DI SUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA KULIAH HUKUM TATA NEGARA
Indah purnama sari
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dimana Istilah demokrasi itu sendiri tidak termaktub dalam pembukaan UUD 1945, melainkan yang memuat pancasila. Namun esensi demokrasi terdapat dalam sila ke empat pancasila, kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Sejauh apa demokrasi kita merupakan perwujudan sila ke empat itu? Belakangan ini, Demokrasi sedang berperang pada identitas dirinya. Beberapa pakar terus-menerus menanyakan Apa arti Demokrasi tanpa adanya kebebasan. Bukan hanya kebebasan menentukan prinsip melainkan kebebasan berpendapat. Akhir-akhir ini sepertinya kita seperti digiring. Di giring dengan maksud menyamaratakan hati dan fikiran mengenai suatu permasalahan kepemerintahan kita tanpa kita sepakat akan hal itu. Demokrasi tak lagi ber-marwah sebab adanya oknum-oknum bayaran pembungkam serta memanipulasi beberapa wacana dan narasi kepemerintahan kita. Mempersoalkan demokrasi sebagai suatu sistem politik dalam negara hukum sesungguhnya tidak sekedar terfokus pada dimensi tujuannya saja. Namun, penting diperhatikan juga tentang cara berdemokrasi yang benar. Jika kita lihat sekarang masyarakat lebih cenderung mengaktualisasikannya dengan cara yang tidak terpuji. Yang dengan alasan demokrasi, semua aturan-aturan hukum bisa dilanggar dengan seenaknya. Problem utama setelah reformasi bergulir adalah adanya kebebasan tanpa arah yang kebablasan sebagai dasar dari demokrasi. Padahal dalam pelaksanaannya sendiri seharusnya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Inilah yang disebut dan dikenal dengan prinsip hak dan kewajiban. Yaitu, adanya hak oarng lain yang mesti dihargai dan kewajiban kita untuk mematuhi sistem demokrasi dengan benar. Kemerdekaan yang diperoleh melalui perjuangan yang cukup lama dan memakan banyak korban, maka kata demokrasi mempunyai arti penting sebab merupakan salah satu tonggak daripada penyanggah kemerdekaan yang telah dicapai. Bertolak pada hal di atas, kemerdekaan yang telah dicapai tersebut haruslah diisi dengan sistem demokrasi yang berkeadilan. Dengan demikian nantinya demokrasi akan jauh lebih bermakna sebab telah terpenuhinya nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) untuk berekspresi dengan segala kebebasan yang positif dan bukan kebebasan yang anarkhis. Oleh sebab itu, tahapan demokrasi yang benar dan baik harus dikedepankan sehingga nanti akan dijumpai suatu masyarakat yang hidup dalam suasana yang sejahtera dengan koridor hukum yang berlaku. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi dapat dilihat sekitar lima abad sebelum masehi (SM). Saat itu orangYunani membentuk Polis (Negara Kota) dengan menerapkan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan sehingga dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pentingnya demokrasi juga dikemukakan oleh Samuel P Hunngtington yang menulis dalam bukunya, ”The Third Wave Democratization in The Late Twentieth Century” (1991) yang mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi kata kunci dalam wacana dan pergerakan politik dunia. Dan, tidak ada keragu-raguan untuk itu. Serta proses demokratisasi atau perjuangan untuk menegakkan demokrasi dewasa ini telah ada dan sedang berlangsung di berbagai pelosok dunia. Jadi, hampir semua istilah demokrasi selalu memberikan arti penting bagi masyarakat. Jika demokrasi hanya dipersoalkan pada tujuan yang ingin dicapai saja maka jelas akan mengandung sejumlah problem terutama yang berdampak pada kelangsungan kehidupan masyarakat. Karena, demokrasi tidak berada pada ruang hampa yang kebal dari aturan yang anarkis. Namun sebaliknya bahwa demokrasi tersebut harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku yang nantinya berdampak pada aktivitas masyarakat. Demokrasi mungkin menjadi istilah baru dalam khazanah kebudayaan bangsa, namun secara esensi demokrasi adalah sesuatu yang lama hidup di Indonesia.. Dalam khazanah Islam juga dikenal istilah syura yang secara prinsip sejalan dengan demokrasi. Sementara di barat prinsip tersebut dikenal sebagai demokrasi. Dalam budaya Jawa sendiri juga dikenal istilah rembug, yang esensi-nya adalah bagaimana sebuah keputusan di share oleh pimpinan kepada warganya untuk dicari penyelesaian bersama. Secara prinsip hal itu juga sejalan dengan demokrasi.. Pada saat ini pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan mengenai apalah arti dari sebuah demokrasi apabila rusak dalam pemahaman dan eksekusinya. Kritisisasi dalam pemaknaan demokrasi memunculkan oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang bertujuan untuk memecahbelah masyarakat Indonesia dengan menyebarluaskan data serta pendapat- pendapat pribadinya mengenai politik,kekuasaan serta kepemerintahan di Indonesia dengan sosial media. Munculnya Berita-berita hoax serta adanya pendengung yg menyamar sebagai pengkritik dan penyuara politik penggiring opini kian meresahkan hakikat demokrasi kita. Pendengung atau yang lebih kita kenal “buzzer” kerap digunakan untuk melakukan 'pemasaran' politik. Buzzer bisa bergerak sesuai keinginannya, namun bisa juga digerakkan oleh pihak tertentu. Cara menyuarakannya pun bisa secara langsung ataupun secara anonim. Maka dari itu, Consent yang melatarbelakangi menjamurnya adanya Buzzer yaitu bisa karena motif ekonomi serta motif ideologi. Pendengung yang terkenal di sekitaran masyarakat kita yaitu Buzzer RP, yang mana kini menjadi sebuah pekerjaan yang dikatakan menjanjikan. Buzzer bekerja untuk menggiring opini publik melalui akun-akun media berdasarkan permintaan klien. Buzzer RP adalah penyuara politik yang dibayar melalui akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan. Buzzer RP juga merupakan kelompok yang tak jelas siapa identitasnya, dimana asalnya lalu dengan motif ideologis atau motif ekonomi menjadi sosok yang menyebarkan informasi palsu. Namun, agaknya kondisi yang menjanjikan tersebut diciderai oleh pelaku buzzer politik, yang bekerja untuk berbagai kepentingan politik tertentu. Golongan buzzer politik ini secara sempit membela habis- habisan kepentingan politiknya dan mencerca sepuas-puasnya yang menjadi lawan politik mereka. Menggunakan media sosial untuk mengumbar keburukan yang tidak relevan dengan kepentingan publik atau mengumbar kebencian justru menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi. Sebab pada hakikatnya, kemunculan black propaganda merupakan musuh bagi demokrasi karena memanipulasi hak warga negara untuk berpartisipasi secara politik. Black propaganda pun merujuk pada isu yang tidak konkret dan tidak akurat melalui rumor,narasi,meme atau komunikasi sosial lainnya. Adapun keresahan-keresahan yg sampai saat ini masih mengganggu fikiran kita dimana KEBERADAAN para pendengung atau buzzer diperkirakan akan semakin masif pada pemilihan umum (pemilu) 2024. Apalagi, dengan pola kampanye menggunakan media sosial yang diyakini semakin banyak digunakan oleh peserta pemilu dan para calon. Hal itu membuat tingkat ketergantungan rasionalitas publik terhadap peran buzzer menjadi besar. Masyarakat diminta mengatisipasi bahaya pendengung dalam demokrasi. Sebaliknya, media sosial bisa menimbulkan hal negatif antara lain kehadiran para pendengung yang membuat narasi dan isu negatif seperti hoaks, politik identitas, dan lainnya yang sengaja digunakan oleh para elit politik. Jika Buzzer berperan di sisi positif akan sangat baik, tapi jika berperan di sisi negatif akan sangat rentan memunculkan konflik. Dimana di masa ini tidak bisa langsung menutup akses (take down) akun-akun media sosial yang menyebarkan informasi hoaks dan berita negatif. Bahkan Bawaslu sendiri hanya bisa menindak akun milik peserta pemilu atau pasangan calon yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara, di luar akun-akun tersebut, ada akun anonim lain yang memainkan isu untuk kepentingan para calon dimana posisinya yang didaftarkan tim sukses kadang-kadang hanya satu akun. Saya menyebutnya akun malaikat yang mengabarkan visi-misi baik terus. Tapi ada akun-akun yang kemudian ditujukan untuk menyebarkan berita dengan informasi (tidak benar. Karena itu, ia menekankan pentingnya peran para pemangku kepentingan. Penyelenggara pemilu dapat meningkatkan kesepahaman pada semua partai politik peserta pemilu nantinya untuk tidak menjadikan isu yang memecah-belah bangsa ke media sosial. Kelompok-kelompok buzzer sangat meresahkan terlihat pada Setelah selesai Bapak Bambang Susilo Yudhoyono mengumumkan Putranya Agus harimurti yudhoyono sebagai calon gubernur DKI JAKARTA, dunia media sosial terutama twitter dipenuhi oleh Buzzer dan Bot Politik. Kelompok ini sangat mahir dan lihai mengelola kebohongan dan berbagai kebodohan sebagai isu publik melalui media sosial. Tanpa disadari, keriuhan dan aktivitas masif para buzzer dan bot politik telah menciderai demokrasi digital. Perdebatan dangkal antar-buzzer yang masing-masing menggunakan teknik black campaign tidak saja merugikan publik tetapi juga mengancam masa depan demokrasi mengarah pada demokrasi penuh caci maki. Seluruh penyelenggara pemerintahan dan masyarakat rata-rata menilai kehadiran buzzer berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Sebab, banyak buzzer cenderung sekadar menyampaikan olok-olok atau fitnah yang bertujuan untuk membunuh karakter seseorang dan menggiring opini publik dengan tujuan tertentu. Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, terdapat tiga motif serangan buzzer sebagai cyber troops atau pengerahan pasukan dunia maya. tiga motif ini kemudian yang menjadi alasan buzzer muncul dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Motif personal itu timbul dari ketidaksukaan seseorang terhadap orang lain. Ketidaksukaan ini dimanfaatkan buzzer untuk black campaigning atau melakukan kampanye negatif yang menyerang orang lain. Motif kedua adalah ekonomi. Ketika narasi yang digaungkan buzzer viral di media sosial dan mendatangkan banyak akun followers atau pengikut, maka pundi-pundi dalam bentuk tawaran iklan pun menghampiri para buzzer tersebut. Motif ketiga, politik. jadi ketiga motif ini yang menjadikan kenapa sekarang ini buzzer itu menjadi hal yang tidak dapat terelakkan dalam demokrasi kita karena satu itu lebih condong ke arah ekonomi politik Buzzer dapat dimaknai positif kalau informasi yang ditampilkan tidak partisan dan tidak tendensius. Sementara, buzzer dimaknai negatif apabila yang dilakukannya menyumbang narasi-narasi identitas. Kini, narasi buzzer lebih cenderung mencari sensasi. Terjadi pula pergeseran buzzer yang semula beraksi secara individu menjadi kolektif dan masif. “Buzzer sekarang ini mengubah paradigma aktivisme siber kita yang dulu cenderung membangun representasi, melawan sensor negara, sekarang ini lebih condong bagaimana kita mendapatkan pengakuan di ruang public.Dan sekarang yang paling penting, adalah cenderung digunakan elite untuk melakukan black campaigning atau kampanye hitam. Buzzer memiliki peran dan fungsi dalam aktivisme siber Antara lain membentuk wacana politik; menciptakan isu sosial dan politik, yang biasanya advokatif, konstruktif, destruktif, dan agitatif; menyiapkan counter discourse bilamana terjadi perang siber dengan buzzer lainnya; serta bergerak dalam kelompok kecil bersifat independen dan partisan. Dalam ekpresi diskursus politik, kata Wasisto, wacana yang dilontarkan buzzer biasanya bersifat testing the water untuk melihat aksi dan reaksi kelas menengah warganet. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah melakukan riset soal sejarah buzzer secara keseluruhan di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk. Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial. Menurut CIPG, buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa. Pada Maret 2019 lalu menjelang pemilihan presiden, dalam wawancara dengan Reuters, lebih dari selusin anggota tim buzzer, konsultan media sosial, dan pakar dunia maya menggambarkan serangkaian operasi media sosial yang mereka katakan menyebarkan propaganda atas nama Jokowi dan penantangnya, Prabowo Subianto. Tiga buzzer yang terlibat langsung dalam kampanye di media sosial menyebutkan bahwa mereka mengoperasikan ratusan akun media sosial yang dipersonalisasi masing-masing atas nama para kandidat. Meskipun satu tim membantah menyebarkan berita palsu, namun dua mengatakan mereka tidak peduli dengan keakuratan konten yang mereka sebarkan. Akan tetapi, kedua tim kampanye, baik Jokowi dan Prabowo membantah menggunakan buzzer atau menyebarkan berita palsu sebagai bagian dari strategi kampanye mereka. Pakar politik dan media di Universitas Nasional Australia, Ross Tapsell mengatakan sudah menjadi hal yang biasa bagi kandidat di Asia Tenggara untuk mempekerjakan ahli strategi kampanye online, kemudian memanfaatkan sekumpulan orang untuk menyebarkan konten di media sosial. Para Buzzer Rp pun dibayar perbulan. Perkiraan bayarannya pun mulai dari Rp50 juta hingga Rp100 juta untuk tiap proyek isu. Dari uang tersebut akan dibagi-bagi kepada para Buzzer RP yang bekerja. Per orang pun akan mendapatkan gaji Rp3,5 juta hingga Rp5 juta. Ada koordinator yang bekerja dengan gaji Rp6 juta. Sementara sumber lain mengatakan bahwa Buzzer RP bisa juga digaji Rp2 juta per satu paket nge-tweet. Maka dari Itu, Profesi Buzzer RP ini sangat amat menjanjikan pekerja, dengan job desc yang simple dapat profit yang sangat memuaskan, dengan menggiring opini dan penyebaran berita hoaks, mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka kemudian menghancurkan nilai-nilai demokrasi digital pada kehidupan bermasyarakat kita sebab media sosial sangat berpengaruh dalam proses politik, dimana teknologi memang menjadi platform yang potensial bagi warga negara untuk terlibat politik.