Ifan Apriliyanto
Ifansevenapril07@gmail.com
JURBALISTIK NASIONAL
LEMBAGA PERS MAHASISWA ISLAM CABANG CIPUTAT
2022
Sejak Indonesia dalam bayang-bayang rezim otoriter Orde Baru, banyak hal
yang semestinya menjadi perhatian besar, sepertihalnya kebebasan pers. Pers yang
seharusnya mejadi pilar demokrasi keempat sebuah Negara justru telah dipasung dan
dibelengu. Banyak kasus yang telah ditemui yang merupakan ‘Buah Tangan’ dari orde
baru menyangkut kehidupan Pers. Namun sejak rezim soeharto turun tahta, lalu
digantikan oleh pemerintahan Habibie ada angin segar kebebasan yang dihembuskan
bagi kelangsungan hidup kebebasan pers namun siring dengan hal tersebut justru telah
menimbulan paradoks kebebasan pers. Pers yang seharusnya menjadi alat kontrol
sosial bagi sebgian orang justru menjadi pemicu keresahan. karena hadir sebagai
wacana kritik dan wahana introspeksi bagi pelaku dunia pers (jurnalis) sejauh mana
pers mampu melaksanakan fungsinya. Memotret keberadaan pers di tanah air, sejak
dari pemerintahan Soeharto. Habibie, hingga Abdurrahman Wahid (Gus Dur.
Pertama, kebebasan itu baru menjadi jalan pembuka bagi demokra tisası karena
setiap anggota masyarakat diperbolehkan menyampaikan aspirasi dan gagasan-
gagasannya dengan bebas. Dalam kebebasan semacam ini bisa saja proses
demokratisası justru mengalami hambatan serius karena terjadi kesimpangsiuran
informasi di masyarakat Pers yang bebas akan sangat mempengaruhi disinformasi
sosial tersebut Kedua. kebebasan itu seringkali dijadikan sebagai alat mobilisası opini
masya rakat atas suatu fakta. Hal ini erat kaitannya dengan kepentingan politik
kelompok-kelompok tertentu yang berimbas pada keberadaan pers Dua hal inilah yang
menjadi paradoks dalam era liberalisasi pers pasca otoritarianisme
Oleh karena itu pers juga dituntut untuk berdiri secara netral dan profesional,
walaupun masalah keharusan adanya obyektifikasi berita tersebut sebenarnya sudah
bukan lagi sekedar tuntutan profesionalisme kerja melainkan ada landasan filosofisnya.
Selama ini upaya mengobyek tifikası fakta seringkali terbentur oleh intervensi politik
dan pengaruh modal kuat yang menghegemoni pers sehingga fakta seringkali
tercampur dengan opini. Padahal, dengan memisahkan fakta darı opini maka pers telah
mempermudah penemuan kebenaran (terutama) bagi pembaca yang rasional Artinya,
pers juga menyampaikan fakta secara benar, sesuai dengan (pure reality).
Dalam adagium Komisi Kebebasan Pers di Amerika Serikat (1947) "Tidak lagi
cukup hanya melaporkan fakta tecara jujur Sekarang ini perlu untuk melaporkan
kebenaran fakta Artinya walaupun pers sudah berusaha mengobyektifikan fakta dengan
memasukkan semua pihak yang terlibat, dan juga masih harus menganalis dapat
dipercaya tidaknya sumber-sumber tersebut Ketika membela Thomas Paine yang
dilarang menerbitkan buk The Rights of Man. John Erskine berkata demikian "Dalil
yang saya pertahankan sebagai basis bagi kemerdekaan pers dan tanpa dalit it
kebebasan pers cuma omong kosong, adalah begini bahwa setiap manusia tidak
berkeinginan menyesatkan tetapi berusaha memberi keterangan kepada orang lain
dengan apa yang menurut akal pikiran dan kesadarannya, bagaimanapun khilafnya ia,
adalah benar boleh berbicara kepada akal pikiran semua orang di seluruh negara baik
tentang pemerintahan secara umum, maupun pemerintahan negara kua sendiri pada
khususnya
Pernyataan yang terekam dalam buku Fred S Siebert, Four Theories of the
Press, ini cukup signifikan dalam menjelaskan perlunya penghargaan terhadap
kebebasan pers. Masalah kebebasan pers bukan semata-mata menjadi parameter
demokratisasi di suatu negara, tetapi yang lebih penting adalah sifatnya yang
menghargai hak setiap individu untuk mengetahui (right to knows) suatu realitas.
Dengan demikian, kebebasan pers berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi
manusia (HAM). demokrasi dan masyarakat transparan informasi walaupun demikian,
bukan berarti pers bisa menyajikan berita sekehendak hatinya, tidak faktual, out of
context dan sarkastis Pers harus mengangkat fakta secara obyektif, seimbang dan
netral.