Anda di halaman 1dari 10

HANDOUT

HAK SIPIL DAN POLITIK

A. Hak-hak Sipil dan Politik dalam Konteks Hak Asasi Manusia

Hak-hak sipil dan politik merupakan bagian integral dari sejarah hak asasi manusia.
Kelahiran Magna Charta1 (1215) yang diakui sebagai perintis awal diskursus hak asasi
manusia pada dasarnya menyentuh dimensi hak sipil dan politik, yakni perlindungan
individu (rakyat) atas kesewenang-wenangan penguasa. Kelompok hak ini juga mewarnai
munculnya Bills of Rights (1688) melalui dua ide besar2 yang terkandung di dalamnya,
yaitu:
a. Negara wajib melindungi warganya melalui produk hukum yang disusun oleh
legislatif dan terpisah dari pengaruh raja; dan
b. Diakuinya hak untuk tidak kehilangan kebebasan karena pengaturan yang begitu
ketat serta hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang kejam.

Untuk mendeskripsikan peran sentral hak-hak sipil dan politik dalam perkembangan hak
asasi manusia, Karel Vasak menggolongkan kelompok hak ini sebagai generasi pertama hak
asasi manusia3 yang lahir sebagai respon atas kekuasaan absolut yang dimiliki negara. Ia
bertujuan untuk memberikan perlindungan atas integritas individu yang berdaulat atas
dirinya sendiri dan melihatnya sebagai manusia seutuhnya.4

Dalam perkembangan lebih lanjut, penerimaan formal atas sebuah konsep hak-hak sipil
dan politik baru terjadi ketika pengesahan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration on Human Rights) pada 10 Desember 1948. DUHAM memberikan
landasan esensial bagi hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar serta memuat mimpi
besar untuk menciptakan kondisi di mana setiap individu dapat secara bebas menikmati

1
Ottenberg, Louis. “Magna Charta documents: The story behind the great charter” dalam American Bar Association Journal,
(hlm. 43(6), 495-498 & 569-572).
2
Marzuki, Suparman. 2010. Politik Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada Era Reformasi: Studi tentang
Penegakan HAM dalam Penyelesaian HAM Masa Lalu. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia..
3
Generasi pertama hak asasi manusia terdiri dari hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari
penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan
menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari
hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. Ibid. Baca juga Karel Vasak, “A 30-Year Struggle:
The Sustained Efforts to Give Force of Law to the Universal Declaration of Human Rights”, Unesco Courier, November, 1977,
hlm. 29-32.
4
Rhona K. M. Smith et al. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia (hlm. 15). Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (PUSHAM UII)..
hak-hak sipil dan politik sesuai dengan ketentuan-ketentuan internasional.5 Hanya saja, di
dalam dokumen ini, hak asasi manusia diakui sebagai sebuah sistem tanpa memisahkan
konteks pembagian sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.6

Setelah menjalani proses pembahasan yang sedemikian intensif7, Majelis Umum


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil mengesahkan Kovenan Internasional
mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights/ICCPR) berikut Protokol Opsional-nya pada tanggal 16 Desember 1966. Seperti
halnya semangat yang melatarbelakangi pengesahan Magna Charta dan Bill of Rights,
ICCPR mengatur pembatasan kewenangan yang memungkinkan Negara-negara Pihak
melaksanakan tindakan represif terhadap individu.8 Hal ini juga yang membuat hak-hak
yang terkandung di dalam ICCPR dikategorikan sebagai hak-hak negatif (negative rights).
Justru ketika negara melakukan intervensi dalam level yang seminimal mungkin,
pemenuhan hak-hak sipil dan politik akan berada pada tingkat yang baik.9

Dilihat dari substansi yang diatur, hak-hak yang diatur di dalam ICCPR dapat terbagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu hak-hak yang bersifat non-derogable, dan hak-hak yang
bersifat derogable. Pada kelompok hak dengan jenis non-derogable, hak-hak ini bersifat
absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun oleh Negara
Pihak.10 Prinsip ini harus selalu diperhatikan dan diimplementasikan meski terjadi
keadaan darurat sekalipun.11 Termasuk di dalam kelompok ini, antara lain:
a. Hak hidup (rights to life);
b. Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);

5
United Nations, Universal Declaration on Human Rights, 10 Desember 1948.
6
Pembagian hak asasi manusia ke dalam kelompok-kelompok tersebut menjadi sebuah keharusan mengingat instrumen-
instrumen hak asasi manusia internasional yang berkembang setelah pengesahan DUHAM mengatur dua jenis kelompok hak
tersebut, yakni hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Baca Smith, op.cit., hlm. 35.
7
Ifdhal Kasim menilai ICCPR sebagai produk kompromi yang keras antara negara blok sosialis melawan negara blok kapitalis
yang memengaruhi proses pembahasan instrumen hak asasi manusia di level internasional. Pada praktiknya, rencana untuk
menggabungkan dua kelompok besar hak asasi manusia, yaitu hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya,
berubah menjadi pemisahan ke dalam dua kovenan. Itulah mengapa ICCPR dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR) dianggap sebagai
„anak kembar yang terpisah‟. Ifdhal Kasim (1). 2007. “Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik: Sebuah Pengantar” dalam Seri
Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 (hlm. 1). Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2007).
8
Ibid., hlm. 2.
9
Pengaturan yang demikian membuat karakter hak-hak dan kebebasan yang memiliki dimensi sipil dan politik berbeda dari hak-
hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam rangka pemenuhan kelompok hak yang terakhir ini, negara dituntut dapat memberikan
dan menyediakan berbagai instrumen, tata laksana, dan berperan aktif dalam memastikan terlaksananya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak tersebut. Hal ini yang disebut sebagai hak-hak positif (positive rights). Ibid.
Namun demikian, dalam perkembangannya, pembedaan hak positif dan hak negatif perlu dikaji ulang. Dalam kasus hukuman
mati, misalnya, negara tidak dibenarkan untuk tidak melakukan apa pun setelah melakukan ratifikasi terhadap ICCPR. Negara
justru harus berperan aktif untuk melindungi hak hidup, baik dalam konteks legislasi, maupun dalam proses peradilan pidana.
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
c. Hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery);
d. Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang);
e. Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut;
f. Hak sebagai subjek hukum; dan
g. Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan agama.12

Di sisi lain, pada kelompok hak yang bersifat derogable, Negara Pihak dibenarkan untuk
mengurangi atau melakukan reservasi atas pemenuhan hak tersebut.13 Yang termasuk ke
dalam kelompok hak ini, antara lain:
a. hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
b. hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat
buruh; dan
c. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan
mencari, menerima, dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa
memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).

Pilihan-pilihan tersebut baru dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang
dihadapi serta tidak bersifat diskriminatif14 atau ditujukan untuk:
a. menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas
umum; dan
b. menghormati hak atau kebebasan orang lain.15

Mengingat ketentuan ini membuka peluang dilakukannya penyesuaian-penyesuaian oleh


Negara Pihak secara tidak tepat, ICCPR menggariskan dengan tegas bahwa siapapun tidak
dibenarkan untuk “melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasinya lebih
daripada yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini”.16

Selain mengatur mengenai hak-hak di bidang sipil dan politik, ICCPR juga melekatkan
kewajiban bagi Negara Pihak untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui
dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah
dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa memberikan perlakuan yang bersifat diskriminatif.17
Selanjutnya, apabila Negara Pihak belum mengatur hak-hak yang terkandung di dalam

12
Ibid.
13
Ibid.
14
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Art. 4 (1).
15
Kasim (1), loc.cit.
16
ICCPR, Art. 5 (1).
17
Ibid., Art. 2 (1).
ICCPR dalam ketentuan perundang-undangannya, maka menjadi sebuah kewajiban untuk
segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengakui hak-hak tersebut,
baik di level legislasi maupun pada tataran kebijakan.18 Mengingat sifatnya yang harus
dilaksanakan sedemikian cepat, Ifdhal Kasim menilai kewajiban-kewajiban ini bersifat
mutlak, dan oleh karenanya hak-hak yang diatur oleh ICCPR ini dapat diperjuangkan di
muka pengadilan (justiciable).19

Tidak hanya berhenti pada pengakuan dan jaminan perlindungan hak, Negara Pihak juga
diwajibkan mengatur skema pemulihan bagi korban pelanggaran hak dan/atau kebebasan
secara efektif. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) ICCPR yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:

“Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji:


a. Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya yang diakui
dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif,
walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak
dalam kapasitas resmi;
b. Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus
ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif
yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem
hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya
penyelesaian peradilan;
c. Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan
penyelesaian demikian apabila dikabulkan.”20

B. Ruang Lingkup dan Dinamika Pelaksanaan Hak-Hak Sipil dan Politik di


Indonesia

Sebagai salah satu Negara Pihak yang telah melakukan ratifikasi terhadap ICCPR 21,
Indonesia wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak sipil dan politik yang
diatur Kovenan tersebut. Dalam dokumen ICCPR, rincian hak dan kebebasan yang dijamin
untuk setiap individu terdiri dari:

18
Ibid., Art. 2 (2).
19
Kasim (1), op.cit., hlm. 3.
20
ICCPR, op.cit., Art. 2 (3).
21
Ratifikasi Indonesia terhadap ICCPR dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik) pada 28 Oktober 2005. Ratifikasi ini
juga diikuti dengan deklarasi yang dilakukan terhadap Pasal 1 ICCPR mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri (rights of
self-determination) yang tidak berlaku untuk bagian rakyat dalam suatu negara merdeka yang bedaulat dan tidak dapat diartikan
sebagai mensahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang akan memecah belah atau merusak, seluruh atau sebagian, integritas
wilayah atau kesatuan politik negara berdaulat dan merdeka.
Pengaturan di
No Jenis Hak
dalam ICCPR
1 Hak hidup Pasal 6 ICCPR
2 Hak bebas dari penyiksaan Pasal 7 ICCPR
3 Hak bebas dari perbudakan Pasal 8 ICCPR
4 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi Pasal 9 ICCPR
5 Hak-hak tahanan Pasal 10 ICCPR
6 Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi Pasal 11 ICCPR
perjanjian (utang)
7 Kebebasan untuk berpindah dan memilih tempat tinggal bagi Pasal 12 ICCPR
penduduk yang sah
8 Hak-hak orang asing Pasal 13 ICCPR
9 Hak atas peradilan yang adil Pasal 14 ICCPR
10 Hak untuk tidak dinyatakan bersalah melakukan tindak Pasal 15 ICCPR
pidana karena melakukan, atau tidak melakukan tindakan
yang bukan merupakan tindak pidana pada waktu perbuatan
dilakukan
11 Hak untuk diakui sebagai subjek hukum Pasal 16 ICCPR
12 Hak untuk bebas dari campur tangan secara sewenang- Pasal 17 ICCPR
wenang atau tidak sah
13 Hak atas kebebasan berpikir, memeluk agama, dan Pasal 18 ICCPR
berkeyakinan
14 Hak untuk bebas berpendapat tanpa campur tangan Pasal 19 ICCPR
15 Larangan menyebarkan propaganda untuk tujuan perang Pasal 20 ICCPR
16 Hak untuk berkumpul secara damai Pasal 21 ICCPR
17 Hak atas kebebasan berserikat dengan orang lain Pasal 22 ICCPR
18 Hak untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk Pasal 23 ICCPR
keluarga
19 Hak-hak Anak Pasal 24 ICCPR
20 Hak atas partisipasi di bidang politik Pasal 25 ICCPR
21 Persamaan kedudukan di hadapan hukum Pasal 26 ICCPR
22 Hak-hak kelompok minoritas Pasal 27 ICCPR

Tabel 1. Rincian Hak dan Kebebasan yang diatur ICCPR

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, selalu terjadi dinamika yang terkait erat dengan
kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapi Indonesia. Hukuman mati merupakan
contoh konkret untuk menggambarkan dinamika implementasi hak sipil dan politik di
Indonesia. Sebagai salah satu jenis hak yang bersifat non-derogable, Pasal 6 ayat (1) ICCPR
telah menegaskan bahwa hak hidup melekat pada setiap individu yang harus dilindungi
oleh hukum dan tidak satu orang pun berhak untuk dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang. Akan tetapi, sebagai sebuah pilihan penjatuhan hukuman, meskipun
pengambilan keputusan tidak disetujui seutuhnya22, Indonesia masih menganggap
hukuman mati sejalan dengan nilai-nilai konstitusi setelah diucapkannya putusan
Mahkamah Konstitusi pada perkara pengujian Undang-undang Nomor 2-3/PUU-V/2007.
Salah satu argumen mendasarnya adalah bahwa hak untuk hidup pada UUD 1945 tidak
melarang hukuman mati yang diatur berdasarkan undang-undang, telah menjalani proses
hukum yang adil, dan hanya diperuntukkan bagi kejahatan yang serius.23

Akan tetapi, nuansa perlindungan sipil dan politik dalam kasus-kasus hukuman mati justru
memunculkan diskusi berbeda mengenai aspek kemanusiaan atas jaminan hak untuk
hidup bagi setiap individu.24 Ketika ICCPR menyiratkan jaminan perlindungan anak
mengingat statusnya sebagai anak di bawah umur melalui Pasal 24-nya, Yusman
Telaumbanua justru menghadapi kenyataan pernah divonis pidana mati oleh Pengadilan
Negeri Gunungsitoli25 pada kasus pembunuhan berencana, meskipun dirinya belum genap
berusia 18 tahun,26 ada indikasi penyiksaan, serta banyak kejanggalan di dalam
penanganan kasusnya.27

Di sisi lain, Humphrey Ejike Jefferson, seorang warga negara Nigeria, juga dihukum mati
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat28 di mana terdapat indikasi diskriminatif dan bias
terhadap ras (orang kulit hitam) dari hakim yang dituangkan di dalam pertimbangan
putusan, yang berbunyi sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa hal lainnya orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria
sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian, karena ada dugaan mereka sering
melakukan transaksi penjualan jenis narkotika di wilayah Republik Indonesia yang
dilakukan secara rapi dan terselubung.”29

22
Pengambilan keputusan di sini dimaksudkan untuk membahas proses pembahasan dalam permusyawaratan hakim. Empat
orang hakim konstitusi, yaitu Harjono, Roestandi, Laica Marzuki, dan Maruara Siahaan memiliki pendapat yang berbeda dengan
pertimbangan yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi. Baca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007.
23
Ibid.
24
Baca Unfair Trial: The Analysis of Death Penalty Cases in Indonesia”, HATI (Coalition on Anti-Death Penalty) – Imparsial,
2016.
25
Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli dengan nomor register 8/PID/B/2013/PN-GST. Pada perkembangan berikutnya,
Mahkamah Agung membatalkan vonis tersebut dalam putusan Nomor 96 K/PID/2016.
26
Ada dugaan rekayasa umur Yusman Telaumbanua oleh penyidik pada saat melakukan proses penyidikan. Baca Putri, Restu
Diantina. “Vonis Mati untuk Bocah Telaumbanua”. https://tirto.id/vonis-mati-untuk-bocah-telaumbanua-cKi5, diakses pada 20
Februari 2019.
27
Ibid.
28
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register 2152/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst.
29
Ibid., hlm. 7.
Senada dengan dinamika yang terjadi pada hak hidup di atas, penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak untuk berserikat pada Pasal 22 ICCPR juga masih memiliki beberapa
catatan. Protes yang dilakukan oleh aktivis serikat buruh di perusahaan tidak jarang
berujung pada pemecatan pekerja. Selanjutnya, ketika diselesaikan melalui mekanisme
yudisial, alih-alih mempertimbangkan hak untuk berserikat, vonis yang dijatuhkan majelis
hakim justru berupa pemutusan hubungan kerja yang didasarkan pada adanya
ketidakharmonisan dan tidak ada kerjasama yang baik antara perusahaan dan pekerja
yang bersangkutan.30

Perkembangan menarik justru terjadi pada hak untuk memeluk agama dan berkeyakinan.
Sejumlah kasus intoleransi terhadap jemaah Ahmadiyah Indonesia menjadi sebuah catatan
penting untuk mendiskusikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak ini. Pada
Juni 2017, misalnya, Pemerintah Kota Depok kembali melakukan penyegelan terhadap
tempat beribadah jemaah Ahmadiyah di Sawangan, yaitu Masjid Al-Hidayah.31 Tindakan
tersebut dilakukan sebagai respons atas banyaknya keluhan masyarakat mengenai
aktivitas jemaah Ahmadiyah dan meminimalkan potensi konflik di wilayah ini. 32 Oleh
Pemerintah Kota Depok, penyegelan masjid ini bukan merupakan tindakan yang
diskriminatif, melainkan sebagai bentuk tindak lanjut dari berbagai peraturan yang telah
melarang aktivitas peribadatan jemaah Ahmadiyah33, baik di level nasional34 maupun di
level daerah.35 Akan tetapi, tidak sedikit kalangan yang mengecam langkah Pemerintah
Kota Depok tersebut karena dianggap secara nyata telah mengurangi dan mengancam
kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin oleh ICCPR, UUD NRI Tahun
1945, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.36

Narasi positif atas kebebasan beragama dan berkeyakinan justru dimunculkan oleh
Mahkamah Konstitusi pada perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016. Dalam pertimbangannya,
Mahkamah Konstitusi memberikan penegasan bahwa Negara wajib memberikan perlakuan
yang sama bagi penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat

30
Putusan Mahkamah Agung Nomor 299 K/Pdt.Sus/2012.
31
Tirto.id. Aziz, Abdul. “Kasus-Kasus Intoleransi yang Menimpa Ahmadiyah”. https://tirto.id/kasus-kasus-intoleransi-yang-
menimpa-ahmadiyah-cp4V, diakses pada 26 Maret 2019.
32
Ibid.
33
Tempo.co. Tanpa Nama. “Segel Markas Ahmadiyah, Wali Kota Depok: Sudah Sesuai Aturan”.
https://metro.tempo.co/read/881405/segel-markas-ahmadiyah-wali-kota-depok-sudah-sesuai-aturan, diakses pada 26 Maret 2019.
34
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008;
Nomor KEP-033/JA/A6//2008; Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat;
35
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat,
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pejabat Penyidik Negeri Sipil dan Peraturan Wali Kota Depok
Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Depok.
36
Aziz, loc.cit.
menikmati kebebasan berkeyakinan dalam praktik sehari-hari.37 Pada pembahasan yang
lebih fundamental, Mahkamah Konstitusi menilai kebebasan beragama dan berkeyakinan
tidak boleh ditafsirkan sebagai penghormatan atas agama yang diakui oleh Negara.38 Oleh
karenanya, pembedaan elemen data kependudukan seperti yang diatur di dalam Pasal 61
ayat (1), dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan merupakan pembatasan hak yang tidak didasarkan pada
alasan konstitusionalitas, dan dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi atas warga
negara penghayat kepercayaan.39

37
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, hlm. 149-150.
38
Ibid., hlm. 150-151.
39
Ibid., hlm. 152-153.
REFERENSI

Aziz, Abdul. Kasus-Kasus Intoleransi yang Menimpa Ahmadiyah. https://tirto.id/kasus-


kasus-intoleransi-yang-menimpa-ahmadiyah-cp4V. Diakses pada 26 Maret 2019.

Kasim, Ifdhal (1). 2007. “Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik: Sebuah Pengantar” dalam Seri
Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat.

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2008; Nomor KEP-033/JA/A6//2008; Nomor 199 Tahun
2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat

Marzuki, Suparman. 2010. “Politik Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada Era
Reformasi: Studi tentang Penegakan HAM dalam Penyelesaian HAM Masa Lalu”.
Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Ottenberg, Louis. “Magna Charta documents: The story behind the great charter” dalam
American Bar Association Journal (43(6):495-498 & 569-572).

Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pejabat Penyidik Negeri Sipil

Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaah
Ahmadiyah di Jawa Barat

Peraturan Wali Kota Depok Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Jemaah Ahmadiyah
Indonesia di Depok.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 299 K/Pdt.Sus/2012.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 96 K/PID/2016.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register


2152/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst.

Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli dengan nomor register 8/PID/B/2013/PN-GST.

Tirto.id. Putri, Restu Diantina. Vonis Mati untuk Bocah Telaumbanua. https://tirto.id/vonis-
mati-untuk-bocah-telaumbanua-cKi5. Diakses pada 20 Februari 2019.
Smith, Rhona K. M. et al. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII).

Tempo.co. Tanpa Nama. “Segel Markas Ahmadiyah, Wali Kota Depok: Sudah Sesuai Aturan”.
https://metro.tempo.co/read/881405/segel-markas-ahmadiyah-wali-kota-depok-
sudah-sesuai-aturan. Diakses pada 26 Maret 2019.

United Nations, Universal Declaration on Human Rights

United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Vasak, Karel. 1977. “A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the
Universal Declaration of Human Rights” dalam Unesco Courier (hlm. 29-32).

Anda mungkin juga menyukai