. Mereka merasa UU ini
membatasi dan merugikan industri Salah satu wujud penolakan ini ialah
dilakukannya uji materiel setelah UU itu ditetapkan. Hasilnya yudicial review itu
dipenuhi sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui keputusannya, MK
mencabut Pasal 62 dan mengganti isinya. Kalau sebelumnya menurut Pasal 62
disebutkan "Peraturan Pemerintah disusun oleh KPI bersama Pemerintah", setelah
keputusan itu, kata-kata KPI oleh MK dihilangkan, sehingga yang menyusun
peraturan pemerintah hanyalah pemerintah.

C. MEDIA DAN MASYARAKAT


Peran media massa dalam kehidupan sosial-menurut berbagai literatur-tidak
diragukan lagi. Walau kerap dipandang secara berbeda-beda, namun tidak ada yang
menyangkal atas peran yang signifikan dalam masyarakat modern. McQuail
misalnya, dalam bukunya yang terbaru Mass Communication Theories (2000: 66),
merangkum pandangan khalayak terhadap peran media massa. Setidaknya ada
enam perspektif dalam hal melihat peran media. Pertama, melihat media massa
sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang
memungkinkan khalayak "melihat" apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun
pada diri mereka sendiri.

Di Indonesia, ketika SIUPP dibebaskan, pertumbuhan surat kabar pun


mencengangkan. Lihat saja angka pertumbuhan media yang terjadi di Indonesia
sejak 1997 hingga akhir 1999. Surat kabar harian pada 1997 hanya ada sekitar 79
perusahaan, 1999 telah menjadi 299 perusahaan. Tabloid dari 88 perusahaan
menjadi 886. Majalah dari 144 menjadi 491. Buletin dari 8 menjadi 11 perusahaan.
Jadi, total ada penambahan 1.398 SIUPP baru (sumber SPS Pusat). Ini belum
termasuk media cetak yang terbit tanpa SIUPP. Sayangnya penambahan jumlah
perusahaan itu tidak dimbangi oleh jumlah tiras. Surat Kabar Harian misalnya,
kendati jumlah medianya bertambah, tirasnya justru turun. Pada 1997 mempunyai
total tiras lima juta eksemplar, oada 1999 malah menjadi 4,7 juta eksemplar. Majalah
juga mengalami penurunan dari total tiras 4,3 juta, turun menjadi 4,1 juta. Hanya
tabloid yang mengalami kenaikan tiras, yaitu dari 5,5 juta menjadi 7,7 juta. Tentu
saja jumlah tiras berbagai media cetak ini tidak sebanding dengan kenaikan jumlah
perusahaan media.

Kenyataannya, di masyarakat mana pun kondisinya senantiasa beragam, ada yang


mempunyai selera yang baik, tetapi ada juga yang "ngeres" Jadi, isi media itu tak
lain merupakan fungsi memenuhi selera khalayak yang beragam. Makanya jangan
dipersalahkan pengelola media, mintalah tanggung jawab pada lembaga yang
menghasilkan selera massa. Seperti sekolahan, orang tua, pemuka agama, dan
institusi sosial lain yang berpengaruh. Kita boleh setuju pada Rosten, dan boleh juga
menyangkalnya. Tetapi yang jelas, pasar bebas dan naturalisme secara empiris
banyak memunculkan persoalan moral dalam isi media maupun hingga masyarakat,
munculnya konglomerasi telah menutup kesempatan bagi kekuatan ekonomi yang
kecil, dan akhirnya minoritas pun semakin terpinggirkan.

Ditambah lagi sistem penyiaran televisi swasta di Indonesia memang kurang


menyentuh persoalan lokal. Kekuatan modal dan kedekatan pemasang iklan telah
menarik mereka ke pusat ekonomi, yaitu Jakarta. Persaingan atau kompetisi
antarmedia lebih mengedepan, sehingga pada akhirnya televisi-televisi swasta
bergiat hanya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memandang
sisi idealisme yang ada. Selera masyarakat sebenarnya banyak ditentukan oleh
media ketimbang selera media ditentukan oleh masyarakat. Media seolah pro atau
berorientasi pada khalayak, dan atas nama khalayak.

Dalam kaitan ini, kemudian aturan-aturan yang mengikat media massa juga ditolak
dengan alasan mengurangi kebebasan media beroperasi di masyarakat dan tidak
memberikan kebebasan kepada khalayak untuk menikmati produk media.
Bagaimana sebenarnya keterkaitan antara relasi ekonomi dan relasi politik dalam
industri media televisi di Indonesia saat ini? Inilah yang akan dilakukan dalam
penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai