Anda di halaman 1dari 3

INTERVIEW PENDEKATAN EKONOMI POLITIK MEDIA

Menurut Cao dan Zhao, 2007; McChesney 2007 Ekonomi politik adalah perspektif
utama dalam penelitian komunikasi. Sejak 1940-an, pendekatan ini telah memandu karya
para sarjana di seluruh dunia dan ekspansi globalnya berlanjut hingga hari ini. Sebelum
membahas ekonomi politik komunikasi, kita perlu mengkaji bidang ekonomi politik secara
umum.
Menurut Horton dalam Kamus Ekonomi Modern (1948) EKONOMI POLITIK “Teori
& praktik urusan ekonomi” menjelaskan bahwa awalnya, istilah ini diterapkan untuk masalah
yang luas dari biaya riil, surplus & distribusi. Pertanyaan-pertanyaan ini dipandang sebagai
hal sosial serta kekhawatiran individu dengan diperkenalkannya konsep di akhir tahun
sembilan abad ke belas, penekanan bergeser pada perubahan nilai pasar & pertanyaan
keseimbangan dari perusahaan individu. Masalah seperti itu tidak lagi membutuhkan
pandangan sosial yang luas dan tidak ada lagi perlu menekankan politik.
Ekonomi politik adalah kajian tentang relasi sosial khususnya relasi kekuasaan yang
bersama-sama membentuk produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya, termasuk sumber
daya komunikasi. Ekonomi Politik Media Menurut Doyle (2002) perkembangan media massa
yang liberal dan global mencerminkan dominannya dunia struktur politik dan ekonomi, dan
pemilik modal. Dalam era globalisasi maklumat yang melanda negara-negara di dunia
termasuk Indonesia muncul kecenderungan organisasi media komunikasi yang lebih
mementingkan aspek komersial. Ketidakadilan media massa sebagai medium suara rakyat
mendapat kecaman daripada berbagai kelompok masyarakat. Pendekatan ekonomi politik
pada dasarnya mengaitkan aspek ekonomi (seperti kepemilikan dan pengendalian media),
keterkaitan kepemimpinan dan faktor-faktor lain yang menyatukan industri media dengan
industri lainnya, serta dengan elit politik, ekonomi dan sosial. Atau dalam bahasa El1iot,
studi ekonomi politik media melihat bahwa isi dan maksud yang terkandung dalam pesan-
pesan media ditentukan oleh dasar ekonomi dari organisasi media yang menghasilkannya.
Organisasi media komersial harus memahami kebutuhan para pengiklan dan harus
menghasilkan produk yang sanggup meraih pemirsa terbanyak.
Sejarah pemikiran ekonomi politik cenderung dimulai dengan periode Yunani klasik,
yang memungkinkan untuk memulai pada asal etimologis istilah tersebut, atau dengan filsuf
moral Pencerahan Skotlandia abad kedelapan belas, yang berpuncak pada Adam Smith.
Apapun pilihannya, seseorang tidak dapat meninjau sejarah besar tanpa mengakui bahwa
sebagian besar dibangun di atas metanarasi yang melihat disiplin berakar kuat dalam pola
karakteristik aktivitas intelektual laki-laki kulit putih Barat. Untuk mengutip salah satu
contoh kelalaian penting, sejarah mengabaikan perkembangan ilmu sosial di dunia Arab yang
diantisipasi selama berabad-abad, khususnya dalam karya Ibnu Khaldun.
Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa, dimana
keduanya dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Teori
ini mengindentifikasi berbagai kendala atau hambatan yang dilakukan para praktisi media
yang membatasi kemampuan mereka untuk menantang kekuasaan yang sedang mapan,
dimana penguasa membatasi produksi konten yang dilakukan pekerja media, sehingga konten
media yang diproduksi tersebut kian memperkuat status quo. Sehingga menghambat berbagai
upaya untuk menghasilkan perubahan sosial yang konstruktif. Upaya penghambatan para
pemilik pemodal, bertolak belakang dengan teoritikus ekonomi politik ini, yang justru aktif
bekerja demi perubahan sosial. Sedangkan Menurut Golding dan Murdock dalam Curran
Memahami komunikasi dalam pandangan studi budaya ialah fokus pada konstruksi makna –
bagaimana makna itu diproduksi, melalui bentuk yang ekspresif dan bagaimana makna itu
dinegosiasikan dan didekonstruksikan melalaui praktek kehidupan sehari-hari.
Dalam pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership)
mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media, dan efek yang
ditimbulkan media kepada masyarakat. Menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A.
Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan”
dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media
dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media,
menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi
terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan (power) dan privilege.
Menurut Feintuck, regulasi penyiaraan mengatur tiga hal yakni struktur, tingkah laku,
dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh
pasar, regulasi tingkah laku (behavioural regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata-
laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content
regulation) yang menjadi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Kajian kaum struktural mengarahkan perhatian pada sistem penandaan (signification) dan
penyajian kembali (representation) isi media dengan melihat teks sebagai unit analisis,
seperti teks media cetak, elektronik dan media baru. Bagian terbesar dari studi budaya
terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan
direpresentasikan secara sosial keada dan oleh kita.
Representasi dan makna budaya memiliki materialitis tertentu, merek melekat pada
bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi,
ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Stuart Hall menyebut
representasi sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi
tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict. Menurut Hall, representasi
adalah sebuah cara dimana kita memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan.
Pada konteks varian yang digunakan pada pembahasan kajian ini, diantaranya varian
strukturalist. Jika kulturalisme memandang makna sebagai kategori sentral dan melihatnya
sebagai produk agen manusia aktif, struturalisme justru berbicara tentang praktik pemaknaan
yang membangun makna sebagai hasil struktur atau keteraturan yang dapat diperkirakan dan
berada di luar diri individu. Strukturalisme bersifat anti humanis dalam meminggirkan agen
manusia dari inti penyelidikan, lebih memilih bentuk analisis di mana fenomena hanya
memiliki makna ketika dikaitkan dengan struktur sistematis yang tidak ada individu yang
menjadi sumbernya. Pemahaman strukturalisme terhadap kebudayaan menaruh perhatian
pada “sistem relasi’ struktur yang mendasarinya (bahasa) dan tata bahasa yang
memungkinkan terciptanya makna. Media mampu memposisikan diri sebagai alat yang
mampu mengubah struktur sistem sosial dengan mereproduksi (produksi kembali) sistem
sosial yang ada dengan menjadikan bahasa sebagai akar struktur media dengan memainkan
peran kekuasaan informasi. Tentunya hal ini tidak lepas dari bagaimana pemilik media dalam
organisasi media secara masif mampu memproyeksikan media untuk ‘menyusup’ dan
‘berbaur’ dalam sistem sosial.
Media massa dibidang pertelevisian Indonesia pasca reformasi 1998 mendapatkan
angin segar semakin terbuka dan kemajuan teknologi. Media massa pada saat ini sering
dikritik sebagai sebuah struktur yang melanggengkan berbagai kepentingan dan dua
kekuasaan yang saling tarik menarik dalam masyarakat. Kepentingan tersebut adalah
kepentingan Negara dan kepentingan pasar atau kapital. Media digunakan Negara sebagai
alat hegemoni agar dapat menciptakan kondisi aman terkendali, Sedangkan media digunakan
oleh kepentingan pasar untuk dapat menghasilkan keuntungan misalnya melalui iklan.
Pikiran, ide dan gagasan akan semakin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya.
Dampak dari iklim kapitalisme di media Indonesia mempengaruhi terhadap konten informasi.
Informasi yang disuguhkan oleh media televisi jauh dari informasi pendidikan karena yang
menjadi fokus adalah profit. Hal-hal yang muncul adalah sensasionalisme, gaya hidup
kontemporer dan jurnalisme instan. Ketika budaya kapitalis yang diproduksi untuk
dikonsumsi oleh masyarakat, sulit untuk menemukan dimana ruang publik yang
sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai