Anda di halaman 1dari 11

Jurnal komunikasi, ISSN 1907-89 8X

Volume 10, Nomor 1, Oktober 2015

Urgensi Perubahan Kebijakan untuk Penegakkan


Independensi Media di Indonesia

Darmanto
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI),
Balitbang SDMKementerian Komunikasi dan Informatika

ABSTRAK

Independensi media massa di Indonesia terutama dalam memberitakan isu-isu politik


kekuasaan seperti Pemilihan Umum, telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak
karena dirasakan dapat mengancam kehidupan demokrasi. Hasil penelitian sejumlah
Iembaga mengenai kineija pemberitaan media massa cetak dan elektronik pada waktu
mjenjelang, saat berlangsungnya, dan pasca Pemilihan Umum Legislatif serta Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden 2014 menunjukkan adanya kecenderungan sebagian besar
media tidak independen. Akibatnya, media terbelah menjadi dua kekuatan yang saling
berhadap-hadapan dan pada akhirnya keterbelahan itu merembet ke masyarakat. Akan
tetapi, upaya untuk menegakkan independensi media di Indonesia ternyata tidak mudah
karena ada banyak faktor penghambat. Salah satu faktor penghambat yang besar
pengaruhnya ialah produk kebijakan yang ada masih sangat lemah. Sehubungan dengan itu
perlu adanya perubahan kebijakan yang dapat mendorong terwujudnya penegakkan
independensi media di Indonesia.
1
Kata kunci: kebijakan publik, demokrasi, independensi, jurnalisme, media penyiaran

Pendahuluan merupakan hal yang esensial untuk


menjamin eksistensi media sebagai pilar
j Edmund Burke menyebut media keempat demokrasi. Hakekat dari
massa sebagai pilar keempat (fourth kebebasan pers pada dasamya ialah
estate) demokrasi serta memiliki keleluasaan bagi individu untuk
kedudukan yang sejajar dengan Tuhan menyampaikan pendapat tanpa adanya
(Lord), Gereja (Church), maupun Majelis sensor, serta kemampuan media untuk
Rendah (Commons). Pendapat tersebut melakukan kontrol terhadap pemerintah
didasarkan pada kekuatan yang dimiliki maupun kekuatan lain (McQuaill, 2011:
oleh media massa dalam hal 185-187).
menyampaikan informasi sehingga media Kebebasan dari segala bentuk
dapat meningkatkan publisitas atau larangan dan tekanan pihak luar dalam
bahkan justru menahannya. Media massa menentukan arah kebijakan redaksional
mampu melakukan kontrol terhadap itulah yang kemudian dikenal dengan
pemerintah dan majelis atas dasar prinsip istilah kebebasan pers atau independensi
kebebasan untuk menghasilkan informasi media. Bagi media massa, independensi
yang dapat menjamin pelaksanaan merupakan roh yang menghidupinya.
demokrasi dan memajukan masyarakat. Kerja media tidak sekedar persoalan
Oleh karena itulah kebebasan pers teknis menyajikan berita, tetapi di

29
Jurnal komunikasi, Volume 10, Nomor 1, Oktober 20x5

dalamnya mengandung ideologi empirik menunjukkan bahwa demokrasi


memberikan informasi untuk dan kemerdekaan pers tidak dapat
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu, dipisahkan. Era reformasi yang
media harus menegakkan independensi berlangsung sejak 1998 dan semula
dan netralitas (Siregar, 2013). Dalam diharapkan dapat menjadi momentum
perspektif teori normatif, media massa terwujudnya kemerdekaan pers, ternyata
harus bebas dari kontrol pemerintah yang pada akhirnya berjalan secara terseok-
berlebihan dan dari kelompok seok. Pers memang benar-benar terbebas
kepentingan tertentu agar independen dari hegemoni negara sehingga siapa pun
dalam memberitakan fakta sosial dan dapat menerbitkan surat kabar dan atau
memenuhi kebutuhan khalayak (Karman, majalah dengan prosedur perizinan yang
2014: 70-71). Sebab, langkah penting sederhana asalkan mempunyai cukup
dalam pengejaran kebenaran dan modal. Demikian pula, untuk media
memberi informasi kepada warga penyiaran walau pun sampai kini tetap
bukanlah netralitas, melainkan ada kontrol yang ketat dari negara atas
independensi (Kovach dan Rosenstiel, dasar pertimbangan teknis teknologi
2006: 122). Kovach dan Rosentiel maupun pertimbangan lain seperti
menegaskan bahwa esensi independensi kepentingan negara, ekonomi dan politik
media adalah kepindahan dari kepatuhan (McQuaill, 2011: 38), tetapi pada dasarnya
kepada partai politik kepada kepentingan kemerdekaan pers sudah terwujud di
publik {Ibid. h. 125). Indonesia.
Selama era pemerintahan Orde Barn Meskipun secara etimologi istilah
(1966-1998) dengan sistem politiknya “kemerdekaan” dan “independensi”
yang otoriter, media massa dihegemoni berasal dari kata yang sama, yaitu
oleh negara dan hanya menjadi alat independence (Bahasa Inggris), tetapi
pembenar bagi rezim dalam pengaruh diksinva menjadi sangat
memertahankan kekuasaan (Gayatri, berbeda. Istilah “kemerdekaan pers” pada
2006: 59). Pada masa itu media massa umumnya dikaitkan dengan ada atau
benar-benar dikontrol oleh negara melahii tidak adanya intervensi dari negara atau
mekanisme perizinan sehingga kekuatan lain di luar media.
kepemilikan bisa saja di tangan swasta, Ketidakmerdekaan pers selalu
tetapi eksistensinya ditentukan oleh dibayangkan berhubungan dengan
negara yang sewaktu-waktu dapat kekuatan negara yang sifatnya sistemik,
mencabut izin usaha maupun izin politis, dan hegemonik. Dengan kata lain,
penerbitan (D’Haens, Gazali, dan Verest, diksi dari istilah “kemerdekaan pers” lebih
2000: 169-171). Dalam sistem demokrasi, mengarah pada upaya pemertahanan diri
media massa memiliki kemerdekaan dari intervensi negara, sedangkan istilah
sehingga dapat bersikap netral, “independensi” lebih banyak digunakan
independen, dan jika didukung untuk melakukan identifikasi mengenai
profesionalisme dapat menjadi kekuatan arah kebijakan redaksional suatu media
kontrol sosial (Gayatri, loc.cit.). massa dalam memberitakan kasus
Walaupun secara teoretis sistem tertentu.
politik yang dianut Indonesia saat ini Dalam artikel ini, konsep
sudah demokratis, tetapi praktik independensi yang dipakai sepenuhnya
penyelenggaraan media massa saat ini merujuk pada pengertian yang ada dalam
masih jauh dari kondisi ideal dan dapat KEJ. Pada bagian penafsiran Pasal 1 KEJ
mengancam kelangsungan sistem disebutkan bahwa independen berarti
demokrasi yang telah kita pilih. Fakta memberitakan peristiwa atau fakta

30
Darmanto, Urgensi Perubahan Kebijakan untuk Penegakkan Independensi Media di Indonesia

sesuai dengan suara hati nurani tanpa Indonesia dan kemudian menemu-
campur tangan, paksaan, dan intervensi tunjukkan solusi yang dapat ditawarkan
dari pihak lain termasuk pemilik untuk mengatasi masalah tersebut.
perusahaan pers. Dengan kata lain,
inldependensi ialah kemampuan media Potret Independensi
mti bersikap bebas berdasarkan suara
untuk
lati nurani dalam merespon persoalan
hati Dalam satu dasa warsa terakhir, isu
yang muncul di masyarakat untuk independensi media (massa) di Indonesia
kemudian dimanisfestasikan ke dalam menjadi perhatian serius dan telah
produk jumalistik yang bebas dari menimbulkan kekhawatiran di berbagai
intervensi pihak mana pun. Independensi pihak, baik kalangan akademisi, pekeija
pada umumnya sangat ditentukan oleh media, pengamat, bahkan sampai dengan
profesionalisme jurnalis dari media yang kalangan politisi dan anggota masyarakat
bersangkutan. Semakin tinggi pada umumnya. Kekhawatiran itu
profesionalisme jurnalis, besar didasarkan pada keyakinan bahwa sistem
kemungkinan tingkat independensi media demokrasi akan dapat hidup subur jika
yang dikelolanya juga tinggi. ditopang oleh media massa yang
Walaupun pers - termasuk di profesional dan independen. Dengan kata
dalamnya media penyiara - akhirnya lain, jika media massa makin terkooptasi
terbebas dari tekanan negara, tetapi tidak oleh kepentingan kelompok tertentu
otomatis melahirkan independensi. Sebab, seperti pebisnis dan penguasa, hal itu
seperti yang disinyalir oleh Amir Efendi dapat menjadi ancaman bagi kehidupan
Siregar, yang terjadi hanyalah demokrasi.
perpindahan kontrol. Pada era Orde Baru, Munculnya kekhawatiran mengenai
kontrol terhadap media sepenuhnya ada masa depan media di Indonesia, terutama
di tangan pemerintah beralih, tetapi pada dipicu oleh penggunaan media massa oleh
eija reformasi kontrol tersebut berpindah pemiliknya yang menjadi politisi dan atau
ke tangan pemodal melalui pasar bebas sebagai pengurus Partai Politik (Parpol)
dan kemudian melahirkan otoritarianisme untuk kepentingan kampanye diri
kapital (Siregar, 2012:7). maupun parpolnya. Sentimen itu
, Melihat realitas seperti itu, maka kemudian diperkuat oleh keterbelahan
dipandang mendesak perlu adanya media massa pada saat Pemilu Presiden
kebijakan yang dapat mendorong tahun 2014. Pada masa menjelang, saat,
terwujudnya penegakan independensi dan pasca Pemilu Presiden 2014 media-
media di Indonesia. Bertitik tolak dari media besar terbelah menjadi dua kubu
latar belakang tersebut, maka fokus antara yang mendukung pasangan Calon
permasalahan yang akan dibahas dalam Presiden dan Wakil Presiden Prabowo
artikel ini ialah kebijakan seperti apa yang Subianto dengan Hatta Rajasa (Prabowo-
diperlukan untuk dapat menegakkan Hatta) dan pasangan Joko Widodo dengan
independensi media di Indonesia Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Media-media di
mjengingat kebijakan yang ada sekarang bawah naungan MNC Grup milik Haiy
ternyata tidak mampu memecahkan Tanoesoedibjo seperti RCTI, MNC, Global
permasalahan yang dihadapi masyarakat TV, dan Koran Sindo serta media massa di
mengenai independensi media. Adapun bawah kemilikan Bakrie Grup seperti TV
tujuan yang hendak dicapai melalui studi One dan AN TV secara terang-terangan
ini ialah teridentifikasinya persoalan- mendukung Pasangan Prabowo-Hatta,
persoalan kebijakan yang menghambat sedangkan media-media yang berada di
terwujudnya independensi media di bawah kepemilikan Ketua Umum Partai

31
Jumal komunikasi, Volume 10, Nomor l, Oktober 2015

Nasdem Suiya Paloh seperti Metro TV dan Pemilu 2014. (Masduki,dkk, 2013: 49-52
Media Indonesia mendukung pasangan dan Tim MPM, 2014: hal. 81-82).
Calon Presiden Jokowi-JK. Koran Tempo Kecenderungan yang sama
diperlihatkan oleh hasil penelitian
dan Jakarta Post meskipun secara terang-
PR2Media (Pemantau Regulasi dan
terangan menyatakan dukungannya Regulator Media) keija sama dengan
terhadap pasangan Capres/Cawapres Dewan Pers tahun 2013. Pada waktu itu,
Jokowi-JK, tidak berarti menjadi bagian PR2Media meneliti 372 item berita dari
dari permasalahan independensi. Kompas.com, okezone.com. surat kabar
Dewan Pers telah mengantisipasi Kompas, Koran Sindo, dan media televisi
adanya ketidakindependenan media RCTL Temuannya, berita-berita di
okezone.com, koran Sindo dan RCTI milik
massa pada Pemilu 2014. Oleh karena itu
Hary Tanoesoedibjo (HT) yang pada
pada tahun 2013, Dewan Pers melibatkan waktu itu menjadi petinggi partai Hanura
tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan memproklamasikan diri bakal
di bidang media, yaitu Remotivi (Jakarta), menjadi Calon Wakil Presiden
PR2Media (Yogyakarta), dan Masyarakat mendampingi Wiranto, lebih banyak
Peduli Media (MPM) Yogyakarta untuk menampilkan sosok pemiliknya. Hal itu
melakukan riset. Hasilnya tidak berbeda berbeda dengan kecenderungan berita-
berita di kompas.com dan koran Kompas
dengan hipotesis yang diyakini
yang pemiliknya (Jakob Oetama) bukan
sebelumnya bahwa media massa yang orang parpol (Siregar, dkk, 2014:11-14).
dimiliki oleh pengurus parpol Temuan yang tidak jauh berbeda
menunjukkan kecenderungan tidak dapat dilihat dari hasil penelitian
independen dalam produk jurnalisme Remotivi tahun 2013 yang
mereka. memperlihatkan bahwa stasiun televisi
RCTI memberikan porsi waktu cukup
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
banyak bagi kemunculan HT selaku
MPM pada tahun 2013 atau saat
pemilik RCTI sebagai subyek berita.
menjelang pelaksanaan Pemilu 2014
Frekuensi kemunculan HT yang cukup
dengan menggunakan metode analisis isi
tinggi di RCTI ternyata tidak diikuti
terhadap tiga stasiun televisi: Trans TV,
kemunculannya di media lain di luar grup
Metro TV, dan TV One serta dua surat
MNC. Hal itu berarti bahwa faktor yang
kabar: Rakyat Merdeka dan Media
menjadikan HT sering muncul di RCTI
Indonesia mendapati kenyataan bahwa
lebih disebabkan oleh posisinya sebagai
ada problem independensi dalam media
pemilik, bukan karena dia sebagai sumber
massa di Indonesia, terutama yang
berita yang potensial. (Heychael dan
dimiliki oleh pengurus parpol. Trans TV
Dhona, 2014: 101). Demikian pula hasil
dan Rakyat Merdeka yang tidak
riset yang dilakukan tahun 2014 terhadap
berafiliasi pada parpol tertentu dalam
11 stasiun televisi menunjukkan
pemberitaannya cenderung netral,
kecenderungan yang sama, yakni adanya
sedangkan media yang dimiliki oleh
keperpihakan sesuai dengan afiliasi politik
tokoh politik memperlihatkan diri tidak
dari pemilik stasiun penyiaran yang
independen. Metro TV dan Media
bersangkutan (Heychael, 2014: 4-5)
Indonesia yang dimiliki oleh Surya Paloh
Pada tahun 2014, MPM kembali
dalam pemberitaannya lebih menonjolkan
melakukan penelitian isi media terkait
figur sang pemilik dan partai Nasdem
dengan pemberitaan Pemilu Legislatif dan
yang dipimpinnya. Adapun TV One
Pemilu Presiden. Metode yang digunakan
selama menjelang pelaksanaan Pemilu
adalah analisis isi (content analysis) dan
2014 menjadi instrumen bagi Abu Rizal
analisis pembingkaian {framing) terhadap
Bakri (ARB) untuk mempopulerkan diri
lima surat kabar, yaitu Jawa Pos, Koran
dan partai Golkar yang dipimpinnya
Sindo, Media Indonesia, Jum al Nasional
karena ARB memiliki agenda untuk
(saat ini sudah tidak terbit), dan
mencalonkan diri sebagai Presiden pada
Kedaulatan Rakyat. Dari lima surat
kabar yang diteliti hanya Jawa Pos yang

32
Darmanto, Urgensi Perubahan Kebijakan untuk Penegakkan Independensi Media di Indonesia

pemiliknya bukan pengurus parpol, tetapi Kineija Kebijakan


Dahlan Iskan sang pemilik sempat
mengikuti konvensi Calon Presiden yang Mengingat kajian mengenai faktor-
diselenggarakan oleh Partai Demokrat. faktor yang menghambat terwujudnya
Hasil penelitian dengan menggunakan
independensi media di Indonesia telah
analisis isi menunjukkan kenyataan
bkhwa terdapat kecenderungan pada lima banyak dilakukan, maka studi ini
surat kabar yang diteliti untuk berusaha mengkaji dari sisi lain, yakni
menonjolkan pemilik atau parpol di mana aspek kineija kebijakan. Adapun yang
sang pemilik media berafiliasi. Temuan ini dimaksud dengan kineija kebijakan
konsisten dengan hasil penelitian (policy performance) ialah deraj at di
terhadap lima surat kabar yang sama,
mana hasil kebijakan yang ada
tetapi menggunakan metode analisis
pembingkaian (Wicaksono, at.al, 2015: memberikan kontribusi terhadap
146-149). pencapaian nilai-nilai atau
f Selain sumber-sumber yang telah terpecahkannya masalah yang dihadapi
disebutkan di atas, cukup banyak kajian (Dunn, 2003: 109). Dalam konteks ini
mengenai independensi media massa di nilai yang dimaksud adalah terwujudnya
Indonesia seperti dilakukan oleh independensi media massa, terutama
Widiyanto (2009), Andrias dan Satori
media penyiaran, di Indonesia. Sejauh
(2014), Wahyudin, maupun oleh Herawati
dan Yasin (2014). Hasil kajian ketiganya mana kebijakan publik yang ada mampu
menunjukkan kecenderungan yang sama mewujudkan penegakkan indenpendensi
bahwa kepentingan kapital dan politik media penyiaran seperti yang diharapkan
nienjadi kekuatan yang pada akhirnya banyak pihak.
menekan pekerja media untuk tunduk Istilah kebijakan publik yang dipakai
pada kemauan sang pemilik media. Oleh
di sini mengacu pada konsep sebagaimana
karena itu patut diperhatikan seruan
Ketua Dewan Pers Bagir Manan bahwa berlaku dalam studi kebijakan publik pada
ketika teijadi kolaborasi antara umumnya. Menurut Thomas R. Dye
perusahaan pers dengan penguasa akan dalam Wibawa (2011: 2), kebijakan publik
dapat mengancam kemerdekaan dan ialah apa pun yang dipilih oleh
independensi media (Manan, 2012: 126- pemerintah untuk dilakukan atau tidak
129). dilakukan. Hal itu berarti, jika pemerintah
Berdasarkan paparan tersebut,
entah karena alasan lalai maupun dengan
dapat disimpulkan bahwa independensi
sengaja tidak melakukan sesuatu ketika
media massa di Indonesia saat ini secara
muncul suatu persoalan untuk
uraum masih tergolong rendah dan
dipecahkan, berarti itulah wujud
mjemrihatinkan. Memang beberapa media
kebijakan yang diambilnya. Pendapat lain
masih menunjukkan kineija yang baik
mengatakan bahwa kebijakan publik
dalam menjaga independensi, tetapi
adalah semua keputusan politik yang
proporsinya jauh di bawah jumlah media
diambil oleh lembaga publik, yaitu
yang tidak independen sehingga
lembaga yang sumber pendanaannya
gambaran umumnya jauh dari ideal.
berasal dari publik dengan berbagai
Kondisi seperti ini tentu merupakan
mekanisme penarikannya. Adapun
pergumulan tersendiri mengingat usia era
Kebijakan publik dapat dipilah menjadi
reformasi sudah lewat dari dua windu,
empat kategori, yaitu: (1) kebijakan yang
tetapi independensi media yang dicita-
sifatnya formal, (2) konvensi, (3) ucapan
citakan sejak masa Orde Baru sepertinya
pejabat, dan (4) perilaku pejabat.
justru semakin jauh dari harapan.
Kebijakan yang bersifat formal
diwujudkan dalam bentuk tertulis dan
terdiri dari tiga jenis, yaitu: (1) hukum

33
Jumal komunikasi, Volume 10, Nomor l, Oktober 2015

(pidana, perdata, agama, khusus), (2) ialah Surat Keputusan Dewan Pers
perundang-undangan (UU, PP, Perda), N0.03/SK-DP/III/2006 tanggal 24 Maret
dan (3) regulasi (PP, Perpres, Permen, 2006 yang kemudian disahkan sebagai
Perda). (Nugroho, 2013: 8-24). Peraturan Dewan Pers Nomor
Bertitik tolak dari pengertian 6/Peraturan-DP/V/20o8tentang Kode
tentang kebijakan publik tersebut, dapat Etik Jurnalistik (KEJ) yang sifatnya
dijelaskan bahwa bentuk kebijakan publik mengikat bagi semua jurnalis di
yang telah dibuat oleh negara (tidak Indonesia.
terbatas pada eksekutif) untuk mengatur Dari berbagai bentuk kebijakan
media massa di Indonesia sebenarnya publik mengenai media massa, khususnya
sudah cukup banyak. Kebijakan publik penyiaran, isu independensi ternyata tidak
dalam bentuk undang-undang yang secara mendapatkan perhatian memadai
khusus mengatur mengenai media massa sehingga tidak dapat menjadi instrumen
ada dua, yaitu UU No. 40 Tahun 1999 untuk menegakkan independensi media.
tentang Pers, dan UU Nomor 32 Tahun Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun
2002 tentang Penyiaran. Kemudian pada 1999 tentang Pers tidak ditemukan
tingkat Peraturan Pemerintah (PP) ada 7 ketentuan mengenai indepedensi. Adapun
produk, yaitu PP No. 11,12,13, 49, 50,51, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
dan 52 yang semuanya diterbitkan tahun 2002 tentang Penyiaran, kata
2005 dan merupakan turunan dari UU “independen” muncul ketika mengatur
Penyiaran tahun 2002. mengenai keberadaan Komisi Penyiaran
Dari PP tersebut kemudian lahir Indonesia (Pasal 7 ayat 2) yang berarti
banyak turunan regulasi yang dibuat oleh tidak secara langsung mengatur mengenai
Kementerian Komunikasi dan independensi siaran. Kata “independen”
Informatika, Komisi Penyiaran Indonesia kemhali muncul ketika mengatur tentang
(KPI), maupun Peraturan Daerah (Perda). keberadaan Lembaga Penyiaran Publik
Regulasi yang dibuat di tingkat (Pasal 14 ayat 1) dan Lembaga Penyiaran
Kementerian Kominfo pada umumnya Komunitas (Pasal 21 ayat 1), sedangkan
terkait dengan Izin Penyelenggaraan pada pasal-pasal yang mengatur mengenai
Penyiaran (IPP) dan penggunaan Lembaga Penyiaran Swasta tidak terdapat
ffekuensi, sedangkan regulasi yang dibuat ketentuan mengenai “independensi”.
oleh KPI pada umumnya mengenai isi Di tingkat PP, Peraturan Menteri
siaran. Selain itu, sebagaimana (Komunikasi dan Informatika) dan Perda
diamanatkan oleh UU Penyiaran, KPI juga penyiaran, pengaturan mengenai
menyusun Pedoman Perilaku Penyiaran independensi tidak juga ditemukan.
dan Standar Program Siaran (P3SPS). Pengaturan yang ada dalam PP hanya
Kemudian Perda yang dibuat oleh mengenai netralitas. Padahal, netralitas
Pemerintah Kabupaten/Kota maupun dan independensi merupakan dua konsep
Peraturan Bupati/Walikota yang terkait yang sangat berbeda. Netral yang berarti
dengan penyiaran, semuanya mengenai tidak memihak, belum tentu
Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL). mencerminkan independensi. Netralitas
Regulasi (aturan pelaksanaan) lain media relatif lebih mudah diwujudkan
yang terkait dengan tata penyelenggaraan dibandingkan dengan independensi.
media massa dibuat oleh Dewan Pers yang Pengaturan mengenai independensi
kedudukannya sebagai lembaga baru kita temukan dalam aturan
independen bentukan dari UU pelaksana yang lebih rendah
No.40/1999 tentang Pers. Salah satu tingkatannya. Terkait dengan UU No.
produk regulasi Dewan Pers yang sangat 40/1999, istilah independensi kita

34
Darmanto, Urgensi Perubahan Kebijakan untuk Penegakkan Independensi Media di Indonesia

temukan pada KEJ Pasal l yang berbunyi: terkait dengan perlindungan kepentingan
“ Wartawan Indonesia bersikap publik, Pasal 11 ayat (2) menyebutkan
independen, menghasilkan berita yang bahwa Lembaga penyiaran ivajib
akurat, berimbang, dan tidak beritikad menjaga independensi dan netralitas isi
buruk”. Kemudian padabagian penafsitan siaran dalam setiap program siaran.
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Kemudian pada bab XVIII mengenai
“independen berarti memberitakan prinsip-prinsip jurnalistik, Pasal 22 ayat
peristiwa ataufakta sesuai dengan suara (1) berbunyi:
hati nurani tanpa campur tangan, “Lembaga penyiaran wajib
paksaan, dan intervensi dari pihak lain menjalankan dan menjunjung
termasuk pemilik perusahaan pers”. Jadi tinggi idealisme jurnalistik yang
irienurut KEJ dan penafsirannya, esensi menyajikan informasi untuk
dari independensi media ialah kepentingan publik dan
memberitakan suatu peristiwa atau fakta pemberdayaan masyarakat,
sesuai dengan suara hati nurani jurnalis, membangun dan menegakkan
tanpa adanya campur tangan, paksaan, demokrasi, mencari kebenaran,
dan intervensi dari pihak lain termasuk melakukan koreksi dan kontrol
pemilik perusahaan pers. Oleh karena itu sosial, dan bersikap in d ep en d en ”.
media yang independen bisa saja
memihak sejauh keperpihakan itu diambil Selanjutnya pada ayat (5)
berdasarkan suara hati nurani jurnalis pengaturan mengenai indepedensi
dan bukan oleh karena adanya intervensi kembali kita temukan ketentuannya
dari luar maupun tekanan pemilik media. sebagai berikut:
Dalam konteks Pemilu Presiden RI tahun “Lembaga penyiaran wajib
2014, surat kabar The Jakarta Post dan menjaga in d ep en d en si dalam
media cetak Tempo terang-terangan proses produksi program siaran
memperlihatkan keperpihakannya kepada jurnalistik untuk tidak dipengaruhi
pasangan Jokowi JK. Hal itu tidak dapat oleh pihak eksternal maupun
dikatakan sebagai tidak independen jika internal termasuk pemodal atau
pengambilan keputusan itu murni pilihan pemilik lembaga penyiaran”.
jurnalis yang didasarkan pada suara hati (tanda bold dibuat oleh penulis)
nurani semata.
| Istilah independensi kembali
muncul dalam KEJ terkait dengan Bagaimana dengan isi Peraturan
penafsiran atas Pasal 6 yang KPI No. 02/P/KPI/03/2012 tentang
bebunyi,"Wartawan Indonesia tidak Standar Program Siaran (SPS)? Dalam
menyalahgunakan profesi dan tidak peraturan yang seluruhnya terdiri dari 94
menerima suap”. Dalam penafsiran butir pasal itu, ternyata tidak ditemukan kata
(b) dikatakan bahwa suap adalah segala independensi. Tidak adanya pengaturan
pemberian dalam bentuk uang, benda mengenai independensi dalam SPS bisa
atau fasilitas dari pihak lain yang saja dimaknai bahwa para pembuat
mempengaruhi independensi (cetak kebijakan di bidang penyiaran belum
miring oleh penulis). menganggap urgen masalah tersebut.
Adapun ketentuan mengenai Padahal kenyataannya, isu independensi
independensi dalam regulasi penyiaran merupakan permasalahan krusial yang
terdapat pada Peraturan KPI No. teijadi dalam media penyiaran Indonesia
01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman sekarang ini. Sebagian besar media
Perilaku Penyiaran (P3). Pada bab VII penyiaran, terutama televisi swasta, telah

35
Jumal komunikasi, Volume 10, Nomor l, Oktober 2015

terperangkap dalam praktik Perubahan Kebijakan


ketidakindependenan. Media penyiaran
televisi yang dimiliki petinggi partai, Melihat kenyataan bahwa kebijakan
dengan tidak maluo'malunya telah yang ada sekarang tidak efektif karena
mencengkeramjurnalisnya sehingga terbukti tidak mampu memecahkan
menjadi tidak independen. permasalahan yang dihadapi masyarakat
Meskipun Pedoman Perilaku terkait dengan independensi media, maka
Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran perlu adanya perubahan kebijakan.
untuk menjaga dan bersikap independen, Menurut Anderson dalam Winarno (2014:
tetapi kebijakan itu sebenarnya mandul 250-252) terdapat tiga bentuk perubahan
karena tidak ada ketentuan sanksi bagi kebijakan. Pertama, kebijakan yang
yang melanggar. Dalam Bab XXX Pasal 50 bersifat inkremental atau dalam
disebutkan bahwa ketentuan mengenai terminologi Jawa lebih dikenal dengan
sanksi administratif atas pelanggaran P3 istilah tambal sulam, yaitu
diatur dalam Peraturan KPI tentang SPS. menyempumakan kebijakan yang sudah
Akan tetapi, setelah dilakukan ada dengan cara menambahi hal-hal yang
penelusuran padabagian sanksi dan kurang dan memperbaild bagian-bagian
penanggungjawab (Bab XXX, Pasal 75 - yang tidak relevan lagi. Kedua, membuat
78) dan bagian sanksi administrasi (Bab undang-undang baru untuk mengatur hal-
XXXI, Pasal 79) temyata tidak ada hal yang sifatnya khusus. Ketiga,
ketentuan sanksi bagi yang melanggar perubahan secara besar-besaran karena
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5). Jadi wajar adanya pergantian rezim, biasanya
kalau praktik-praktik penyiaran yang dilangsungkan pascapemilu.
tidak independen terus saja teijadi karena Mengacu pada konsep perubahan
memang tidak ada sanksi bagi pihak yang kebijakan yang dikemukakan Anderson
melanggar. dan melihat perkembangan lingkungan
Berdasarkan uraian tersebut, jelas kebijakan yang ada, maka perubahan
bahwa kineija kebijakan publik terkait kebijakan yang dapat diusulkan ada dua.
dengan penegakkan independensi media Pertama, terkait dengan keberadaan
masih sangat rendah dan media massa cetakyang diatur melalui UU
memprihatinkan. Sejauh ini belum Pers, perubahan dapat dilakukan dalam
terlihat adanya komitmen dari negara bentuk inkremental. Negara dapat
(sekali lagi tidak terbatas eksekutif) yang melakukan perubahan kebijakan dengan
tercermin dalam bentuk kebijakan untuk melakukan penambahan pasal yang
menegakkan independensi media. mengatur tentang independensi media.
Rendahnya kineija kebijakan tersebut Adapun terkait dengan media penyiaran
mengakibatkan, sebesar apa pun energi perubahan kebijakan dapat dilakukan
yang dikeluarkan untuk mengritisi dengan memilih bentuk kedua, yaitu
praktik-praktik tidak independensinya dengan membuat undang-undang baru.
media, tentu tidak akan membawa Usulan ini disampaikan mengingat DPR
pengaruh besar atau tidak efektif. RI telah menempatkan RUU Penyiaran
Kebijakan yang ada sekarang ini ternyata sebagai prioritas Prolegnas 2015 yang
tidak mampu memecahkan masalah yang berarti akan adanya pembentukan
dihadapi masyarakat ketika menghadapi undang-undang baru tentang penyiaran
praktik-praktik penyiaran yang tidak untuk menggantikan undang-undang yang
independen. ada. Dengan demikian momentum ini
harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
masyarakat sipil, kelompok-kelompok

36
Darmanto, Urgensi Perubahan Kebijakan untuk Penegakkan Independensi Media di Indonesia

penekan dan semua pihak yang dibedakan antara media cetak dengan
berkepentingan untuk mempeijuangkan media penyiaran. Untuk mendukung
terwujudnya independensi melalui terwujudnya independensi media cetak,
peijuangan politis di Senayan. perabahan dapat dilakukan secara
inkremental, yakni menambahkan pasal-
Penutup pasal baru yang sesuai pada peraturan
perundangan yang sudah ada. Meskipun
Menurunnya tingkat independensi proses untuk ini tetap melibatkan DPR RI,
media seperti yang akhir-akhir ini tetapi karena sifatnya hanya mengubah
dirasakan oleh berbagai pihak merupakan beberapa bagian tentu tidak akan
fenomena yang perlu mendapatkan menguras energi yang banyak. Adapun
perhatian serius, sebab kalau kondisi untuk mendukung terwujudnya
demikian dibiarkan berlangsung terns, independensi media penyiaran,
tentu akan membahayakan kehidupan perabahan haras dilakukan dengan
demokrasi yang telah menjadi pilihan membentuk undang-undang baru yang
bangsa Indonesia. Melemahnya kini memperoleh momentun dengan
independensi tersebut terjadi akibat ditetapkannya RUU Penyiaran sebagai
kijtatnya cengkeraman kapital yang program priorits Prolegnas (Program
berkolaborasi dengan penguasa serta Legislasi Nasional) 2015 oleh DPR RI.
cerdik dalam memanfaatkan celah-celah Terkait dengan hal tersebut, tentu
kebijakan yang memungkinkan mereka dibutuhkan sinergitas dari berbagai pihak
bermain untuk mendapatkan keuntungan. untuk dapat memanfaatkan momentum
Mengingat lemahnya regulasi yang pembahasan RUU Penyiaran sebagai
ada, maka upaya untuk menegakkan pintu masuk untuk mempeijuangkan
independensi media haras dilakukan pengaturan mengenai independensi
melalui perabahan kebijakan. Bentuk media.
perubahan kebijakan yang ada dapat

37
Jumal komunikasi, Volume 10, Nomor l, Oktober 2015

Daftar Fustaka:

Andrias, Mohammad Ali, Ahmad Satori. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. (2006).
(2014). Kepentingan Politik dan Sembilan Elemen Jumalisme.
Hegemoni Pemilik Media Massa. Jakarta: Yayasan Pantau
Jurnal Observasi Vol. 12 No.2 , hal. Manan, Bagir (2012). Politik Publik Pers,
101-112, ISSN:1412-5900, Jakarta: Dewan Pers
Bandung: BPPKI Masduki, Darmanto, Muzayin Nazarudin,
Budhi Hermanto, Anugrah Pambudi
D'Hanens, Leen; Effendi Gazali, dan Chantal W., Sulistiyawati, Widodo Iman
Verest. (2000). Pembuat Berita TV Kumiadi. (2013). Pemilu 2014 dan
Memandang Lahan serta Racikan Konglomerasi Media Nasional
Mereka di Masa Jaya dan (Analisis terhadap Kecenderungan
Berlalunya Rezim Soeharto. Pemberitaan 4 Group Media
Dalam Dedy N. Hidayat, Effendi . Nasional di Indonesia), Jakarta-
Gazali, Harsono Suwardi, dan Yogyakarta: Dewan Pers - MPM
Ishadi SK. "Pers dalam “Revolusi (Laporan Penelitian).
Mei " Runtuhnya sebuah
McQuail, Denis. (2011). Teori Komunikasi
Hegemoni. Jakarta: Gramedia
Massa (Buku 1, edisi 6,
Dunn, William N. (2005). Pengantar Analisis
Kebijakan Publik (terjemahan: terjemahan: Putri Iva Izzati).
Samodra Wibawa, at.al) edisi Jakarta: Penerbit Salemba
Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada Humanika.
University Press. Nugroho, Riant. (2013). MetodePenelitian
Gayatri, Gati. (2006). Membangun Format Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka
Kemitraan Media dalam Rangka Pelajar
Diseminasi Informasi. Jurnal Studi
Sani, Fitria Herawati, dan Yasnita Yasin
Komunikasi dan Media 10 (1),
(2014). Independensi Media
Januari-Juni. ISSN 1410-6051
Televisi dalam Memuat Berita
Heychael, Muhamad dan Holy Raflka Dhona, Politik. Jurnal PPKN UNJ Online,
2014. “ Independensi Televisi 2 (4), 337 - 5205. AlamatLaman:
Menjelang Pemilu 2014: Ketika
http://skripsippknunj.org
Media Jadi Corong Kepentingan
Politik Pemilik,” dalam Jurnal Siregar, Amir Effendi. (2013). Independensi
Dewan Pers Edisi No. 09, Juli, hal. dan Netralitas Jumalisme dan
89- 121. Jakarta: Dewan Pers. ISSN: MediaJakarta.,SKH Kompas, Sabtu, 20 Juli.
2085-6199. Siregar, Amir Effendi. 2012. Menegakkan
Heychael, Muhamad. (2014), Independensi Demokrasi Penyiaran: Mencegah
Televisi Menjelang Pemilu Konsentrasi, Membangun
Presiden 2014 : Ketika Media Jadi Keanekaragaman. Jakarta:
Komunitas Pejaten
Corong Kepentingan Politik
Siregar, Amir Effendi; Rahayu; Puji Rianto;
Pemilik (Bag. 2). Jakarta: Remotivi
Wisnu Martha Adiputra,
(Laporan Penelitian) 2014.”Menakar Independensi dan
Karman. (2014). Monopoli Kepemilikan Netralitas Jumalisme dan Media di
Media dan Lenyaplah Hak Publik. Indonesia" dalam Jurnal Dewan
Jurnal Masyarakat Telematika dan Pers Edisi No. 09, Juli, hal.3-39 .
Informasi, Vol. 5 No. 1, Juni. ISSN Jakarta: Dewan Pers. ISSN: 2085-
2087-3123. 6199

38
Darmanto, Urgensi Perubahan Kebijakan untuk Penegakkan Independensi Media di Indonesia

Tim Peneliti dari Masyarakat Peduli Media Peraturan Perundangan:


(MPM), 2014. “Pemilu 2014 dan
Konglomerasi Media Nasional
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999
Analisis terhadap Kecenderungan
tentang Pers
Pemberitaan 4 Grup Media Nasional
di Indonesia,” dalam JurnalDewan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002
Pers Edisi No. 09, Juli, hal. 43-85 . tentang Penyiaran
Jakarta: Dewan Pers. ISSN: 2085- PP. Nomor 11 Tahun 2005 tentang Lembaga
6199. Penyiaran Publik
Wahyudin, Aep. (2014). Gurita Konglomerasi PP. Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga
Politik Media Penyiaran di Penyiaran Publik Radio Republik
Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia
2014. Jurnal Observasi Vol. 12 PP.Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga
No.2, hal. 113- 128, ISSN: 1412- Penyiaran Publik Televisi Republik
Indonesia
5900, Bandung: BPPKI
PP.Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman
Wibawa, Samudra. (2011). Politik Perumusan Kegiatan Peliputan Lembaga
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penyiaran Asing
Graha Ilmu PP.Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Wicaksono, Anugrah Pambudi, Bonaventura Penyelenggaraan Penyiaran
Satya Bharata, Darmanto, Fajar Lembaga Penyiaran Swasta
Junaedl, Masduki, Olivia Lewi PP.Nomor 51 Tahun 2005 tentang
Pramesti, dan Puji Rianto. (2015). Penyelenggaraan Penyiaran
Media Terpenjara: Bayang-bayang Lembaga Penyiaran Komunitas
Pemilik dalam Pemberitaan Pemilu PP.Nomor 52 Tahun 2005 tentang
2014. Jakarta-Yogyakarta: Yayasan Penyelenggaran Penyiaran Lembaga
Tifa dan MPM Penyiaran Berlangganan
Wjidiyanto. ( 2009). Geger di Sisminbakum Surat Keputusan Dewan Pers No.03/SK-
Sunyi di RCTI dan Okezone dalam DP/III/2006 tanggal 24 Maret 2006
Wajah Retak Media: Kumpulan tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
Laporan Penelusuran, Jakarta Pusat:
AJI Indonesia. Peraturan KPI NO. 01/P/KPI/03/2012 tentang
Pedoman Perilaku Penyiaran
Winamo, Budi. (2014). Kebijakan Publik:
Teori, Proses, dan Studi Kasus Peraturan KPI NO. 02/P/KPI/03/2012 tentang
(cetakan kedua). Jakarta: CAPS Standar Program Siaran.

. I

39

Anda mungkin juga menyukai