Di Indonesia, pencarian terhadap gambar demokrasi pun terus digelar, baik pada aras
praktik sistem politik juga kajian akademik. Dalam aras akademik, sejumlah makalah
dikupas habis-habisan pada banyak sekali seminar. Sementara itu, diterbitkan buku,
artikel pidato para pakar dan politisi, sudah juga diterbitkan di jurnal ilmiah, koran dan
majalah. Namun, berbeda dengan di negara-negara berkembang lainnya, semaraknya
perbincangan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau
pemerintahan di negara ini tidak mengenal sistem demokrasi.
Justru sebaliknya, bangsa Indonesia dalam penerapan sistem politik telah menyetujui
poli-varian demokrasi di dunia. Beberapa di lain dari yang diujicobakan di negeri ini:
demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan demokrasi Pancasila. Semua variasi
demokrasi ini gagal mengubah kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar
berdasarkan nilai-nilai & kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.
Gugatan terhadap demokrasi ini memiliki relevansi kuat di dalam sejarah & sosiologi
politik bangsa Indonesia. Dalam konteks berpikir, tulisan ini membahas bagaimana
perjalanan demokrasi di negeri ini, yang lalu akan dianalisis guna membaca prospek
demokrasi Indonesia pada masa depan dengan mengambil contoh perkara Pemilu &
Pilkada.
o Masa Orde Lama
Kegagalan praktek pembumian demokrasi liberal dan parlementer lalu direduksi sebagai
kegagalan penerapan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan jati diri dan
budaya bangsa Indoesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan
penerapan demokrasi ala Barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya
bangunan sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem
ekonomi saat itu.
Seiring dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orde Lama tersebut,
unsurunsur "di luar" masyarakat secara perlahan-lahan tumbuh dan berkembang
menjadi wahana tumbuhnya logika dan penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. Pada
masa Orde Baru, diinterpretasikan bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa
sehingga negara bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral.
Di sinilah kemudian terjadi proses penyingkiran corak egaliter dan demokratik dari
budaya bangsa Indonesia dan kemudian digantikan oleh corak feodalistik, yang
dimungkinkan karena dua hal pokok (Suharso, 2002). Pertama, melalui integrasi,
pembersihan dan penyatuan birokrasi negara dan militer di bawah satu komando.
Upaya ini membuka jalan bagi penjabaran dan pemberian logika baru dalam feodalisme
budaya bangsa Indonesia secara nyata dan operasional.
Jabaran dan logika baru ini semakin menemukan momentumnya berkaitan dengan
kenyataan di masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat parah
di satu pihak, dan obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai
peletak dasar penghapusan kemiskinan di lain pihak.
Kedua, pengukuhan negara qua negara juga dilakukan melalui upaya penyingkiran
politik massa. Partisipasi politik yang terlalu luas dan tidak terkontrol, dianggap dapat
membahayakan stabilitas politik yang merupakan conditio sine qua non bagi
berlangsungnya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, keterlibatan negara melalui
aparat birokrasi dan militer diabsahkan hingga menjangkau ke seluruh aspek kehidupan
masyarakat.
o Era Reformasi
Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan munculnya
tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming
munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat,
kebebasan pers, dan sebagainya, Jurnal Administrasi Publik, Vol. 3, No.2, 2004 122 yang
merupakan ciri-ciri demokrasi.
Menurut Suharso (2002) setidaknya tercatat berbagai paradoks demokrasi yang patut
dikritisi saat ini. Pertama, berkembangnya kekerasan politik, anarki, radikalisme,
percekcokan massal yang sering dilanjutkan dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan
kehendak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang justru mencerminkan
perilaku anti demokrasi. Politik zero sum game (dan bukan win-win) dalam rangka
menenggelamkan lawan politik menjadi praktek-praktek lazim yang menumbuhkan rasa
takut untuk berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-diam di berbagai kalangan
masyarakat, termasuk mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda dengan
kekuatan politik yang ada. Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan
kearifan untuk toleran terhadap perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri
mulai marak, bahkan sampai ke bentuk fisik, dengan menggunakan simbul-simbul milik
partai, kendati harus memakai berbagai fasilitas publik.
Kedua, berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang
dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kental hanya sekedar demi meraih
kemenangan Pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan
demokrasi. Demokrasi Indonesia: Dari Masa ke Masa (Hartuti Purwaneni) 123.
Ketiga, demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik ketimbang
sebagai sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde Baru dihujat habis-
habisan, kini sebagian kekuatan demokratik berargumentasi bahwa demokrasi tidak
harus selalu berisi perbedaan tetapi juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde
Lama digugat, kini juga tumbuh retorika bahwa pilihan tunggal itu juga demokratik.
Kesan yang tumbuh ialah bahwa demokrasi bukan lagi sebagai idealisme dan agenda
yang harus diperjuangkan untuk mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara,
tetapi lebih sebagai alat dan isu untuk meraih kekuasaan.
Keempat, ketika kultus individu yang diperagakan oleh rezim Soeharto dengan berbagai
simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, kini sebagian masyarakat politik malahan
memperagakan simbolisasi-simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa warna
kultus individu dalam bentuk lain. Simbol-simbol budaya politik Orde Baru bahkan mulai
dibangkitkan kembali, seakan merupakan potret kehidupan politik yang benar.
Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbol-
simbol kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka memberikan kesan bahwa telah
lahir sebuah potensi kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia
ke depan. Tidak jadi soal apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada
pesona yang ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik.
Sejumlah ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di permukaan era reformasi ini
menunjukkan, betapa terjal jalan yang harus ditempuh oleh bangsa ini menuju
demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan
demokrasi secara jujur, jernih dan bertanggung jawab, baik pada tingkat alam pikiran
maupun lebih-lebih sebagai politik yang tersistem. Perjuangan demokrasi akhirnya harus
berhadapan dengan godaan-godaan kekuasaan di tengah sejumlah jerat politik yang
sebenarnya adalah anti demokrasi.
Masa kerja kabinet umumnya memiliki waktu yang singkat hanya sekitar satu
tahun, sehingga banyak program pemerintahan dalam jangka panjang tidak
dapat tercapai dengan maksimal.
Terjadinya konflik di internal angkatan bersenjata, yang terpecah menjadi
dua. Disatu sisi mendukung presiden dan di sisi lain mendukung Wilopo. Hal
tersebut yang kemudian berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa seta menjadi penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika.
Terjadi sebuah debat terbuka antara tokoh Masyumi yakni Isa Anshary
dengan Presiden Soekarno, yang mendebatkan mengenai
digantikannya kedudukan Pancasila dengan dasar negara dengan dasar yang
lebih Islami sesuai sari’at islam. Hal tersebut menimbulkan kesan adanya
ketegangan antara penguasa dengan umat islam.
Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan melalui para menteri,
nyatanya hanya untuk kepentingan partai atau golongan saja. Sehingga
menyebabkan kerugian dalam segi ekonomi secara nasional serta banyak
terjadi pergantian jabatan hanya karena tidak suka atau tidak sependapat
dan bukan karena prestasi.
Banyak terjadinya tindakan pemberontakan terhadap negara yang dilakukan
oleh gerakan-gerakan yang anti pemerintah, seperti, PRRI dan Permesta.
Dampak Negatif:
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000.
Sukses transmigrasi.
Sukses KB.
Sukses memerangi buta huruf.
Sukses swasembada pangan.
Pengangguran minimum.
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Sukses Gerakan Wajib Belajar.
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh.
Sukses keamanan dalam negeri.
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Dampak Negatif:
Sudah terlalu banyak politisi yang memutuskan, baik oleh pengadilan karena korupsi
dan masalah pengadilan lain, juga oleh rakyat dalam pemilu karena gagal amanat.
Namun demikian, belum juga jera. Sekalipun kita menghujat dan mencaci maki politisi
dan parpol, kita tidak mungkin mengingkari kepentingan dan peran parpol jika kita
bersepakat dengan demokrasi.
Oleh karena itu, tantangan kita adalah di satu sisi harus selalu mengingatkan dan
mengendalikan parpol untuk segera berbenah, hanya organisasi kontrol mesin yang
dapat diterima ke jalan yang benar. Sebagitu wewenang atau wewenang politik yang
digenggamnya di wewenangnya harus diimbangi dengan komitmen membangun etika
berpolitik, kemampuan organisasi dalam kepemimpinan, dan ketrampilan mengolah
aspirasi rakyat menjadi kebijakan. Tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi
kompatibel dengan tugas dan fungsinya mengaktifkan sistem bernegara.
1. Politik Uang
Setelah reformasi, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada yang
dilaksanakan secara periodik. Sistem pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat
adalah wujud dari partisipasi rakyat dalam politik sehingga kepala daerah terpilih
akan memperoleh legitimasi dari rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Lebih dari itu, Maswadi Rauf (2005) menyatakan bahwa perlunya digelar pilkada
langsung adalah Pertama, untuk membangun otonomi daerah; Kedua,
menumbuhkan kepemimpinan lokal; Ketiga, meningkatkan akuntabilitas publik dan
akuntabilitas pemerintah; dan Keempat, adalah proses legitimasi rakyat yang kuat.
Namun, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat yang seyogyanya
diselenggarakan demi menegakkan nilai-nilai demokrasi itu yang mempertimbuhkan
pertentangan dengan pelik. Dalam kontestasi Pemilu, tidak jarang para peserta
pemilu tidak puas untuk mendapatkan kemenangan. Mereka kerap melakukan
tindakan politik uang yang mencederai nilai-nilai demokrasi yang dibangun oleh
semangat reformasi. Tidak hanya di Pilkada, di Pileg pun sering terjadi kasus-Kasus
Terkait. Politik uang ini merupakan salah satu bentuk korupsi dalam pemilu.
Politik uang pada umumnya dilakukan oleh simpatisan, kader atau bahkan partai
politik Di mana Praktik politik uang dilakukan dengan cara membantu dalam bentuk
uang, sembako, antara lain dapat berupa beras, minyak dan gula untuk masyarakat
dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan
suaranya untuk partai atau politisi yang diinginkan.
Di Indonesia sendiri, Politik uang telah lama di praktekan oleh para politikus. Hingga
pada saat sekarang pun, politik uang masih dapat menemukan di beberapa daerah
saat mendapat pemilihan. Meskipun dalam sekala kecil. praktik politik uang akan
berdampak besar terhadap demokrasi. Karena Selain akan menghasilkan pemimpin
dengan kualitas rendah, politik uang juga akan melisensi Politisi dan hubungan
demokrasi itu sendiri.
Kurang sadarnya masyarakat Indonesia akan budaya politik yang juga merupakan
salah satu pendorong masih adanya politik uang dalam pemilu. Masyarakat
cenderung pasif akan memiliki kontestasi politik dan mendapat pesimis karena tidak
memiliki calon yang memiliki kapabilitas untuk memanggul jabatan publik. Tingkat
pendidikan juga sangat menentukan daya kritis masyarakat dalam memilih kepala
daerah dan anggota legislatif.
Namun sulitnya adalah, di negara kita politik uang sangat sulit untuk berantas. Hal
ini dapat menyebabkan sebab adanya saling keterkaitan antara kemiskinan dan
praktik politik uang. Jadi selama kemiskinan belum berhasil teratasi maka politik
uang akan terus berlanjut.
Pada dasarnya, masyarakat ekonomi rendah meminta Sembako murah, upah kerja
yang layak, Banyak pendanaan lapangan pekerjaan, biaya pendidikan rendah, biaya
kesehatan murah, dana sumbangan usaha kecil.
2. Pembungkaman
Bagaimana pun penguasa memiliki segalanya, mulai dari perangkat negara hingga
anggaran. Karena itu orde baru pernah dicap otoriter dan tirani karena mengajukan
politik habisi lawan politik dengan membungkam kritikan dari lawan politiknya.
kita tidak ingin kebebasan berbicara yang membahas hak konstitusional setiap warga
negara menentang dicurigai sebagai kriminal oleh penguasa yang risau dengan
tantangan yang berlebihan.
Biarlah atmosfir demokrasi yang masih muda ini terus tumbuh dengan sehat di
Indonesia, menjadi kekuatan bangsa dalam perjuangan masa depan. Sangat naif jika
Indonesia harus kembali ke zaman Orde baru.
Pemerintah memang perlu mengawal agar Indonesia bisa tetap eksis dalam peta dunia
namun perlulah dengan cara-cara elegan dan konstitusional. Tidak perlu melakukan
strategi pembungkaman untuk mereka yang suka mengkritik atas melakukan
penangkapan yang tidak perlu dengan berbagai macam pembayaran.
Penegakan hukum bagi mereka yang menyebarkan kebencian melalui ujaran kebencian
tentu saja perlu didukung agar setiap orang negara mendapatkan perlindungan nama
baik dari negara, hal ini juga sesuai dengan konstitusi.
Pada akhirnya, diharapkan dapat memenangkan pertarungan demi mereka yang mau
bertarung di dalam pesta politik, berjuang-memenangkan tantangan di dalam isu
tertentu. Jangan mengunting di dalam lipatan dan tidak boleh membiarkan apa pun
yang menjadi batasan bisa melakukan apa saja tanpa batas. Tidak, semua ada aturan
dan norma-normanya.