Anda di halaman 1dari 92

A.

Latar Belakang

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di


dalam Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Sebagai negara hukum, negara dalam hal ini pemerintah
sebagai penyelenggara negara maupun lembaga-lembaga negara lainnya
di dalam melaksanakan tindakan apapun harus didasarkan hukum atau
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut Sri Soemantri ,
Suatu negara hukum harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :

1) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus


berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.

2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).

3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.

4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.

Berdasarkan pendapat tersebut kita bisa melihat bahwa salah satu


unsur negara hukum yaitu adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM). Hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak dasar ini tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh
siapapun. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak ini, harus diungkap dan
ditelusuri sehingga hak-hak korban yang telah hilang tersebut bisa
dikembalikan kepada keadaan semula.

1
Perhatian yang besar terhadap masalah Hak Asasi Manusia ini
ditunjukkan pula dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan keluarnya
UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu.

Namun di dalam praktiknya, upaya pemerintah meminta


pertanggungjawaban kejahatan kemanusian oleh rezim masa lalu itu
melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, sebagaimana telah
dilakukan dalam kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, ternyata tidak
sesuai harapan, bahkan mengecewakan. Peradilan itu dinilai sekadar
sandiwara politik belaka, jauh dari spirit keadilan, jauh dari semangat
untuk menciptakan masa depan Indonesia yang ditegakkan atas nilai-nilai
keadilan, khususnya bagi korban dan keluarganya.

Kekecewaan pada mekanisme legal (Peradilan Hak Asasi Manusia Ad


Hoc) itu menguatkan desakan agar penyelesaian pelanggaran hak asasi
manusia masa lalu dilakukan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (yang selanjutnya akan disebut dengan KKR), sebagaimana
pernah digunakan di sejumlah negara di Eropa, Afrika, Asia dan Amerika
Latin.4 Adanya peluang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
sebagaimana dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus dipandang sebagai
alternatif lain yang lebih memberikan keadilan kepada masyarakat
khususnya para korban dan pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
itu sendiri.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan suatu


Undang-Undang dimaksudkan sebagai lembaga ekstra yudisial yang
bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan menyingkirkan
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada
masa lampau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan
melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai
bangsa (Penjelasan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000).

Melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini pula


diharapkan bisa menjadi alternatif lain untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang mengalami kebuntuan
seperti kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok (12 September
1984), kasus pelanggaran HAM berat di Aceh semasa penerapan
kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989 – 1999, dan
berbagai kasus lainnya yang telah menjadi catatan kelam dalam sejarah
penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak yang lahir serta melekat


pada setiap insan manusia yang harus dijunjung tinggi,
dihargai, dihormati demi tercapainya hak tertinggi dari harkat
3
dan martabat, kesejahteraan kebahagiaan dan kecerdasan serta
keadilan bagi seluruh masyarakat di Indonesia.
Menurut John Locke (29 Agustus 1632 –28 Oktober 1704)
merupakan hak dasar yang bersifat kodrati dan diberikan
langsung oleh Tuhan selaku maha pencipta kepada setiap
manusia. Mariam Budihardjo dalam Wirman Burhan (2016: 46),
menjelaskan pengertian hak asasi manusia merupakan hak yang
diperoleh dan dibawa oleh tiap manusia secara kodrati, dan hak
asasi manusia tersebut diperoleh tanpa adanya perbedaan bangsa,
ras, agama serta jenis kelamin seseorang yang bersifat asasi dan
universal sehingga dengan adanya hak asasi manusia tiap orang
berhak untuk memperoleh kesempatan untuk terus berkembang
sesuai dengan bakat dan cita-citanya.

Sementara menurut Muladi (2002: 56), hak asasi


manusia sejatinya merupakan hak yang melekat secara alami
pada tiap jiwa manusia yang dibawa semenjak lahir, serta
tanpa adanya hak asasi manusia tersebut manusia tidak dapat
tumbuh dan berkembang secara utuh yang dikarenakan
dengan keberadaan hak asasi manusia merupakan sangatlah
penting dan tanpa adanya hak tersebut manusia tidak dapat
berkembang dalam mendapatkan kebutuhan dan bakatnya.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999


tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekatpada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA

1. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia


Internasional
Awal mula adanya hak asasi manusia ditandai dengan
timbulnya kesadaran masyarakat atas kesewenangan
pemerintahan pada masa lampau yang sudah tidak dapat di
apertahankan lagi, timbulnya rasa kesengsaraan, kepedihan serta
kesewenang-wenangan atas akibat dari tindakan-tindakan
pemerintah yang berada diluar batas kemanusiaan. Atas dasar
ketidakmanusiaan tersebut, masyarakat mulai sadar bahwa setiap
manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai hak dan kewajiban yang sama, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun pengaturan atau yang mengatur hidup sendiri.

Kesadaran terhadap pengakuan pada hak-hak asasi manusia


sudah mulai tumbuh semenjak 600 tahun sebelum Masehi (zaman
Mesir kuno). Saat itu, Socrates dan Plato selaku peletak dan
pelopor atas hak dasar pengakuan hak asasi manusia mulai
mengajarkan bagaimana cara untuk mengkritik
pemerintah/penguasa yang tidak berdasarkan perikemanusiaan,
keadilan serta kesejahteraan bagi masyarakat.

5
Di dalam peradaban Islam juga dikenal dengan hadirnya
Piagam Madinah yang dibentuk serta disepakati oleh Nabi
Muhammad SAW dengan para penduduk Kota Madinah. Pada
Piagam Madinah tersebut berisi perjanjian serta kesepakatan yang
berisi pengakuan bahwa setiap orang/manusia yang tinggal di kota
Madinah adalah sama dan memiliki hak serta kewajiban yang
sama antara Nabi Muhammad, Kaum Muhajirin, Kaum Anshar,
Komunitas Yahudi serta suku-suku lain seperti Suku Auz dan
Suku
Khazraj yang berada di kota Madinah sehingga mereka
yang membuat perjanjian dan kesepakatan tersebut bersepakat
untuk saling memberikan perlindungan antara satu kelompok
dengan kelompok yang lain. Anti diskriminasi yang menjadi isu

HAM, sebenarnya telah ditunjukkan dalam ajaran Islam,


sebagaimana wahyu Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:
Artinya: hai orang-orang yang beriman sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulai diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.

Perkembangan penting pada perumusan ide pokok dari


hak asasi manusia di dunia adalah sebagai berikut.Pertama,
pada 15 Juni 1215 munculnya perjanjian Magna Charta, dalam
perjanjian ini merupakan bagian dari pemberontakan para baron
terhadap para raja. Adapun isi dari pada dokumen adalah
hendaknya raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak
milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyatnya.

Kedua,di tahun 1628 terbitnya Bill of Right pada dokumen

7
tersebut memuat tentang penegasan serta pembatasan terhadap
kekuasaan raja serta dihilangkannya hak raja untuk
melaksanakan kekuasaan terhadap siapa pun, atau untuk
memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan tentara kepada
siapa pun tanda adanya dasar hukum.

Ketiga, lahirnya The Declaration of Independence atau dikenal


dengan istilah Deklarasi Kemerdekaan pada tanggal 6 Juli 1776.
Dalam dokumen
deklarasi kemerdekaan ini memuat tentang penegasan bagi
setiap orang yang dilahirkan dalam persamaan dan
kebebasan dengan mendapatkan hak untuk hidup, mengejar
kebahagiaan dan mendapatkan keharusan mengganti
pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan
dasar tersebut.

Keempat, munculnya Declaration of The Right of Man


and The Citizen (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga
Negara) di Perancis pada tanggal 4 Agustus 1978 yang
menitikberatkan lima hak asasi, yaitu: hak atas kepemilikan
harta, hak atas kebebasan, hak atas persamaan, hak atas
keamanan dan hak atas perlawanan dan penindasan.

Sejarah perkembangan hak asasi manunia zaman modern,


selalu dikaitkan dengan perang dunia pertama pertama ataupun
kedua.Pada zaman perang dunia yang pertama. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:

a) Sebelum perang dunia II

Sebelum perang dunia ke II, beberapa perkembangan


dalam hukum internasional yang patut di catat sebagai tonggak
penting dalam perkembangan hak asasi manusia internasional
diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional


Tradisional

9
Pada awal pertumbuhannya, hukum internasional hanya
merupakan hukum yang mewadahi pengaturan tentang
hubungan antara negara-negara belaka.Subyeknya
sangateksklusif, yakni hanya mencakup negara. Entitas- entitas
yang lain, termasuk individu,hanya menjadi objek dari sistem
itu,atau penerima manfaat (beneficiary) dari sistemtersebut.
Individu, sebagai warga negara, tunduk sepenuhnya kepada
kewenangannegaranya. Dalam arti ini, negara tentu dapat saja
membuat ketentuan-ketentuan demikepentingan warga
negaranya (individu), namun ketentuan-ketentuan semacam itu
tidakmemberikan hak-hak substantif kepada individu yang
dapat mereka paksakan melaluiprosedur pengadilan. Negara-lah
yang membela hak atau kepentingan warga negaranyaapabila
mendapat perlakuan yang bertentangan dengan aturan atau
perlakuan semenamenadarinegaralainnya.

Apa yang dikatakan di atas dikenal dengan doktrin


perlindungan negara terhadap orang asing atau disebut dengan
istilah state responsibility for injury to alliens, yang dikenal
dalam hukum internasional ketika itu. Berdasarkan doktrin
hukum internasional itu, orang-orang asing berhak mengajukan
tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar
aturan.Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang asing mengalami
perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, dan
negara tersebut tidak mengambil tindakan apapun atas
pelanggaran itu. Doktrin perlindungan negara terhadap orang
asing tersebut, khususnya mengenai standar minimal dan
kesamaan perlakuan, kemudian diambil alih oleh
perkembangan- perkembangan dalam hukum hak asasi manusia
internasional. Meskipun tujuan utama klaim negara semacam
itu bukanlah untuk mendapatkankompensasi bagi warga
negaranya yang dirugikan, melainkan untuk membela hak-hak
negara itu sendiri yang secara tidak langsung telah dilanggar
melalui perlakuan yang buruk terhadap warga negaranya.

1) Doktrin Intervensi Kemanusiaan

Doktrin intervensi kemanusiaan merujuk pada


11
doktrin yang menegaskan bahwa suatu negara dapat
mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk
atau sebagian penduduknya yang berada di negara lain
jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka
secara semena-mena.

2) Penghapusan perbudakan

Gerakan penghapusan perbudakan itu juga dilandasi oleh


motif kepedulian kemanusiaan yangbesar. Praktek perbudakan
mula-mula
dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan
Perancis, namum selang 50 tahun kemudian, Akta Umum
Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika
menyatakan bahwa perdaganganbudak dilarang berdasarkan asas-
asas hukum internasional.

Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan


budak itu terusberlanjut sepanjang abad 20. Liga Bangsa-Bangsa
mengesahkan Konvensi PenghapusanPerbudakan dan
Perdagangan Budak pada tahun 1926, dan melarang
praktekperbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan
Turki yang berada di bawah Sistem Mandat (Mandates
System)Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I.Konvensi
1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama
yang melarangpraktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah
diamandemen dengan suatu Protokolpada tahun 1953, dan pada
tahun 1956 ditambah dengan suplemen mengenai definisi
tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman
modern.

4) Pembentukan Palang Merah Internasional

Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan


internasional pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan
Komite Palang Merah Internasional (1863), danikhtiar organisasi

13
itu dalam memprakarsai dua konvensi internasional untuk
melindungikorban perang dan perlakuan terhadap tawanan
perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa. Prakarsa dan
usaha-usaha Palang Merah Internasional ini berlanjut
melewatidua perang dunia dan sesudahnya. Organisasi
internasional ini telah mensponsori sejumlah konvensi yang tidak
semata-mata menangani status dan perlakuan terhadappara
prajurit yang berperang, tetapi juga perlakuan terhadap penduduk
sipil pada masa perang dan
pembatasan terhadap cara-cara berperang (conducts of war).
Singkatnya organisasi internasional ini telah berjasa
melahirkan apa yang sekarang kita kenal dengan hukum
humaniter internasional (international humanitarian law).

1) Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa.

Peristiwa lainnya yang memberikan pengaruh besar


bagi perkembangan hak asasi manusia internasional adalah
dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations)
melalui Perjanjian Versailles segera setelah berakhirnya
Perang Dunia ke 1. Adapun tujuan utama Liga tersebut
adalah untuk memajukan kerjasama serta tercapainya dan
keamanan internasional.

a) Setelah perang dunia ke-II

Doktrin dan kelembagaan hukum internasional yang


dipaparkan di atas telah ikut mendorong perubahan yang radikal
dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status individu
sebagai subyek dalam hukum internasional.Individu tidak lagi
dipandang sebagai obyek hukum internasional, melainkan
dipandang sebagai pemegang hak dan kewajiban. Dengan status
ini, maka individu dapat berhadapan dengan negaranya sendiri di
hadapan Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa Bangsa. Perubahan ini dipercepat dengan meledaknya
Perang Dunia II yang memberikan pengalaman buruk bagi dunia
internasional. Agar tidak mengulangi pengalaman yang sama,
15
masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir
dalam bentuk norma, doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum
internasional. Berikut ini akan dibahas norma, doktrin, dan
kelembagaan hukum internasional yang lahir pada periode pasca
Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia
internasional.
1) Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan pada tahun


1945 sebagai pengganti dari Liga Bangsa-Bangsa.
Terbentuknya Perserikatan Bangsa- Bangsa dikarenakan oleh
situasi kekejaman dari Perang Dunia ke 2 dan korban
Sosialisme Nasional (Manfred Nowak. 2003: 73). Adapun
tujuan utama dari pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa
adalah agar tercapainya tujuan dari menjaga perdamaian
keamanan internasion, serta kerja sama internasional,
mempromosikan dan memajukan penghormatan hak asasi
manusia serta kebebasan fundamental.

2) The International Bill of Human Rights

International Bill of Human Rights adalah istilah yang


digunakan untuk menunjuk pada tiga instrumen pokok hak
asasi manusia internasional beserta optional protocol-nya yang
dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu adalah: Pertama,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights). Kedua, Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights). Dan Ketiga, Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial danBudaya (International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights). Sedangkan optional
protocolyang masuk dalam kategori ini adalah, The Optional
Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights

17
(Protokol Pilihan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik) disebut
sebagai instrumen pokok karena kedudukannya yang sentral
dalam corpus hukum hak asasi manusia internasional.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)


disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada
10 Desember 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan
interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan Bangsa
Bangsa, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar
sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai
standar
demikian, deklarasi itu telah terbukti menjadi langkah raksasa
dalam proses internasionalisasi hak asasi manusia. Seiring
dengan perjalanan waktu, status legal deklarasi itu terus
mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai
interpretasi otentik terhadap muatan Piagam Perserikatan
Bangsa Bangsa, deklarasi ini jugaberkembang menjadi hukum
kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi
semua Negara (Eko riyadi, 2018: 17). Dengan demikian
pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran
terhadap hukum internasional.

Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan


Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada
tahun 1966. Tetapi kedua Kovenan itu baru berlaku mengikat
secara hukum pada tahun 1976. Dua instrumen pokok hak asasi
manusia internasional itu menunjukkan dua bidang yang luas
dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di satu pihak,
dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain. Kedua
instrumen ini disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum di
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan
penjabaran yang lebih spesifik. Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik, misalnya, menjabarkan secara lebih
spesifik hak-hak mana yang bersifat non-derogable dan hak-hak
mana yang bersifat permissible. Begitu pula dengan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang

19
memuat secara lengkap hak-hak ekonomi dan sosial,
merumuskan tanggung jawab negara yang berbeda
dibandingkan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik. Jadi sebetulnya dua Kovenan ini dibuat untuk
menjawab masalah-masalah praktis berkaitan dengan
perlindungan hak asasi manusia.

1. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia Nasional

Perumusan Hak Asasi Manusia di Indonesia sudah dimulai


dari awal terbentuknya Badan Penyelidikan Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dipimpin
langsung oleh KRT Rajiman
Widodiningrat dan beranggotakan Soekarno, Muhammad Hatta,
Soepomo, Muhammad Yamin dan Abi Koesno.

Dari hasil keputusan atas pemikiran perumusan Undang-


Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
hak asasi manusia dianggap perlu untuk dicantumkan di dalam
Undang-Undang Dasar dengan pertimbangan dengan adanya
pencantuan hak asasi manusia nantinya Indonesia tidak menjadi
negara kekuasaan dan berdampak pada penindasan kepada
masyarakat.

Pencantuman atas hak asasi manusia di dalam Undang-


Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:

1) Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang memuat Hak atas


kesamaan kedudukan pada hukum dan pemerintahan.
2) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memuat Hak atas
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
3) Pasal 28 UUD 1945 memuat hak berserikat dan berkumpul.

4) Pasal 29 UUD 1945 memuat kebebasan beragama.

5) Pasal 30 UUD 1945 memuat kewajiban bela negara.

6) Pasal 31 UUD 1945 memuat hak mendapatkan pendidikan

7) Pasal 33 dan 34 Uud 1945 memuat hak atas kesejahteraan


sosial

8) Selain itu pemuatan tentang hak asasi manusia juga


terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945.

21
Perkembangan pemikiran hak asasi manusia di Indonesia
terdiri dari beberapa periode diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Periode 1908-1945

a) Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 memdirikan


Perjuangan hak berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui Goeroe Desa.
b) Perhimpunan Indonesia mendirikan Perjuangan hak
menentukan nasib sendiri.
c) Serikat islam pada tahun 1911 menggagas perjuangan
hyak memperoleh kehidupan yang layak.
d) Partai Komunis Indonesia membentuk perjuangan hak-
hak yang bersifat sosial.
e) Indische Partij membentuk perjuangan hak untuk
mendapatkan kemerdekaan.
f) Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927 membentuk
perjuangan hak untuk memperoleh kemerdekaan dalam
negara yang mencakup demokrasi, ekonomi dan politik.
g) Pendidikan Nasional Indonesia melakukan perjuangan
hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berpendapat dan
hak berserikat.
1) Periode 1945-1950

a) Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945


tentang Pengumuman Akan Dilaksanakan Pemilu.
b) Maklumat Pemerintahan 3 November 1945 tentang
Memberi Keleluasaan Untuk Mendirikan Partai Politik.
c) Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang
Mengubah Sistem Presidensial Menjadi Sistem
Parlementer.
2) Periode 1950-1959

a) Partai politik tumbuh dengan pesat dengan berbagai


ideologi.

b) Adanya kebebasan Pers.

c) Pemilu mulai pada tanggal 17 Oktober 1955 berlangsung

23
secara demokratis, bebas dan fair.
d) Parlemen mulai menunjukkan kelasnya sebagai wakil
rakyat serta mengontrol pemerintah dimana terjadinya
kabinet jatuh bangun.
3) Periode 1959-1966

a) Hak asasi manusia direstriksi di mana Soekarno kembali


ke sistem presidensial dan demokrasi terpimpin.
b) Soekarno menata kembali sistem politik, sesuai dengan
demokrasi terpimpin.
c) Melalui Peraturan Presiden No 7 Tahun 1959 Soekarno
menyederhanakan Partai Politik.
d) Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 Soekarno
mengawasi dan membubarkan Partai Politik.
1) Periode 1966-1998

a) Tahapan Represi dan pembentukan jaringan 1966-


1998, karena represi orde baru, korban meminta
bantuan masyarakat internasional.
b) Tahapan penyangkalan menghadapi tekanan internasional
oleh Soeharto. Beliau menyangkal dengan alasan hak
asasi manusia produk barat yang tidak sesuai dengan
kebudayaan bangsa yang disusun oleh Universitas dan
Partikularitas.
c) Tahapan konsesi orde baru kian mendesak ketika
bantuan luar dipersyaratkan dengan kondisi hak asasi
manusia. Orde baru diberi konsesi taktis dengan
pembatasan Undang-Undang Sobversi, Komnas HAM
didirikan, pemantauan Pemilu diizinkan dan mulai
dikenal dengan era keterbukaan.
2) Periode 1988 sampai dengan sekarang

a) Tahapan status penentuan.

Pemerintah menerima norma internasional HAM baik


melalui ratifikasi dan institusional HAM ditandai dengan
adanya perubahan UUD 1945, rativikasi Konvensi Anti
Penyiksaan (1998), terbitnya Undang- Undang Nomor 26

25
Tahun 1999 tentang pencabutan Undang-Undang Subversi,
terbitnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang
Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi, terbitnya Undang-
Undang nomor
39 tentang Hak Asasi Manusia, terbitnya Undang-undang
Nomor 26 tentang Pengadilan HAM, terbitnya Undang-
Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, adanya ratifikasi konvensi hak sipil dan politik
dan adanya rativikasi konvensi hak ekonomi, sosial dan
budaya.
b) Tahap penataan aturan secara konsisten

Pada tahapan ini HAM dijadikan sebagai dasar


instrumen baik dari aspek tatanan sosial ataupun demokrasi
dalam bernegara.

C. NSTRUMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

1. Instrumen Internasional HAM

Setidaknya, terdapat sepuluh instrumen internasional hak


asasi manusia, yaitu:
a. Universal Declaration on Human Right (UDHR), atau
Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM).
b. International Convenant on Civil and Political Rights
(ICRP), atau Konvenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (KIHSP).
c. International Convenant on Economic Social and Culture
Rights (ICESCR), atau Konvenan tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (KIHESB).
d. International Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Descrimination (CERD), atau Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial .
e. Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women(CEDAW), atau Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan.

27
f. Convention Againts Torture and Other Cruel, In Human or
Degrading Treatment of Punishment(CAT), atau Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan
Martabat Manusia.
g. Convention on the Rights of the Child (CRC), atau Konvensi
tentang Hak Anak. Konvensi tentang Hak anak disahkan
oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989
yang bertujuan agar adanya standar
universal bagi hak-hak anak, adanya perlindungan
terhadap anak- anak dari tindakan penyia-nyiaan,
eksploitasi dan penyalahgunaan.
h. Convention on the Protection for Migrant Workers and
Their Families(CMW), atau Konvensi tentang
Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarga Mereka.
i. Convention on the Rights of Persons with Dissabilities
(CRPD), atau Konvensi tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam konvensi ini bertujuan untuk merubah paradigma
masyarakat terhadap kaum disabilitas dari pendekatan
pelayanan berdasarkan belas kasihan (charity) menjadi
pemenuhan HAM dengan pemberian perlindungan secara
menyeluruh dan tidak adanya tindakan diskriminatif serta
memberikan kesempatan bagi kaum disabilitas untuk ikut
berpartisipasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat.
j. International Convention for Protection of All Persons from
Enforced Disappearence(CEO), atau Konvensi
Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Secara Paksa.

Buku ajar ini akan memaparkan 2 (dua) konvensi hak


asasi manusia internasional yang dianggap sangat penting untuk
diketahui mahasiswa, yaitu terkait dengan UDHR/DUHAM,
CEDAW, dan CRPD.

a. UDHR-Universal Declaration on Human Right

29
Instrumen UDHR diterjemahkan di Indonesia dengan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM merupakan
dokumen pengakuan internasional terhadap hak asasi manusia.
DUHAM dideklarasikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB
(A/RES/217 (III) pada tanggal 10 Desember 1948.Atas tercapainya
deklarasi tersebut, maka selanjunya tanggal dan bulan tersebut
ditetapkan sebagai hari Hak Asasi Manusia
Internasional.DUHAM juga menjadi instrumen payung bagi
instrumen hak asasi manusia lainnya. Artinya keseluruhan
instrumen HAM lain merujuk pada DUHAM tersebut.

DUHAM memiliki 30 Pasal, sebagai berikut:

DEKLARASI
UNIVERSAL HAK-HAK
ASASI MANUSIA

Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum


PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui
resolusi 217 A (III)

Mukadimah

Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah


dan hak- hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari
semua anggota keluarga manusia adalah dasar
kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,

Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang


rendah hak- hak manusia telah mengakibatkan
perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa
kemarahan hati nurani umat manusia, dan
terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan
mengecap nikmat kebebasan berbicara dan
beragama serta kebebasan dari rasa takut dan
kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang

31
tertinggi dari rakyat biasa,

Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu


dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang
tidak terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai
usaha terakhir guna menentang kelaliman dan
penjajahan,

Menimbang, bahwa pembinaan hubungan


bersahabat di antara negara-negara perlu
ditingkatkan,

Menimbang, bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan


Bangsa- Bangsa di dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah menegaskan kembali
kepercayaan mereka pada hak-hak dasar dari manusia,
dan pada hak-hak yang sama dari laki-laki maupun
perempuan, dan telah memutuskan akan mendorong
kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik
dalam kemerdekaan yang lebih luas,

Menimbang, bahwa Negara-negara Anggota telah


berjanji untuk mencapai kemajuan dalam
penghargaan dan penghormatan
umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebesan yang asasi, dengan perbaikan penghargaan
umum terhadap dan pelaksanaan hak-hak manusia dan
kebebasan-kebebasan ini hakiki, dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.

Menimbang, bahwa pemahaman yang sama mengenai


hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat
penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari
janji tersebut, maka dengan ini :

Majelis Umum,

Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi


Manusia sebagai suatu standar umum untuk
keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara,
dengan tujuan agar setiap oarng dan setiap badan di
dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat
Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan
dan memberikan pendidikan guna menggalakkan
penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-
tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun
internasional, menjamin pengakuan dan
penghormatannnya yang universal dan efektif, baik
oleh bangsa- bangsa dari Negara-negara Anggota

33
sendiri maupun oleh bangsa- bangsa dari wilayah-
wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka.

Pasal 1

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai


martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai
akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu
sama lain dalam persaudaraan.

Pasal 2

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-


kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini
dengan tidak ada kekecualian apa pun, seperti
pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran
ataupun kedudukan lain.

Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas


dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan
internasional dari negara atau daerah dari mana
seseorang berasal, baik dari negara
yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah
perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan
kedaulatan yang lain.

Pasal 3

Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan


keselamatan sebagai induvidu.

Pasal 4

Tidak seorang pun boleh diperbudak atau


diperhambakan; perhambaan dan perdagangan
budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.

Pasal 5

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan


secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak
manusiawi atau dihina.

Pasal 6

Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum


sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

35
Pasal 7

Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas


perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap
setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan
Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang
mengarah pada diskriminasi semacam ini.

Pasal 8

Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari


pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-
tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang
diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau
hukum.

Pasal 9

Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau


dibuang dengan sewenang-wenang.

Pasal 10
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak
atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan
yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak
dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap
tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Pasal 11

(1) Setiap orang yang dituntut karena disangka


melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut
hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di
mana dia memperoleh semua jaminan yang
perlukan untuk pembelaannya.

(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan


tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang
tidak merupakan suatu tindak pidana menurut
undang-undang nasional atau internasional, ketika
perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak
diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih
berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan
ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12

37
Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya,
keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan suart-
menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak
diperkenankan melakukan pelanggaran atas
kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak
mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan
atau pelanggaran seperti ini.

Pasal 13

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan


berdiam di dalam batas-batas setiap negara.

(2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri,


termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke
negerinya.

Pasal 14

(1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan


suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari
pengejaran.

(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran


yang benar- benar timbul karena kejahatan-
kejahatan yang tidak
berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan
dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 15

(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.

(2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat


dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya
untuk mengganti kewarganegaraannya.

Pasal 16

(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan


tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau
agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk
keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam
soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di
saat perceraian.

(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan


pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua
mempelai.

(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan

39
fundamental dari masyarakat dan berhak
mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan
Negara.

Pasal 17

(1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri


maupun bersama-sama dengan orang lain.

(2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya


dengan semena-mena.

Pasal 18

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani


dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti
agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan


mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk
kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat
gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat
dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang
batas-batas.

Pasal 20

(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan


berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan.

(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki


suatu perkumpulan.

Pasal 21

(1) Setiap orang berhak turut serta dalam


pemerintahan negaranya, secara langsung atau
melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama


untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan
negeranya.
41
(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan
pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam
pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala
dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum
dan sederajat, dengan pemungutan suara secara
rahasia ataupun dengan prosedur lain yang
menjamin kebebasan memberikan suara.

Pasal 22

Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas


jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan
untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya,
melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama
internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta
sumber daya setiap negara.

Pasal 23

(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak


dengan bebas memilih pekerjaan,
berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil
dan menguntungkan serta berhak atas
perlindungan dari pengangguran.

(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas


pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang
sama.

(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan


yang adil dan menguntungkan, yang memberikan
jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk
dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika
perlu ditambah dengan perlindungan sosial
lainnya.

(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki


serikat-serikat pekerja untuk melindungi
kepentingannya.

Pasal 24

Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan,


termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang
layak dan hari liburan berkala, dengan tetap
menerima upah.

Pasal 25
43
(1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang
memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas
pangan, pakaian, perumahan dan perawatan
kesehatan serta pelayanan sosial yang
diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat
menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi
janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan
lainnya yang mengakibatkannya kekurangan
nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.

(2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan


dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik
yang dilahirkan di dalam maupun di luar
perkawinan, harus mendapat perlindungan
sosial yang sama.

Pasal 26

(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan.


Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-
tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan
pendidikan dasar.Pendidikan rendah harus
diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan
secara umum harus terbuka bagi semua orang,
dan pendidikan tinggi
harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh
semua orang, berdasarkan kepantasan.

(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan


pribadi yang seluas-luasnya serta untuk
mempertebal penghargaan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar.
Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian,
toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa,
kelompok ras maupun agama, serta harus
memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam memelihara perdamaian.

(3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih


jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-
anak mereka.

Pasal 27

(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam


kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas,
untuk menikmati kesenian, dan untuk turut
mengecap kemajuan dan manfaat ilmu
pengetahuan.
(2) Setiap orang berhak untuk memperoleh
perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril
maupun material yang diperoleh sebagai hasil
45
karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang
diciptakannya.

Pasal 28

Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan


internasional di mana hak-hak dan kebebasan-
kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini
dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Pasal 29

(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap


masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat
mengembangkan kepribadiannya dengan bebas
dan penuh.

(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-


kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya
pada pembatasan- pembatasan yang ditetapkan
oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-
syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban
dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat
yang demokratis.
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan
jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh
dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan
prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 30

Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh


ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok
ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam
kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang
bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan- kebebasan
yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.

Deklarasi ini menjadi dokumen hak asasi manusia


yang berlaku umum untuk seluruh rakyat dan semua
Negara.Deklarasi ini menjadi dokumen hak asasi
manusia paling pokok. Walaupun deklarasi tidak
mengikat secara hukum, namun ia dianggap sebagai
hukum kebiasaan internasional.
a. Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women-CEDAW
International Convention on Elimination of All Form of
Discrimination Againts Women (CEDAW)atau
(ICEDAW)konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan adalah suatu instrument standar intenaional
yang diadopsi pleh PBB pada tahun 1979. Pemerintah telah
47
meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-Undang Nomor 7
tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada 24 Juli
1984.
Konvensi memberi penekanan pada pengakuan atas
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (gender), semua
orang dilahirkan secara bebas dan tidak dapat diperlakukan
secara diskriminatif berdasarkan kelamin, dan kesepakatan
bahwa Negara-negara PBB akan memajukan persamaan antara
laki-laki dan perempuan.

Konvensi ini memperkenalkan 3 (tiga) prinsip penting


yaitu:

a. Prinsip non-diskriminasi.
Prinsip ini dimaknai sebagai larangan dalam
melakukan pembedaan, pengucilan atau pembatasn
yang dibuat berdasarkan status jenis kelamin untuk
menikmati seluruh kategori hak asasi manusia.
b. Prinsip tanggung jawab Negara

Prinsip ini dimaknai bahwa penanggung jawab utama


dalam pemenuhan, perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak perempuan adalah tangung jawab
Negara.
c. Prinsip diskriminasi positif

Prinsip diskriminasi positif dimaknai sebagai


memberikan peluang dan fasilitas kepada perempuan
agar mereka secara cepat dapat menukmati
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

1. Instrumen Nasional

Pasca reformasi merupakan tahapan dari penentuan


danpenataan aturan secara konsisten yang bersesuaian
dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) universal.
Pada periode ini ditandai dengan tumbuhnya pemahaman dan
kesadaran semua elemen masyarakat bahwa eksistensi HAM
merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia
tanpa diskriminasi, yang keberadaanya harus dihormati,
dijunjung tinggi dan dipenuhi oleh siapapun. Konsepsi umum
ini terumuskan dalam Undang- Undang Nomor 39 tahun
49
1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Terdapat beberapa instrumen Hak Asasi Manusia (HAM)


yang terproduksi pasca reformasi, adalah sebagai berikut:

1. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM.

Ketetapan MPR ini merupakan instrumen HAM yang


tercipta sebagai akibat kuatnya tuntutan reformasi terhadap
penyelesaian pelanggaran HAM. Muatannya bukannya hanya
tentang Piagam HAM,
tetapi juga memuat amanat kepada Presiden dan lembaga-
lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan
HAM, termasuk mengamanatkan kepada mereka untuk
meratifikasi instrumen-instrumen internasional yang
berkaitan dengan jaminan pemenuhan HAM.

2. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 setelah amandemen.

Undang-Undang Dasar 1945 pasca reformasi


mengalami amandemen sebanyak empat kali yaitu pada
tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun
2002.Instrumentasi Undang-Undang Dasar 1945 pasca
amandemen ini mengalami perubahan yang sangat berarti
bagi perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terletak
pada bab tersendiri UUD 1945, yaitu Bab XA, di dalamnya
terdapat 26 butir ketentuan yang menjamin terhadap
pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain pasal 28
UUD, pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 lainnya
masih banyak yang berdimensi perlindungan dan pemenuhan
terhadap Hak Asasi Manusia.Ini menunjukkan dari sisi
instrumen perundang-undangan, Negara sudah berpihak
kepada Hak Asasi Manusia. Namun demikian, dari sudut
implementasi perlu terus dikawal dan dijaga.

Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-


Undang Dasar 1945 pasca amandemen, jika dibaca secara

51
komprehensif telah menampung perlindungan dan
pemenuhan HAM dari generasi HAM pertama yang
berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, generasi HAM
kedua yang berkaitan dengan hak-hak sosial dan ekonomi
dan generasi HAM ketiga berkaitan dengan hak-hak kategori
kolektif. Namun, demikian amandemen kedua Undang-
Undang Dasar 1945 masih menuai protes salah satunya
pemuatan asas non retroaktif, yaitu asas tidak dapat dituntut
atas hukum yang tidak berlaku surut, padahal Indonesia saat
itu menghadapi tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM
masa lalu (Sri Astuti, 2005: 21-23).
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak


Asasi Manusia ini merupakan instrumen yang pokok yang
menjamin semua hak yang tercantum di berbagai instrumen
internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM).Undang-
undang ini memuat pengakuan dan perlindungan hak-hak
yang sangat luas karena banyak ketentuannya yang merujuk
pada katagorisasi hak yang ada dalam UDHR, ICCPR,
ICESCR, CRC, dan beberapa Lainnya.Selain itu, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga
mengatur soal kelembagaan Komnas HAM. Namun demikian,
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia juga memiliki kelemahan mendasar, yaitu biasnya
pendefinisian hak asasi manusia dan masih meletakkan
kewajiban asasi manusia yang semestinya menjadi area hukum
pidana. Konsepsi hak asasi manusia dalam undang-undang ini
belum membedakan secara tegas antara konsepsi hak asasi
manusia dan hukum pidana pada umumnya, sehingga
berdampak pada pengkaburan pertanggungjawaban hukumnya.

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan


HAM.

Secara umum, di dalam undang-undang ini mengatur


dua hal. Pertama, pengaturan soal perbuatan pidana yang
53
dikategorikan sebagai pelanggaran berat atas hak asasi
manusia danyang kedua, pengaturan soal hukum acara
proses pengadilan HAM. Pengaturan soal kategorisasi
pelanggaran berat HAM diatur dalam pasal 7 sampai dengan
pasal 9 yang secara umum rumusannya diambil dari Statuta
Roma, sedangkan hukum acara yang diatur meliputi
penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di persidangan, syarat-syarat
pengangkatan hakim sampai pada ketentuan eksekusi
hukuman pelanggaran.
Undang-undang ini juga memiliki kelemahan
mendasar, dikarenakan kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan merupakan kategori kejahatan pidana
internasional yang ditangani secara langsung oleh
Mahkamah Pidana Internasional, dan bukan merupakan
yurisdiksi pengadilan HAM (Enny Soeprpato, 2011: 6).
Pengadilan HAM berbeda secara konsepsional dengan
Mahkamah Pidana Internasional, sama halnya konsepsi
HAM berbeda dengan konsepsi pidana.

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak.

Pengesahan undang-undang Nomor 23 Tahun 2002


tentang Perlindungan Anak merupakan sebagai bentuk reaksi
atas pelanggaran yang dilakukan banyak oknum terhadap
anak-anak. Dalam undang- undang salah satunya diatur soal
larangan pelibatan anak dalam berbagai kegiatan orang
dewasa. Anak harus dilindungi untuk tidak dilibatkan dalam
kegiatan politik seperti kampanye, sengketa bersenjata,
kerusuhan sosial dan beberapa lainnya.

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional.

Pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional ini mengatur soal fungsi dari

55
pendidikan, prinsip- prinsip penyelenggaran pendidikan,
tanggung jawab negara terhadap pendidikan dan lainnya.
Didalam pasal 11 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemda
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggarannya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga tanpa diskriminasi. Selanjutnya Pada ayat (2)
ditegaskan bahwa pemerintah dan Pemda wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan
lima tahun, dan lain-lainnya.
7. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang


Mahkamah Konstitusi mengatur perihal kedududukan, susunan
organisasi, kewenangan Mahkamah Konstitusi, pengangkatan
dan pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi dan lainnya.
Pada Pasal 10 ditegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final terkait dengan pengujian perundang-
undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil
Pemilu. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah penting
bagi eksistensi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan
HAM, karena banyak hak-hak masyarakat yang telah dijamin
dalam Undang-Undang Dasar 1945 ternyata dilanggar oleh
berbagai ketentuan undang-undang.

8. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang ini disahkan karena desakan aktifis


perempuan yang selama ini meneriakkan soal diskriminasi dan
subordinasi hak-hak kaum perempuan atas kaum laki-laki.
Kelebihan dari Undang-Undang ini ialah bahwa perlindungan

267
terhadap korban kekerasan rumah tangga tidak hanya
dibebankan kepada polisi tetapi juga diperbolehkannya
pertolongan oleh masyarakat. Korban kekerasan berhak untuk
mendapatkan perlindungan dari tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan, pendamping dan atau pembimbing rohani
(Pasal 39).

9. Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi


dan Korban.
Undang-Undang menjadi jaminan perlindungan
keamanan daripada saksi dan korban. Saksi dan korban dalam
sejaranya seringkali menjadi terancam hak-hak yang melekat
pada dirinya, terutama hak hidupnya. Pengesahan Undang-
Undang ini menjadi penegas bahwa negara mempunyai
tanggung jawab untuk menjamin terhadap hak-hak saksi dan
korban.

10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang


Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Undang-Undang ini memberi penegasan bahwa


diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat
merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan,
persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian,
keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara
warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.
Diskriminasi ras dan etnis merupakan satu bentuk pelanggaran
HAM sehingga harus dihapuskan.

11.Undang-Undang Nomor19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Undang-Undang ini menjawab tentang pentingnya


pengaturan hak cipta dari karya setiap manusia. Undang-
Undang ini mengatakan bahwa negara memiliki
keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan
di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-

269
pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta
terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman
tersebut. Pengaturan ini menegaskan soal penjiplakan dan
berbagai pembalakan satu karya.

12.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan


Informasi Publik.
Undang-Undang menjadi landasan tentang jaminan
daripada hak kebebasan informasi dan hak akses atas
informasi publik. Undang- Undang ini menjadi penguat
bahwa tidak saatnya lagi informasi-informasi yang ada di
badan-badan publik ditutup-tutupi. Masyarakat mempunyai
akses untuk mengetahui terhadap informasi yang dibangun
untuk kepentingan publik.

13. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan


Publik.

Instrumen ini menjadi penegasan bahwa negara


mempunyai tanggung jawab terhadap pelayanan setiap warga
negara dalam rangka pemenuhan hak-hak kebutuhan dasar
mereka tanpa diskriminasi. Undang-Undang-Undang ini
sekaligus menegaskan keberadaaan dan eksistensi
Ombudsman (UU No. 39 tahun 2008 tentang Ombudsman
RI) yang ditetapkan sebaga lembaga negara yang ditugaskan
untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

14. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja atau Buruh.

Undang-Undang ini mengatur perihal kebebasan


berpedapat, berserikat, berkumpul dari serikat ataupun buruh.
Berkaitan dengan ini juga diatur berkaitan dengan
ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003), tentang
penempatan tenaga kerja di luar negeri (UU No. 39 tahun

271
2004), dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
(UU No. 2 tahun 2004). Secara umum, Undang-Undang
ketenagakerjaan di atas mendapatkan kritik yang substansial
dari serikat pekerja.

15. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen.

Undang-Undang ini menegaskan bahwa terbukanya pasar


nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus
tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta
kepatian atas mutu, jumlah
dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya di
pasar. Undang- Undang menjamin dengan jelas soal hak dan
kewajiban daripada konsumen, termasuk tata cara
penyelesaian sengketa konsumen yang bisa dilalui lewat
jalur litigasi dan atau jalur non litigasi sesuai dengan
kesepakatan antar pihak bersengketa.

Selain berbagai instrumen hukum HAM di atas, masih


banyak peraturan hukum HAM lainnya yang menjadi media
tanggung jawab pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan
HAM, sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang


Perdagangan Orang.
2. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

3. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Korupsi.
4. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian,

5. Undang-Undang Nomor48 tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman,
6. Dan hampir semua undang-undang yang dibentuk di
Indonesia mengandung unsur-unsur penghormatan
terhadap HAM.

Dalam konteks ini instrumen hukum HAM berarti sangat


banyak tergantung pada kategorisasi, pertama, ada atau tidaknya
dimensi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM
273
dalam instrumen hukum tersebut.Pasca jatuhnya rezim Orde
Baru, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa
hukum internasional yang berarti bahwa pemerintah Indonesia
telahmenyatakan kesediaannya untuk diikat oleh suatu
perjanjian internasional tersebut.Ratifikasi tidak berlaku surut,
melainkan baru mengikat sejak penandatangananratifikasi
dilakukan oleh negara bersangkutan (pasal 2 Konvensi Wina
1969). Berikut ini adalah tabel konvensi internasional yang
telah diratifikasi olehpemerintah Indonesia pasca reformasi
(Eko Prasetyo, 2008: 127-135):
N Konvensi Tanggal Instrumen Nasiona
o Internasio Ratifikasi
nal
1. Convention againts 28 UU No. 5 tahun 1998
Tortureand Oktober tentang Pengesahan
1998
Other Cruel, Konvensi Menentang
Inhuman or Penyiksaan dan
Degrading Perlakuan
Treatment atau
Punishment Penghukuman Lain
(10 yang
Desember 1984/12 Kejam,
Juni 1987) Tidak Manusiawi
atau
Merendahkan
Martabat Manusia
2. Internation 25 Juni UU No. 29 tahun 1999
al 1999 tentang Pengesahan
Convention
on Konvensi
the Elimination of Internasionaltentang
All Forms Penghapusan Segala
of Bentuk Diskriminasi
Rasial (25 Mei 1999)
Racial
Discrimination
(21 Desember

1965/4 Januari
1969)
3. International (Aksesi) Undang-Undang
Covenant on 23 Nomot 11
Economic, Social Februari Tahun 2005 tentang
and Cultural 2006 Pengesahan
Rights
(16Desember Kovenan Internasional
1966/3 Januari tentang Hak-
1976) hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (28 Oktober
2005)
4. International (Aksesi) Undang-Undang Nomor
Covenant on 23 12 tentang Pengesahan
Civil and Februari Kovenan Internasional
Political 2006 tentang Hak HakSipil
Rights (16 dan Politik (28
Desember Oktober2005)

1966/23 Maret
1976)
5. ILO Convention (Ratifika Keppres Nomor 83
No. 87 Concerning si) 9 Juni Tahun 1998tentang
Freedom of 1998 Pengesahan Konvensi
272
Association Nomor 87 tentang
Kebebasan
and Protection of Berserikatdan
the Right to Perlindungan Hak
Organize (9 Juli Untuk Berorganisasi (22
1948/4 Juli 1950) Juni 1998)
6. ILO Convention (Ratifika Undang-Undang
No. 105 si) 7 Juni Nomor 19
Concerning 1999 Tahun 1999
tentangPengesahan
the Abolition Konvensi ILO
of Forced Labor MengenaiPenghapusan
(25 Juni Kerja Paksa (7 Mei1999)
1957/17 Januari
1959)
7. ILO Convention No. (Ratifikas Undang-Undang
138 Concerning i) 7 Juni Nomor 20
Minimum Age For 1999 Tahun 1999
Admission to tentangPengesahan
Employment (26 Juni Konvensi ILO
1973/19 Juni 1976) MengenaiUsia Minimum
Untuk
DiperbolehkanBekerja
8. ILO Convention No. (Ratifikas Undang-Undang
111 Concerning i) 7 Juni Nomor21 Tahun 1999
Discrimination 1999 tentang Pengesahan
in Respect of Konvensi ILO mengenai
Employment and Diskriminasi dalam
Accupation Pekerjaan danJabatan (7
(25 Mei
Juni 1958/15Juni 1999)
1960)
9. ILO Convention No. (Ratifikas Undang-Undang Nomor
182 Concerning i) 28 1 Tahun 2000 tentang
Maret Pengesahan II Konvensi
the 2000 No. 183Mengenai
Prohibition Pelarangan dan
Tindakan Segera
and Immediate Penghapusan Bentuk-
Action for the BentukPekerjaan
Elimination of the Terburuk Untuk Anak
Worst Forms of
274
Child Labor (17 (8Maret 2000)
Juni 1999/ 19
November
2000)
10. ILO Convention No. (Ratifikas Undang-Undang Nomor
81 Concerning i) 29 21
Januari tahun 2003 tentang
Labor Inspection 2004 Pengesahan Konvensi
in Industry and ILO No.81 Mengenai
Commerce Pengawasan
(11 Juli 1947/7 Ketenagakerjaan
April
1950) dalam Industri dan
Perdagangan (25 Juli
2003)
11. ILO Convention No. Disahkan Undang-Undang
185 Concerning 4 Nomor
Revising The Januari200 1 Tahun
Seafarers’ Identity 8 2008 Konvensi ILO No.
Documents 185
Convention, 1958
Mengenai
KonvensiPerubahan
Dokumen

IdentitasPelaut, 1958
12. Protocol Against Disahkan Undang-Undang
The Smuggling Of 16 Nomor 15
Migrants By Land, Maret2009 Tahun 2009 Tentang
Sea And Air, Pengesahan
Supplementing The
United Protokol Menentang
Penyelundupan Migran
Nations MelaluiDarat, Laut, Dan
Convention
Udara,
Against MelengkapiKonvensi
Transnational Perserikatan
Organized Crime
Bangsa-
BangsaMenentang

Tindak
PidanaTransnasional
Yang
Terorganisasi

276
13. Instrument For The Ditetapka Peraturan Presiden
Amendment Of The n 18 Republik Indonesia
Constitution Of The Maret Nomor 17 Tahun 2010
International Labour 2010 Tentang Pengesahan
Organisation, 1997 Instrumen

Perubahan
Konstitusi

Organisasi
Ketenagakerjaan
Internasional,
1997.
14. Convention on the Ratifikasi Undang-Undang Nomor
Rights of Person 19
with Disabilities Tahun 2011
tentang
Pengesahan Konvensi
Hak
Penyandang Disabilitas

D. BENTUK PELANGGARAN DAN PENGADILAN HAK ASASI


MANUSIA

a. Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan pengertian dari
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Berdasarkan Ketentuann Pasal 7 Undang-Undang Nomor


26 Tahun 2000 Tentang pengadilan Ham, penggolongan atas
pelanggaran dari hak asasi manusia terdiri atas kejahatan
genosida kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan
seluruh atau sebagian bangsa, ras kelompok dan etnis dengan
cara membunuh yang mengakibatkan penderitaan fisik dan
mental yang berat terhadap anggota kelompok.

278
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 8 Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, adalah kejahatan yang
dilakukan dengan cara:

a) Membunuh anggota kelompok.

b) Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat


terhadap anggota-anggota kelompok.
c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengekibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya.
d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok, dan
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok
tertentu ke kolompok lain.

Kejahatan terhadap manusia adalah salah satu perbuatan


yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap masyarakat sipil. Penggolongan
kejahatan terhadap manusia terdapat di dalam Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Adapun penggolongannya adalah sebagai berikut:

a) Pembunuhan.

b) Pemusnahan.

c) Perbudakan.
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

e) Peampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik


lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas
pokok hukum internasional.
f) Penyiksaan.

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,


pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa dalam bentuk – bentuk kekerasan seksual lainnya
yang setara.

280
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional.
i) Penghilangan orang secara paksa, dan

j) Kejahatan apartheid.

1. Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pengadilan Hak Asasi Manusia di bentuk berdasarkan


ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.Dalam penjelasan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa Pengadilan HAM adalah salah
satu sarana untuk memberikan perlindungan terhadap hak
asasi manusia.

275
Ilustrasi: Instrumen hukum sudah lengkap. Perlu upaya
lebih dari pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus
pelanggaran HAM. Sumber foto: Antara

Pada bagian pertimbangan dan penjelasan dari Undang-Undang


Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
memberikan

276
landasan pembentukan pengadilan HAM. Beberapa
pertimbangan yang tercantum di dalam undang-undang tersebut
secara eksplisitdisebutkan sebagai berikut:
a) Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada dirimanusia, bersifat universal dan
langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati,dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
b) Bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan
menjamin pelaksanaan hakasasi manusia serta memberi
perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan amankepada
perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu
Pengadilan HakAsasi Manusia untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuaidengan
ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000


tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dinyatakan beberapa
pokok pikiran yang berkaitan dengan pembentukan pengadilan
Ham, Yaitu:

a) Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat


dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dan Pengadilanm HAM serta Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.
b) Bertitik tolak dari perkembangan hukum, ditinjau dari
kepentingan nasional maupun kepentingan internasional,
277
maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi
manusai yang berat dan mengembalikan keamanan dan
perdamaian di Indonesia perlu dibentuknya Pengadilan HAM
yang merupakan Pengadilan Khusus bagi pelanggaran HAM
yang berat.

Pengadilan Ham dalam menyelesaikan kasus pelanggaran


HAM diberikan kewenangan untuk memeriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran HAM berat dan pelanggaran
HAM berat yang dilakukan di luar

278
batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh
warga negara Indonesia.

E. KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISI ACEH

Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi Aceh yang disingkat


KKR Aceh, merupakan perwujudan Pasal 228 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, yang menyebutkan bahwa untuk memeriksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan
dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka KKR Aceh adalah


sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk
mengungkapkan kebenaran, pola motif atas pelanggaran HAM
ringan dalam konflik bersenjata di Aceh selama dua masa
tahapan, tahapan pertama dimulai dari tanggal 4 Desember 1976
sampai dengan tanggal 15 Agustus 2005 dan, tahapan kedua
sebelum tanggal 4 Desember 1976. Jika adanya pelaporan
selama perihal motif pelanggaran HAM oleh masyarakat selama
dua periode tersebut Pihak KKR berhak untuk
merekomendasikan, menindaklanjuti, merekomendasikan
reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi.

279
Salah satu upaya KKRA mengungkapkan kasus pelanggaran
HAM di Aceh adalah dengan menggelar rapat dengar kesaksian
dugaan pelanggaran HAM.

280
Dalam melaksanakan kerja KKR Aceh berasaskan
keislaman, Ke- Acehan, Independensi, Imprasi, non
diskriminasi, demokratisasi, berkeadilan dan kesetaraan, serta
adanya kepastian hukum. Adapun maksud dari pada azas-azas
sebagaimana disebutkan adalah sebagai berikut:

1) Asas keislaman adalah Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi


dalam proses penungkapan kebenaran haruslah sesuai
dengan tuntunan agama Islam.
2) Asas keacehan merupakan proses pengungkapan kebenaran
harus memperhatikan kearifan lokal dan menjunjung tinggi
adat-istiadat Aceh.
3) Asas Imparsial adalah kemampuan KKR dalam
menyelesaikan perkara HAM di Aceh untuk bertindak secara
utuh tanpa melakukan satu pemihakan padasatu atau lain
pihak.
4) Asas Non-diskriminasi adalah KKR Acehbekerja dengan
tidak melakukan pembedaan atau pengecualianatas dasar
gender, ras, keyakinan, agama, etnis dan pembedaanlainnya;
5) Asas Demokratisasi dalam menyelesaikan perkara HAM di
Aceh harus melindungi hak-hak dari para pihak demi
kepentingan bersama.
6) Asas keadilan dan kesetaraan proses pengungkapan
kebenaran yang ada haruslahmemperhatikan keadilan dan
kesetaraan semua pihak.
7) Asas kepastian hukum, dalampengungkapan kebenaran
berdasarkan landasan PeraturanPerundang-undangan,

281
kepatutan, dan keadilan.

Terdapat beberapa tujuan dari pembentukan Komisi


Kebenaran dan Rekonsilisi adlah sebagai berikut:

1) Memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan


kebenaran terhadappelanggaran HAM yang terjadi di masa
lalu.
2) Membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku
pelanggaran HAM baik itu perorangan maupun lembaga
dengan para korban, dan
3) Merekomendasikan raparasi menyeluruh bagi korban
pelanggaran HAM, sesuai dengan standar universal yang
berkaitan dengan hak-hak korban.

282
Tujuan Rekonsiliasi yang di muat pada Pasal 33 Qanun
Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi Aceh adalah sebagai berikut:

1) Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan


menghilangkan dendam antara korban/keluarga korban
danpelaku dalam rangka memperkuat keutuhan
masyarakat dan bangsa.
2) Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan
perdamaian.

3) Mencegah berulangnya konflik, dan

4) Menjaga keutuhan wilayah Aceh.

F. REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH

Rekonsiliasi berasal dari kata reconciliation yang artinya


perdamaian, perukunan kembali.Menurut Bristol dan Carol
(1999: 159), berdamai kembali berarti menyelaraskan atau
menyelesaikan suatu ketidakcocokan.Menurut Teuku Muttaqin
Mansur (2017: 147) perdamaian adat merupakan suatu proses
suatu peristiwa atau perbuatan yang memberikan dampak
terhadap ganguan keseimbangan (reaksi) di dalam kehidupan
bermasyarakat dan dipulihkan kembali dengan cara
merukunkan kembali kedua belah pihak yang bersengketa
melalui upacara adat.

283
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Qanun Nomor 17
Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh, adalah:

a) Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan


menghilangkan dendam antara korban, keluarga korban dan
pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan
bangsa.
b) Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan
perdamaian.

c) Mencegah berulangnya konflik, dan

d) Menjaga keutuhan Wilayah Aceh.

284
Pasal 34 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi
Kebenaran Aceh menyebutkan mekanisme rekonsiliasi pada
tingkat Gampong atau Kecamatan dalam rangka
mengungkapkan kebenaran, pengakuan dan pengampunan yang
berbasis kearifan lokal di Aceh adalah sebagai berikut:

1) Proses rekonsiliasi harus diperlihatkan dan disaksikan


Keuchik, Teungku Imum, Imum Mukim, Tuha Peut, Tuha
Lapan, Aparatur Gampong, Lembaga Adat setingkat
Gampong atau Setingkat Mukim.
2) Mempertemukan dan Melakukan mediasi antara pelaku dan
korban.

3) Jika para pihak sudah sepakat untuk berdamai, maka pelaku


pelanggaran HAM memohon maaf kepada korban terbuka.
Dalam permohonan maaf pelaku juga diharuskan utukk
berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya dan pelaku
diharuskan untuk membayar biaya restitusi sebagaimana
telah diperjanjiakan oleh kedua belah pihak.
4) Penerimaan penyataan maaf oleh korban secara terbuka.

Pada umumnya metode penyelesaian sengketa yang


dilakukan secara turun-temurun dalam kearifan lokal
masyarakat Aceh dilakukan melalui (1). Di’iet atau diyat dalam
istilah syariat Islam bermakna pengganti jiwa atau anggota
tubuh yang hilang atau rusak dengan harta, baik harta bergerak
atau harta tidak bergerak. (2). Sayam adalah bentuk kompensasi
berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban

285
atau ahli waris korban. (3). Suloh berasal dari kata Al-Shulhu
atau Ishlah adalah upaya perdamaian antar pihak yang
bersengketa atau konflik. (4). Peusijuk adalah Tradisi ini
biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman,
dan kebahagiaan dalam kehidupan. Dan (5). Peumat Jaroe
merupakan suatu kegiatan berjabat tangan antara para pihak
yang bersengketa. Peumat Jaroe biasanya dilakukan pada tahap
akhir yang menandakan para pihak sudah saling memaafkan.

286
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hak Asasi Manusia adalah hak yang bersifat kodrati


yang diberikan oleh tuhan kepada manusia yang harus
dijunjung tinggi, dihargai, dihormati demi tercapainya hak
tertinggi dari harkat dan martabat, kesejahteraan kebahagiaan
dan kecerdasan serta keadilan bagi seluruh masyarakat di
dunia.

Perkembangan penting pada perumusan ide pokok dari


hak asasi manusia di dunia adalah sebagai berikut. Pertama,
pada 15 Juni 1215 munculnya perjanjian Magna Charta, Kedua,
di tahun 1628 terbitnya Bill of Right. Ketiga, lahirnya The
Declaration of Independence. Keempat,munculnya Declaration
of The Right of Man and The Citizen (Deklarasi Hak-Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara).

Terdapat 10 dokumen penting di dunia internasional yang


berkaitan dengan hak asasi manusia yaitu: (1). Universal
Declaration on Human Right (UDHR). (2). International
Convenant on Civil and Political Rights (ICRP). (3). International
Convenant on Economic Social and Culture Rights (ICESCR). (4).
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Descrimination (CERD). (5). Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Women(CEDAW. (6).

287
Convention Againts Torture and Other Cruel, In Human or
Degrading Treatment of Punishment (CAT). (7). Convention on the
Rights of the Child (CRC). (8). Convention on the Protection for
Migrant Workers and Their Families(CMW). (9). Convention on
the Rights of Persons with Dissabilities(CRPD). (10). International
Convention for Protection of All Persons from Enforced
Disappearence (CEO).

Sedangkan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) pada tingkat


nasional terdiri atas: (1). TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
HAM. (2). UUD 1945. (3).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. (4). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. (5).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak. (6). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan
Nasional. (7). Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang
Mahkamah

Konstitusi. (8). Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (9). Undang-Undang
No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. (10).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis. (11). Undang- Undang Nomor19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta. (12). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik. (13). Undang- Undang Nomor

288
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. (14). Undang- Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Buruh. (15).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.

Penggolongan atas pelanggaran dari hak asasi manusia terdiri


atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadapa kemanusiaan.
Kejahatan genosida merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
tujuan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian bangsa, ras,
kelompok dan etnis dengan cara membunuh yang mengakibatkan
penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok.
Sedangkan kejahatan terhadap manusia meliputi pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran penduduk secara paksa,
perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perbudakan seksual,
penghilangan orang secara terpaksa dan kejahatan apartheid.

Hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh


merupakan amanat dari Pasal 228 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. KKR Aceh memiliki
kewenangan untuk melakukan rekonsiliasi, perkara pelanggaran yang
bersifat ringan di Aceh. Adapun tujuan dari rekonsiliasi tersebut adalah
sebagai berikut :

1) Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan


menghilangkan dendam antara korban, keluarga korban dan
pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan

289
bangsa.
2) Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan
perdamaian.

3) Mencegah berulangnya konflik, dan

4) Menjaga keutuhan wilayah Aceh.

290
291
292

Anda mungkin juga menyukai