Anda di halaman 1dari 9

OLIGOPOLI MEDIA DAN OLIGARKI POLITIK DI INDONESIA)

Oleh: Budi Suprapto


Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UMM

“Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu hebatnya pers, sehingga
seandainya siang oleh pers dikatakan malam pun, masyarakat (terutama yang lugu) akan
mempercayainya.” (KH. Mustofa Bisri)

“Secara jujur harus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia. Kalau
tidak, apalagi yang bisa saya gunakan? Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salah sendiri
mengapa dia menjadi wartawan di Metro TV atau Media Indonesia. Saya tak ingin jadi hipokrit.”
(Surya Paloh)

Media dan Proses Politik

Adalah kenyataan bahwa media massa dan media internet (yang selanjutnya disebut media)
memiliki kekuatan yang luar biasa dalam memberi kerangka pikir dan arah tuju bagi sikap
dan pola-laku masyarakat. Di era informasi saat ini media benar-benar penuh kuasa. Mereka
mampu mengonstruksi sesuatu yang asalnya bukan apa-apa menjadi sesuatu yang bernilai dan
penting; seseorang yang awalnya bukan siapa-siapa, tidak ada yang memperhitungkan, tiba-
tiba (berkat publikasi media) bisa menjadi seorang tokoh yang penting dan dipuja-puji di
berbagai penjuru negeri. Media dengan penuh kuasa dapat membentuk sesuatu yang tidak
berharga menjadi berharga atau sebaliknya.
Dalam struktur komunikasi politik, media adalah saluran yang menghubungkan antara
wilayah politik supra struktur dan wilayah infra struktur dalam sebuah struktur sistem politik.
Secara teoretis keberadaan media yang demikian bisa berfungsi sebagai jembatan emas yang
bisa mengelola relasi kepentingan antara wilayah supra struktur politik dan infra struktur
politik. Relasi tersebut sebenarnya adalah sebuah proses pengelolaan input yang berisi
berbagai kepentingan publik, tuntutan atau dukungan yang disampaikan oleh rakyat (infra
struktur) kepada pihak pemerintah (supra struktur) untuk diproses menjadi luaran politik
dalam bentuk kebijakan publik. Dengan demikian media memang memiliki posisi sangat
strategis, karena bisa mengakses dan mempengaruhi kedua belah pihak
Berdasarkan posisi tersebut, secara ideal media bisa bertindak sebagai pengawal,
monitor, dan evaluator dalam setiap proses politik. Karena posisi tersebut, bahkan ada yang
mengatakan media adalah pilar keempat politik demokrasi setelah eksekutif, yudikatif, dan

*) Makalah pada Seminar Nasional Prospek Pembangunan Sosial Politik Indonesia di Era Jokowi II, Universitas
Muhammadiyah Malang, 18 Desember 2019
1
legislatif. Anggapan itu menandakan akan besarnya harapan masyarakat (rakyat) terhadap
peran dan tanggung jawab moral dan politik yang harus dimainkan oleh media dalam sistem
politik demokrasi, yaitu peran dan tanggung jawab untuk membela kepentingan rakyat dengan
menjaga tegaknya nilai-nilai sistem demokrasi.
Jurgen Habermas pernah berpikir, bahwa dalam proses politik media bisa bertindak
sebagai penyelenggara forum publik bagi dialog-dialog cerdas tentang kepentingan publik,
baik dalam skala lokal, regional, dan nasional, di mana pihak penguasa dan segenap elemen
masyarakat berpeluang sama dan secara bersama-sama sebagai partisipan aktif. Media juga
bisa bertindak sebagai pengelola atas isu-isu strategis yang melibatkan kepentingan
masyarakat luas (publik) dengan pendekatan agenda setting. Dalam pendekatan ini media
dapat mendorong isu-isu tersebut ke tengah masyarakat dan kepada penguasa, sehingga bisa
menumbuhkan diskusi publik. Diskusi itu bertujuan menghasilkan agenda publik yang
memiliki rumusan konseptual yang memberi arah jalan ke depan maupun rumusan
operasional yang applicable bagi berbagai masalah yang terkait dengan kepentingan
masyarakat luas. Jika hal demikian bisa diperbuat oleh media, maka ia telah menjalankan
fungsi-fungsi substantif yang diharapkan masyarakat kepada media. Bahkan media tidak lagi
sekedar instrumental, tetapi bertindak sebagai subyek yang bisa menumbuhkan,
mengembangkan dan mengawal suatu gerakan pemberdayaan dan pembudayaan untuk
pendewasaan peradaban bangsa.
Hanya saja kedudukan strategis media dan harapan masyarakat yang besar itu, pada
akhirnya harus kandas jika berhadapan dengan kepentingan ekonomi dan politik para pemilik
media dan penguasa.

Oligopoli Media

Pengertian oligopoli biasanya dikaitkan dengan (praktik) pasar, di mana ada segelintir
penjual atau produsen yang mengendalikan produk dan harga yang diperjual belikan di pasar.
Biasanya para pengendali pasar tersebut adalah pedagang besar, bermodal besar, dan
jumlahnya sedikit. Dalam pasar ini jelas terjadi persaingan yang tidak seimbang, karena
produk yang dijual dan harganya ditentukan dan didominasi oleh sekelompok kecil produsen
atau penjual. Dalam kondisi seperti itu, yang dirugikan bukan hanya pedagang kecil, tetapi
yang lebih rugi adalah konsumen atau pembeli, karena tidak banyak memiliki pilihan.
Sementara itu menurut Robert Mc. Chesney, oligopoli media adalah suatu perusahaan
besar yang mendominasi setiap bentuk media, mulai dari, media radio, televisi, film, surat
kabar, majalah, buku, dan media berbasis internet (media baru). Penguasaan perusahaan atas
2
berbagai media secara terkonsentrasi tersebut disebut konglomerasi media. Dalam pasar
informasi, para konglomerat media yang menentukan arah arus dan jenis produk informasi
yang disebarkan kepada masyarakat sebagai konsumen. Produk informasi itu pun harus
berpihak kepada keuntungan sosial, ekonomi, dan politik dari sang konglomerat.
Sejak tahun-tahun awal era reformasi, pertumbuhan konglomerasi media di Indonesia
berkembang dengan pesat. Menurut penelusuran Merlyna Lim, sejak tahun 1998 sampai
dengan 2012, di Indonesia terdapat 1200 media cetak, 900 radio komersial, 11 stasiun televisi
nasional dan ratusan televisi lokal. Semua media massa ini hanya dikuasai oleh 12 grup
perusahaan swasta dan 1 grup adalah lembaga penyiaran publik milik negara, yaitu RRI, TVRI,
dan Antara. Sebanyak 12 grup perusahaan swasta tersebut menguasai dan mengontrol 100%
bisnis jasa pertelevisian di Indonesia (lihat lampiran).
Konglomerasi media sangat mungkin terjadi, sebab industri media adalah industri
yang padat modal. Artinya hanya mereka yang punya kapital besarlah yang mampu bermain
pada wilayah ini, sedangkan media-media kecil (dengan modal kecil) akan kalah dan
bergabung (akuisisi atau merger) dengan kelompok media besar yang dimiliki kelompok
konglomerat. Akhirnya terjadilah konsentrasi kepemilikan media. Dengan dukungan modal
yang besar, maka media-media konglomerasi tersebut bisa menempatkan posisinya sebagai
media arus utama. Penguasaan media yang terkonsentrasi berakibat pada dominasi arus
informasi dalam masyarakat oleh kelompok media besar. Merekalah yang menentukan
(bahkan mendiktekan) apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diberitakan, apa yang baik
dan apa yang tidak baik bagi masyarakat, melalui konstruksi pemberitaan. Jika hal yang
demikian terjadi, maka sesungguhnya konglomerasi media telah merugikan warga masyarakat,
karena hak mereka atas informasi yang jujur dan benar terhalangi oleh dominasi informasi
dari media arus utama.

Oligarki Politik dan Oligopoli Media

Menurut Jeffrey A Winters, istilah oligarki merujuk pada kekuasaan pemerintah yang
dikendalikan oleh sekelompok kecil orang. Mereka menguasai dan mengendalikan sumber
daya material secara besar-besaran dan terkonsentrasi. Dengan kekayaan yang mereka miliki,
kelompok kecil ini terus berupaya: 1) untuk meningkatkan kekayaan pribadi atau kelompok;
2) untuk meraih atau mempertahankan posisi sosial dan politik (kekuasaan). Kelompok kecil
yang dimaksudkan di sini bisa partai, partai-partai, elite, kelompok kepentingan, pemilik
modal, dan sejenisnya. Dalam pandangan Chesney, jika kelompok kecil tersebut didukung
dengan kekayaan (modal), maka perilaku mereka bisa tumbuh dan tampil sebagai kekuatan di
3
luar jangkauan publik. Mereka sangat berpengaruh, baik dalam proses pembuatan kebijakan
publik maupun dalam kehidupan masyarakat. Kecenderungan oligarki politik di Indonesia
juga semakin tampak. Banyaknya kritik, tuntutan, dan bahkan penolakan publik terhadap
berbagai kebijakan publik yang tidak memperoleh respons yang positif dari pihak lembaga
negara adalah bukti dari adanya oligarki politik.
Meskipun pengertian oligarki pada umumnya lebih merujuk kepada kekuasaan politik
atau pemerintahan, tetapi karena sumber kekuatan oligarki adalah pada kekayaan material,
maka oligarki kekuasaan di sini juga termasuk penguasaan dan pengendalian sumber daya
ekonomi. Itulah sebabnya seseorang atau sekelompok orang yang memiliki penguasaan dan
pengendalian sumber daya ekonomi, sekaligus memiliki kemampuan untuk mengendalikan
kekuasaan politik.
Melihat posisi media yang berada antara wilayah infra struktur dan supra struktur
politik dalam mekanisme proses politik, sebagaimana dijelaskan di bagian awal, maka media
tidak hanya memiliki dimensi sumber daya ekonomi –yaitu sebagai kegiatan industri dan
komersial— tetapi juga terkait langsung dengan sumber daya politik. Itu artinya penguasa
media memiliki peluang yang sangat besar untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya
politik, baik secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu banyak pemilik media juga
berupaya keras untuk meraih kekuasaan politik, dengan dukungan kekayaan material dan
kekuatan media yang mereka miliki. Sebagai pemilik, mereka bisa menentukan atau
mempengaruhi isi dan bingkai pemberitaan untuk mencapai tujuan politik, untuk membangun
citra diri, dan untuk pemasaran politik bagi diri mereka.
Ross Tapsell dalam bukunya: ‘Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan
Revolusi Digital’ menyimpulkan bahwa saat ini pemilik media di Indonesia lebih
mempengaruhi kebijakan pemberitaan dibanding masa sebelumnya. Tidak hanya itu, mereka
juga memanfaatkan secara ekstensif berbagai media yang mereka miliki untuk kepentingan
politik. Seperti dikutip oleh Tapsell, Surya Paloh dengan tegas mengakui bahwa ia dan Partai
Nasdem memanfaatkan kelompok media yang ia miliki secara maksimal untuk mencapai
keinginan ekonomi dan politiknya. Hal senada juga ditegaskan oleh Abu Rizal Bakri pemilik
kelompok media TV One dan Viva.
Sebagian para pemilik korporasi media di Indonesia adalah pimpinan partai politik dan
sebagian yang lain berafiliasi kepada partai politik yang sedang berkuasa atau kepada yang
sedang berkuasa. Mereka secara terbuka mengakui keberpihakannya tersebut. Akibatnya
untuk saat ini media sangat sulit diharapkan untuk bertindak “adil” (independen) dalam

4
menjalankan fungsi pemberitaan. “Pada pemilu 2014, keberpihakan media lebih telanjang
dalam mendukung kandidat capres dan cawapres dibanding pada pemilu 2004,” kata Ross
Tapsell dalam Bincang Buku ‘Kuasa Media di Indonesia’ Kedai Tjikini, Jalan Cikini Raya 17,
Jakarta Pusat, Rabu, (14/11). Bahkan ketelanjangan itu semakin menggila di pemilu 2019.
Beberapa peristiwa tadi adalah bukti dari berpadunya oligarki politik dan oligopoli media.
Realitas di atas membuktikan keyakinan Althuser, bahwa media adalah kepanjangan
tangan dari ideologi kekuasaan. Maknanya media tidak lagi menjadi kekuatan keempat dari
pilar demokrasi dalam mengonstruksi kehidupan bangsa, tetapi secara fungsional media
hanyalah sebuah instrumen bagi pihak-pihak yang memiliki sumber daya kekuasaan, baik
kekuasaan politik maupun kekuasaan yang bersumber pada kekayaan.
Penjelasan tentang pengertian kekuasaan berikut saya adaptasi dari Manuel Castells
dalam buku Communication Power. Menurut beliau kekuasaan adalah proses paling mendasar
dalam masyarakat. Kekuasaan adalah kapasitas relasional yang memungkinkan aktor atau
sekelompok aktor mempengaruhi keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat. Praktik kekuasaan dapat dilakukan dengan cara paksaan atau dengan konstruksi
makna melalui penyebaran wacana, atau kolaborasi antara keduanya. Karena relasi kekuasaan
biasanya berada pada bingkai dominasi, maka siapa yang memiliki kapasitas mengolah dan
menyajikan wacana kepada masyarakat akan menentukan struktur dominasi tersebut. Oleh
sebab itu relasi kekuasaan adalah suatu keadaan yang dikondisikan (by designed), bukan
ditentukan oleh kapasitas struktural.
Jika media adalah menjadi bagian dari relasi kekuasaan seperti digambarkan di atas,
maka rasanya semakin sulit bagi media untuk mengemban amanat penderitaan rakyat, apalagi
membela dan memberdayakan kaum jelata. Alih-alih media malah menjadi instrumen untuk
membangun atau mengondisikan kapasitas relasi kekuasaan yang dominatif. Sejarah telah
membuktikan kekuatan efek media dalam mengonstruksi wacana dan membangun persepsi
masyarakat. Itulah sebab mengapa setiap aktor atau sekelompok aktor yang ingin
mempertahankan kekuasaan atau ingin memperoleh kekuasaan berupaya sekeras tenaga untuk
memiliki akses yang leluasa kepada media.
Karena berfungsi sebagai instrumen, maka media tidak bisa tidak harus bersikap
pragmatisme. Perilaku pragmatik diperkuat dan disahkan oleh pendekatan ekonomi politik
media, yaitu para awak media dituntut untuk lebih berpihak kepada kepentingan ekonomi atau
modal dibanding kepada idealitas fungsi media.

5
Seharusnya kita perlu waspada, sebab jika media lebih condong berpihak kepada
kepentingan politik dan ekonomi, maka disengaja atau tidak media akan berfungsi sebagai
instrumental bagi segelintir orang untuk mengakses sumber daya ekonomi dan sumber daya
politik yang ada. Hasilnya, dalam relasi kekuasaan hanya segelintir pihak bisa bertindak
sebagai subyek yang dominatif sedangkan rakyat kebanyakan menjadi cukup sebagai obyek
dan marginal.
Sebagai instrumen maka media tidak lagi independen. Sebagai sebuah instrumen,
sikap dan perilaku media sangat ditentukan oleh subyek yang memiliki dan memainkan
instrumental tersebut. Biasanya subyek yang menguasai media instrumen, menguasai pula
sumber daya politik, ekonomi, dan budaya. Jika berlaku hal yang demikian, maka media bisa
digunakan sebagai kepanjangan tangan untuk memperoleh, melanggengkan kekuasaan, dan
ideologi penguasa, sebagaimana ditegaskan oleh Althuser di atas. Dalam situasi semacam ini
susunan agenda media tidak lagi berorientasi kepada kepentingan publik, tetapi berisi isu-isu
yang sarat dengan kepentingan penguasa media, kemudian disajikan kepada masyarakat
dengan penuh kecerdikan agar bisa menjadi agenda publik. Proses ini bisa berlangsung
sedemikian efektif dan massif.
Jika perpaduan antara oligopoli media dan oligarki kekuasaan politik terus
berlangsung, maka nilai dan praktik demokrasi cepat atau lambat akan mati (suri). Pada sisi
itulah Chesney yakin, bahwa konglomerasi media adalah ancaman demokrasi yang serius.
Dalam kasus Indonesia, menurut Tempo.com dan Dedi Fahrudin bahwa perpaduan antara
oligopoli media dan oligarki politik media yang saat ini terjadi di Indonesia telah berada pada
tahap yang membahayakan hak warga (publik) terhadap informasi, karena media dikelola
sebagai bisnis yang hanya mewakili kepentingan pebisnis.
Di sisi lain saat ini keberadaan media sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat,
dan masyarakat memiliki ketergantungan yang luar biasa kepada media. KH. Mustofa Bisri
mengatakan, “Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu hebatnya
pers, sehingga seandainya siang oleh pers dikatakan malam pun, masyarakat (terutama yang
lugu) akan mempercayainya.” Ketergantungan yang demikian telah menjadikan informasi
yang diperoleh masyarakat dari media, digunakan sebagai rujukan utama bagi pola pikir, sikap,
dan perilaku mereka. Sebab apa yang ditampilkan oleh media, oleh warga masyarakat secara
individual dianggap sebagai sebuah kebenaran yang utuh. Jarang yang menyadari bahwa
sesungguhnya realitas yang disampaikan oleh media adalah suatu realitas artifisial.

6
Realitas artifisal media adalah realitas yang dibingkai berdasarkan perspektif pihak
media, bukan realitas yang sebenarnya. Dalam metode pembingkaian realitas, media bisa
menyembunyikan atau menampakkan kebenaran. Namun demikian publik sebagai konsumen
tetap berharap media tidak melakukan kesalahan dengan cara membenarkan kesalahan dan
menyalahkan kebenaran alias jujur. Bertindak jujur hanya bisa dilakukan jika awak media
selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat dan “hari pembalasan”.
Meskipun tidak mudah, untuk menumbuhkan kecerdasan dan kedewasaan masyarakat
dalam bidang politik –atau bidang-bidang lain-- media memiliki kemampuan yang lebih besar
dibandingkan dengan elemen-elemen masyarakat yang lain. Sebab media memiliki posisi
strategis, kekuatan dan pengaruh (efek) yang besar dalam struktur kehidupan masyarakat
informasi.
Refeerensi
Castells, Manuel, 2009, Communication Power, New York, Oxford University Press Inc.,
Chesney, Robert Mc., 1998, Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi,
Jakarta, Aliansi Jurnalistik Independen.
Fahrudin, Dedi, 2013, Konglomerasi Media: Studi Ekonomi Politik Terhadap Media Group
Jurnal Visi Komunikasi, Volume XII, No. 01, Mei 2013
Lim, Merlyna, 2011, @crossroads; Democratization & Corporatization Of Media In
Indonesia, Arizobna, Participatory Media Lab At Arizona State University & Ford
Foundation,
Tapsell, Ross, 2018, Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan
Revolusi Digital, Jakarta, Marjin Kiri.
Winters, Jeffrey A., 2011, Oligarki (terj)., Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Suprapto, Budi, https://www.academia.edu/29029088/KERANGKA_KERJA_KOMUNIKASI_POLITIK
................ https://www.academia.edu/21898615/Media_Massa_Agenda_Publik_dan_Agenda_Kebijakan
https://nasional.tempo.co/read/388969/oligopoli-media-sudah-pada-tahap-
membahayakan/full&view=ok, diakses 15 -12-2019.
https://www.arrahmah.co.id/2018/11/21270/oligarki-media-dan-tantangan-kebebeasan-pers-
di-indonesia.html, diakses 15 -12-2019.

7
Figure 1 Media ownership in Indonesia

2
7
Table 1 Indonesian Media Conglomerates
TV stations Print
Media Group Group Leader Radio stations Online media Other businesses
National Other Newspapers Magazines/ Tabloids
RCTI, Okezone.com IT, content production
Indovision, Sky Sindo Radio (Trijaya
Media Nusantara Hary Global TV, Seputar Indonesia High End magz, Genie, SeputarIndonesia. and distributions, talent
Vision, SINDOtv FM), Radio Dangdut,
Citra (MNC) Group Tanoesoedibjo MNCTV (Koran Sindo) Mom & Kiddie tabloids Com, management,
network ARH Global Radio
(ex TPI) Sindonews.com automobile
JakFM, Prambors Republika, Parents Indonesia, A+, Republika Online,
Mahaka Media Entertainment, outdoor
Erick Tohir — Jak TV, Alif TV FM, Delta FM, Harian Indonesia Golf Digest, Area, rileks.com,
Group advertisement
Female, Gen FM (in Mandarin) magazines Rajakarcis.com
Sonora Radio Hotels, public relation
Kompas, Jakarta Post, Intisari + 43 magazines
Kompas Gramedia Jakob Oetama, Kompas TV network, Otomotion Kompas Cyber agencies, university &
— Warta Kota, + other 11 & tabloids, 5 book
Group Agung Adiprasetyo network Radio, Motion FM, Media telecommunication tower
local papers publishers
Eltira FM (in plan)
Jawa Pos, Indo Pos
Rakyat Merdeka, Mentari, Liberty Jawa Pos Digital Travel bureau, power
Jawa Pos Group Dahlan Iskan — JPMC network Fajar FM (Makassar)
Radar + others (total: magazines + 11 tabloids Edition plant
151)
Global Kini Jani,
Bali TV network,
Genta FM. Global Bali Post, Bisnis Bali,
Jogja TV,
Media Bali Post FM, Lombok FM, Suluh Indonesia, Tokoh, Lintang, & Bali Post, Bisnis
Satria Narada — Semarang TV, —
Group (KMB) Fajar FM, Suara Harian Denpost, & Wiyata Mandala tabloids Bali
Sriwijaya TV, +
Besakih, Singaraja Suara NTB
others (total: 9)
FM, Nagara FM
Wireless broadband,
Elang Mahkota pay-TV,
Eddy Kusnadi SCTV, O’Channel, Elshinta, Gaul, Story,
Teknologi (EMTEK) Elshinta FM — — telecommunications,
Sariaatmadja Indosiar ElShinta TV Kort, Mamamia
Group banking, IT solutions,
production house
Jakarta Globe, Investor
First Media, Berita Investor, Globe Asia, & Jakarta Property, hospital,
Lippo Group James Riady — — Daily, Suara
Satu TV Campus Asia magazines Globe Online education, insurance
Pembaruan
Telecommunications,
Bakrie & Brothers antv, property, metal, oil &
Anindya Bakrie Channel [V] — — — VIVAnews
(Visi Media Asia) TVOne gas, agribusiness, coal,
physical infrastructure
Pia Alisyahbana, Femina, Gadis, Dewi, Femina, GitaCinta, Production house, event
U-FM Jakarta &
Femina Group Mirta — — — Ayahbunda + others Ayahbunda, Gadis, management, boutique,
Bandung
Kartohadiprodjo (total: 15) Parenting Online education, printing
Media Indonesia,
Media Indonesia
Media Group Surya Paloh Metro TV — — Lampung Post, — —
Online
BorneoNews
Cosmopolitan FM, Cosmopolitan, Holder of several
Mugi Reka Abadi Dian Muljani
— O’Channel Hard Rock FM, I- — Cosmogirl, Fitness + — international boutique
(MRA) Group Soedarjo
Radio, Trax FM others (total: 16) brands
Banking, venture capital,
Trans Corpora Trans TV,
Chairul Tanjung — — — — Detik Online insurance, theme parks,
(Para Group) Trans 7
resort, retail, cinema

Anda mungkin juga menyukai