Anda di halaman 1dari 8

PARADOKS KEBEBASAN PERS PASCA ORDE BARU

DALAM PADANGAN KACAMATA DEMOKRASI DI


INDONESIA

Ifan Apriliyanto

Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bandung Periode 2021-2022


Jl.Sabang No.17 Bandung

Ifansevenapril07@gmail.com

JURBALISTIK NASIONAL
LEMBAGA PERS MAHASISWA ISLAM CABANG CIPUTAT
2022
Sejak Indonesia dalam bayang-bayang rezim otoriter Orde Baru, banyak hal
yang semestinya menjadi perhatian besar, sepertihalnya kebebasan pers. Pers yang
seharusnya mejadi pilar demokrasi keempat sebuah Negara justru telah dipasung dan
dibelengu. Banyak kasus yang telah ditemui yang merupakan ‘Buah Tangan’ dari orde
baru menyangkut kehidupan Pers. Namun sejak rezim soeharto turun tahta, lalu
digantikan oleh pemerintahan Habibie ada angin segar kebebasan yang dihembuskan
bagi kelangsungan hidup kebebasan pers namun siring dengan hal tersebut justru telah
menimbulan paradoks kebebasan pers. Pers yang seharusnya menjadi alat kontrol
sosial bagi sebgian orang justru menjadi pemicu keresahan. karena hadir sebagai
wacana kritik dan wahana introspeksi bagi pelaku dunia pers (jurnalis) sejauh mana
pers mampu melaksanakan fungsinya. Memotret keberadaan pers di tanah air, sejak
dari pemerintahan Soeharto. Habibie, hingga Abdurrahman Wahid (Gus Dur.

Kebebasan pers mulai menampakkan keseriusannya adalah pada masa


pemerintahan Gus Dur Penghapusan Departemen Penerangan adalah salah satu di
antaranya. Menurut Gus Dur, pers adalah milik ma syarakat, maka harus dikembalikan
ke masyarakat tanpa ada intervensi dari negara. Walaupun kebijakan itu menimbulkan
sikap pro dan kontra. Seperti kita lihat dengan dihapuskannya Departemen Penerangan
dalam jajaran kabinet Presiden Abdurrahman Wahid mendatangkan sejumlah
konsekuensi yang tidak kecil. Selain menyangkut 50 ribu karyawan yang belum jelas
nasibnya, juga menyangkut peran-peran media massa yang sebagian besar masih
memerlukan regulasi-regulasi. Namun itulah harga yang harus dibayar untuk
menegakkan sebuah kebebasan pers.

Diakui, kehidupan pers di Indonesia selama tiga dekade berada dalam


keterkungkungan sistem politik yang otoriter-korporatis Pers diletakkan sebagai salah
satu instrumen kekuasaan sehingga komunikasi politik lewat pers yang semestinya dua
arah (negara ke masyarakat dan sebalik nya), tidak tercipta Lewat regulasi-regulası
formal (SIUPP, PWI, dan sebagainya) dan ilegal (budaya telepon dan sensor internal),
pers pada masa Orde Baru tidak bisa memainkan peranannya sebagai kontrol sosial
Situasi ini baru berubah setelah kekuasaan Orde Baru runtuh. Pers mulai
mendapatkan ruang-ruang kebebasan yang lebih luas antara lain dengan pencabutan
aturan SIUPP. legalisasi organisasi profesi wartawan non PWI (seperti AJI, IJTI dan
sebagainya), dan munculnya beragam media massa baru, baik cetak maupun elektronik
Angin perubahan ini memang menggembirakan walaupun bukan berarti sudah
sepenuhnya mendorong demokratisasi Kebebasan pers yang diberikan oleh negara
pasca Orde Baru tersebut baru menumbuhkan dua kemungkinan.

Pertama, kebebasan itu baru menjadi jalan pembuka bagi demokra tisası karena
setiap anggota masyarakat diperbolehkan menyampaikan aspirasi dan gagasan-
gagasannya dengan bebas. Dalam kebebasan semacam ini bisa saja proses
demokratisası justru mengalami hambatan serius karena terjadi kesimpangsiuran
informasi di masyarakat Pers yang bebas akan sangat mempengaruhi disinformasi
sosial tersebut Kedua. kebebasan itu seringkali dijadikan sebagai alat mobilisası opini
masya rakat atas suatu fakta. Hal ini erat kaitannya dengan kepentingan politik
kelompok-kelompok tertentu yang berimbas pada keberadaan pers Dua hal inilah yang
menjadi paradoks dalam era liberalisasi pers pasca otoritarianisme

Oleh karena itu pers juga dituntut untuk berdiri secara netral dan profesional,
walaupun masalah keharusan adanya obyektifikasi berita tersebut sebenarnya sudah
bukan lagi sekedar tuntutan profesionalisme kerja melainkan ada landasan filosofisnya.
Selama ini upaya mengobyek tifikası fakta seringkali terbentur oleh intervensi politik
dan pengaruh modal kuat yang menghegemoni pers sehingga fakta seringkali
tercampur dengan opini. Padahal, dengan memisahkan fakta darı opini maka pers telah
mempermudah penemuan kebenaran (terutama) bagi pembaca yang rasional Artinya,
pers juga menyampaikan fakta secara benar, sesuai dengan (pure reality).
Dalam adagium Komisi Kebebasan Pers di Amerika Serikat (1947) "Tidak lagi
cukup hanya melaporkan fakta tecara jujur Sekarang ini perlu untuk melaporkan
kebenaran fakta Artinya walaupun pers sudah berusaha mengobyektifikan fakta dengan
memasukkan semua pihak yang terlibat, dan juga masih harus menganalis dapat
dipercaya tidaknya sumber-sumber tersebut Ketika membela Thomas Paine yang
dilarang menerbitkan buk The Rights of Man. John Erskine berkata demikian "Dalil
yang saya pertahankan sebagai basis bagi kemerdekaan pers dan tanpa dalit it
kebebasan pers cuma omong kosong, adalah begini bahwa setiap manusia tidak
berkeinginan menyesatkan tetapi berusaha memberi keterangan kepada orang lain
dengan apa yang menurut akal pikiran dan kesadarannya, bagaimanapun khilafnya ia,
adalah benar boleh berbicara kepada akal pikiran semua orang di seluruh negara baik
tentang pemerintahan secara umum, maupun pemerintahan negara kua sendiri pada
khususnya

Pernyataan yang terekam dalam buku Fred S Siebert, Four Theories of the
Press, ini cukup signifikan dalam menjelaskan perlunya penghargaan terhadap
kebebasan pers. Masalah kebebasan pers bukan semata-mata menjadi parameter
demokratisasi di suatu negara, tetapi yang lebih penting adalah sifatnya yang
menghargai hak setiap individu untuk mengetahui (right to knows) suatu realitas.
Dengan demikian, kebebasan pers berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi
manusia (HAM). demokrasi dan masyarakat transparan informasi walaupun demikian,
bukan berarti pers bisa menyajikan berita sekehendak hatinya, tidak faktual, out of
context dan sarkastis Pers harus mengangkat fakta secara obyektif, seimbang dan
netral.

Semasa Orde Baru, tampaknya masih tersisa sampai sekarang. Adalah


kebiasaan para jurmalis untuk mencari dan mengkonfirmasi data secara top down,
sumber berita biasa nya kalangan pemerintah saja (bahkan lebih sering otoritas militer)
Lalu, bagaimana seharusnya pihak pers bersikap secara obyektif dan profesional?
Bagaimanakah caranya agar pers memanfaatkan kebebasannya tanpa menggunakan
pola-pola jurnalisme yang hegemonik? hal tersebut menjadi penting didiskusikan
karena sadar ataupun tidak sadar, sampai saat ini pers di Indonesia masih
mengembangkan jurnalisme yang hegemonik Setiap saat bisa kita temui slogan-slogan
sebagai praktek bahasa yang secara sistematis mengakutkan tatanan hegemonik,
sehingga ia terus membangun semacam - meminjam istilah Madjid Tehranian -"tiranı
kognitif" dalam alam pikiran pembaca.

Kecenderungan pemberitaan pers yang bias hegemonik tampak terutama dalam


isu-isu politik Hal ini dimungkinkan karena pers memang media yang efektif untuk
mendukung dan menegasikan kepentingan politik suatu kelompok Bahasa jurnalistik
menjadi alat yang ampuh karena ia memiliki dampak sosial yang meluas, dibaca oleh
banyak orang dan menghasilkan opini. Dalam konteks ini bahasa media massa dapat
dilihat sebagai representasi dan universum relasi tempat munculnya paradoks dan
bahkan konflik bahasa itu sendiri lewat bias pemberitaan Bias tersebut lewat
penampakan apapun (eufimisme, disfemisme dramatisası, hegemoni makna dan
sebagainya), akan sangat merugikan masyarakat sebagai, konsumen pers Penyajian
fakta yang tidak proporsional oleh pers berarti mengingkari kebutuhan masyarakat
akan informasi obyektif walaupun demikian, seringkali pers seolah-olah tidak
menghiraukan kepentingan masyarakat tersebut kuatnya cengkeraman modal dan
intervensi politik dari luar institusi pers telah memaksa pers untuk menyajikan berita
sesuai dengan kepentingan modal dan kekuatan politik tersebut.
Demikianlah, perkembangan media massa bukan saja telah melahir kan
kekuatan sentrifugal bagi masyarakat yang menjanjikan gagasan perubahan,
fragmentası, pluralisme dan demokratisası kepada masyarakat. seperti dikatakan Denis
McQuail (1987), melainkan juga memberikan kekuatan sentripetal yang menjanjikan
kontrol, ketenangan, persatuan. dan kemapanan bagi masyarakat masalahnya adalah
mana yang lebih dominan diantara dua kekuatan tersebut? Jawabannya bisa diperoleh
lewat pertanyaan; (1) Siapa pemilik media (konglomerası media) (2) Ideologi apa yang
ada dibalik media itu, (3) Bagaimana komposisi is berita dan opini beserta iklan-iklan
yang ada, dan (4) Dampak apa yang bakal terjadi bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai