Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM)

Internasional tidak terlepas dari latar belakang historis yang cukup panjang,

yang diperjuangkan dari masa ke masa seperti dimulai dengan adanya

Magna Charta pada tahun 1215 dan Bill of Rights pada tahun 1689 di

Inggris sebagai upaya memperjuangkan kedudukan di depan hukum. 1 Di

Amerika, perjuangan HAM dimulai lewat The American Declaration of

Independence sebagai deklarasi kemerdekaan Amerika dari pemerintahan

kolonial Inggris. Sejarah HAM berlanjut dengan adanya sejumlah perincian

hak-hak yang akhirnya disebut HAM pada The French Declaration di

Perancis. 2

Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa tidak boleh dilakukan

penangkapan sewenang-wenang tanpa alasan yang sah, maupun penahanan

tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh Pejabat sah. Beberapa hak seperti

asas praduga tak bersalah, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, hak

kepemilikan, dan hak dasar lainnya kemudian diatur lebih lanjut dan

kemudian menjadi dasar lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,

1
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta,
2005, hal. 50-51.
2
AV. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, McMillan,
London, 1973, hal. 202-203.
2

yang disahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disingkat PBB)

pada tahun 1948.3

Salah seorang ahli hukum Perancis yakni Karel Vasak

menggunakan istilah “generasi” untuk menjelaskan pada substansi dan

ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu

dan kemudian membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi

Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan

persaudaraan”.4 HAM kemudian dibagi ke dalam tiga generasi antara lain:

1. Generasi Pertama5

“Kebebasan”, sering dirujuk mewakili Hak-hak di bidang Sipil

dan Politik. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari

cengkraman kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial

lainnya, sehingga hak-hak generasi pertama ini dikatakan sebagai hak-

hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi

kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas

dirinya sendiri (kedaulatan individu). Pemenuhan hak-hak yang

dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen

atau minusnya tindakan negara terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara

tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya yaitu dengan melakukan

pengekangan terhadap hak generasai pertama ini karena akan

mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.

3
Majda El –Muhtaj, Op. cit., hal. 53.
4
PUSHAM UII Yogyakarta & Norwegian Center for Human Rights (NCHR, Hukum
Hak Asasi Manusia, ) Norwegia, 2015, hal. 11.
5
Ibid. hal. 12.
3

Hak-hak di bidang Sipil dan Politik tersebut diantaranya: Hak

hidup; Keutuhan jasmani, Hak suaka dari penindasan, Penyelenggaraan

peradilan, Privasi, Perlindungan terhadap hak milik, Kebebasan

beragama, Berkumpul denga damai dan berserikat, Partisipasi politik,

Persamaan di muka hukum; dan Perlindungan yang efektif terhadap

diskriminasi.

2. Generasi Kedua6

“Persamaan”, dirujuk untuk mewakili hak-hak di bidang sosial,

budaya, dan ekonomi. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara

menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang mulai

dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut

bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia.

Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang

positif: hak atas (right to), bukan dalam bahasa negatif: bebas dari

(freedom from). Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda

plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif).

Untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam

generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan

program-program bagi pemenuhan hak-hak seperti: Pekerjaan dan

kondisi kerja yang memadai, Membentuk serikat pekerja, Jaminan sosial

dan standar hidup yang memadai termasuk pangan, sandang, dan papan,

Kesehatan, Pendidikan, dan Bagian dari kehidupan budaya.

6
Ibid. hal. 13.
4

3. Generasi Ketiga7

“Persaudaraan”, diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau

“hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara

berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil.

Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang

menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum

internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut: hak atas

pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri,

hak atas lingkungan hidup yang baik, dan hak atas warisan budaya

sendiri.

Sebagai bagian dari sistem hukum internasional yang dibentuk oleh

masyarakat internasional yaitu negara-negara, maka negara harus

memperhatikan dengan seksama pelaksanaan HAM khususnya dalam

membentuk sistem hukum melalui kebiasaan, perjanjian internasional, atau

bentuk lainnya seperti deklarasi maupun petunjuk teknis, dan kemudian

negara menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum internasional.

Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok tertentu,

atau harta benda. Negara atau pejabat negara mempunyai kewajiban untuk

melindungi warga negara beserta harta bendanya. 8

Piagam PBB sendiri mengatur mekanisme pemantauan yang

bersifat umum, yaitu mekanisme yang dibentuk untuk bekerja di dalam

7
Muladi, Tanggapan Pendidikan Tinggi Dalam Bidang Hukum Menghadapi Era
Pasar Bebas: Bidang Hak Asasi Manusia, Makalah, Semarang, 1986.
8
Harkristuti Harkrisnowo, dkk., Hukukm Dan Hak Asasi Manusia, Universitas
Terbuka, Tangerang Selatan, 2015, hal. 7.
5

bidang yang luas dari hukum internasional publik dan tidak hanya hukum

hak asasi manusia internasional. Mekanisme PBB ini berkaitan dengan

organ-organ sebagaimana disebut dalam Pasal 7 Piagam PBB, organ PBB

tersebut terkait dengan Pembentukan HAM, seperti:9

a. Majelis Umum PBB;


b. Dewan Perwalian;
c. Dewan Keamanan;
d. Dewan Ekonomi dan Sosial;
e. Dewan Hak Asasi Manusia;
f. Mahkamah Internasional;
g. Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Sebagai salah satu dari ketujuh organ yang diserahi tugas dalam hal

HAM, Dewan HAM PBB merupakan badan yang memiliki tanggung jawab

untuk memperkuat kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di seluruh

dunia dan untuk mengatasi situasi pelanggaran hak asasi manusia.10 Dalam

KTT PBB tahun 2005 disepakati penggantian Komisi HAM PBB dengan

Dewan HAM PBB yang dituangkan dalam dokumen akhir KTT PBB.

Selain itu, disepkati beberapa isu utama yang menjadi dasar pembentukan

Dewan HAM , antara lain:11

1) Membentuk sebuah badan baru untuk membantu negara-negara bangkit

dari konflik. Timbul ketidakcocokan dalam masalah kontrolnya,

dilakukan oleh DK PBB atau oleh MU PBB;

9
PUSHAM UII Yogyakarta, Op. cit., hal. 171.
10
United Nations Human Rights Council, Background information on the Human
Rights Council, http://www.ohchr.org, Diakses pada 28 Januari 2020.
11
A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis,
Sosial, Politik : Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Hak-ham (Hukum Hak Asasi Manusia)
dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Bogor , 2010, hal. 170.
6

2) Menyerukan negara-negara untuk memikirkan intervensi dalam kasus

genosida/pembantaian etnis. Tujuannya untuk mencegah negara-negara

melakukan kejahatan genosida;

3) Mengutuk terorisme dalam segala bentuknya.

Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai badan tambahan dari

Majelis Umum PBB. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) Piagam PBB

yang menyebutkan: 12 There are established as the principal organs of the

United Nations: a General Assembly, a Security Council, an Economic and

Social Council, a Trusteeship Council, an International Court of Justice,

and a Secretariat. Kedudukan Dewan HAM selanjutnya diperkuat lewat

Resolusi Majelis Umum No. 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai

bagian pembaruan untuk memperkuat kegitan hak asasi manusia PBB,

menggantikan posisi dari Komisi HAM PBB.

Sebagai specialized agency PBB, maka Dewan HAM akan diawasi

secara langsung kinerjanya oleh Majelis Umum,13 dalam menjalankan

Tugas utamanya untuk melakukan tindak lanjut terhadap pelanggaran HAM

yang terjadi di dunia. 14 Dengan tugas utama sebagaimana dimaksud, maka

Dewan HAM memiliki mandat untuk membentuk subinstitusi-subinstitusi

baru dan menetapkan cara kerja yang lebih efektif. Yakni sebuah kelompok

kerja untuk pemerintah yang dibentuk secara transparan bagi semua dalam

12
Pasal 7 ayat (1) Piagam PBB.
13
United Nations Human Rights Council, Background Information - Human Rights
Council Review, http://www.ohchr.org, Diakses pada 28 Januari 2020.
14
C. de Rover, To Serve & to Protect – Acuan Universal Penegakan HAM,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 67.
7

hal perumusan rekomendasi-rekomendasi konkret dalam proses peninjauan

kembali. 15

Dalam menjalankan tugasnya, Dewan HAM akan tetap mengacu

pada ketentuan Piagam PBB sebagai landasan yuridis tugas pokok serta

pembentukannya, selain juga mengacu pada beberapa instrumen hukum

internasional yang secara lebih spesifik mengatur mengenai substansi HAM

seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 beserta beberapa

kovenan internasional dan konvensi lainnya. 16 Dalam perkembangan

penegakan HAM pada situasi dan kondisi dunia yang modern ini, Dewan

HAM seharusnya memandang penegakan HAM yang lebih komprehensif

dan tidak hanya terbatas pada aspek-aspek individual, tetapi juga dilihat

dalam skala yang lebih besar yang berkaitan dengan suatu entitas yakni

negara, oleh karena negara merupakan aktor utama penegak HAM.

Untuk dapat menjamin HAM suatu negara, hal yang sangat penting

adalah dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan kedaulatan dan

prinsip non-intervensi. Dalam hukum internasional, intervention tidak

berarti luas yakni segala bentuk campur tangan negara asing dalam urusan

satu negara, melainkan berarti sempit yaitu suatu campur tangan negara

asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan

ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi. 17

15
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, dan Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia,
PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, hal. 203.
16
Harkristuti Harkrisnowo, Op. cit., hal. 12.
17
Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, Pembimbing Masa,
Jakarta, 1967, hal. 149-150.
8

Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB menjelaskan bahwa suatu negara

dilarang untuk ikut campur atau mengintervensi urusan dalam negeri negara

lain. Hal ini mencakup segala urusan negara tersebut baik politik, hukum,

sosial, budaya, ekonomi, dan urusan lainnya. Prinsip non-intervensi ini juga

mencerminkan penghargaan terhadap kedaulatan dan yurisdiksi suatu

negara dalam batas-batas wilayahnya. 18

Di sisi lain menurut Starke, tindakan intervensi Negara atas

kedaulatan Negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang

melanggar hukum. Dia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu

dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional.

Adapun tindakan intervensi tersebut adalah: 19

a) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB. Intervensi tidak

dilakukan sendirian tetapi secara bersama atau secara gabungan dengan

negara lain;

b) Intervensi dilakukan dengan tujuan melindungi warga negara di negara

lain salah satunya diakibatkan adanya pelanggaran HAM di negara

tersebut;

c) Pembelaan diri Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah

serangan bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah

langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation),

tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk

menimbang (no moment of deliberation);

18
Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB.
19
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal. 137.
9

d) Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya. Negara

protektorat adalah suatu negara yang ada di bawah perlindungan negara

lain yang lebih kuat. Negara protektorat tidak dianggap sebagai negara

merdeka karena tidak memiliki hak penuh untuk menggunakan hukum

nasionalnya;

e) Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan

pelanggaran berat atas hukum internasional. Pelanggaran berat atas

hukum internasional seperti pelanggaran HAM dengan jumlah korban

yang banyak dijadikan suatu syarat pembolehan untuk mengintervensi

suatu negara.

Intervensi kolektif sebagai salah satu bentuk tindakan intervensi,

diatur dalam Pasal 41 Piagam PBB, dengan pelaksanaan intervensi tersebut

harus mendapat izin dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam

Piagam PBB. Izin di dapat melalui Dewan Keamanan PBB dalam bentuk

rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan

yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah intervensi itu

diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut.20 Pengaturan Pasal 41 salah

satunya dapat berupa Pengenaan Embargo. Embargo sebagaimana diatur

merupakan suatu salah satu dari beberapa sanksi yang digunakan dalam

proses penyelesaian sengketa.21

Pada prakteknya, proses intervensi kolektif berupa pengenaan

embargo yang dilakukan oleh suatu negara pada negara lain ternyata

20
Bab VII Piagam PBB Pasal 39, 41, dan 51.
21
Kofi A. Annan, Common Desnity, New Resolve, Annual Report on the Work on the
Organization, The United Nations Departement of Public Information, New York, 2000, hal. 34.
10

melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Piagam. Salah satu contoh

yang terjadi yakni intervensi kolektif Amerika Serikat pada Venezuela.

Secara kronologis, adanya kisruh politik dalam yurisdiksi nasional negara

Venezuela yang melibatkan rezim oposisi yang dipimpin oleh Juan Guaido

dan rezim penguasa yang di pimpin oleh Nicholas Maduro. Maduro yang

menang pada pemilihan umum dianggap mendapatkan kekuasaannya lewat

kecurangan, kemudian ditentang oleh oposisi Guaido yang kemudian

mendeklarasikan diri sebagai pemimpin internal Venezuela sekaligus

pengganti Maduro dengan dukungan Amerika Serikat lewat pernyataan

Presiden Donald Trump, setelah sebelumnya diketahui bahwa Maduro

mendapat dukungan dari Cina dan Rusia. 22

Karena kondisi politik dimana Nicholas Maduro tetap berpegang

pada hasil pemilihan umum dan tidak bersedia mundur dari jabatannya,

maka lewat Perintah Eksekutif (Presiden), Amerika Serikat kemudian

memberikan tekanan dengan menerapkan Embargo Ekonomi Total terhadap

Venezuela yang berdampak pada pembekuan aset pemerintah Venezuela

serta melarang transaksi ekonomi juga pada produksi minyak Venezuela. 23

Intervensi kolektif berupa pengenaan embargo yang dilakukan oleh

Amerika Serikat terhadap Venezuela telah melanggar ketentuan Pasal 41

Piagam PBB dimana pengenaan embargo harus secara kolektif dilakukan

oleh beberapa negara terhadap suatu negara, akan tetapi hanya dilakukan

22
Motif Intervensi Amerika Di Venezuela, https://www.qureta.com, Diakses pada 29
Januari 2020.
23
Amerika Serikat Berlakukan Embargo Total Pada Venezuela,
https://www.gatra.com, Diakses pada 29 Januari 2020.
11

sepihak oleh Amerika Serikat. Hal ini juga jelas bertentangan dengan

prinsip HAM lebih khusus dalam hal prinsip non-intervensi yang

merupakan penghargaan atas persamaan kedaulatan dan yurisdiksi suatu

negara yang diatur dalam Piagam PBB. Dengan kasus tersebut, Dewan

HAM PBB haruslah berperan untuk menegakan ketentuan dalam Piagam

PBB terkait proses intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat sehingga

tidak ada lagi tindakan intervensi yang mengabaikan ketentuan hukum

internasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka terdapat beberapa

rumusan masalah antara lain:

1. Apakah embargo sepihak melanggar HAM?

2. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh negara penerima

embargo?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dari proposal ini adalah :

1. Untuk mengkaji dan mengetahui Fungsi Dewan HAM PBB Terhadap

Kebijakan Embargo Sepihak Suatu Negara.

2. Untuk mengkaji dan mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh

negara penerima embargo

3. Sebagai salah satu persyaratan untuk penyelesaian studi pada fakultas

hukum Universitas Pattimura.


12

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat Penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

yang baik di bidang hukum internasional khususnya dalam hal fungsi

Dewan HAM PBB terhadap kebijakan embargo sepihak suatu negara dan

upaya hukum yang dapat dilakukan oleh negara penerima embargo.

2. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam

memberikan penjelasan mengenai fungsi Dewan HAM PBB terhadap

kebijakan embargo sepihak suatu negara, serta dapat berguna untuk

masyarakat maupun penelitian-penelitian lainnya.

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Hukum Internasional

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur

aktivitas entitas. Pada awalnya hukum internasional diartikan sebagai

perilaku dan hubungan antarnegara. Namun dalam perkembangannya,

pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga

mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional. Hukum

internasional memiliki beberapa istilah yang sering disebut International

Law, The Law of Nation, Droit International, dan Hukum Antarbangsa. 24

Sumber hukum internasional terbagi menjadi dua yaitu sumber

hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Sumber

hukum internasional terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum dalam arti

24
Heliarta, Mengenal Hukum Internasional, Sindur Press Semarang, Semarang, 2010,
hal. 1.
13

materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Sedangkan Sumber hukum

formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk nyata dari hukum

itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak dan

berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah ditemukan hukum yang

mengatur suatu masalah tertentu.25

Dari pengertian sumber hukum baik materiil maupun formal

menurut Burhan Tsani Sumber hukum internasional diartikan sebagai

berikut:26

1. Dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional.

2. Metode penciptaan hukum internasional.

3. Tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional.

Sumber hukum internasional menurut Pasal 38 (1) Statuta

Mahkamah Internasional adalah berikut:27

a. Perjanjian internasional (Internasional conventions);

b. Kebiasaan internasional (Internasional custom);

c. Prinsip hukum umum (general principles of law);

d. Keputusan pengadilan (judical decision) dan pendapat para ahli yang

telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum

internasional tambahan.

25
Ibid. hal. 10.
26
Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990, hal.
14.
27
Heliarta, Op. cit., hal. 11.
14

Dari dua sumber hukum internasional di atas terdapat perbedaan

yang jelas sebagai berikut: Pertama, sarjana hukum internasional bahwa

keputusan dari pengadilan internasional merupakan sumber hukum.

Sementara menurut Statuta Mahkamah Internasional penyelesaian

masalah dalam pengadilan internasional harus ada perjanjian dari kedua

negara yang bersangkutan. Kedua, dalam pendapat sarjana, hukum tidak

bisa membuat aturan baru yang bisa menjadi kaidah/aturan sedangkan

dalam Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 Ayat 2, yang

menyatakan bahwa hakim dapat memutuskan sengketa berdasarkan pada

hati nurani, walaupun saat ini hal ini belum pernah dilakukan oleh

Mahkamah Internasional. 28

2. Konsep HAM

Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari

teori hak kodrati (natural rights theory). Hugo de Groot atau Grotius,

mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Thomas Aquinas

dengan memutus asal-usulnya yang teistik (kepercayaan terhadap

keberadaan Tuhan atau dewa-dewi) dan membuatnya menjadi produk

pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada

perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-

Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak

kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi

28
Ibid.
15

munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris,

Amerika Serikat, dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.29

Menurut Locke, hak asasi manusia adalah hak-hak yang

diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang

kodrati. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan

kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas

dari dan dalam kehidupan manusia, sehingga tidak ada otoritas yang

dapat mencabutnya. 30

Dalam konsep Eropa Kontinental, pembatasan terhadap tindak

tanduk negara dan organ-organnya dan peletakan kewajiban negara

terhadap warganya sehingga prinsip yang terkandung dalam konsep hak

asasi manusia adalah tuntutan (claim) akan hak terhadap negara dan

kewajiban yang harus dilakukan oleh negara.31

Dengan demikian, dapat dikatakan HAM merupakan

seperangkat hak yang melekat pada diri manusia sebagai suatu anugerah

Tuhan, bersifat kodrati dan fundamental, harus dihormati, dijaga dan

dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Sebagai bentuk

penghormatan dan perlindungan terhadap HAM maka keseimbangan

antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan

perseorangan dan kepentingan umum harus tetap dijaga. 32

29
PUSHAM UII Yogyakarta, Op. cit., hal. 8.
30
Masyhur Effendi, Dimensi Dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum
Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 3.
31
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 2010, hal. 61.
32
Tim ICCE UIN Jakarta, Op. Cit., hal. 201.
16

3. Konsep Intervensi

Intervensi merupakan salah satu bentuk turut campur dalam

urusan Negara lain yang bersifat diktatorial, mempunyai fungsi sebagai

salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional. Dikatakan

salah satunya karena hukum internasional mengenal beberapa cara

penyelesaian persengketaan internasional secara paksa, yaitu: 33

a. Restorsion (pembalasan setimpal)

b. Reprisal (pembalasan setimpal)

c. Pasific blockade (blokade damai)

d. Intervensi.

Intervensi dapat diartikan sebagai turut campurnya sebuah

Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain dengan menggunakan

kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan

diartikan sebagai intervensi yang dilakukakan oleh komunitas

internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam

sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan

Negara tersebut. Menurut Oppenheim Lauterpacht, intervensi aadalah

campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam

negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah

keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut.34

33
Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Batara, Jakarta, 1971, hal. 108.
34
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, West Group, ST. Paul, Minn, 1999, hal. 8.
17

Menurut J.G. Starke, ada tiga tipologi dalam melihat sebuah

intervensi Negara terhadap Negara lain, yaitu: Pertama, Intervensi

Internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan

dalam negeri Negara lain. Kedua, Intervensi Eksternal, yaitu intervensi

yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan luar negeri sebuah Negara

dengan Negara lain. Ketiga, Intervensi Punitive, yaitu intervensi sebuah

Negara terhadap Negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita

oleh Negara tersebut.35 Intervensi menimbulkan perdebatan karena

berhadapan langsung dengan prinsipprinsip umum dalam hukum

internasional, yaitu Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip non-

intervensi. 36

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan Permasalahan diatas maka penulisan ini

menggunakan jenis Penelitian “Yuridis Normatif “.Yaitu penelitian

tentang kaidah-kaidah, Norma-norma, dan asas hukum berdasarkan

peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan permasalahan

yang diteliti.

2. Tipe Penelitian

Dalam Penelitian ini tipe penelitian yang digunkan penulis

adalah “Deskriptif Analisis” dengan alasan bahwa hasil yang digunakan

dari studi kepustakaan selanjutnya dianalisis dan dibahas menggunakan

35
J. G Starke, Loc. Cit.
36
Pasal 2 (1) dan Pasal 2 (4) Piagam PBB.
18

alur pembahasan secara sistematis didalam beberapa bab dengan

demikian hasil analisis dan pembahasan tersebut selanjutnya

dideskripsikan untuk memudahkan penarikan beberapa kesimpulan dan

pengajuan saran.

3. Sumber Bahan Hukum

Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 macam

bahan pustaka yang dipergunakan oleh penulis yakni :

a) Bahan Hukum Primer antara lain:

1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

2) Deklarasi Hak Asasi Manusia/ DUHAM 1948.

b) Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang tidak mengikat

tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan

hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang

mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan

memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang

dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah materi-

materi yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan beberapa referensi

lainnya.

c) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan

pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya.

4. Pendekatan Masalah
19

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.

Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.

Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam

penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah: 37

1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach);

2. Pendekatan Kasus (case approach);

3. Pendekatan Konseptual (conceptual approach);

4. Pendekatan Komparatif (comparative approach;)

5. Pendekatan Historis (historical approach).

Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada

pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan

kasus. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan

(Library research) yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum terkait

untuk memeperoleh informasi yang objektif dan akurat, baik dari buku-

buku undang-undang, hasil penelitian maupun internet. Pengumpulan

bahan-bahan hukum dilakukan dengan menyusun berdasarkan subjek

37
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
2009, hal. 93.
20

yang diinginkan, selanjutnya dipelajari kemudian diklasifikasikan sesuai

dengan permasalahan yang dibahas.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Metode analisis yang dipakai untuk menganalisis bahan hukum

yang telah terhimpun adalah metode analisis kualitatif, yaitu bahan

hukum yang diperoleh kemudian disusun secara sistematik untuk

selanjutnya dianalisis secara kualitatif berdasarkan disiplin ilmu hukum

untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

Anda mungkin juga menyukai