Kelompok 7:
Leonardy (14140110404)
Manipulasi media dapat disebabkan oleh banyak hal. Namun ketika masuk ke
dalam konteks pornografi dan kekerasan, terdapat dua jalan media memanipulasi
informasi yakni dengan konglomerasi media dan framing.
A. Definisi Konglomerasi
Dalam definisi itu, Henry Campbell meninjau bahwa konglomerasi sebagai suatu
perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha dan dalam operasionalnya
mengakuisisi perusahaan lain untuk memperbesar atau memperluas variasi
industrinya. Titik berat dari institusi konglomerasi adalah dikumpulkan,
digabungkan, atau diintegrasikan lebih dari satu perusahaan dalam sebuah
perusahaan kelompok. Ditinjau dari ruang lingkup usahanya, perusahaan yang
berkonglomerasi biasanya mengupayakan untuk menunjang bidang usaha lainnya
(Vertikal/Up Stream) atau bidang usaha yang tidak saling berkaitan
(horizontal/down stream) maupun perusahaan yang mempunya bidang usaha dari
hulu ke hilir dari sebuah produk barang (diagonal).
Konglomerasi di Indonesia
B. Definisi Framing
1. Cover both side, hanya saja porsi bicara tidak berimbang. Artinya bila satu
orang diberikan ruang untuk berbicara, orang lainnya juga memiliki hak
yang sama. Namun dalam metode ini, salah satu orang diberikan hak
berbicara tidak sama dengan porsi orang lainnya. Media biasanya
melakukan metode ini dengan mengutip pendapat salah satu orang ala
kadarnya, atau dikutip bagian yang tidak menjawab persoalan.
2. Berita yang disampaikan sesuai fakta, tetapi menggunakan sudut pandang
tertentu. Bahwa ada pemilihan fakta dan data-data tertentu agar dapat
membentuk opini publik dengan sudut pandang tertentu, misalnya dalam
demo buruh salah satu media membuat berita dengan judul, “Sampah
Menggunung Setelah Demo Buruh.” Judul tersebut dapat memunculkan
sudut pandang lain yaitu masyarakat tidak lagi simpati pada buruh
melainkan geram karena demo yang malah menghasilkan pemandangan
yang tidak enak dilihat.
3. Penggunaan kata sifat yang bernada positif atau negatif. Metode ini
nantinya akan membentuk penilain terhadap seseorang. Ketika media
berkata Ahok adalah gubernur tegas, biasanya mayoritas pendapat publik
akan mengarah pada apa yang media katakan.
4. Menyeleksi gambar dan menyisipkan musik. Dengan adanya kedua hal ini,
masyarakat dapat memberikan penilaian berupa apa yang digambarkan
media di beritanya. Dalam penyeleksian gambar biasanya media fokus
meliput sebagian kegiatan sang tokoh. Misalnya pemberitaan tentang
Ahok pasti selalu soal kegiatan blusukan dan marah-marahnya dan selalu
dilatar belakangi musiknya tegang. Dengan adanya sarana audiovisual,
persepsi masyarakat menjadi mudah terbentuk dan akhirnya sudut pandang
pun mengikuti apa yang media gambarkan.
C. Definisi Propaganda
Media yang mempunyai dampak dahsyat dimanfaatkan oleh orang atau kelompok
tertentu untuk menyebarkan doktrin ideologinya kepada masyarakat. Dengan
adanya aktivitas-aktivitas media yang mengedepankan keuntungan bagi
perusahaannya dengan berbagai cara – framing dan propaganda, masyarakat
cenderung dibawa sudut pandang dan cara berpikirnya oleh media sehinggu
masyarakat mengalamai keadaan yang bernama kesadaran palsu.
Kesadaran palsu, yakni suatu situasi, di mana orang tidak sadar, bahwa ia
sebenarnya sedang ditindas. Di dalam masyarakat kapitalis, kata Marx, kaum
buruh mengalami penindasan, tetapi mereka tidak merasakannya sebagai
penindasan, dan bahkan merayakan penindasan itu.
Di dalam kajian psikologi, hal ini seringkali disebut sebagai sindrom Stockholm,
yakni suatu situasi, di mana korban/tawanan merasakan empati pada pelaku
kejahatan. Banyak kaum buruh membela tuannya, walaupun tuannya telah jelas-
jelas bersikap tidak adil dan tidak manusiawi terhadap dirinya.
Kesadaran palsu merupakan sebuah konsep yang berasal dari pemikiran marx
tentang teori kelas sosial. Konsep kesadaran palsu sendiri mengacu pada
kekeliruan hubungan sosial antara kelas dominan dan kelas bawahan. Kesadaran
palsu diperkenalkan oleh Friedrich Engels, yakni dalam suratnya kepada Franz
Mehring (14 Juli 1898). Konsep ini pada awalnya diungkapkan marx dari
“ideologi dan fetisisme komoditas”.
Ideologi
Menurut KBBI, ideologi adalah “kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas
pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan
hidup.”
Ideologi menurut Marx adalah sebuah cara berpikir yang tidak tepat tentang
dunia. Menurutnya dalam teori kelas sosial, latar belakang munculnya ideologi
adalah sebagai pembenaran usaha para kaum proletar (bawahan, buruh, dll) atas
ketidakseimbangan antara usaha dan upah. Kaum borjuis (pemilik modal,
pengupah, ahli, dll) yang memonopoli kaum proletar menciptakan ideologi yang
dapat diterima kaum proletar tersebut agar mereka tetap membenarkan diri
mereka untuk bekerja, padahal usaha dan upah tidak sebanding. Faktor ini yang
memunculkan ideologi-ideologi dan lahirnya kapitalisme. Maka dari itu bisa
disimpulkan menurut Marx. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu
keadaan, terutama struktur kekuasaan sehingga orang menganggapnya sah
padahal tidak sah. Misalnya klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan
umum padahal ia melayani kepentingan kelas atas.
Ideologi dalam arti yang sebenarnya bukan sarana yang digunakan kelas atas
untuk menipu. Ideologi benar-benar dipercayai seluruh masyarakat dengan polos.
Akan tetapi, agama, moralitas dan berbagai nilai budaya dengan sendirinya
menguntungkan kelas atas. Hal ini disebabkan karena kelas atas yang menguasai
sarana produksi materil dan spiritual yang berarti hanya kelas atas yang mampu
meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Kesimpulan dari kritik
Marx terhadap ideologi adalah kita sebaiknya curiga jika penguasa mengkhotbahi
masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka
karena tanpa disadari, khotbah seperti itu penuh dengan doktrin berkedok. Contoh
melalui agama dan moralitas, dilarang membunuh dan mencuri bahkan untuk iri
hatipun dilarang, hal ini merupakan keuntungan bagi kelas atas, bukan? Contoh
lain dewasa ini, DPR merevisi UU yang di mana berisi ketika KPK ingin
melakukan pengecekan terkait KKN, harus meminta izin dan laporan pada DPR
terlebih dahulu. Mengapa harus meminta izin pada pelaku KKN itu sendiri?
Menurut Friedrich Engels, ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan
sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Friedrich
juga menyebutkan bahwa sebuah ideologi bermotif atau berasal dari pemikiran
seseorang secara independen maupun lanjutan dari pemikiran orang sebelumnya.
Karena pemikiran independen tersebut Friedrich juga menyebutkan bahwa setiap
ideologi muncul karena bertujuan untuk kepentingan tertentu.
Kelas pekerja di negara-negara kapitalis maju yang menurut Marx akan menuju
revolusi proletariat justru berhasil memperbaiki keadaan mereka dan menjadi
pendukung sistem ekonomi kapitalis sebagai hasil dari pembenaran diri mereka
akan usaha yang tidak sebanding dengan upah tersebut. Kemajuan pekerja ini
tentu bukan hadiah dari kaum pemilik modal, tetapi merupakan hasil perjuangan
para pekerja itu sendiri tanpa perlu melakukan revolusi. Oleh karena itu, apa yang
dikatakan Marx bahwa perbaikan sosial hanya bisa tercapai melalui revolusi itu
tidak benar. Hal yang benar adalah setiap perbaikan sosial harus diperjuangkan.
Selain itu, pandangan bahwa negara secara hakiki adalah negara kelas belum tentu
benar. Di negara yang tidak menganut sistem demokrasi hal itu memang terjadi.
Namun, di negara dengan sistem demokrasi, negara bukanlah negara kelas.
Semakin demokratis suatu negara maka negara tersebut semakin tidak menjadi
negara kelas.
Fetisisme Komoditas
Pada awalnya fetisisme (dari kata fetish) tidak bernuansa sensual, karena nuansa
fetish diciptakan oleh Freud dalam tulisannya. Sementara Marx menerangkan
tentang fetisisme sebelum tulisan Freud tersebut.
Marx merujuk pada kaum-kaum tertentu (biasa penganut agama tertentu) yang
memahat dan membuat patung dan kemudian menyembahnya, inilah yang
dimaksud Marx dengan fetish, sesuatu yang kita buat untuk diri kita sendiri, akan
tetapi sekarang kita menyembahnya, dan sekarang dia menjadi layaknya “dewa”.
Dewasa ini, gambaran fetisisme yang dikemukakan oleh Marx dapat dilihat
melalui media-media. Dimana ada individu di belakangnya yang berperan dalam
mengatur konten dan produksinya, diciptakan untuk kepentingan dirinya sendiri,
dipertontonkan pada khalayak publik, sehingga menciptakan sebuah realitas
tertentu. Ketika publik menerima realitas tersebut dan “termakan” oleh konten
yang ada, maka yang dijadikan komoditas bukan lagi konten dalam media
tersebut, tetapi publiklah yang menjadi komoditas itu sendiri. Pada akhirnya saat
publik menjadi komoditas, media memiliki peran kapitalis yang
memperdagangkan komoditasnya, yaitu publik. Contoh lain dari sisi kapitalis
dapat dilihat di mana kepemilikan media menurut data kepemilikan media 2015,
berjumlah 13 orang dari total seluruh media di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri
jika media memang selalu menghadirkan konten yang bertujuan untuk
kepentingan pemiliknya. Hasilnya adalah konglomerasi media, dan manipulasi
media dalam menciptakan kesadaran palsu.
Dalam proses penyebaran konten tersebut, media berperan sebagai jembatan yang
menghubungkan antara masyarakat dengan dunia luar. Hal ini dimanfaatkan oleh
media yang notabene memiliki akses informasi lebih untuk mengemas informasi,
ada beberapa oknum yang akhirnya menambah dan mengurangi data. Sampai
akhirnya media dengan sengaja melakukan aktivitas propaganda secara terus-
menerus. Dalam teori kultivasi, di mana menyebutkan efek jangka panjang
televisi pada penontonnya akan menciptakan sebuah realitas dalam pikiran
mereka. Memanfaatkan realitas ini, media turut menyiarkan konten-konten yang
bersifat “false” atau palsu. Ketika “kepalsuan” ini terus-menerus disiarkan, maka
akan menciptakan sebuah realitas yang turut “palsu”, hasilnya publik seperti
dicuci otak dan mempercayai realitas palsu ini, di mana disebut juga dengan
kesadaran palsu.
A. Definisi Pornografi
Namun representasi publik terhadap pornografi tidak bisa begitu saja dikatan
relatif karena persepsi dan kategori yang digunakan komunitas tertentu tidak
sepenuhnya relativis. Ada semacam acuan pada konsepsi umum mengenai seni,
misalnya, maksud pengarang/seniman dalam membuat sebuah karya seni, adanya
apresiasi karya seni yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan konsepsi moral
(menolak dehumanisasi dan pengobjekkan).
Dalam perdebatan publik, ada tiga alasan utama yang dikemukakan dalam
menolak pornografi, (1) perlindungan terhadap remaja atau anak-anak, (2)
mencegah perendahan martabat perempuan, (3) mencegah sifat subversif yang
cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat
(Haryatmoko,2003:7). Pornografi dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan
psiksis dan kekacauan perilaku pada anak-anak dan remaja. Pornografi cenderung
digunakan remaja sebagai pegangan perilaku seksualnya. Padahal aktivitas yang
menyangkut pornografi sama sekali tidak ada ungkapan rasa, mengabaikan afeksi,
dan mereduksi pasangan perempuan sebagai objek pemuasan diri.
1. Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”. Dalam kasus ini adalah
kebebasan untuk memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hal
seksualitas.
2. Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini sangat peduli
terhadap efek yang menimpa individu, dapat berupa kerugian fisik atau
psikologis.
3. Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan
setiap orang. Prinsip ini melihat pada kewajiban setiap orang untuk tidak
menjadikan orang lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya.
Dalam konteks ini, penilaian moral yang bertanggung jawab dengan berdasarkan
pada verifikasi, artinya bila dilihat dalam sudut logika, silogisme, premis minor,
selalu berhubungan dengan fakta. Jadi apa yang terkait dengan fakta harus bisa
dipertanggungjawabkan lewat proses verifikasi. Misalnya, harus dicek lebih dulu
dengan suatu penelitian bahwa menonton film porno dapat meningkatkan tingkat
perkosaan. Dalam teori peniruan, orang yang sering menonton konten pornografi,
semakin orang tersebut terdorong untuk memerkosa. Namun dalam teori catharis,
ketika seseorang semakin sering mengonsumsi pornografi, semakin orang itu
tidak ingin melakukan.
Dalam menghadapi ketiga masalah tadi, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah menentukan batas pornografi supaya masalah yang ada tidak dialihkan
menjadi masalah relativisme. Masalah pornografi bukanlah masalah relativis bila
mempertimbangkan empat hal berikut:
Dalam pornografi, gambar ingin memberikan semua yang ingin diketahui dan
langsung dimengerti tanpa harus lagi berpikir. Gambar yang ditayangkan harus
jelas dan sederhana, yang terpentingnya adalah harus sesuai dengan aslinya,
bahkan bisa lebih dari kenyataannya. Misalnya menonjolkan bagian tertentu dari
tubuh. Dalam pornografi, tidak ada konteks dan tidak ada tokoh subjek yang
sebenarnya sehingga tokoh yang dimaksud adalah fiktif dan tanpa identitas dan
sejarah. Pornografi mereduksi sesuatu yang hidup menjadi yang dapat
dimanipulasi.
Ketika seorang pasien laki-laki dimandikan oleh perawat, meski dalam keadaan
telanjang dan hanya berdua di kamar, kebanyakan pasien tidak mengalami ereksi
karena perawat mengalihkan perhatian dengan mengajak berbicara. Dalam kasus
tadi, ada ingatan, dan ada kehadiran orang lain yang tidak memungkinkan laki-
laki mendominasi. Analogi ini menjadi pelajaran bahwa keterlanjangan tidak
selalu mengancam moralitas karena ada konteks, ingatan, dan kisah. Dalam
pornografi, wacana kehilangan kemandiriannya karena hanya akan diperbudak
untuk merangsang hasrat seksual (Haryatmoko,2007: 99).
Ada empat dampak langsung ketika prinsip pornografi dilihat sebagai “semua
harus sangat kelihatan”, yaitu depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran,
tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka. Pertama, depersonalisasi tubuh
adalah hilangnya kepribadian tubuh dipahami sebagai upaya menarik keluar
semua hal yang merepresentasikan kepribadian seseorang. Pornografi
menampilkan wajah kekerasan seksualitas. Hubungannya jadi mengobjekkan,
yaitu suatu bentuk dominasi supaya tercapai fantasme. Kedua, tiadanya tuntutan
kebenaran disebabkan oleh gambar yang sudah memperlihatkan secara jelas
sehingga penonton tidak lagi harus menebak atau menafsirkan. Dengan demikian,
berkurang tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak yang tersembunyi.
Pada saat itu, proses pembodohan terjadi karena audiens tidak diajak untuk
berpikir sehingga yang diminta hanyalah menelan, mengonsumsi supaya hasrat
seks terangsang. Ketiga, tirani terhadap liyan terjadi karena subjektivitas liyan
dilucuti. Perjumpaan direduksi hanya sebagai hubungan dominasi. Dalam
hubungan semacam ini, yang dicari hanyalah kenikmatan diri. Keempat, estetika
buruk-muka sangat menonjol dalam pornografi. Ketelanjangan ditampilkan tanpa
keprihatinan sehingga obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan
keingintahuan yang membuat penonton tidak lagi memedulikan segi estetis.
http://4.bp.blogspot.com/-
pergerakan untuk mengekspresikan
_Yl1_L9mQJk/UlVziHE2YOI/AAAAA
AAAdRk/TJgPevKyo_Q/s1600/Shunga+
kehidupan masyarakat urban.
karya+seni+erotis+jepang-3.jpg
Semua erotisme selalu berisiko menjadi
pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme
dan pornografi, selain karena subjektivitas penilaian yang juga disebabkan oleh
ambiguitas karya tersebut. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah,
konteks, dan ingatan, yang akan menentukan kelembutan dan intensitas
representasi tubuh. Karya seni biasanya membiarkan dilihat tanpa perlu
menunjukkan diri. Kerentanan bereskpresi dalam seni yang menyelipkan erotisme
berasal dari penilaian moral. Bila kriteria moral menjadi dasar penilaian,
keindahan akan menjadi menakutkan dan mengancam.
Dinamika seni sangat sarat akan kontradiksi sehingga semua bentuk analisis dan
penilaian konseptual akan berunjung pada kekecewaan. Padahal seni terbuka pada
yang tak terkatakan dan tetap menyimpan kreativitas meski tidak terlihat secara
jelas. Seni mengajar sesatu, mempertajam cara pandang sehingga membantu
untuk memahami dunia secara lebih matang.
Setelah melihat secara lebih jeli batas-batas seni dan unsur yang mengarah pada
pornografi, pelarangan atau regulasi oleh negara. Lalu negara tidak terlalu
gegabah membuat regulasi yang dapat
membatasi kebebasan berkespresi atau hak
akan informasi. Namun saat ini lembaga
penyiaran seperti KPI mulai bertindak
membatasi konten-konten yang dirasa-rasa
mengandung pornografi. Namun regulasi
http://indonesia.coconuts.co/2016/02/01/n
etizen-heran-karena-shizuka-dari- tersebut dianggap terlalu bias batasannya
doraemon-kena-sensor-di-tv
sehingga media penyiar menyensor konten
yang seharusnya tidak perlu disensor. Misalnya sensor terhadap tokoh tupai
bernama Sandy di kartun Spongebob Squarepants yang menggunakan bikini.
Padahal adegan dan gambar Sandy tidak mengundang hasrat seksual. Akibat
penyensoran tersebut penonton menjadi risih dan malah tidak terhibur. Sampai
akhirnya kritik terhadap regulasi sensor itu ditulis oleh beberapa media,
khususnya media online seperti metrotvnews.com dan tempo.co dalam kanal
opininya.
Meski tujuan ini tampak luhur, campur tangan negara malah cenderung
memberatkan beberapa pihak. Pertama, tujuan tersebut mempertanyakan otonomi
moral. Kemampuan seseorang untuk menentukan yang baik dan jahat diragukan.
Padahal ketika masyarakat dilatih untuk berpikir kritis, sensor tidak terlalu
berlebihan seperti sekarang. Negara menjadi polisi moral yang mengawasi gerak-
gerik perilaku warganya, dan akan mencurigai semua bentuk hubungan orang
dewasa. Moralisme yang berlebihan akan membatasi kreativitas masyarakat
karena mobilitas individu amat dibatasi dan dikontrol. Kedua, prinsip subsidiaritas
tidak dihormati. Prinsip tersebut adalah bila individu atau kelompok yang lebih
kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa menyelesaikan, dan kelompok
yang lebih besar atau negara tidak perlu ikut campur. Diabaikannya prinsip ini
dapat melemahkan pran civil society dan inisiatif dari bawah. Ketiga, ada
kehendak mengontrol massa yang dianggap berbahata dengan melindungi dari
pengaruh gagasan jelek pornografi,
Bahaya kekerasan dalam media mempunyai alasan yang kuat, meskipun sering
lebih mencerminkan bentuk ketakutan daripada ancaman riil. Apa yang ditakutkan
ialah skenario penularan kekerasan dalam media menjadi kekerasan sosial riil.
Informasi tentang kekerasan juga bisa menambah kegelisahan umum sehingga
membangkitkan sikap represif masyarakat, alat penegak hukum.
Menurut hasil studi tentang kekerasan dalam media televisi di Amerika Serikat
oleh American Psychological Association pada tahun 1995, yang dikutip
Hrayatmoko dalam dalam bukunya, ada 3 kesimpulan menarik yang perlu
mendapat perhatian serius:
3. Dari dimensi estetika, bisakah ditentukan ukuran mana yang indah dan
mana yang jelek atau kumuh.
4. Dari dimensi moral, mana yang bisa dipercaya, diterima, dan berpengaruh
jahat.
Untuk bisa memahami kekerasan dalam media, orang perlu memahami bahwa
dalam media dikenal setidaknya tiga tipe dunia yaitu dunia riil, fiksi, dan virtual.
Oleh karena itu, kekerasan perlu dibedakan berdasarkan ketiga dunia tersebut.
Menurut Noel Nel (2003:38-41) ada tiga bentuk kekerasan yaitu pertama,
kekerasan-dokumen yang merupakan bagian dari dunia riil atau faktual; kedua,
kekerasan-fiksi yang menunjukkan kepemilikan pada dunia yang mungkin ada;
misalnya dalam kisah fiksi, film, kartun, komik, dan iklan; serta ketiga,
kekerasan-simulasi yang berasal dari dunia virtual seperti dalam video games dan
permainan online.
Kekerasan-Dokumen
Hubungan antara pemirsa dengan gambar ditata dengan teliti. Misalnya dalam
konteks jurnalistik, wartawan sangat memperhitungkan efek penerimaan seperti
ketidak-nyamanan dan menimbulkan efek traumatik, untuk mendapatkan hasil
yang diharapkan yaitu keberpihakan, dan kepedulian terhadap korban. Semua
tehnik presentasi digunakan dengan memberi ukuran yang tepat pada tema,
bentuk maupun estetikanya untuk maksud yang diharapkan. reportase langsung
memungkinkan untuk memperlihatkan kekerasan menggandakan gambar yang
mengejutkan sehingga perhatian pemirsa hanya tertuju pada titik-titik yang
meninggalkan trautisme. Pemilihan fokus yang memperlihatkan tangan
berlumuran darah itu mengundang simpati dan keberpihakan pemirsa kepada sang
demonstran.
Kekerasan-dokumen tidak harus berbentuk gambar atau foto, bisa juga dalam
tulisan. Misalnya yang sering terjadi di dalam peradilan lewat media. Ada
semacam proses peradilan melalui pemberitaan media yang merugikan kehidupan
pribadi/kelompok, atau berita yang menyudutkan. Mereka yang dicurigai bisa
diberitakan seakan-akan sudah menjadi terdakwa yang bersalah. Dengan
demikian, terjadi pergeseran dari lingkup pengadilan ke lingkup media. Media
menempatkan diri sebagai penyidik atau jaksa penuntut. Bahkan saksi penting
diwawancarai wartawan sebelum dimintai keterangan atau kesaksian oleh polisi
atau jaksa. Bahwa dalam hal ini, interview menggantikan proses interogasi, jajak
pendapat menggantikan kepututsan hukuman.
Di sisi lain, dengan hasil kerja wartawan jaksa atau polisi sering terbantu. Hanya
saja kalau berhubungan dengan kerahasiaan, pertanyaan wartawan kadang
mengganggu. Kadang pers juga dapat memengaruhi para saksi. Biasanya ancaman
yang ditebar ialah mengungkap kehidupan pribadi mereka. Pada kondisi ini,
media bisa mengorganisir diskusi dengan mewakili opini publik dan seakan-akan
ingin memaksakan opini itu ke jaksa. Dalam manuver seperti ini, asas praduga tak
bersalah telah dilanggar.
Acara infotainment pada hakikatnya mirip proses peradilan, tetapi dengan cara
masuk ke dalam wilayah pribadi. Atas nama hak akan informasi, wartawan
melanggar hak privasi seseorang dalam impunitas. Akhirnya, martabat seseorang
dilecehkan dan dilukai.
Kekerasan-fiksi
Saat ini kekerasan sudah melalui pemindahan ke lingkup cyber. Bahkan kekerasan
imajiner yang sulit dipercaya atau keterlaluan bisa dipresentasikan dalam layar
menjadi suatu tampilan fiksi yang menciptakan ilusi realitas. Kekerasan menjadi
semakin menarik karena terlindung dari dunia normal, dari hukum yang mengatur,
sehingga hasrat bisa tampil dalam kebersamaan dan saling membagikan
keinginan. Semua berlangsung dalam kerahasiaan, dan kekerasan bisa ditampilkan
semaunya.
Contoh dari kekerasan-simulasi biasa muncul pada video games maupun online
games seperti perang perangan. Pada simulasi tank yang melindas dan
menghancurkan musuh, maupun pada saat menembaki lawan, kekerasan
dirasakan ketika pemain game tersebut berteriak puas atau marah. Ada gairah
untuk bermain, dan ada kegelisahan emosional yang ditularkan oleh gambar video
games. Kekerasan pun menjadi struktur dasar permainan seperti memburu,
meremukkan, meruntuhkan, memusnahkan menjadi target utama yang membuat
para pemain menyukai permainan tersebut.
Permainan ini pun menawarkan kepada pemain suatu perjuangan mencapai tujuan
dengan mengalahkan mesin atau melawan manusia. Perjuangan dan pertarungan
menjadi unsur paling dominan. Makin tajam perjuangan atau pertempuran, makin
menarik permainan itu. Pemain selalu dituntut untuk melakukan satu hal : berpikir
cepat dan bergerak cepat. Bagi anak, permainan seperti ini melahirkan banyak
masalah psikologis seperti kegelisahan, kekecewaan, maupun kemarahan.
Orangtua dan pendidik sering sekali terbatas pengetahuannya untuk bisa
membantu anak keluar dari kecemasan mereka. Keterbatasan orangtua dan
pendidik inilah yang menjadi sebab mengapa mereka kurang perhatian terhadap
kekerasan media, serta kurangnya argumen dan penelitian akan regulasi tentang
kekerasan media.
Kekerasan Simbolik
Menurut Sophie Jehel (2003:109), ada empat faktor lain yang menyebabkan
banyak orang dewasa kurang perhatian terhadap masalah kekerasan dalam media.
Pertama, ketidaktahuan orang dewasa akan budaya orang muda. Mereka tidak
tahu berapa waktu yang dihabiskan orang muda/anak anak untuk media, sejauh
mana afeksi mereka terpengaruhi, dan jenis selera serta pengetahuan mereka.
Jurang generasi ini telah menjadi jurang budaya. Kedua, ada keyakinan kuat
bahwa kehadiran orang dewasa bisa memperbaiki situasi, padahal sering sudah
terlambat. Meskipun telah diketahui umum bahwa televise banyak menayangkan
acara kekerasan, keluarga tidak mampu mengendalikan anak dari melihatnya. Di
sekolah, guru butuh waktu untuk menyadari bahwa kekerasan di sekolah
merupakan akibat pengaruh tontonan TV atau media lain. Ketiga, faktor ideologi
mau menunjukkan bahwa semua bentuk pembatasan atau pelarangan akses orang
muda ke media akan dianggap sebagai reaksioner. Keempat, kesulitan
pendampingan karena ketidakmampuan orangtua (waktu, pengetahuan, dan
metode). Hal ini menjelaskan adanya semacam bentuk pengunduran diri orang tua
atau pendidik dari tanggung jawab pendidikan anak anak atau orang muda.
Contoh lainnya dalam media adalah kata atau julukan “pelacur” yang selalu
dilabeli kepada satu pihak saja yaitu perempuan. Padahal dalam tindakan
pelacuran, ada dua pihak yang terlibat. Disini kata “pelacur” yang disematkan
kepada perempuan secara tidak langsung membuat kaum perempuan dipandang
sebagai yang lebih rendah kedudukannya. Eksploitasi bentuk tubuh perempuan
secara visual untuk komersial juga merupakan kekerasan simbolik.
PEMBAHASAN
Kedua video yang telah beredar di Facebook telah dihapus oleh pengelola
Facebook. Namun file video porno tersebut sudah tersebar di berbagai situs
penyedia jasa unduh untuk siap digunakan. Berita mengenai ini akhirnya
diberitakan lebih dari sebulan dan ditayangkan tidak hanya di program gossip saja
melainkan di program berita televisi dan radio juga disiarkan.
Empat dasar metode dalam merekam jenis dan kejadian kekerasan di televisi:
Hasrandra, bocah kelas 1 SD Yayasan Islam Zaidar Yahya, meninggal dunia pada
30 April 2015. Awalnya pada bulan Februari, ia dan teman-temannya bermain
menirukan adegan silat di sinetron Tujuh Manusia Harimau. Randa sempat
dipukul oleh temannya menggunakan sapu dan dikeroyok, tetapi dalam konteks
bermain. Namun setelah kejadian itu, Randa menjadi menderita kelumpuhan
selama dua bulan dan akhirnya meninggal.
SOLUSI
Dalam kutipan tadi, hukum berfungsi sebagai pertahanan diri masyarakat dan
pemberlakuannya hanya akan sah bila tindakan seseorang mengancam atau
merugikan masyarakat. prinsip “tidak merugikan pihak lain” bukan dimaksudkan
untuk membiarkan tindakan itu, tetapi lebih ingin membuka pintu negosiasi guna
menetapkan garis pembatas antara wilayah sah menjadi ranah privat dan
pengaturan hukum pidana yang merupakan lingkup publik.
Tindakan represif hukum bisa dibenarkan bila dalam konteks ingin melindungi
eksploitasi pihak rentan seperti anak-anak dan orang muda. Jadi, fungsi hukum
bukan mencampuri urusan kehidupan pribadi warga ngeara dan bukan juga
memaksakan pola perilaku terhadap mereka. Dengan menghargai prinsip itu
berarti mendukung sikap toleransi dan melawan sikap represif yang akan semakin
membatasi pergaulan, kreativitas serta membuat hubungan masyarakat berpola.
Perlu dipertanyakan masalah definisi ranah privat. Hanya sekadar lingkup di luar
jangkauan pandangan publik atau yang menyangkut urusan pribadi masing-
masing. Bahwa di sini menjelaskan konsep ranah privat yang tidak boleh diurusi
oleh lembaga dan negara tanpa seizin orang yang bersangkutan. Tidak mudah
menggariskan pemisahan yang tegas antara ranah privat dan lingkup publik. Jadi
penelitian ilmiah yang serius diperlukan sebelum membuat undang-undang
pelarangan.
Dalam hal ini, KPI sebagai lembaga yang mengatur soal regulasi penyiaran dapat
memberikan tindakan tegas pada pelaku atau praktisi media yang ada. Namun
dalam regulasinya, KPI seakan-akan tidak memberikan batasan yang jelas
sehingga muncul terkaan dari para lembaga penyiaran terhadap kontennya.
DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis Suseno (2010). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama. p. 110-134.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Teori Sosiologi Klasik. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Wiwioho Joko. 1996 Edisi April. Kajian Yuridis Terhadap Keberadaan Konglomerasi di
Indonesia. Pusat Pengkajian Hukum dan Pembangunan.