Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KOMUNIKASI MASSA

“KAJIAN BISNIS DAN STRUKTUR MEDIA”

Oleh

M. Agung (1646031019)

Joshua Brandon (1646031020)

Renard Surya Adinata (1646031035)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

2017
EKONOMI POLITIK MEDIA

Studi ekonomi politik media adalah kajian yang memfokuskan perhatiannya pada penyebab dan
konsekuensi ekonomi, keuangan dan politik terhadap budaya (Babe, 2009:8). Ekonomi politik
media sebenarnya adalah pertarungan bagaimana aspek-aspek ekonomi dan politik telah
memengaruhi produksi dan reproduksi budaya sebagai komoditas media massa.

Pendekatan ekonomi politik media lebih melihat bagaimana konsepsi materialisme


didistribusikan dan disirkulasikan dalam praktik pelaksanaan produksi kultural. Babe (2009) juga
menuliskan bahwa akar dari ekonomi politik media bermula dari pandangan-pandangan dan
konsepsi yang lahir dari para pakar cultural studies (Studi Budaya) seperti Theodore Adorno,
Richard Hogart, Raymond William dan E.P Thompson yang memperkenalkan teori tentang
“Cultural Materialism”. Cultural Materialism adalah upaya para penganut teor kritis untuk
menjelaskan bahwa culture atau budaya merupakan hasil produksi dan reproduksi yang
disebabkan atau menjadi konsekuensi logika ekonomik (materialism). Budaya telah menjadi
komoditas yang dihasilkan dengan kepentingan tertentu pembuatnya untuk kepentingan
memperoleh keuntungan finansial semata.

Ruang lingkup kajian Ekonomi Politik Media

1. Kepemilikan media konsolidasi, diversifikasi, komersialisasi, internasionalisasi,


globalisasi, publik.

2. Praktik media dan isi media

3. Komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi (Mosco, 1996)

1. Komodifikasi

“Proses transformasi barang, jasa, dan nilai beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas
yang mempunyai nilai tukar di pasar”. Dalam lingkup kelembagaan, awak media dilibatkan
untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke konsumen / khalayak yang beragam. Nilai
tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana produk media memenuhi kebutuhan
individual maupun sosial.
2. Spatialisasi

Merupakan ”perpanjangan institusi dari kekuasaan perusahaan dalam industri komunikasi”.


Spasialisasi berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan
khalayak dalam batasan ruang dan waktu.

Pada ranah ini maka struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam
memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Wacana
spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang
berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau
oligopoli, konglomerasi atau tidak.

Lembaga-lembaga media diatur (secara politis) untuk menghindari terjadinya monopoli


kepemilikan modal dan informasi untuk menjamin diversity of content dan diversity of
ownership.

Contoh: UU Penyiaran No 32 tahun 2002 merupakan campur tangan politik untuk


meniadakan

3. Strukturasi

Penggagas utama: Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212)

“Proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-
masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain”

Terciptanya suatu struktur dalam masyarakat oleh peranan agen manusia relasi ide antaragen
masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur.

Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan
diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing
berhubungan satu sama lain.

Pendekatan Ekonomi Politik memfokuskan pada kajian tentang hubungan antara struktur
ekonomi-politik, dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri.
Ideologi

Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai.

Teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang
memihak.

Teks sering dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi
kelas tertentu. Pada titik tertentu, pada diri teks media sudah bersifat ideologis (Littlejohn,
2002:217).

Althusser media dalam konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai ideological
state apparatus (ISA), yang mendukung repressive state apparatus (RSA)

Dengan demikian, media massa berfungsi sebagai ranah dan dasar pembenaran praktek
represi yang dilakukan negara kepada para warganya.

Beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memahami hubungan ideologi dengan media.

1. Pertama, ideologi tidak terdiri dari konsep yang terpisah dan terisolasi secara sosial.
Ideologi mengartikulasikan elemen atau unsur yang berbeda menuju perbedaan makna
strukturalisme

2. Kedua, status ideologis selalu dibuat secara individual tapi ideologi sendiri tidak selalu
produk kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa ideologi sudah ada sebelum individu
ada. Ideologi bersifat aktif dalam masyarakat. Proses transformasi ideologi merupakan
proses kolektif. Proses ideologisasi lebih banyak berlangsung secara tidak sadar Marx =
false conciousness, Althusser profoundly unconciousness

3. Ketiga, ideologi bekerja melalui konstruk sosial untuk posisi subyek individual dan
kolektif dari keseluruhan identifikasi dan pengetahuan yang ditransmisikan dalam nilai-
nilai ideologis.
Ideologi Sebagai Hegemoni

Pencetus = Antonio Gramsci

Gramsci membangun teori yang menyatakan bagaimana akseptasi kelompok yang didominasi
oleh dan dengan keberadaan kelompok dominan.

Proses akseptasi tersebut berlangsung dalam proses yang damai tanpa represi kekerasan. Ini
berarti bahwa proses kekuasaan dan dominasi tidak hanya bersifat material tapi juga bersifat
kultural (immaterial). Dominasi yang bersifat immaterial tersebut meliputi perluasan dan
pelestarian “ketaatan sukarela” dari kelompok yang didominasi oleh kelas elit penguasa melalui
pemanfaatan kekuasaan intelektual, moral dan politik. Melalui hegemoni, penyebaran (distribusi)
ide, nilai, belief system, dipenetrasikan secara “seakan-akan wajar”. Dalam arti tertentu, ideologi
yang hegemonik mengandaikan percampuran dengan praksis sosial.

Dominasi dan hegemoni memerlukan pertimbangan kedua, yaitu legitimasi. Legitimasi adalah
wewenang keabsahan individu atau kelompok tertentu memegang mandat kekuasaan. Keabsahan
di sini selalu diartikan sebagai sifat normatif. Mempertanyakan keabsahan wewenang kekuasaan
berarti memperbandingkan wewenang dengan norma. Apabila sesuai dengan norma yang
berlaku, maka wewenang itu sah, apabila tidak, wewenang itu tidak sah.

Kriteria Pokok Legitimasi

1. Pertama adalah legitimasi sosiologis, yaitu legitimasi mekanisme motivatif yang


membuat masyarakat menerima wewenang penguasa atau elite dominatif.

2. Kedua adalah legitimasi legalitas, yaitu legitimasi kesesuaian kekuasaan dengan hukum
yang disepakati dan berlaku.

3. Ketiga adalah legitimasi etis, yang mempersoalkan kewenangan dan keabsahan


wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.

Menurut David Barrat media adalah instrumen elit untuk menyebarkan ideologi dominan.
Media dan berita media massa adalah subjek yang mengkonstruksi realitas melalui simbol
dan pemaknaan yang dibuat oleh media massa, lengkap dengan pandangan, bias dan
keberpihakannya.
Pada era sekarang, imperialisme media meliputi dimensi ekonomi, ideologi, politik dan
kultural.

Media menjadi ajang bagi para produser isi media untuk menggunakan komodifikasi nilai-
nilai yang layak diperjualbelikan dalam pasar yang kompetitif.

Bertendensi ekonomi dan sosio-kultural.

Dalam konteks Indonesia muncul intervensi yang berlebihan dari Pemerintah dalam wilayah-
wilayah ekonomi,politik, sosial yang dapat menimbulkan efek negatif di masyarakat.

Penguasaan berlebihan atas faktor produksi dan sumber daya.

Berlangsung manipulasi birokrasi, dan korupsi oleh negara rekayasa sistematik terhadap
sumber daya oleh elit tertentu.

Contoh: intervensi negara dalam regulasi media di Indonesia.

Negara menjadi pengatur (regulator) siapa yang berhak dan boleh memasuki wilayah industri
media, juga menentukan dan mengatur sekaligus keberadaan dan fungsinya dalam
masyarakat. Kebijakan negara dalam pengaturan industri media bisa saja dilihat dari
kebijakan politik komunikasi yang dijalankan.

Berpengaruh secara signifikan terhadap usaha-usaha perwujudan kebijakan kebebasan


komunikasi masyarakat.

Berbagai kebijakan pemerintah yang dibuat melalui (regulasi, deregulasi) pada wilayah
komunikasi mengandung banyak makna budaya dan politik yang ditimbulkan sebagai akibat
dari perkembangan sejarah dan politik negara.

Dalam usaha menjelaskan regulasi media dapat dilihat dari aspek pemfungsian media
komunikasi yang dilakukan oleh negara.

Negara memiliki wewenang untuk mengatur dan mengeluarkan kebijakan apakah media dibuat
untuk mendorong terciptanya perubahan sosial di masyarakat, atau bisa saja media diciptakan
untuk menjadi corong kekuasan yang menginformasikan kepentingan-kepentingan negara.
Dengan demikian, bisa saja dikatakan bahwa media di satu sisi menjadi instrumen politik yang
sangat ampuh untuk melakukan indoktrinasi politik masyarakat. Di sisi lain justru media
merupakan sarana membangun kesadaran masyarakat untuk berkontribusi secara aktif dalam
penguatan demokrasi Di Indonesia, memperbincangkan regulasi media 3 varian utama, negara
(state), pasar (market), dan masyarakat (society). Hubungan ketiganya bisa harmonis, dalam arti
terdapat hubungan mutualistik yang interaktif, saling mengisi, dan tidak mendominasi. Tetapi
bisa juga hubungan ketiganya merupakan hubungan yang mendominasi. Misalnya saja, pasar
yang mendominasi terhadap masyarakat. Atau hubungan pasar dan negara yang juga
mendominasi terhadap kepentingan masyarakat. Dan bisa juga sebaliknya, masyarakat yang
justru menekan pada kepentingan negara dan pasar.

ANALISIS
ekonomi  politik  media  dan studi  kebudayaan  mempunyai  kesamaan, kelebihan dan
kekurangan. Dengan memperhatikan  hal-hal  tersebut  kedua pendekatan  dapat  saling  belajar 
untuk memperkaya  pendekatan  masing-masing.
Bagi  pendekatan  ekonomi  politik media yang cenderung melihat dari satu sisi yakni
produksi dan distribusi media, pendekatannya dapat diperbaiki dengan menambah  satu  sisi 
yakni  konsumsi oleh  khalayak  dengan  memberi  perhatian  pada  kebebasan  khalayak   dalam
menginterpretasi. Sedangkan bagi studi kebudayaan  adalah  dengan  memberi perhatian  pada 
aspek  ekonomi-politik dan  metodologi  empirisme  dalam  etnografi. Dengan demikian, kajian
terhadap media  massa  perlu  mengembangkan pendekatan multiperspektif yang mencakup 
beragam  artifak  dengan  mengumpulkan informasi secara mendalam tiga dimensi yakni (1)
produksi dan ekonomi politis  dari  budaya  (2)  analisis  tekstual dan  kritik  terhadap 
artifaknya  dan  (3) kajian  mengenai  penerimaan  khalayak dan  penggunaan  produk 
budaya/media secara  polisemi  dengan  metode pengumpulan data empiris. Di  dalam era 
informa si,  peran  media  massa  dalam  kehidupan  manusia menjadi sangat sentral. Sehingga
kajian mengenai  peran  media  dalam kehidupan  manusia  menjadi  penting.
Berbagai  pendekatan  terhadap penelitian  media  yakni  pendekatan yang sifatnya
fungsionalis, pluralis dan kritis.   Dalam  pendekatan  kritis  yakni yang  diwakili  dengan 
terminologi pendekatan  Marxisme  terdapat   tiga kelompok  pendekatan  yakni  pendekatan 
strukturalist,  ekonomi-politik dan pendekatan kulturalis. Seperti  halnya  dalam  pendekatan
ekonomi  politik,  dalam  studi  kebudayaan  terdapat  berbagai  varian  yang antara  lain 
ditunjukkan  dengan pengelompokkan  berikut:  dekonstruksi,  rekonstruksi  dan  strukturalis.
Pengelompokan  lainnya  (Golding  dan Murdock,  1996)  adalah   analisis  teks, analisis 
relasional  dan  supremasi khalayak. Secara  historis,  kedua  pendekatan tersebut  mempunyai 
kesamaan  yakni mendapat  pengaruh  dari  Marxis, namun  demikian  dalam  perkembangannya 
studi  kebudayaan  meninggalkan  ekonomi  politik media, sehingga  sulit  dicari  persinggungan 
di antara  keduanya.  Sementara  itu, pendekatan  ekonomi–politik  menunjukkan  sikap 
keterbukaannya  untuk “mendekati” studi kebudayaan yang ditunjukkan  oleh  telaah  Mosco 
(1996) melalui integral epistemology-nya. Salah  satu  yang  diungkapkannya  adalah bahwa 
ekonomi-politik  merupakan  salah satu entry point untuk mempelajari studi  kebijakan  dan 
studi  kebudayaan atau ekonomi politik media.
Ruang publik di media Indonesia mulai dapat dirasakan masyarakat pada akhir masa Orde
Baru. Hal ditandai dengan lahirnya masa Reformasi yang memberikan kebebasan kepada publik
sesuai UUD 1945. Pada masa Orde Baru, sistem komunikasi Indonesia bersifat tertutup sehingga
arus informasi bersifat satu arah (dari atas ke bawah) dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat
untuk memberikan feed back.  Setelah Orde Baru digantikan oleh Reformasi, sistem komunikasi
beralih ke sistem yang lebih terbuka sehingga publik mempunyai kebebasan untuk menyuarakan
pendapatnya tanpa takut pada ancaman pemerintah.
Media massa sebagai pilar keempat dalam sistem negara juga mulai membuka kesempatan
kepada publik untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi publik melalui media. Sejak itu, nuansa
kebebasan berinformasi semakin dirasakan oleh publik untuk berkontribusi dalam pembangunan
negara melalui media.
Sulit rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah ruang publik yang benar-benar
berpihak pada kepentingan publik dan bebas dari bias kepentingan. Hal ini dikarenakan media
massa sangat bergantung pada para pemilik modal dan kecenderungan pemilik modal kepada
institusi atau golongan tertentu.
Ruang publik dalam media massa juga hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Publik
tidak mempunyai akses yang sama untuk dapat turut serta urun rembug dalam diskusi publik.
Dengan alasan keterbatasan space atau durasi, public sphere yang diselenggarakan oleh media
massa sering kurang maksimal karena space-nya sudah dikavling oleh pengiklan atau program
media itu sendiri
Contoh yang sering kita jumpai
Banyak contoh yang dapat ditemukan dikehidupan masyarakat. Di tahun 2009, muncul
gerakan bertajuk Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari yaitu “Gerakan Koin Peduli Prita”, Surat
Keluhan Melalui Internet Yang Dipenjara, yang di dukung lebih dari 5900 anggota grup. Ada
pula gerakan bertajuk “Gerakan 1.000.000 Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan Bibit
Samad Rianto”, yang menembus angka satu juta dukungan. Dan gerakan sosial untuk membantu
biaya operasi hati seorang balita yaitu “Gerakan Koin Hati untuk Karen”. Di luar negeri,
jatuhnya Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa selama lebih dari 23
tahun dan Presiden Mesir Hosni Mobarak yang memimpin negeri selama lebih dari 30 tahun
disinyalir berawal dari gerakan sosial melalui jejaring sosial, diantaranya Facebook.]
 
Kemunculan media baru memberi impak yang besar terhadap kehidupan manusia. Media baru
secara langsung telah mengubah pola kehidupan masyarakat, budaya, cara berfikir dan hampir
segala aspek dalam kehidupan manusia. Perkembangan media ini mendapat tanggapan yang
pelbagai, ada yang positif dan ada yang negatif. Media baru adalah media yang memiliki 3 sifat
utama iaitu integrasi, interaktif dan digital.

CONTOH STUDI KASUS


pemilihan Kepala Daerah DKI beberapa tahun lalu. Banyak teknologi media baru yang ikut
mengkonstruksi realitas yang terjadi di masyarakat, entah dengan tujuan mengangkat salah satu
calon ataupun sebaliknya. menjatuhkancalonlain.  
Banyak akun Twitter dari para calon DKI 1 atau akun Twitter pendukung salah satu kandidat
khusus dibuat untuk memoles citra kandidatnya. Tweet yang diterbitkan tersebut sengaja
mengkonstruksi bahwa calon yang didukung merakyat, mempunyai visi yang jelas, bertanggung
jawab, dan layak dipilih.
DAFTAR PUSTAKA

Littlejohn, Stephen W. (2002) Learning and Using Communication Theories. Wadsworth

Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal.
London: Sage Publications, Inc.

Alfani, Hendra (2011), Media Massa, Pemilukada, dan Kepentingan Politik di Ruang Publik,
Jurnal Semai Komunikasi Vol. II No.1, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
(STIKOM), Semarang Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran

Anda mungkin juga menyukai