Anda di halaman 1dari 5

 LILIN CANDI ASTUTI 030400423

 TUTON FE, FHISIP, FMIPA, FKIP (NON PENDAS) / ►


 FHISIP / ►
 Pendidikan Kewarganegaraan. 93 / ►
 2 Oktober - 8 Oktober / ►
 INISIASI 6 Demokrasi dan HAM

INISIASI 6 Demokrasi dan HAM


Inisiasi 6 Demokrasi dan HAM

Istilah Demokrasi sudah merupakan kata yang merakyat dan membumi, sehinga
cakupannya menjadi luas dan digunakan bukan saja menunjuk pada politik praktis saja
melainkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok masyarakat. Misalnya Demokrasi Ekonomi, Demokrasi Sosial. Pada awalnya,
istilah demokrasi ini merupakan kata yang berasal dari Latin yaitu, “demos” dan “cratein
atau cratos” ; dimana "demos" berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan "cratein"
berarti kekuasaan atau kedaulatan. Intinya rakyat yang berkuasa, atau pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sejarah perkembangan demokrasi dimulai sejak zaman Yunani Romawi kuno (500 SM
– 476 M), kemudian zaman abad pertengahan dari (476 M - 1500 M) dan zaman
modern (1500 M – sekarang) dimana tiap masa memiliki rumusan demokrasi yang
kontekstual, sesuai situasi kondisi yang ada pada zamannya masing-masing. Pada
zaman modern istilah demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, dimana konsep
demokrasi didorong oleh menyebarnya paham kebebasan di Amerika Serikat yang
mempengaruhi Revolusi Perancis dan dirumuskan sebagai Egalite (Persamaan),
Fraternite (Persaudaraan) dan Liberte (Kemerdekaan). Kemudian dari belahan dunia
timur, Dr. Sun Yat Sen mengenalkan istilah Demokrasi dengan istilah Min Chuan.
Perkembangan demokrasi pada abad XIX lebih menekankan pada bidang hukum
karena lebih dominan pengaruh hak-hak individu. Negara dan pemerintah tidak banyak
turut campur dalam urusan warganya, kecuali berkaitan dengan kepentingan umum.
Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang sedikit memerintah. Negara seperti
penjaga malam. Konsep laisses faire laisses aller berpeluang mandiri, tetapi juga
berpeluang menuju penindasan atas sesama. Wajah baru demokrasi abad XX
berangkat dari pengalaman abad XIX tersebut. Negara dan pemerintah berperan luas.
Penjaga malam tidak hanya bertugas secara pasif tetapi berperan aktif dalam mengatur
kehidupan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.
Adapun karakteristik demokrasi universal, antara lain : (1) kehidupan masyarakat
dimana warganegaranya berperan serta dalam pemerintahan melalui wakilnya yang
dipilih; (2) pemerintahan yang menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan ; (3) pemerintahan mayoritas yang menghormati
hak-hak kelompok minoritas; (4) masyarakat yang saling memberi perlakuan yang
sama kepada seluruh warganegaranya. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa fokus
wacana demokrasi adalah rakyat. Oleh Pabottinggi (2002), menegaskan bahwa
demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berparadigma otocentricity dan
demokrasi sebagai pelembagaan dari kebebasan. Artinya, rakyat yang menjadi kriteria
dasar demokrasi.
Praktik demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah lama dilaksanakan. Praktik
musyawarah mufakat merupakan bagian integral dari demokrasi. Sejak kemerdekaan
Indonesia 1945 sampai tahun 1959 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer
dalam pemerintahan, kemudian melaksanakan demokrasi terpimpin dalam kurun waktu
19591965, dan sejak runtuhnya rezim orde lama digantikan dengan orde baru
melaksanakan demokrasi Pancasila sampai sekarang. Gejala dalam demokrasi
parlementer pemerintahan tidak stabil karena kuatnya peranan partai politik dan
pembangunan terhambat. Dalam demokrasi terpimpin kuatnya peranan presiden
sebagai pusat kekuasaan dan melemahnya kekuatan partai politik. Begitu pula dalam
demokrasi Pancasila di zaman orde baru dominasi eksekutif masih tetap kuat ,parlemen
seolah olah merupakan subordinasi dari eksekutif. Perbaikan terus dilakukan sejalan
dengan pergantian orde baru dengan orde reformasi. UU Dasar diamandemen, MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, begitu
juga presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Adapun CICED (1998) sebagai Center for Indonesia Civic Education, menjabarkan
demokrasi sebagai dimensi yang multidimensional, yaitu (a) secara filosofis, demokrasi
sebagai ide, norma, dan prinsip; (b) secara sosiologis sebagai sistem sosial, dan (c)
secara psikologis sebagai wawasan prilaku individu dalam bermasyarakat. Sebab,
CICED merumuskan demokrasi sebagai kerangka berpikir dalam melakukan
pengaturan urusan umum atas dasar prinsip : dari, oleh dan untuk rakyat, yang diterima
sebagai ide, norma, dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, prilaku dan sikap
individul yang secara kontekstual diwujudkan, dikembangkan dan dipelihara.
Pilar universal demokrasi sebagai suatu sistem sosial kenegaraan terdiri dari 11 pilar
(USIS:1995). Antara lain, (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan
persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4) hak-hak minoritas; (5)
jaminan hak-hak asasi manusia; (6) pemilihan yang bebas dan jujur; (7) persamaan di
depan hukum; (8) proses hukum yang wajar; (9) pembatasan pemerintahan secara
konstitusional; (10) pluralisme sosial, ekonomi, politik dan nilai-nilai toleransi,
pragmatisme; (11) kerjasama dan mufakat. Sedangkan menurut Sanusi (1998;4-12),
demokrasi konstitusional menurut UUD’45 memiliki 10 pilar, yaitu (1) demokrasi yang
berKetuhanan YME; (2) demokrasi dengan kecerdasan; (3) demokrasi dengan rule of
law; (4) demokrasi dengan pembagian kekuasaaan; (5) demokrasi hak asasi manusia;
(6) demokrasipengadilan yang merdeka; (7) demokrasi dengan otonomi daerah; (8)
demokrasidengan kemakmuran; (9) demokrasi yang berkeadilan sosial.
Sehingga yang membedakan pilar demokrasi universal dengan demokrasi Indonesia
adalah pilar demokrasi yang berKetuhanan YME. Ciri demokrasi Indonesia yang khas
tersebut, menurut Elposito dan Voll telah dinyatakan oleh Maududi dan kaum muslim
sebagai teodemokrasi, yang berarti demikrasi Indonesia bernuansa KeTuhanan YME,
sedangkan demokrasi universal bernuansa sekuler. Demokrasi dapat juga dikaji dari 3
tradisi pemikiran politik. Menurut Torres, 3 tradisi pemikiran politik itu, antara lain : (a)
Classical Aristotelian Theory; (b) Medieval Theory; (3) Contemporaray Doctrine.
Berdasarkan Classical Aristotelian Theory, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan
seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Adapun Medieval
Theory menekankan penerapan Roman Law dan popular sovereignity, sehingga
demokrasi diartikan sebagai suatu landasan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Lain
lagi dengan Contemporary Doctrine yang menekankan konsep Republican maka
demokrasi disini diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang murni.
Lebih jelas lagi, Torres memandang demokrasi dari 2 aspek, yakni sebagai formal
democracy dan substantive democracy. Dari aspek formal democracy yang dilihat
adalah demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan. Kemudian dari aspek
substantive democracy yang dilihat adalah proses demokrasi, yang diklasifikasikan
dalam empat bentuk demokrasi. Antara lain : (1) protective democracy menitik beratkan
kepada kekuasaan ekonomi pasar, sehingga proses pemilu dilakukan reguler untuk
memajukan kegiatan pasar dan melindunginya dari tirani negara; (2) developmental
democracy memandang manusia sebagai makhluk yang dapat mengembangkan
kemampuan dan kekuasaan dirinya, serta menempatkan partisipasi demokratis sebagai
jalur utama bagi pengembangan diri; (3) equilibrium democracy atau pluralist
democracy menekankan penyeimbangan nilai partisipasi daan pentingnya apatisme,
sebab apatisme di kalangan mayoritas warganegara menjadi fungsional bagi
demokrasi. Partisipasi yang intensif dipandang tidak efisien bagi individu yang rasional ;
(4) participatory democracy menekankan bahwa perubahan sosial dan partisipasi
demokratis perlu dikembangkan secara bersamaan karena satu sama lain saling
memiliki ketergantungan.
Oleh sebab itu perlu diadakan pendidikan tentang demokrasi dengan wahananya yaitu
pendidikan kewarganegaraan, sebab ethos demokrasi bukan suatu warisan tetapi
sebagai suatu konsep yang harus dipelajari dan dialami atau diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebenarnya proses demokrasi tidak hanya merupakan suatu
proses yang berkembang pesat di negara-negara barat yang mayoritas penduduknya
beragama kristen seperti yang telah dipersepsikan oleh Huntington (1991). Tetapi
sesungguhnya proses demokratisasi melanda hampir seluruh negara di dunia termasuk
di negara-negara muslim seperti yang dikemukakan oleh Esposito dan Voll (1996)
dengan studi komparatif demokrasi di Iran, Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan
Mesir. Menurut Esposito dan Voll (1996 : 11) kebangkitan Islam dan demokratisasi di
dunia muslim berlangsung dalam kontek global dinamis dan kedua proses tersebut
saling mengisi. Demokratisasi di dunia muslim menekankan (1) hanya satu kedaulatan
yakni Tuhan, (2) khilafah sebagai bentuk kepemimpinan politik masyarakat, (3) syura
sebagai tradisi musyawarah, (4) ij’ma sebagai bentuk persetujuan dan (5) ijtihad
sebagai bentuk penafsiran mandiri. Sehingga proses demokrasi tidak selalu dapat
diukur dari kriteria demokrasi barat tetapi dilihat secara kontektual menurut
perkembangan situasi sosial kultural setempat.
Menurut Deutsh dan Lipset (1950s dalam Denny, 1999 : 1-2) faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan demokrasi adalah tingkat perkembangan ekonomi suatu
negara ; terbukanya media massa urbanisasi, pendidikan dan persatuan kesatuan
bangsa-bangsa ; serta pengalaman sejarah dan budaya kewarganegaraan. Ketiga
faktor tersebut menjadi parameter perkembangan demokrasi suatu negara, hal ini
dikemukakan oleh Bahmuller (1996 : 222 – 223). Konsep masyarakat madani di
Indonesia yang diterjemahkan dari istilah Civil Society berhubungan erat dengan proses
demokratisasi sehubungan dengan perluasan fungsi dan optimalisasi peran aktif dari
warga negara secara cerdas dan baik untuk membangun masyarakat yang benar-benar
demokratis sesuai konteks negaranya. Menurut Hikam, ciri utama masyarakat madani
adalah kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara,
keterkaitan terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Secara kualitatif
masyarakat madani Indonesia ditandai oleh (a) ketaqwaan kepada Tuhan YME, (b)
adanya jaminan hak azasi manusia, (c) adanya partisipasi luas warga negara dalam
pengambilan keputusan publik dalam berbagai tingkatan, (d) adanya penegakan rule of
law dan (e) adanya pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan demokrasi
dapat dilakukan dalam pendidikan formal, informal dan non formal, sesuai visi
pendidikan demokrasi yaitu learning democracy, through democracy, and for
democracy atau secara jelas dijabarkan sebagai wahana substantif, pedagogis dan
sosio kultural untuk membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip, sikap dan ketrampilan
demokrasi bagi warganegara melalui pengalaman hidup berdemokrasi. Misi pendidikan
demokrasi adalah : (1) memfasilitasi warganegara untuk mendapatkan berbagai akses
dan memakai secara cerdas berbagai sumber informasi; (2) memfasilitasi warganegara
melakukan kajian konseptual dan operasional secara cermat dan bertanggungjawab
terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi dan praksis demokrasi untuk mendapatkan
keyakinan dalam pengambilan keputusan individual ataupun kelompok. Praksis politik
diartikan sebagai perwujudan konsep, prinsip dan nilai demokrasi yang melibatkan
individu dan masyarakat dengan keseluruhan aspek lingkungannya; (3) memfasilitasi
warganegara untuk memperoleh kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan
bertanggungjawab dalam praksis kehidupan demokrasi di lingkungannya. Untuk itu
strategi dasar pendidikan demokrasi adalah pemanfaatan multimedia dan sumber
belajar, kajian interdisipliner, pemecahan masalah sosial, penelitian sosial, aksi sosial,
pembelajaran berbasis portfolio, pembelajaran yang kukuh atau powerful learning
(meaningful, integrative, value-based, challenging and active). Model pendidikan
demokrasi berbasis portfolio versi Dewey diartikan sebagai model pembelajaran yang
menggunakan tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang
melukiskan proses berpikir yang didukung sejumlah data yang relevan, yang
melukiskan secara utuh pengalaman belajar demokrasi terpadu yang dialami siswa
dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Di dalam model ini, ada simulasi public hearing
kemudian dilanjutkan kegiatan refleksi bagi individu dan keseluruhan siswa untuk
merenungkan dampak perjalanan panjang proses belajar demokrasi bagi
perkembangan pribadi siswa sebagai warganegara. Adapun untuk perguruan tinggi,
menurut Udin S. Winataputra ( 2002: 35) model pendidikan demokrasi dikembangkan
sesuai paradigma pendekatan perluasan lingkungan dan meningkatkan tingkat
kompetensi mahasiswa ke higher-order intellectual abilities.. Demikian pengayaan
tentang demokrasi.
Pada dewasa ini, krisis kepemimpinan menjadi salah satu penyebab kemerosotan
pembangunan dan kehidupan sosial politik bangsa-bangsa di dunia, termasuk
Indonesia. Sedemikian besarnya krisis kepercayaan terhadap pemimpin, telah
menyebabkan pergeseran persepsi masyarakat tentang figur ideal pemimpin
bangsanya, contohnya di Amerika Serikat yang dulu sangat mengidolakan presiden dari
kaum kulit putih, kini mulai melirik dari ras kulit berwarna yang ditandai dengan majunya
Obama sebagai capres. Masyarakat sudah mulai bosan dengan dinamika politik yang
mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Demikian pula bagi
masyarakat dan bangsa Indonesia yang kini mulai melirik capres atau cabup, cagub
dari kalangan bukan elit politik yang dianggap rentan terhadap penyalahgunaan
wewenang dan ingkar janji. Lebih-lebih dengan banykanya kasus KKN yang terkuak
pada lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, Kejaksaan Agung, Departemen
Kehakiman dan lainnya.
Tawuran antarmahasiswa sebagai kaum intelektual muda Indonesia juga merefleksikan
kurangnya keteladanan figur pemimpin dalam keluarga, masyarakat, bangsa and
negara. Perhatikan berita di media massa yang memperlihatkan lemahnya control
sosial bahkan di kampus sekalipun, sehingga tawuran antarmahasiswa sering terjadi
yangn dibarengi dengan tindakan melanggar hukum dan mengganggu ketertiban
umum, contohnya adanya pemakian narkoba dari jenis ganja sampai sabu, kepemilikan
senjata tajam illegal baik dari senjata rakitan sampai yang pabrikan. Sungguh ironis,
terjadi dalam negara yang dulu merdeka karena luapan motivasi untuk merdeka dalam
diri rakyatnya yang didorong oleh semangat juang pemuda sebagai trigger nilai juang
yang pantang menyerah melakukan perubahan ke arah kebaikan; sekarang dikotori
oleh pikiran divide et impera akibat perbedaan kelompok dan kepentingan. Padahal jika
perbedaan kelompok dan kepentingan dijadikan kekayaan mental, pemikiran dan
kolaborasi kepentingan yang saling menguatkan and melayani, kehidupan
bermasyarakat, berbangsa and bernegara akan berlangsung indah dan harmoni.

DAFTAR PUSTAKA

Budhisantosa, S., (2002) Pancasila dan Kebangsaan dalam Masyarakat Majemuk


dengan Keanekaragaman Kebudayaan. Yogyakarta : DIKTI (makalah).

Winataputra, Udin S., Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi. Yogyakarta: DIKTI.

Amin, Zainul I. (2007)MKDU4111 Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: UT

Terakhir diperbaharui: Senin, 2 Oktober 2017, 23:40


Abaikan Navigasi

Anda mungkin juga menyukai