Anda di halaman 1dari 4

A.

Hubungan Media Massa dengan Sistem Politik

Hubungan antara media massa dengan sistem politik, sangat bergantung pada budaya
politik, termasuk ideologi, dari komunitas politik. Baik media massa maupun sistem politik,
keduanya merupakan wujud yang tidak lepas dari kepentingan serta kecenderungan atau
keberpihakannya kepada sesuatu nilai baik yang berakar pada budaya maupun agama.
Blumber dan Gurevitch (1982:238-40), bahwa perbedaan-perbedaan ideologis dan historico-
cultural mendasari konsep dan praktik komunikasi politik, termasuk praksis (teori dan aksi)
media massa.
Sebagai lembaga yang memiliki kebebasan untuk menyuarakan aspirasi, media massa
dalam batas-batas tertentu, tidak bisa menghindari pengaruh politk yang sedang berkuasa.
Demikian pula sebaliknya, kekuasaan politik juga tidak bisa secara bebas membatasi
kebebasan yang dianut media massa.
Graber (1984:10) menunjukan salah satu fungsi media massa dalam sistem politik
yakni sebagai media sosialisasi politik (politic socialization). Media massa melakukan proses
pembelajaran tentang orientasi dan nilai-nilai dasar kepada individu dalam memahami
lingkungan kulturalnya, bahkan dipandang sebagai intrumen ideologi. Melalui media suatu
kelompok menyebarkan pengaruh dan dominannya kepada kelompok lain. Sebab media,
menurut Sudibyo (2001:55), bukanlah ranah yang netral di mana berbagai kepentingan dan
pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang.
Media justru bisa menjadi subjek yang mengkontruksi realitas berdasarkan penafsiran dan
definisinya sendiri untuk disebarkan ke khalayak.
Penggunaan media sebagai ajang pertarungan politik ditegaskan oleh Charlotte Ryan,
menurutnya, media adalah suatu ajang perang simbolik antara pihak-pihak yang
berkepentingan. Mereka saling mengajukan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar lebih
diterima khalayak. Masing-masing pihak akan berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim,
ataupun argumentasi berkenaan dengan persoalan yang diberitakan, dan hal tersebut tidak
dapat disalahkan. Begitupun juga dengan kehadiran media yang sarat dengan ideologi serta
nilai-nilai tertentu yang dianut dan diperjuangkan dalam pemberitaanya.
Di zaman renaisans, Siebert (1986:2) mengatakan ada dua teori dasar tentang pers,
yang pertama ialah Teori Otoritarian yaitu, kebenaran bukan datang dari masyarakat tetapi
dari sekelompok kecil orang bijak yang membimbing mereka. Pers sendiri digunakan
kekuasaan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang
dianggap penting untuk diketahui masyarakat. Hanya penguasa yang berhak menerbitkan
pers,. Pihak swasta yang ingin menerbitkan pers harus seizin kekuasaan, serta dapat dicabut
kembali sewaktu-waktu jika dianggap tidak mendukung kebijakan kekuasaan.
Yang kedua ialah teori Libertarian, menempatkan manusia sebagai makhluk berakal yang
mampu membedakan sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak perlu
dibimbing oleh kekuasaan. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik kekuasaan, tapi
menjadi salah satu hak asasi manusia, dan menjadi milik setiap individu. Teori ini
memandang pers sebagai mitra dalam mencari kebenaran. Pers bukan lagi instrument
pemerintah, melainkan alat untuk menyajikan bukti-bukti, fakta-fakta, dan argument-
argumen yang akan menjadi kekuatan dalam mengontrol kekuasaan sekaligus menentukan
sikap terhadap setiap kebijakannya.
Sedangkan menurut Graber (1984: 21-22), libertarian disebut Nonauthoritarian yang
umum digunakan dalam Negara demokratis. Otoritarian disebut Authoritarian yang berarti
pemerintah sebagai pihak yang selalu mengetahui benar dan salah, maka dalam sistem
Nonauthoritarian, masyarakat juga memiliki hak yang sama dalam menentukan benar dan
salah. Di keadaan seperti ini, media dipandang sebagai fasilitas penyampaian informasi yang
objektif tentang segala sesuatu yang dinilai baik atau buruk. Para jurnalis berperan sebagai
kekuatan kontrol yang mengawasi jalannya pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif.
Pers ditempatkan sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) dalam tatanan
kehidupan sosial. Ia berfungsi sebagai pengendali yang sekaligus melakukan kontrol sosial
bagi kepentingan publik. Efektifitas pengaruhnya dapat dilihat pada fakta-fakta sejarah yang
menyiratkan terjadinya perubahan perilaku politik yang signifikan sebagai akibat dari terpaan
media massa, baik positif atau negatif. Popularitas politik Saddah Hussein di Irak, khususnya
selama perang Teluk berlangsung, rontoknya pemerintahan Orde Baru di Indonesia,
semuanya tidak terlepas dari peran-peran sosial politik yang dimainkan media massa. Bahkan
iklim demokrasi suatu masyarakat pun, salah satunya, dapat dilihat dari keberadaan serta
peran sosial politik media massa. Oleh karena itu, di beberapa Negara berdemokrasi liberal,
pers sering disebut sebagai pengawas alias penjaga demokrasi.
Ada empat fungsi media massa bagi eksekutif, disebutkan Graber (1984: 222-3).
Pertama, media massa menyediakan informasi terbaru tentang berbagai peristiwa serta
setting politik yang tengah berkembang di masyarakat untuk dijadikan bahan pertimbangan
dalam membuat kebijakan. Kedua, media massa memberikan ruang kesadaran sosial bagi
eksekutif untuk membaca lebih jauh opini public yang berkembang di masyarakat. Ketiga,
media massa juga memfasilitasi eksekutif untuk dapat menyampaikan pesan-pesannya
kepada para elit politik dan masyarakat umum, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Keempat, media massa memberikan kesempatan kepada para eksekutif untuk memelihara
kontinuitas kekuasaan yang tengah diperankannya.
Pihak eksekutif juga meyakini kebenaran informasi media, karena media juga selalu berusaha
menyajikan sesuatu yang bermakna bagi para pembacanya.

B. Efek Komunikasi Massa pada Perilaku Politik

Media massa memiliki kekuatan pengaruh yang besar dalam ikut mengendalikan arah
Perubahan masyarakat, khususnya dalam kerangka politik. Apa yag dilakukan media adalah
sesuatu yang menjadi perilaku politik masyarakat, baik perilaku yang mendukung atau
menentang. Dalam perspektif sosiologis, Newcomb, menyatakan bahwa sebagai penyalur
informasi, media massa merupakan kekuatan yang mampu mempengaruhi sekaligus merubah
perilaku masyarakatnya, termasuk perilaku politik yang biasanya menjadi target dari partai-
partai politik atau kekuatan-kekuatan politik lainnya. Sebab media massa, sesuai dengan sifat
dan fungsi yang diperankannya, selalu berusaha menyajikan informasi terbaru dan dipandang
relevan bagi masyarakatnya.
Dalam posisi sebanding dengan fungsi dan peran yang dimiliki partai politik, media
massa, dalam konteks pemahaman yang lebih luas, sering dianggap sebagai the fourth estate,
wilayah keempat dari kekuatan politik formal seteah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Media
massa bisa berperan sebagai kekuatan yang mendominasi kehidupan lembaga-lembaga
politik tersebut. Bahkan kekuatan pemerintah sendiri berada pada media massa di mana
media massa menyajikan secara cepat dan teratur informasi-informasi politis kepada
khalayak yang sangat besar. Mereka adalah para elit politik, para pengambil keputusan, dan
masyarakat pada umumnya yang pemikiran dan aktifitas politisnya dibentuk oleh media
massa (Graber, 1984: 27).
Media massa saat ini menjadi salah satu pilihan yang digunakan untuk tujuan-tujuan
komunikasi politik, terutama pada masyarakat kosmopolitan. Seseorang atau sekelompok
orang dapat sangat tergantung pada media dalam menentukan pilihan-pilihan sikap dan
tindakan politisnya. Bahkan, banyak aspek dari kehidupan masyarakat kosmopolitas
bergantung pada jasa media. Namun perlu dicermati juga karena di sisi lain ternyata media
massa juga dapat menumpulkan sifat-sifat kritis para penggunanya.
C. Komunikasi Politik di Indonesia

Fenomena komunikasi politik suatu masyarakat, merupakan bagian yang tak


terpisahkan dari dinamika politik di mana komunikasi itu bekerja. Karena itu, kegiatan
komunikasi politik di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari proses politik nasional yang
menjadi latar kehidupannya. Fenomena komunikasi politik ormas keagamaan, dapat
dideskripsikan secara sistematik dengan pendekatan fungsionalisme-struktual (srtuctual-
functionalism). Penentuan pendekatan seperti ini didasarkan pada satu asumsi bahwa,
kegiatan komunikasi politik di kalangan masyarakat beragama, terutama dalam kaitannya
dengan fungsi-fungsi struktur yang melingkupinya. Merupakan fenomena sosial yang
berfungsi untuk kepentingan, antara lain, 1). Pencapaian tujuan (goal attainment) atau
penentuan tujuan, 2). Integrasi (integration), 3). Penyesuaian atau adaptasi (adaption), dan 4).
Pemeliharaan pola yang tidak selalu tampil (latency, pattern maintenance). Dengan
demikian, kekuatan-kekuatan politik Islam tidak mungkin melepaskan diri dari mainstream
perpolitikan nasional. Paling tidak, ia adalah sasaran kebijakan politik nasional, sehingga
momen-momen tertentu akan memaksanya untuk berbicara politis.
Sejak dekade 1970-an, komunikasi politik di Indonesia mengalami pasang surut
sejalan dengan langgam perjalanan politik nasional. Masih banyak ketimpangan komunikasi
politik yang diperankan sejumlah elit politik di Indonesia, menurut Ali (1999: 135), salah
satunya diakibatkan oleh ketimpangan peran-peran komunikator sebagai dampak dari
ketidakseimbangan kemampuan sumber daya manusia. Peran komunikator politik di lembaga
eksekutif, menurutnya, terlampau dominan dibanding komunikator politik di lembaga
legislatif. Ketimpangan yang terjadi ini berakibat pada ketidakfungsinya sistem kontrol
infrastruktur politik terhadap suprastruktur politik, dan macetnya saluran opini public,
lantaran komunikator politik di struktur infra menjadi sangat bergantung pada komunikator
politik di struktur supra.
Dekade 1970-an hingga 1980-an, komunikasi politik di warnai oleh usaha-usaha
pemerintah dalam memperkokoh kekuasaannya untuk kepentingan stabilitas politik nasional,
komunikasi politik lebih bersifat satu arah dengan pesan-pesan politik dari atas ke bawah.
Komunikasi politik juga digunakan untuk kepentingan pengelolaan kesan (impression
management) agar terbangun kepercayaan masyarakat untuk menjamin stabilitas nasional.
Dalam tulisan Anderson (1978), Cartoons and Monuments: The Evolution of Political
Communication under the New Order. Ia menyebutkan empat simbol komunikasi politik
yang banyak digunakan pemerintahan Orde Baru. Pertama, direct speech yang merupakan
bentuk komunikasi politik paling banyak digunakan dalam masyarakat, seperti gossip, rumor,
diskusi, argumentasi, interogasi, dan intrik. Kedua, symbolic speech, ialah simbol-simbol
yang dimaknai secara khusus sesuai dengan kepentingan sejarahnya. Seperti pemilihan warna
bendera “merah-putih” yang memiliki pesan-pesan tertentu di dalamnya. Ketiga, cartoons,
yaitu bentuk komunikasi politik yang paling terbuka untuk diinterpretasikan. Kartun
merupakan respon terhadap kenyataan yang sedang hangat terjadi. Terakhir, monuments,
yaitu simbol komunikasi politik yang dibuat untuk menginformasikan sesuatu peristiwa yang
pernah dilalui bangsa Indonesia.
Komunikasi politik di Indonesia secara umum masih dihiasi oleh watak eufemisme
yang dalam beberapa hal dapat menghambat keterbukaan. Eufemisme merupakan bagian dari
santun berkomunikasi yang ada pada setiap masyarakat. Praktik eufemisme dalam
berkomunikasi masih banyak di lakukan para politisi produk Pemilu era reformasi. Mereka
bisa lantang berbicara mengenai kontrol pemerintahan, namun malu-malu untuk berbicara
langsung mengenai keinginannya untuk berkuasa. Inilah warna komunikasi politik di
Indonesia yang dalam beberapa hal masih terpengaruh oleh kultur politik Jawa yang berhasil
ditanamkan kekuasaan Orde Baru.

Daftar pustaka

Dr. Muhtadi Saeful Asep, M.A., Komunikasi Politik Indonesia, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008.

Anda mungkin juga menyukai