Anda di halaman 1dari 35

MANIPULASI MEDIA DAN KESADARAN PALSU,

PORNOGRAFI DAN KEKERASAN, SERTA


PROPAGANDA DALAM MEDIA / PERS

Etika dan Filsafat Komunikasi

Kelompok 7:

Leonardy (14140110404)

Moh. Alif A. (14140110407)

Arfyana Citra Rahayu (14140110408)

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

JURUSAN PUBLIC RELATIONS 2014


1. Manipulasi Media dan Kesadaran Palsu

Manipulasi media dapat disebabkan oleh banyak hal. Namun ketika masuk ke
dalam konteks pornografi dan kekerasan, terdapat dua jalan media memanipulasi
informasi yakni dengan konglomerasi media dan framing.

A. Definisi Konglomerasi

Istilah konglomerasi diambil dari perbendaharaan bahasa inggris yaitu


conglomerate. oleh karena itu sebagai batasan awal, konglomerasi perlu diberikan
batasan pengertian dari istilah tersebut. Dalam jurnal Kajian Yuridis Terhadap
Keberadaan Konglomerasi di Indonesia, Joko Wiwoho mengutip pernyataan
Henry Campbell, yang mengatakan bahwa konglomerasi adalah: A corporate that
has diversified its operations usually by acquiring enterprises in widely varied
industries.

Dalam definisi itu, Henry Campbell meninjau bahwa konglomerasi sebagai suatu
perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha dan dalam operasionalnya
mengakuisisi perusahaan lain untuk memperbesar atau memperluas variasi
industrinya. Titik berat dari institusi konglomerasi adalah dikumpulkan,
digabungkan, atau diintegrasikan lebih dari satu perusahaan dalam sebuah
perusahaan kelompok. Ditinjau dari ruang lingkup usahanya, perusahaan yang
berkonglomerasi biasanya mengupayakan untuk menunjang bidang usaha lainnya
(Vertikal/Up Stream) atau bidang usaha yang tidak saling berkaitan
(horizontal/down stream) maupun perusahaan yang mempunya bidang usaha dari
hulu ke hilir dari sebuah produk barang (diagonal).

Konglomerasi di Indonesia

Setelah reformasi (1998), konglomerasi media menjadi corak industri media di


Indonesia. Semakin lama pola itu berkembang semakin pesat. Mencengkeram
semakin dalam pada sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan
aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya dikonsumsi,
dilihat dan didengar setiap hari ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media
saja. Kelompok media tersebut memiliki kepentingannya masing-masing dan
membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik
mereka yang me-manisfestasi-kan kepentingan yang jelas bukan merupakan
kepentingan publik. Akibatnya, media seperti televisi kerap melakukan politisasi
dalam sebuah berita yaitu dengan memilih narasumber yang cenderung berpihak
kepada mereka. Misalnya Metro Tv saat pemilu 2014 mengundang BJ Habibie
dalam program Mata Najwa. Habibie merupakan seorang tokoh besar Indonesia
yang saat itu dukungannya condong ke pasangan Jokowi-JK. Saat itu Habibie
sempat memberikan pernyataan bahwa, “Hanya Jokowi yang cocok menjadi
presiden RI!”

B. Definisi Framing

Framing adalah cara pengemasan peristiwa yang terjadi. Framing tidak


berbohong, tapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus melalui
penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau
gambar, hingga meniadakan informai yang seharusnya disampaikan. Framing
bertujuan untuk membingkai sebuah informasi agar terbentuklah sebuah citra,
kesan, atau makna tertentu yang diinginkan oleh pihak media. Framing dilakukan
dengan cara penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata,
bunyi, atau gambar, dan sampai dalam meniadakan informasi. Berikut beberapa
metode framing yang biasa dilakukan media, yaitu;

1. Cover both side, hanya saja porsi bicara tidak berimbang. Artinya bila satu
orang diberikan ruang untuk berbicara, orang lainnya juga memiliki hak
yang sama. Namun dalam metode ini, salah satu orang diberikan hak
berbicara tidak sama dengan porsi orang lainnya. Media biasanya
melakukan metode ini dengan mengutip pendapat salah satu orang ala
kadarnya, atau dikutip bagian yang tidak menjawab persoalan.
2. Berita yang disampaikan sesuai fakta, tetapi menggunakan sudut pandang
tertentu. Bahwa ada pemilihan fakta dan data-data tertentu agar dapat
membentuk opini publik dengan sudut pandang tertentu, misalnya dalam
demo buruh salah satu media membuat berita dengan judul, “Sampah
Menggunung Setelah Demo Buruh.” Judul tersebut dapat memunculkan
sudut pandang lain yaitu masyarakat tidak lagi simpati pada buruh
melainkan geram karena demo yang malah menghasilkan pemandangan
yang tidak enak dilihat.
3. Penggunaan kata sifat yang bernada positif atau negatif. Metode ini
nantinya akan membentuk penilain terhadap seseorang. Ketika media
berkata Ahok adalah gubernur tegas, biasanya mayoritas pendapat publik
akan mengarah pada apa yang media katakan.
4. Menyeleksi gambar dan menyisipkan musik. Dengan adanya kedua hal ini,
masyarakat dapat memberikan penilaian berupa apa yang digambarkan
media di beritanya. Dalam penyeleksian gambar biasanya media fokus
meliput sebagian kegiatan sang tokoh. Misalnya pemberitaan tentang
Ahok pasti selalu soal kegiatan blusukan dan marah-marahnya dan selalu
dilatar belakangi musiknya tegang. Dengan adanya sarana audiovisual,
persepsi masyarakat menjadi mudah terbentuk dan akhirnya sudut pandang
pun mengikuti apa yang media gambarkan.

Dengan adanya kolaborasi antara konglomerasi dan framing, opini masyarakat


mudah digiring menuju suatu pemikiran yang diinginkan oleh pihak tertentu.
Kegiatan manipulasi informasi ini juga bisa disebut sebagai propaganda.

C. Definisi Propaganda

Propaganda adalah aktivitas atau kegiatan yang direncanakan dan dijabarkan


dengan kata atau tindakan atau kombinasi keduanya yang bermaksud mengubah
suatu sikap dengan tujuan mengubah tingkah laku secara sukarela. Dengan cara
framing, media melakukan aktivitas propaganda yang secara halus menarik sudut
pandang dan opini mayoritas ke dalam suatu pemikiran yang diinginkan oleh
pihak tertentu yang berkepentingan. Dalam sebuah negara demokrasi, opini publik
dapat dengan mudah digiring dan dibentuk. Seperti yang dikatakan oleh Rianne
Subijanto , “Pondasi penting propaganda adalah emosi, ideologi dan nilai-nilai,
dalam masyarakat yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas, seperti
sikap kritis dan hak bertanya, biasanya target empuk propaganda adalah dengan
mengeksploitasi emosi.”

Media yang mempunyai dampak dahsyat dimanfaatkan oleh orang atau kelompok
tertentu untuk menyebarkan doktrin ideologinya kepada masyarakat. Dengan
adanya aktivitas-aktivitas media yang mengedepankan keuntungan bagi
perusahaannya dengan berbagai cara – framing dan propaganda, masyarakat
cenderung dibawa sudut pandang dan cara berpikirnya oleh media sehinggu
masyarakat mengalamai keadaan yang bernama kesadaran palsu.

D. Definisi Kesadaran Palsu

Kesadaran palsu, yakni suatu situasi, di mana orang tidak sadar, bahwa ia
sebenarnya sedang ditindas. Di dalam masyarakat kapitalis, kata Marx, kaum
buruh mengalami penindasan, tetapi mereka tidak merasakannya sebagai
penindasan, dan bahkan merayakan penindasan itu.

Di dalam kajian psikologi, hal ini seringkali disebut sebagai sindrom Stockholm,
yakni suatu situasi, di mana korban/tawanan merasakan empati pada pelaku
kejahatan. Banyak kaum buruh membela tuannya, walaupun tuannya telah jelas-
jelas bersikap tidak adil dan tidak manusiawi terhadap dirinya.

Kesadaran palsu merupakan sebuah konsep yang berasal dari pemikiran marx
tentang teori kelas sosial. Konsep kesadaran palsu sendiri mengacu pada
kekeliruan hubungan sosial antara kelas dominan dan kelas bawahan. Kesadaran
palsu diperkenalkan oleh Friedrich Engels, yakni dalam suratnya kepada Franz
Mehring (14 Juli 1898). Konsep ini pada awalnya diungkapkan marx dari
“ideologi dan fetisisme komoditas”.
Ideologi

Menurut KBBI, ideologi adalah “kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas
pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan
hidup.”

Ideologi menurut Marx adalah sebuah cara berpikir yang tidak tepat tentang
dunia. Menurutnya dalam teori kelas sosial, latar belakang munculnya ideologi
adalah sebagai pembenaran usaha para kaum proletar (bawahan, buruh, dll) atas
ketidakseimbangan antara usaha dan upah. Kaum borjuis (pemilik modal,
pengupah, ahli, dll) yang memonopoli kaum proletar menciptakan ideologi yang
dapat diterima kaum proletar tersebut agar mereka tetap membenarkan diri
mereka untuk bekerja, padahal usaha dan upah tidak sebanding. Faktor ini yang
memunculkan ideologi-ideologi dan lahirnya kapitalisme. Maka dari itu bisa
disimpulkan menurut Marx. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu
keadaan, terutama struktur kekuasaan sehingga orang menganggapnya sah
padahal tidak sah. Misalnya klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan
umum padahal ia melayani kepentingan kelas atas.

Ideologi dalam arti yang sebenarnya bukan sarana yang digunakan kelas atas
untuk menipu. Ideologi benar-benar dipercayai seluruh masyarakat dengan polos.
Akan tetapi, agama, moralitas dan berbagai nilai budaya dengan sendirinya
menguntungkan kelas atas. Hal ini disebabkan karena kelas atas yang menguasai
sarana produksi materil dan spiritual yang berarti hanya kelas atas yang mampu
meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Kesimpulan dari kritik
Marx terhadap ideologi adalah kita sebaiknya curiga jika penguasa mengkhotbahi
masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka
karena tanpa disadari, khotbah seperti itu penuh dengan doktrin berkedok. Contoh
melalui agama dan moralitas, dilarang membunuh dan mencuri bahkan untuk iri
hatipun dilarang, hal ini merupakan keuntungan bagi kelas atas, bukan? Contoh
lain dewasa ini, DPR merevisi UU yang di mana berisi ketika KPK ingin
melakukan pengecekan terkait KKN, harus meminta izin dan laporan pada DPR
terlebih dahulu. Mengapa harus meminta izin pada pelaku KKN itu sendiri?

Menurut Friedrich Engels, ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan
sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Friedrich
juga menyebutkan bahwa sebuah ideologi bermotif atau berasal dari pemikiran
seseorang secara independen maupun lanjutan dari pemikiran orang sebelumnya.
Karena pemikiran independen tersebut Friedrich juga menyebutkan bahwa setiap
ideologi muncul karena bertujuan untuk kepentingan tertentu.

Kelas pekerja di negara-negara kapitalis maju yang menurut Marx akan menuju
revolusi proletariat justru berhasil memperbaiki keadaan mereka dan menjadi
pendukung sistem ekonomi kapitalis sebagai hasil dari pembenaran diri mereka
akan usaha yang tidak sebanding dengan upah tersebut. Kemajuan pekerja ini
tentu bukan hadiah dari kaum pemilik modal, tetapi merupakan hasil perjuangan
para pekerja itu sendiri tanpa perlu melakukan revolusi. Oleh karena itu, apa yang
dikatakan Marx bahwa perbaikan sosial hanya bisa tercapai melalui revolusi itu
tidak benar. Hal yang benar adalah setiap perbaikan sosial harus diperjuangkan.
Selain itu, pandangan bahwa negara secara hakiki adalah negara kelas belum tentu
benar. Di negara yang tidak menganut sistem demokrasi hal itu memang terjadi.
Namun, di negara dengan sistem demokrasi, negara bukanlah negara kelas.
Semakin demokratis suatu negara maka negara tersebut semakin tidak menjadi
negara kelas.

Fetisisme Komoditas

Pada awalnya fetisisme (dari kata fetish) tidak bernuansa sensual, karena nuansa
fetish diciptakan oleh Freud dalam tulisannya. Sementara Marx menerangkan
tentang fetisisme sebelum tulisan Freud tersebut.

Marx merujuk pada kaum-kaum tertentu (biasa penganut agama tertentu) yang
memahat dan membuat patung dan kemudian menyembahnya, inilah yang
dimaksud Marx dengan fetish, sesuatu yang kita buat untuk diri kita sendiri, akan
tetapi sekarang kita menyembahnya, dan sekarang dia menjadi layaknya “dewa”.

Dalam kapitalisme, produk-produk yang kita “buat”, dan ekonomi-ekonomi yang


terbentuk dari segala pertukaran yang kita lakukan, semua seakan-akan memiliki
“nyawa”. Bisa diartikan ekonomi akan terus berjalan baik manusia
menginginkannya atau tidak. Menurut Marx, segala sesuatu muncul dan hadir
karena ada orang yang membutuhkannya dan ada orang yang membuatnya. Hal
ini sebagai representasi sifat sosial dari manusia. Marx juga menyebutkan, realitas
kita sangat tergantung pada komoditas dan pasar, dan lambat laun ekonomipun
tidak bisa dikendalikan dengan mudah karena memiliki dampak pada setiap
individu lain.

Dewasa ini, gambaran fetisisme yang dikemukakan oleh Marx dapat dilihat
melalui media-media. Dimana ada individu di belakangnya yang berperan dalam
mengatur konten dan produksinya, diciptakan untuk kepentingan dirinya sendiri,
dipertontonkan pada khalayak publik, sehingga menciptakan sebuah realitas
tertentu. Ketika publik menerima realitas tersebut dan “termakan” oleh konten
yang ada, maka yang dijadikan komoditas bukan lagi konten dalam media
tersebut, tetapi publiklah yang menjadi komoditas itu sendiri. Pada akhirnya saat
publik menjadi komoditas, media memiliki peran kapitalis yang
memperdagangkan komoditasnya, yaitu publik. Contoh lain dari sisi kapitalis
dapat dilihat di mana kepemilikan media menurut data kepemilikan media 2015,
berjumlah 13 orang dari total seluruh media di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri
jika media memang selalu menghadirkan konten yang bertujuan untuk
kepentingan pemiliknya. Hasilnya adalah konglomerasi media, dan manipulasi
media dalam menciptakan kesadaran palsu.

Media: Menciptakan Kesadaran Palsu

Tidak jauh dari memanipulasi publik, kesadaran palsu bertujuan untuk


menciptakan sebuah realitas yang pada dasarnya salah, tetapi seakan-akan publik
sebagai komoditas merasakan bahwa realitas yang salah tersebut adalah benar dan
menjadi acuan dalam membuat keputusan. Proses manipulasi media ini
difokuskan pada penyiaran televisi sebagai sarananya, karena televisi memegang
peranan besar baik secara efek visual dan audio serta distribusinya yang meluas
dan mempertimbangkan fleksibilitasnya dalam akses media.

Dalam proses penyebaran konten tersebut, media berperan sebagai jembatan yang
menghubungkan antara masyarakat dengan dunia luar. Hal ini dimanfaatkan oleh
media yang notabene memiliki akses informasi lebih untuk mengemas informasi,
ada beberapa oknum yang akhirnya menambah dan mengurangi data. Sampai
akhirnya media dengan sengaja melakukan aktivitas propaganda secara terus-
menerus. Dalam teori kultivasi, di mana menyebutkan efek jangka panjang
televisi pada penontonnya akan menciptakan sebuah realitas dalam pikiran
mereka. Memanfaatkan realitas ini, media turut menyiarkan konten-konten yang
bersifat “false” atau palsu. Ketika “kepalsuan” ini terus-menerus disiarkan, maka
akan menciptakan sebuah realitas yang turut “palsu”, hasilnya publik seperti
dicuci otak dan mempercayai realitas palsu ini, di mana disebut juga dengan
kesadaran palsu.

Setelah lewat zaman kolonialisme, Indonesia mengalami kemajuan pada masa


pemerintahan Soeharto. Industri media tidak lagi ketergantungan terhadap subsidi
pemerintah atau partai. Pada saat itu, media telah masuk ke dalam masa baru yang
disebut sebagai era bisnis dalam media, masuklah dalam era konglomerasi media.
Bahwa di sini media telah mengalami ketergantungan dengan pihak swasta, media
tidak lagi bisa dikatakan sebagai insititusi sosial. Media telah menjadi perusahaan
bisnis sebagaimana perusahaan lainnya, yaitu profit dan laba menjadi
motivasinya. Saat ini yang dikejar media adalah menyebarkan informasi atau
hiburan yang disukai oleh pasar. Biasanya konten yang mengandung tiga unsur
seperti seks, kekerasan, dan horror laku di pasaran. Terbukti dari data Kementrian
Komunikasi dan Informasi bahwa pada 2013, Indonesia masuk ke dalam 10 besar
negara pengakses situs pornografi di dunia maya. Dan jumlah itu terus meningkat
setiap tahunnya.
Etika Komunikasi dan Masalah Pornografi

A. Definisi Pornografi

Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, lukisan, dan


foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh dan bertujuan untuk
dikomunikasikan ke publik. Mesum, cabul, atau tidak senonoh dipahami sebagai
sesuatu yang melukai dengan sengaja perasaan malu atau susila dengan
membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja penilaian terhadap pornografi
bersifat subjektif karena mengacu pada situasi mental atau afektif seseorang. Akan
tetapi, ukuran penilian tidak berhenti pada subjektivitas saja melainkan didasarkan
pula pada lingkungan dan komunitas setempat. Definisi mengenai pornografi akan
lebih jelas lagi apabila produk pornografi seperti film, gambar, dsb tidak
mengandung nilai seni, sastra, ilmiah, atau politik.

Definisi di atas menciptakan pertanyaan lebih lanjut apabila pornografi sudah


diartikan melalui representasi mental seseorang misalnya dilihat dari kepercayaan,
ingatan, dsb. Atau didefiniskan pula dengan objek fisik dan objek abstrak tertentu.
Objek fisik adalah yang terkait dengan perlengkapan objek seksual seperti pakaian
dalam dan objek abstrak adalah yang dilihat dengan pendekatan budaya atau
masyarakat tertentu misalnya di Bali pada tempo dulu perempuan telanjang dada.

Namun representasi publik terhadap pornografi tidak bisa begitu saja dikatan
relatif karena persepsi dan kategori yang digunakan komunitas tertentu tidak
sepenuhnya relativis. Ada semacam acuan pada konsepsi umum mengenai seni,
misalnya, maksud pengarang/seniman dalam membuat sebuah karya seni, adanya
apresiasi karya seni yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan konsepsi moral
(menolak dehumanisasi dan pengobjekkan).

Argumen Penolakan Pornografi dan Etika Minimal

Dalam perdebatan publik, ada tiga alasan utama yang dikemukakan dalam
menolak pornografi, (1) perlindungan terhadap remaja atau anak-anak, (2)
mencegah perendahan martabat perempuan, (3) mencegah sifat subversif yang
cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat
(Haryatmoko,2003:7). Pornografi dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan
psiksis dan kekacauan perilaku pada anak-anak dan remaja. Pornografi cenderung
digunakan remaja sebagai pegangan perilaku seksualnya. Padahal aktivitas yang
menyangkut pornografi sama sekali tidak ada ungkapan rasa, mengabaikan afeksi,
dan mereduksi pasangan perempuan sebagai objek pemuasan diri.

Pornografi dapat menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong


perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan diri sendiri.

Etika minimal terdiri atas tiga pilar, yaitu sebagai berikut;

1. Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”. Dalam kasus ini adalah
kebebasan untuk memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hal
seksualitas.
2. Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini sangat peduli
terhadap efek yang menimpa individu, dapat berupa kerugian fisik atau
psikologis.
3. Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan
setiap orang. Prinsip ini melihat pada kewajiban setiap orang untuk tidak
menjadikan orang lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya.

Pada prinsip-prinsip tadi, prinsip tiga dan empat menjamin kesetaraan


sehingga berfungsi sebagai pengatur hubungan dengan pihak lain dengan
menghindari segala bentuk paternalisme.

Hukum Represif, Perempuan Menjadi Korban

Dalam konteks ini, penilaian moral yang bertanggung jawab dengan berdasarkan
pada verifikasi, artinya bila dilihat dalam sudut logika, silogisme, premis minor,
selalu berhubungan dengan fakta. Jadi apa yang terkait dengan fakta harus bisa
dipertanggungjawabkan lewat proses verifikasi. Misalnya, harus dicek lebih dulu
dengan suatu penelitian bahwa menonton film porno dapat meningkatkan tingkat
perkosaan. Dalam teori peniruan, orang yang sering menonton konten pornografi,
semakin orang tersebut terdorong untuk memerkosa. Namun dalam teori catharis,
ketika seseorang semakin sering mengonsumsi pornografi, semakin orang itu
tidak ingin melakukan.

Yang terpenting adalah bagaimana hukum yang melarang pornografi tidak


membuat perempuan menjadi korban lagi. Dalam banyak bentuk peraturan cara
berpakaian dan seni cenderung membatasi perempuan sehingga berdampak juga
pada lingkup ekspresi perempuan semakin dibatasi.

Selain itu, pornografi dianggap merendahkan nilai seksualitas perkawinan. Konten


tersebut tidak menghargai cinta-penuh-perasaan dalam hubungan. Sejalan dengan
menyebarnya nilai hedonis, pornografi cenderung mengkedepankan kenikmatan
dan pengakuan akan kebiasaan seksual yang tidak wajar.

Media sebagai wadah penyebarnya cenderung menampilkan sesuatu yang


sensasional sehingga para insan media lebih memilih untuk menayangkan konten
pornografi. Dalam beberapa perdebatan ini, tampak bahwa perdebatan tentang
pornografi bukan hanya masalah konseptual, tetapi menyangkut masalah
pengambilan sikap moral dan politik.

Permasalahan pornografi menjadi pelik karena, pertama, dapat menghambat


kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni. Kedua, menghadapi
hak akan informasi. Dan ketiga, menjamin hak untuk memenuhi kebutuhan dan
pilihan pribadi, bila pilihan ini tidak melukai orang lain.

Dalam menghadapi ketiga masalah tadi, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah menentukan batas pornografi supaya masalah yang ada tidak dialihkan
menjadi masalah relativisme. Masalah pornografi bukanlah masalah relativis bila
mempertimbangkan empat hal berikut:

1. Mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni. Diperhitungkan peran


maksud pengarang dalam menentukan ciri-ciri karya seninya
2. Mempertimbangkan konsepsi moral. Dasar ukuran moral umum adalah
apakah hal tersebut mengandung dehumanisasi atau terjadi pengobjekkan
pada manusia
3. Perlu diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan. Reaksi
emosional macam apa yang ditimbulkan oleh karya yang dibuat, misalnya
rasa senang, jijik, atau rangsangan seksual.
4. Perlu dipertimbangkan pandangan dari beberapa teori psikologis, lewat
teori catharis, imitasi, dan pembiasaan.

Dari keempat pertimbangan tersebut, penting untuk mendefinisikan secara


bertanggungjawab perbedaan antara seni dan pornografi, termasuk perbedaan
antara pornografi dan erotisme.

Pornografi dan Erotisme

Untuk menghindari kecenderungan argumen otoritas, logika pornografi lebih jelas


dipahami bila dianalisis melalui mekanisme manipulasi ikon. Ikon merupakan
tanda yang mirip dengan apa yang digambarkannya. Ikon dapat berbentuk mirip
seperti aslinya atau gambar yang dicontohnya, bahkan bisa lebih daripada yang
aslinya (hiperrealitas).

Dalam pornografi, gambar ingin memberikan semua yang ingin diketahui dan
langsung dimengerti tanpa harus lagi berpikir. Gambar yang ditayangkan harus
jelas dan sederhana, yang terpentingnya adalah harus sesuai dengan aslinya,
bahkan bisa lebih dari kenyataannya. Misalnya menonjolkan bagian tertentu dari
tubuh. Dalam pornografi, tidak ada konteks dan tidak ada tokoh subjek yang
sebenarnya sehingga tokoh yang dimaksud adalah fiktif dan tanpa identitas dan
sejarah. Pornografi mereduksi sesuatu yang hidup menjadi yang dapat
dimanipulasi.

Ketika seorang pasien laki-laki dimandikan oleh perawat, meski dalam keadaan
telanjang dan hanya berdua di kamar, kebanyakan pasien tidak mengalami ereksi
karena perawat mengalihkan perhatian dengan mengajak berbicara. Dalam kasus
tadi, ada ingatan, dan ada kehadiran orang lain yang tidak memungkinkan laki-
laki mendominasi. Analogi ini menjadi pelajaran bahwa keterlanjangan tidak
selalu mengancam moralitas karena ada konteks, ingatan, dan kisah. Dalam
pornografi, wacana kehilangan kemandiriannya karena hanya akan diperbudak
untuk merangsang hasrat seksual (Haryatmoko,2007: 99).

Ada empat dampak langsung ketika prinsip pornografi dilihat sebagai “semua
harus sangat kelihatan”, yaitu depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran,
tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka. Pertama, depersonalisasi tubuh
adalah hilangnya kepribadian tubuh dipahami sebagai upaya menarik keluar
semua hal yang merepresentasikan kepribadian seseorang. Pornografi
menampilkan wajah kekerasan seksualitas. Hubungannya jadi mengobjekkan,
yaitu suatu bentuk dominasi supaya tercapai fantasme. Kedua, tiadanya tuntutan
kebenaran disebabkan oleh gambar yang sudah memperlihatkan secara jelas
sehingga penonton tidak lagi harus menebak atau menafsirkan. Dengan demikian,
berkurang tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak yang tersembunyi.
Pada saat itu, proses pembodohan terjadi karena audiens tidak diajak untuk
berpikir sehingga yang diminta hanyalah menelan, mengonsumsi supaya hasrat
seks terangsang. Ketiga, tirani terhadap liyan terjadi karena subjektivitas liyan
dilucuti. Perjumpaan direduksi hanya sebagai hubungan dominasi. Dalam
hubungan semacam ini, yang dicari hanyalah kenikmatan diri. Keempat, estetika
buruk-muka sangat menonjol dalam pornografi. Ketelanjangan ditampilkan tanpa
keprihatinan sehingga obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan
keingintahuan yang membuat penonton tidak lagi memedulikan segi estetis.

Berbeda dengan erotisme, karena memungkinkan suatu gaya, bahasa, dan


penantian sehingga dapat menerima kehadiran liyan. Erotisme adalah seni waktu.
Pada pornografi, manipulasi ikon membuat gambar dikosongkan dari waktu,
tanpa kisah. Sedangkan dalam erotisme, gambar berkisah dalam waktu dan
terbuka terhadap kebaruan.
Dalam erotisme, lebih ditampakkan pengungkapan hasrat daripada hanya
menunjukkan tubuh yang telanjang. Maka, butuh toleran terhadap waktu dan
membiarkan adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah, memiliki konteks,
dan menolak segala bentuk ketergesaan. Erotisme memahami risiko hubungan
yang sampai pada hasrat manusiawi. Keindahan dalam erotisme bukan sekadar
perayaan kenikmatan diri, melainkan cara untuk memberi wajah pada tubuh.
Misalnya pada gambar yang dikenal dengan G-rate, era zaman Edo yang dicetak
dalam "The Great Wave at Kanagawa." Koleksi karya-karya hebat dari Hokusai,
Kitagawa Utamaro dan Utagawa Kunisada, yang menggebrak arti tabu selama
lebih 300 tahun, akan diperlihatkan. Namun
meskipun gambar-gambar Shunga adalah
gambar-gambar yang erotis, para pembuat
shuga masih tetap digolongkan sebagai
seorang pekerja seni. Hal ini dikarenakan
pembuatan Shunga disebut sebagai salah satu

http://4.bp.blogspot.com/-
pergerakan untuk mengekspresikan
_Yl1_L9mQJk/UlVziHE2YOI/AAAAA
AAAdRk/TJgPevKyo_Q/s1600/Shunga+
kehidupan masyarakat urban.
karya+seni+erotis+jepang-3.jpg
Semua erotisme selalu berisiko menjadi
pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme
dan pornografi, selain karena subjektivitas penilaian yang juga disebabkan oleh
ambiguitas karya tersebut. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah,
konteks, dan ingatan, yang akan menentukan kelembutan dan intensitas
representasi tubuh. Karya seni biasanya membiarkan dilihat tanpa perlu
menunjukkan diri. Kerentanan bereskpresi dalam seni yang menyelipkan erotisme
berasal dari penilaian moral. Bila kriteria moral menjadi dasar penilaian,
keindahan akan menjadi menakutkan dan mengancam.

Dinamika seni sangat sarat akan kontradiksi sehingga semua bentuk analisis dan
penilaian konseptual akan berunjung pada kekecewaan. Padahal seni terbuka pada
yang tak terkatakan dan tetap menyimpan kreativitas meski tidak terlihat secara
jelas. Seni mengajar sesatu, mempertajam cara pandang sehingga membantu
untuk memahami dunia secara lebih matang.

Setelah melihat secara lebih jeli batas-batas seni dan unsur yang mengarah pada
pornografi, pelarangan atau regulasi oleh negara. Lalu negara tidak terlalu
gegabah membuat regulasi yang dapat
membatasi kebebasan berkespresi atau hak
akan informasi. Namun saat ini lembaga
penyiaran seperti KPI mulai bertindak
membatasi konten-konten yang dirasa-rasa
mengandung pornografi. Namun regulasi
http://indonesia.coconuts.co/2016/02/01/n
etizen-heran-karena-shizuka-dari- tersebut dianggap terlalu bias batasannya
doraemon-kena-sensor-di-tv
sehingga media penyiar menyensor konten
yang seharusnya tidak perlu disensor. Misalnya sensor terhadap tokoh tupai
bernama Sandy di kartun Spongebob Squarepants yang menggunakan bikini.
Padahal adegan dan gambar Sandy tidak mengundang hasrat seksual. Akibat
penyensoran tersebut penonton menjadi risih dan malah tidak terhibur. Sampai
akhirnya kritik terhadap regulasi sensor itu ditulis oleh beberapa media,
khususnya media online seperti metrotvnews.com dan tempo.co dalam kanal
opininya.

Negara memang berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi,


selingkuh, atau perilaku seksual tertentu. Namun dalam negara demokrasi,
masyarakt berhak untuk bersikap kritis, kebebasann individu, kebebasan
berekspresi, dan menuntut peninjuan kembali wilayah kompetensi negara dalam
hal moral. Setidaknya orang berharap bahwa penetapan hukum tidak menjadi
proses pengaturan sepihak oleh negara.

Paternalisme Negara = Polisi Moral

Dalam bukunya, Haryatmoko menjelaskan bahwa campur tangan negara dalam


hal moral orang perseorangan sarat dengan dilemma. Di satu pihak, bila negara
banyak mengurus dan ikut campur dalam hal moral, kecenderungan dapat
mempersempit kebebasan warga negara. Dengan banyak campur tangan pada
lingkup privat, ruang publik menjadi rentan karena banyaknya pembatas koersif.
Hukum menjadi alibi tanggung jawab, masyarakat menghindar dari tanggung
jawab tersebut karena hukum terlalu koersif. Suasana tersebut mendorong
keadaan pembodohan masyarakat. Namun di lain pihak, ketika kebebasan
seseorang merugikan pihak lain, campur tangan negara sulit di tolak.

Sikap paternalistik negara biasanya mengatasnamakan tujan baik. Pertama,


menjaga keteraturan dan kepantasan konten publik dengan melindungi anak-anak.
Anak-anak dianggap rentan yang tidak berpengalaman dari pengaruh gambaran
media. Terungkap dalam sebuah teori pembelajaran sosial yang . Teori ini
menjelaskan bahwa khalayak menirukan apa yang mereka lihat di media melalui
sebuah proses yang dikenal sebagai observational learning. Semakin kita
mengidentifkasikan diri kita dengan sebuah karakter–yang lebih menyerupai kita
atau keinginan untuk menjadi seseorang yang kita inginkan dari media tersebut–
semakin besar kemungkinan kita untuk meniru tingkah lakunya. Kedua,
melindungi perempuan agar tidak diperlakukan sebagai objek atau menjadi
korban eksploitasi, pelecehan atau kekerasan seksual. Ketiga, mencegah dan
menghukum semua yang dikategorikan melanggar batas moral di luar pernikahan.

Meski tujuan ini tampak luhur, campur tangan negara malah cenderung
memberatkan beberapa pihak. Pertama, tujuan tersebut mempertanyakan otonomi
moral. Kemampuan seseorang untuk menentukan yang baik dan jahat diragukan.
Padahal ketika masyarakat dilatih untuk berpikir kritis, sensor tidak terlalu
berlebihan seperti sekarang. Negara menjadi polisi moral yang mengawasi gerak-
gerik perilaku warganya, dan akan mencurigai semua bentuk hubungan orang
dewasa. Moralisme yang berlebihan akan membatasi kreativitas masyarakat
karena mobilitas individu amat dibatasi dan dikontrol. Kedua, prinsip subsidiaritas
tidak dihormati. Prinsip tersebut adalah bila individu atau kelompok yang lebih
kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa menyelesaikan, dan kelompok
yang lebih besar atau negara tidak perlu ikut campur. Diabaikannya prinsip ini
dapat melemahkan pran civil society dan inisiatif dari bawah. Ketiga, ada
kehendak mengontrol massa yang dianggap berbahata dengan melindungi dari
pengaruh gagasan jelek pornografi,

Landasan pelarangan pornografi menjadi menarik ketika argument kelompok


tradisional bertemu titik pada kelompok liberal yang sama-sama tidak setuju
dengan pornografi. Pada sisi tradisional, ketidaksetujuannya kelompok tersebut
dianggap mengancam nilai keluarga. Sedangkan pada sisi kelompok liberal,
pornografi dilihat dalam visi hubungan manusia yang selalu dipandang dari sisi
instrumental, hedonis, dan mengacaukan dengan makna cinta. Dalam pornografi,
tercipta semacam hubungan antara subjek dan pribadi imajiner dalam kertas atau
layar. Dengan demikian, orang dibawa dari realitas menuju fantasi. Akibatnya,
yang mau ditonjolkan hanya hasrat seksual, cinta dikalahkan oleh kepuasan
dorongan nafsu seks.
B. Definisi Kekerasan

Menurut P. Lardellier (2003:18) dalam buku Etika Komunikasi : Manipulasi


Media, Kekerasan, dan Pornografi, kekerasan bisa didefinisikan sebagai prinsip
tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa
persetujuan. Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain
dalam berbagai bentuknya seperti fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui
gambar. Ungkapan nyata kekerasan dapat berupa penggunaan kekuatan,
manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan,
kata kata yang memojokkan, dan penghinaan.

Menurut Francois Chirpaz (2000:226), kekerasan adalah kekuatan yang


sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai baik jiwa maupun
badan, kekerasan juga mematikan entah dengan memisahkan orang dari
kehidupannya atau dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui
penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai
representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap
orang lain. Jadi, kekerasan itu tidak harus dalam bentuk fisik seperti memukul,
meninju, dan sebagainya. Tetapi bisa menghancurkan dasar kehidupan seseorang.
Sasarannya bisa psikologis seseorang, cara berpikir, dan afeksinya.

Dalam hubungannya dengan media, Yves Michaud (1978:51) mengatakan bahwa


dalam konteks media, gambar menjadi komoditi, ada yang menawarkan, yang
meminta, dan yang tidak tertarik sehingga memberi pekerjaan kepada penasihat
komunikasi. Seperti dalam kasus film Superman yang dalam suatu adegannya
memperlihatkan memukul, membanting, atau melempar mobil untuk
mengalahkan musuhnya. Dari adegan tersebut, gambar kekerasan menjadi sesuatu
yang diperjual belikan. Ada pihak yang menawarkan (memproduksi), pihak yang
meminta (pro), dan pihak yang tidak tertarik (netral dan kontra). Gambar
membuat kekerasan menjadi biasa karena menghadirkan yang umum dan normal
dalam dunia tontonan yang diatur sedemikian rupa sehingga pemirsa dibiasakan
tidak bisa melakukan apa-apa. Seperti dalam adegan di film Superman yang
seakan setiap adegan kekerasan itu menjadi sangat biasa di mata penonton.
Sehingga penggambaran di media telah menciptakan dunia yang sulit dibedakan
antara riil, simulasi, hiperriil, dan kebohongan.

Aspek Estetik Kekerasan

Ada presentasi kekerasan dalam media yang mengandung aspek estetik-destruktif


yang mengundang ketertarikan yang bersifat mendua atau suatu bentuk paksaan
berwajah ganda yaitu tertarik dan muak/jijik. Paksaan bermuka dua ini seakan
menempatkan kenikmatan dalam perjumpaan antara keindahan dan kematian.
Aspek menarik ini tentu saja dieksploitasi oleh kepentingan ekonomi atau pasar.
Kekerasan dalam film, fiksi, siaran, dan iklan menjadi bagian dari industri budaya
yang tujuan utamanya ialah mengejar rating program tinggi dan sukses pasar.
Program yang berisi kekerasan sangat jarang mempertimbangkan aspek
pendidikan, etis, dan efek traumatis penonton. Namun, pernyataan bahwa tidak
semua kekerasan jelek karena ada juga presentasi dalam media yang mengandung
dimensi seni, yang semakin mempersulit pemilahan mana yang mendidik dan
mana yang merugikan atau destruktif.

Menurut Nel (2003:42), kekerasan dalam media sebagai seni mencari


pembenarannya dengan mengacu pada tiga bentuk
yaitu:

1) Horor-Regresif yaitu menunjuk pada


selera publik atau seniman akan kekejaman,
http://news.olshops.org/2013/03/
4-alasan-kuburan-dibongkar-
menyeramkan, atau tidak waras karena
untuk-alasan.html
melampaui reaksi akal sehat. Perhatian yang
ekstrem diarahkan pada yang riil, tetapi harus autentik. Bila dipresentasikan
dalam gambar-fiksi, motifnya ialah karena digerakkan oleh ketertarikan pada
hal yang meneror atau membuat merinding. Contohnya adalah kasus Sumanto,
ia memakan daging manusia yang sempat menggegerkan masyarakat. Dan hal
tersebut melampaui akal sehat atau tidak waras tetapi kejadian itu benar terjadi
atau nyata.

2) Horor-Transgresif yaitu berupaya menampilkan kekerasan dalam


konfigurasi seni yang baru dengan sentuhan menonjol pada apa yang belum di
eksplorasi, yang terlarang, dan yang dikutuk atau yang tabu. Dan semua hal
tersebut belum tentu terjadi. Contohnya adalah film Hannibal (2001) yang
menceritakan tokoh fiktif bernama Hannibal Lecter yang memiliki kepribadian
ganda. Di satu sisi ia adalah psikiater yang memberikan nasihat nasihat kepada
mereka yang mengalami gangguan kejiwaan, disisi lainnya ia merupakan sisi
gelap yang selalu disembunyikan Hannibal, yaitu seorang psikopat yang
mengerikan. Ia melakukan berbagai pembunuhan dan menjadikan korbannya
seperti mainan yang ia mainkan sepuas hati. Bahkan seringkali ia memberikan
nasihat yang buruk kepada pasiennya. Jika dilihat dari alur ceritanya, film ini
memasukkan kekerasan yang menyeramkan sebagai utamanya. Namun, tokoh ini
adalah karangan atau fiktif belaka.

3) Gambar-Simbol yaitu mengubah sesuatu yang sebenarnya konteks itu


ditandai oleh kekerasan, tetapi kemudian diganti dengan tatanan yang lebih
manusiawi dan dapat ditolerir sehingga akhirnya menjadi indah. Gambar-simbol
memindahkan kekerasan keluar dari arena atau konteksnya, yang kemudian
disembunyikan dan diseleksi melalui saringan tradisi ikonografi dan seni. Contoh:

Bahaya Kekerasan dalam Media

Bahaya kekerasan dalam media mempunyai alasan yang kuat, meskipun sering
lebih mencerminkan bentuk ketakutan daripada ancaman riil. Apa yang ditakutkan
ialah skenario penularan kekerasan dalam media menjadi kekerasan sosial riil.
Informasi tentang kekerasan juga bisa menambah kegelisahan umum sehingga
membangkitkan sikap represif masyarakat, alat penegak hukum.

Menurut hasil studi tentang kekerasan dalam media televisi di Amerika Serikat
oleh American Psychological Association pada tahun 1995, yang dikutip
Hrayatmoko dalam dalam bukunya, ada 3 kesimpulan menarik yang perlu
mendapat perhatian serius:

1) Mempresentasikan program kekerasan meningkatkan perilaku agresif

2) Memperlihatkan secara berulang tayangan kekerasan dapat menyebabkan


ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban

3) Tayangan kekerasan dapat meningkatkan rasa takut sehingga akan


menciptakan representasi dalam diri pemirsa: betapa berbahayanya dunia.

Sophie Jehel (2003:123) mau meyakinkan betapa merusak pengaruh presentasi


kekerasan dalam media bagi anak. Menurutnya, anak membutuhkan rasa aman
supaya bisa menemukan tempatnya dalam masyarakat. Meskipun ada ekspresi
senang, puas atau tertarik terhadap kekerasan dalam media, sering tanpa disadari
anak sebetulnya bergulat dalam suatu perjuangan, kegelisahan dan ditatapkan
pada berbagai pertanyaan. Dalam situasi itu, anak terpaksa harus melindungi diri
dengan mengembangkan mekanisme pertahanan yang berakibat bahwa anak lebih
banyak berhadapan dengan stres atau kegelisahan. Dengan demikian, seluruh
energi anak harus dikerahkan untuk mempertahankan diri. Dampaknya, energi
tersita sehingga justru kurang kesempatan untuk membangun identitas secara
positif. Investasi dalam kegiatan konstrtuktif dan pemenuhan akan minatnya
menjadi terhambat. Terlebih lagi, dalam masa pertumbuhan, gambar kekerasan
bisa mempengaruhi perilaku dan persepsi anak tentang dunia.

Menurut Nel (2003:44) masalah representasi dalam media berlangsung dalam


hubungan segitiga, yaitu produktor,penerima, dan instansi regulasi.

1. Instansi produksi adalah para pencipta, pengarang, saluran televisi, rumah


produksi, dan studio. Para pelaku dari instansi produksi biasanya lebih
menuntut hak kebebasan berekspresi dan lebih menginginkan regulasi diri.
Sebisa mungkin campur tangan negara atau instansi dari luar dihindarkan.

2. Instansi penerima adalah para pemirsa, pembaca, pendengar, pengguna,


dan lain lain. Kelompok ini tidak otomatis menyetujui regulasi negara. Mereka
sering terombang-ambing antara menyetujui pelarangan kekerasan dalam
media atau aturan yang lebih longgar demi kreativitas dan hiburan.

3. Instansi regulasi berkepentingan menjaga keseimbangan antara


kepentingan si produksi dan si penerima sehingga hak akan informasi dan
kebebasan berekspresi terjamin. Contoh instansi regulasi adalah
negara/pemerintah.

Menentukan Batas-Batas Kekerasan

Kesulitan utama dalam regulasi adalah bagaimana menentukan batas batas


kekerasan dalam media yang masih bisa ditoleransi. Tidak cukup hanya
menetapkan prinsip bahwa harus melindungi publik yang rentan/lemahndan
memberi kesempatan instansi produksi untuk berkreasi dan berinovasi. Regulasi
harus mempertimbangkan berbagai dimensinya.

1. Dari dimensi persepsi, masalahnya terumus dalam pertanyaan sejauh mana


terkait dengan visual, pendengaran dan interaktif

2. Dari dimensi afeksi, sejauh mana kekerasan dalam media bisa


menyebabkan traumatisme, kegelisahan, dan stres.

3. Dari dimensi estetika, bisakah ditentukan ukuran mana yang indah dan
mana yang jelek atau kumuh.

4. Dari dimensi moral, mana yang bisa dipercaya, diterima, dan berpengaruh
jahat.

Kelemahan utama berhadapan dengan kekerasan dalam media yang membuat


setiap upaya regulasi mendapat perlawanan ialah lemahnya argumen yang
mendasari suatu regulasi. Kelemahan argumen disebabkan sedikitnya penelitian
serius yang dibuat terkait dengan berbagai dimensi. Sebenarnya, kelemahan dalam
hal penelitian ini dapat sedikit ditutupi dengan meminjam atau membandingkan
hasil penelitian di negara lain, meskipun variabelnya harus disesuaikan dengan
konteks bangsa kita.

Untuk bisa memahami kekerasan dalam media, orang perlu memahami bahwa
dalam media dikenal setidaknya tiga tipe dunia yaitu dunia riil, fiksi, dan virtual.
Oleh karena itu, kekerasan perlu dibedakan berdasarkan ketiga dunia tersebut.
Menurut Noel Nel (2003:38-41) ada tiga bentuk kekerasan yaitu pertama,
kekerasan-dokumen yang merupakan bagian dari dunia riil atau faktual; kedua,
kekerasan-fiksi yang menunjukkan kepemilikan pada dunia yang mungkin ada;
misalnya dalam kisah fiksi, film, kartun, komik, dan iklan; serta ketiga,
kekerasan-simulasi yang berasal dari dunia virtual seperti dalam video games dan
permainan online.

Kekerasan-Dokumen

Kekerasan dokumen adalah penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa


atau pembaca dengan mata telanjang sebagai rekaman fakta kekerasan
(Haryatmoko, 2007: 128). Kekerasan dalam
media bisa dipresentasikan melalui isinya lewat
tindakan pemain – aktor atau aktris misalnya
adegan pembunuhan dan perkelahian, atau
dalam situasi seperti konflik, luka, dan

http://media.viva.co.id/thumbs2/2014/1 tangisan. Kekerasan semacam itu bisa


2/10/284297_tersangka-dalam-
penyiksaan-oleh-cia_300_225.jpg membuat orang tertarik, bosan, jijik, atau
malah mengundang emosi. Memang jenis
kekerasan-dokumen tidak selamanya negatif, bisa juga memberi dampak positif
karena mampu menumbuhkan kepedulian terhadap korban. Contoh yang menarik
adalah representasi kekerasan peristiwa 9/11. Terlepas dari opini pro-Amerika
atau pro-Al-Qaida, dalam presentasi kekerasan tersebut akan terjadi proses
tumbuhnya rasa simpati kepada korban atau rasa muak terhadap teroris. Seperti
gambar di samping yang menggambarkan tahanan yang sedang diintrogasi dengan
cara brutal, gambar tersebut dapat dengan mudah memengaruhi psikisme pembaca
atau pemirsa.

Dalam penampilan peristiwa tersebut, media berupaya mencari kedekatan antara


pemirsa dengan reportase langsung. Hal ini menumbuhkan kebutuhan untuk
saling menguntungkan secara emosional dengan korban. Simbiosis ini menjadi
semakin intensif lewat pengungkapan emosi yang terus ditayangkan. Kesaksian
tersebut merupakan proses simbolisasi langsung. Walapun cara penyajian seperti
itu berisiko membangkitkan psikosis kolektif, wartawan atau redaksi operator
mengubah traumatisme ke berbagai bentuk pengalihan. Bentuk pengalihan itu
dibuat dengan pembandingan yang mengacu pada sejarah yang sudah dikenal atau
kepada acuan fiksi seperti film Apocalypse Now yang berlatar belakang perang
Vietnam. Film tersebut mampu merangkum segala hal yang tersaji di medang
perang dengan menggambarkan ledakan, kegilaan, mayat dan tentunya hal-hal
memilukan lainnya.

Hubungan antara pemirsa dengan gambar ditata dengan teliti. Misalnya dalam
konteks jurnalistik, wartawan sangat memperhitungkan efek penerimaan seperti
ketidak-nyamanan dan menimbulkan efek traumatik, untuk mendapatkan hasil
yang diharapkan yaitu keberpihakan, dan kepedulian terhadap korban. Semua
tehnik presentasi digunakan dengan memberi ukuran yang tepat pada tema,
bentuk maupun estetikanya untuk maksud yang diharapkan. reportase langsung
memungkinkan untuk memperlihatkan kekerasan menggandakan gambar yang
mengejutkan sehingga perhatian pemirsa hanya tertuju pada titik-titik yang
meninggalkan trautisme. Pemilihan fokus yang memperlihatkan tangan
berlumuran darah itu mengundang simpati dan keberpihakan pemirsa kepada sang
demonstran.

Kekerasan-dokumen tidak harus berbentuk gambar atau foto, bisa juga dalam
tulisan. Misalnya yang sering terjadi di dalam peradilan lewat media. Ada
semacam proses peradilan melalui pemberitaan media yang merugikan kehidupan
pribadi/kelompok, atau berita yang menyudutkan. Mereka yang dicurigai bisa
diberitakan seakan-akan sudah menjadi terdakwa yang bersalah. Dengan
demikian, terjadi pergeseran dari lingkup pengadilan ke lingkup media. Media
menempatkan diri sebagai penyidik atau jaksa penuntut. Bahkan saksi penting
diwawancarai wartawan sebelum dimintai keterangan atau kesaksian oleh polisi
atau jaksa. Bahwa dalam hal ini, interview menggantikan proses interogasi, jajak
pendapat menggantikan kepututsan hukuman.

Di sisi lain, dengan hasil kerja wartawan jaksa atau polisi sering terbantu. Hanya
saja kalau berhubungan dengan kerahasiaan, pertanyaan wartawan kadang
mengganggu. Kadang pers juga dapat memengaruhi para saksi. Biasanya ancaman
yang ditebar ialah mengungkap kehidupan pribadi mereka. Pada kondisi ini,
media bisa mengorganisir diskusi dengan mewakili opini publik dan seakan-akan
ingin memaksakan opini itu ke jaksa. Dalam manuver seperti ini, asas praduga tak
bersalah telah dilanggar.

Dalam kasus delokasisasi proses pengadilan ke media, banyak proses yang


akhirnya merugikan kehidupan pribadi, apalagi kalau sudah mengarah ke fitnah.
Kesimpulan keliru dalam pemberitaan biasanya tidak akan memberikan tempat
koreksi setara dengan pemberitaan
yang menghancrkan reputasi
seseorang. Pemberitaannya ada di
head-line, hak jawab atau
permintaan maaf hanya di kolom
kecil. Berita yang baru-baru ini

http://solo.tribunnews.com/2016/04/25/ribuan-netter- sedang hangat dibicarakan di


tanda-tangani-petisi-usut-tuntas-kriminalisasi-kasus-jis
media online seperti kaskus.com
adalah kembali diusutnya kasus pelecehan seksual di Jakarta Internasional School
(JIS). Singkat cerita, para cleaners yang saat ini sudah berstatus sebagai tersangka
dan dipenjarakan selama hampir dua tahun baru diketahui tidak bersalah. Dalam
kasus ini, Bu Theresia selaku Ibu Marc (terduga korban) membuat asumsi-asumsi
yang akhirnya membentuk kesesatan argument karena banyak sekali data dan
kebenaran yang disembunyikan. Pada kasus ini, media sebagai pembentuk opini
publik sudah membuat kesimpulan mentah yang tidak diverifikasi keabsahannya.
Akhirnya saat ini netizen mencoba untuk membuat petisi di change.org yang
menuntut kembali diusutnya kriminalisasi yang dilakukan terhadap cleaners yang
sudah terlanjur berstatus tersangka.

Acara infotainment pada hakikatnya mirip proses peradilan, tetapi dengan cara
masuk ke dalam wilayah pribadi. Atas nama hak akan informasi, wartawan
melanggar hak privasi seseorang dalam impunitas. Akhirnya, martabat seseorang
dilecehkan dan dilukai.

Kekerasan-fiksi

Kekerasan yang dibeberkan dalam kisah fiksi bukannya tanpa meninggalkan


bekas luka pada pemirsa atau pembacanya, terutama pada anak bisa meninggalkan
traumatisme dan perilaku agresif. Fiksi mampu memproyeksikan keluar dari yang
riil meski mungkin tidak ada dalam kenyataan. Biasanya meski jauh dari realitas,
fiksi masih memiliki pijakan atau analogi dengan dunia riil. Oleh karena itu,
kekerasan-fiksi menjadi berbahaya ketika justru memberi kemungkinan baru yang
tidak ada dalam dunia riil.

Contohnya adalah siaran TV smack down yang sempat digandrungi masyarakat


khususnya anak anak. Siaran tersebut adalah perkelahian yang sudah diatur
sedemikian rupa tapi sangat mirip dengan perkelahian riil. Acara tersebut sudah
masuk ke dalam kategori hiperriil. Apa yang kita saksikan melebihi dari realitas
kontak fisik atau kekerasan yang sesungguhnya terjadi. Meskipun ada kepura-
puraan dari perkelahian itu. Namun, efek bagi pemirsa sama atau bahkan lebih
tinggi daripada pertarungan tinju, karate, atau bentuk kontak fisik lain.
Kekerasan-simulasi

Menurut M. Moatti (2003:189), kekerasan dengan mudah ditemukan di internet,


baik yang terang terangan maupun yang ditutupi. Ada situs, forum, dan diskusi
yang objek utamanya adalah kekerasan. Berbagai hal tentang seks, wacana
ekstrem seperti fanatisme terhadap agama atau ideologi, perdagangan terlarang
seperti narkoba dan senjata. Maka kemudian lahir berbagai klub, asosiasi,
komunitas yang kadang tidak ada dalam jaringan hidup riil. Dengan bersembunyi
di balik internet, mereka terlindung dari pandangan orang banyak, masih jauh
dari jangkauan hukum. Jadi, internet berfungsi menghasilkan tempat pengganti
interaksi yang tidak bisa dilakukan dalam keseharian, terutama dalam hal
kekerasan.

Saat ini kekerasan sudah melalui pemindahan ke lingkup cyber. Bahkan kekerasan
imajiner yang sulit dipercaya atau keterlaluan bisa dipresentasikan dalam layar
menjadi suatu tampilan fiksi yang menciptakan ilusi realitas. Kekerasan menjadi
semakin menarik karena terlindung dari dunia normal, dari hukum yang mengatur,
sehingga hasrat bisa tampil dalam kebersamaan dan saling membagikan
keinginan. Semua berlangsung dalam kerahasiaan, dan kekerasan bisa ditampilkan
semaunya.

Contoh dari kekerasan-simulasi biasa muncul pada video games maupun online
games seperti perang perangan. Pada simulasi tank yang melindas dan
menghancurkan musuh, maupun pada saat menembaki lawan, kekerasan
dirasakan ketika pemain game tersebut berteriak puas atau marah. Ada gairah
untuk bermain, dan ada kegelisahan emosional yang ditularkan oleh gambar video
games. Kekerasan pun menjadi struktur dasar permainan seperti memburu,
meremukkan, meruntuhkan, memusnahkan menjadi target utama yang membuat
para pemain menyukai permainan tersebut.

Permainan ini pun menawarkan kepada pemain suatu perjuangan mencapai tujuan
dengan mengalahkan mesin atau melawan manusia. Perjuangan dan pertarungan
menjadi unsur paling dominan. Makin tajam perjuangan atau pertempuran, makin
menarik permainan itu. Pemain selalu dituntut untuk melakukan satu hal : berpikir
cepat dan bergerak cepat. Bagi anak, permainan seperti ini melahirkan banyak
masalah psikologis seperti kegelisahan, kekecewaan, maupun kemarahan.
Orangtua dan pendidik sering sekali terbatas pengetahuannya untuk bisa
membantu anak keluar dari kecemasan mereka. Keterbatasan orangtua dan
pendidik inilah yang menjadi sebab mengapa mereka kurang perhatian terhadap
kekerasan media, serta kurangnya argumen dan penelitian akan regulasi tentang
kekerasan media.

Kekerasan Simbolik

Menurut Sophie Jehel (2003:109), ada empat faktor lain yang menyebabkan
banyak orang dewasa kurang perhatian terhadap masalah kekerasan dalam media.
Pertama, ketidaktahuan orang dewasa akan budaya orang muda. Mereka tidak
tahu berapa waktu yang dihabiskan orang muda/anak anak untuk media, sejauh
mana afeksi mereka terpengaruhi, dan jenis selera serta pengetahuan mereka.
Jurang generasi ini telah menjadi jurang budaya. Kedua, ada keyakinan kuat
bahwa kehadiran orang dewasa bisa memperbaiki situasi, padahal sering sudah
terlambat. Meskipun telah diketahui umum bahwa televise banyak menayangkan
acara kekerasan, keluarga tidak mampu mengendalikan anak dari melihatnya. Di
sekolah, guru butuh waktu untuk menyadari bahwa kekerasan di sekolah
merupakan akibat pengaruh tontonan TV atau media lain. Ketiga, faktor ideologi
mau menunjukkan bahwa semua bentuk pembatasan atau pelarangan akses orang
muda ke media akan dianggap sebagai reaksioner. Keempat, kesulitan
pendampingan karena ketidakmampuan orangtua (waktu, pengetahuan, dan
metode). Hal ini menjelaskan adanya semacam bentuk pengunduran diri orang tua
atau pendidik dari tanggung jawab pendidikan anak anak atau orang muda.

Benoit Heilbrunn menjelaskan bahwa kekerasan simbolik di media iklan


beroperasi dengan tiga cara yaitu:
1. Melalui kekuasaan media. Budget komunikasi suatu produk bisa mencapai
40% dari biaya produksi. Dengan alokasi yang sebanyak itu, hampir tidak
ada kekuatan yang bisa melawan gerak rayuan dan ajakan tersebut.
Kekerasan iklan terletak dalam kemampuannya untuk hadir di semua
tempat sehingga memungkinkan untuk menembus hampir semua celah
kehidupan sosial.
2. Iklan bisa menjadi pengaruh transmisi kekerasan. Melalui strategi iklan,
digunakan kemampuan mengubah kekerasan tersebut menjadi seakan
bukan kekerasan.
3. Jika kekerasan tampak dalam tema yang selalu berulang, maka
pengulangan itu akan mencetak ide bahwa iklan tersebut dapat mengubah
dunia dan mampu mengubah konsumen. Iklan masuk ke dalam kehidupan
sehari hari para konsumen dan dengan cara yang lembut tak terasa dapat
memaksakan praktek dan sikap kepada setiap orang.

Contohnya di Indonesia adalah iklan rokok Sampoerna Mild dengan semboyan


“jalan pintas dianggap pantas”, yang menggambarkan petinju yang tidak pernah
berlatih, lalu pada saat pertarungan, ia memakai tongkat untuk memukul
lawannya. Perilaku tersebut mengakibatkan persepsi penonton iklan tersebut
menjadi “mencari jalan pintas” dalam melakukan segala hal.

Contoh lainnya dalam media adalah kata atau julukan “pelacur” yang selalu
dilabeli kepada satu pihak saja yaitu perempuan. Padahal dalam tindakan
pelacuran, ada dua pihak yang terlibat. Disini kata “pelacur” yang disematkan
kepada perempuan secara tidak langsung membuat kaum perempuan dipandang
sebagai yang lebih rendah kedudukannya. Eksploitasi bentuk tubuh perempuan
secara visual untuk komersial juga merupakan kekerasan simbolik.
PEMBAHASAN

Pornografi dalam Media/Pers

Berita mengenai beredarnya video Ariel


dan Luna maya sedang berhubungan
seks sempat menggegerkan. Di dalam
video tampak mereka melakukan
hubungan intim layaknya suami-istri
dengan berbagai posisi. Sesekali terdengar percakapan yang tidak jelas
ucapannya. Selain karena kualitas rekaman yang minim, juga karena tertimpa
suara siaran televisi. Video tersebut terlihat sudah hasil edit, karena terpotong-
potong.

Kedua video yang telah beredar di Facebook telah dihapus oleh pengelola
Facebook. Namun file video porno tersebut sudah tersebar di berbagai situs
penyedia jasa unduh untuk siap digunakan. Berita mengenai ini akhirnya
diberitakan lebih dari sebulan dan ditayangkan tidak hanya di program gossip saja
melainkan di program berita televisi dan radio juga disiarkan.

Kekerasan dalam Televisi

Empat dasar metode dalam merekam jenis dan kejadian kekerasan di televisi:

a. Kekerasan dalam televisi berkontribusi pada efek antisosial pada


pemirsanya.
b. Terdapat tiga jenis utama efek menonton kekerasan di televisi:
mempelajari sikap dan perilaku agresif, tidak sensitif terhadap
kekerasan, meningkatkan ketakutan akan menjadi korban
kekerasan
c. Tidak semua kekerasan menampilkan derajat efek berbahaya yang
sama
d. Tidak semua pemirsa terpengaruh oleh kekerasan dengan cara yang
sama.
Pada 30 Desember 2006, sejumlah televisi di Arab Saudi dan Amerika Serikat
menayangkan hukuman mati Saddam Hussein. Akibat tayangan tersebut,
sebanyak lima anak dilaporkan gantung diri untuk menirukan hukuman mati
Saddam Hussein setelah melihat di televisi. Di antara lima anak tersebut, ada
seorang anak 12 tahun bermain menirukan adegan eksekusi Saddam Hussein dan
berakhir digantung teman-temannya di Aljazair. Ada juga seorang anak laki-laki
berumur 10 tahun secara tidak sengaja bunuh diri saat mencoba menirukan adegan
eksekusi Saddam Hussein dengan mengikat leher di tempat tidur susun di Texas.
Terakhir, gadis berusia 15 tahun di India mengalami tekanan berat setelah
menyaksikan hukuman mati Saddam Hussein.

Di tahun 2006 saat Smack Down sedang booming-booming-nya, banyak anak


yang menjadi korban kekerasan akibat menonton Smack Down. Salah satunya
adalah Reza Ikhsan Fadillah, bocah kelas 3 SD Cincin I di Kabupaten Bandung. Ia
meninggal dunia akibat dipukul dengan gaya ala Smack Down oleh kakak
kelasnya (dibanting, dihujamkan ke lantai, dan tangannya ditekuk). Sejak saat itu,
tayangan Smack Down dihentikan oleh KPI.

Hasrandra, bocah kelas 1 SD Yayasan Islam Zaidar Yahya, meninggal dunia pada
30 April 2015. Awalnya pada bulan Februari, ia dan teman-temannya bermain
menirukan adegan silat di sinetron Tujuh Manusia Harimau. Randa sempat
dipukul oleh temannya menggunakan sapu dan dikeroyok, tetapi dalam konteks
bermain. Namun setelah kejadian itu, Randa menjadi menderita kelumpuhan
selama dua bulan dan akhirnya meninggal.
SOLUSI

Dalam konteks konten pornografi di Indonesia, semangat toleransi perlu


diwujudkan untuk melawan moralisme legal (pemberlakuan norma moral tanpa
memperhitungkan ada-tidaknya bahaya). Dalam bukunya, Haryatmoko mengutip
pernyataan M. Tebbit, “Setiap aktivitas orang perorangan yang tidak mengancam
warga negara lainnya, atau tidak mengganggu tatanan dan kepantasan publik,
hendaknya dihindarkan dari pengaturan hukum pidana. (Haryatmoko, 2003: 105)

Dalam kutipan tadi, hukum berfungsi sebagai pertahanan diri masyarakat dan
pemberlakuannya hanya akan sah bila tindakan seseorang mengancam atau
merugikan masyarakat. prinsip “tidak merugikan pihak lain” bukan dimaksudkan
untuk membiarkan tindakan itu, tetapi lebih ingin membuka pintu negosiasi guna
menetapkan garis pembatas antara wilayah sah menjadi ranah privat dan
pengaturan hukum pidana yang merupakan lingkup publik.

Tindakan represif hukum bisa dibenarkan bila dalam konteks ingin melindungi
eksploitasi pihak rentan seperti anak-anak dan orang muda. Jadi, fungsi hukum
bukan mencampuri urusan kehidupan pribadi warga ngeara dan bukan juga
memaksakan pola perilaku terhadap mereka. Dengan menghargai prinsip itu
berarti mendukung sikap toleransi dan melawan sikap represif yang akan semakin
membatasi pergaulan, kreativitas serta membuat hubungan masyarakat berpola.

Perlu dipertanyakan masalah definisi ranah privat. Hanya sekadar lingkup di luar
jangkauan pandangan publik atau yang menyangkut urusan pribadi masing-
masing. Bahwa di sini menjelaskan konsep ranah privat yang tidak boleh diurusi
oleh lembaga dan negara tanpa seizin orang yang bersangkutan. Tidak mudah
menggariskan pemisahan yang tegas antara ranah privat dan lingkup publik. Jadi
penelitian ilmiah yang serius diperlukan sebelum membuat undang-undang
pelarangan.

Dalam hal ini, KPI sebagai lembaga yang mengatur soal regulasi penyiaran dapat
memberikan tindakan tegas pada pelaku atau praktisi media yang ada. Namun
dalam regulasinya, KPI seakan-akan tidak memberikan batasan yang jelas
sehingga muncul terkaan dari para lembaga penyiaran terhadap kontennya.
DAFTAR PUSTAKA

Franz Magnis Suseno (2010). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama. p. 110-134.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi.


Yogyakarta: Kanisius.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Teori Sosiologi Klasik. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.

Wiwioho Joko. 1996 Edisi April. Kajian Yuridis Terhadap Keberadaan Konglomerasi di
Indonesia. Pusat Pengkajian Hukum dan Pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai