Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana seluruh rakyatnya turut serta memerintah
dengan perantaraan wakilnya. Demokrasi juga diartikan sebagai gagasan atau pandangan
hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi
semua warga negara.
Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara
Abad ke-4 Sebelum Masehi sampai dengan Abad ke-6 SM. Demokrasi memiliki beberapa
prinsip, seperti persamaan hak, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan
berserikat, dan kebebasan beragama.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai
tantangan dan hambatan, seperti politik uang, korupsi, dan
ketidakadilan. Oleh karena itu, pendidikan demokrasi dan partisipasi
masyarakat dalam demokrasi sangat penting untuk memperkuat
demokrasi di Indonesia.
Demokrasi adalah kata yang sering kali digaungkan. Namun, apa yang dimaksud dengan
demokrasi? Ada banyak pandangan dalam menafsirkannya. Mari simak pembahasan berikut.
Pengertian Demokrasi
Berdasarkan KBBI, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya
turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Kemudian,
demokrasi juga diartikan KBBI sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Pengertian demokrasi menurut para ahli pun sangat beragam. Abraham Lincoln
mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Lalu, Sidney Hook mendefinisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-
keputusan pemerintahan yang penting, baik secara langsung atau tidak langsung, didasarkan
pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Pengertian demokrasi menurut C. F. Strong adalah suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas
anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.
Pada dasarnya, hakikat demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kuasa. Lebih
lanjut, Dwi Sulisworo dkk. dalam Bahan Ajar Demokrasi menerangkan bahwa hakikat
demokrasi meliputi tiga hal.
Mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah di mata rakyat
atau legitimate government. Pemerintahan yang sah ini adalah pemerintahan yang mendapat
pengakuan dan dukungan rakyat. Legitimasi atau pengakuan ini penting bagi sebuah
pemerintahan agar pemerintah dapat menjalankan birokrasi dan program-programnya.
Suatu pemerintahan harus dijalankan atas nama rakyat, bukan atas dorongan sendiri.
Pengawasannya pun dilakukan oleh rakyat. Proses pengawasannya dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung (melalui lembaga pengawas).
Kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Kemudian, pemerintah harus menjamin adanya kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat dalam
menyampaikan aspirasinya. Penyampaian ini dapat dilakukan secara langsung atau melalui
media.
Sejarah Demokrasi
Jika ditinjau dari sejarahnya, demokrasi berkembang pertama kali di masa Yunani Kuno, sekitar
500 SM. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang berarti ‘rakyat’
dan kratos yang berarti ‘kekuasaan’. Jika diartikan secara harfiah, masyarakat Yunani Kuno
menganggap demokrasi sebagai kekuasaan rakyat.
Roy C. Macridis dalam Contemporary Political Ideologies menerangkan bahwa pada 431 SM,
Pericles, mendefinisikan demokrasi atas empat kriteria. Pertama, pemerintahan oleh rakyat
dengan partisipasi yang penuh dan langsung oleh rakyat. Kedua, kesamaan di mata hukum.
Ketiga, pluralisme, penghargaan akan semua bakat, minat, keinginan, dan pandangan. Keempat,
penghargaan atas suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan
kepribadian individu.
1. Habibi menerangkan bahwa di masa Yunani Kuno, demokrasi langsung diselenggarakan dengan
efektif. Alasannya tidak lain karena wilayah yang terbatas dengan jumlah penduduk yang sedikit
dan ketentuan yang spesifik. Di masa itu, hanya warga resmi yang dapat terlibat dalam politik.
Rakyat jelata, budak belian, dan pedagang asing tidak punya hak untuk terlibat.
Memasuki abad pertengahan, gagasan demokrasi Yunani Kuno ini tidak lagi digunakan.
Masyarakat abad pertengahan menggunakan struktur sosial yang feodal. Kemudian, kehidupan
sosial dan spiritual pun dikuasai oleh Paus dan doktrin gereja. Dalam abad pertengahan, tepatnya
pada 1215, lahirlah Magna Carta sebagai pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia.
Di era Renaisans, negara modern mulai bermunculan. Eropa pun mulai mengalami perubahan.
Praktik demokrasi mulai muncul di Florence, Italia. Di Florence, hak kebebasan individu dijamin
dan para warga diberikan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Kemudian, sekitar tahun 1500--1650, mulai banyak negara yang mengalami reformasi, seperti
Jerman, Swiss, dan lainnya. Selepas periode ini, orang-orang Eropa mulai memerdekakan diri
dari doktrin gereja dan mulai menggunakan akal.
Di masa ini, sekitar 1650--1800, mulai muncul kesadaran bahwa ada hak-hak politik yang tidak
boleh diselewengkan oleh raja. Di masa itu, raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas.
Beranjak dari masa ini, perlawanan akan kedudukan raja pun bermunculan. Sistem dengan
konsep pemisahan kekuasaan pun mulai dicetuskan; trias politica.
Manfaat Demokrasi
Sahya Anggara dalam Sistem Politik Indonesia menerangkan bahwa ada 5 manfaat demokrasi
bagi rakyat. Lima manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Kesetaraan sebagai warga negara. Demokrasi memperlakukan semua orang sama dan
sederajat. Prinsip kesetaraan ini menuntut perlakuan yang sama terhadap pandangan, pendapat,
atau pilihan setiap warga negara.
2. Memenuhi kebutuhan umum. Suatu kebijakan dapat mencerminkan keinginan rakyatnya.
Semakin besar suara rakyat, semakin besar pula kebijakan itu mewakili keinginan rakyat.
3. Pluralisme dan kompromi. Demokrasi mengisyaratkan kebhinekaan dan kemajemukan dalam
masyarakat, serta kesamaan kedudukan di antara warga negara. Jika ada perbedaan, diatasi
dengan diskusi, persuasi, dan kompromi; bukan dengan paksaan atau kekuasaan.
4. Menjamin hak-hak dasar. Demokrasi menjamin kebebasan dasar, seperti hak sipil, politis,
berserikat, berbicara, dan lainnya. Hak-hak tersebut memungkinkan individu untuk terus
berkembang dan memungkinkan terwujudnya keputusan-keputusan kolektif yang lebih baik.
5. Pembaruan kehidupan sosial. Demokrasi memungkinkan terjadinya pembaruan.
Penghapusan kebijakan-kebijakan yang telah usang dan pergantian pemangku kebijakan
dilakukan dengan cara yang santun dan damai. Demokrasi membuat proses regenerasi
kepemimpinan dilaksanakan tanpa pergolakan.
Demokrasi di Indonesia
Masa pertama, demokrasi konstitusional (1945--1950). Di masa ini, peranan parlemen dan
partai sangatlah menonjol.
Masa kedua, demokrasi terpimpin (1959--1965). Mulainya masa ini ditandai dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden. Dalam praktiknya, masa ini berakhir dengan peristiwa G30S
pada 30 September 1965.
Masa ketiga, demokrasi Pancasila (1965--1998). Secara garis besar, masa ini menggunakan
landasan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
Untuk tugas dan kewenangan KPU, lihat Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Untuk tujuan sendi pokok pancasila, lihat Demokrasi Pancasila.
Seorang wanita memasukkan surat suara pada putaran kedua pemilu presiden Prancis tahun
2007.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang keputusan-keputusan penting, baik secara langsung
atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari
masyarakat dewasa[1].
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama
untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga
negara ikut serta—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup
kondisi sosial, ekonomi, adat dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan
politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip
tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia.[2] Landasan demokrasi mencakup kebebasan
berkumpul, kebebasan berserikat dan kebebasan berbicara, inklusivitas dan kebebasan
politik, kewarganegaraan, persetujuan dari yang terperintah, hak suara, kebebasan dari perampasan
pemerintah yang tidak beralasan atas hak untuk hidup, kebebasan, dan kaum minoritas.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani Kuno δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",[3] yang
terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada Abad
ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena Klasik; kata ini
merupakan antonim dari wikt:ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua
definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. [4] Sistem politik
Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas
dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan
demokrasi sepanjang sejarah modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit
sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas
setelah perjuangan gerakan hak suara di mulai pada abad ke-19 hingga sekarang. Kata demokrasi
(democracy) sendiri sudah ada sejak Abad ke-16 se-jaman dengan sultan banten Abdul Mahasin
Muhammad Zainal Abidin, Democracy berasal dari bahasa Prancis Pertengahan dan bahasa Latin
Pertengahan lama. Tahun Masehi di mulai dari 570 Masehi. Konsep demokrasi lahir dari Yunani
kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara Abad ke-4 Sebelum Masehi sampai
dengan Abad ke-6 SM. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung,
artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh
seluruh rakyat atau warga negara.[5]
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya
dipegang satu orang, seperti monarki. Yang berasal dari filosofi Yunani ini[6] sekarang tampak ambigu
karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki,
dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda
dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi masyarakat untuk
mengendalikan para pemimpinnya yang tidak jujur atau tidak dapat dipercaya dan memberhentikan
mereka tanpa perlu melakukan revolusi.[7]
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara
seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi
langsung, yaitu semua warga negara berperan langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan
pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu
kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui
perwakilan; yang disebut demokrasi tidak langsung[8][9].
Sejarah
Artikel utama: Sejarah demokrasi
Sejarah singkat Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah
mencoba menerapkan bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959,
dijalankan suatu praktik demokrasi yang cenderung pada sistem Demokrasi
Liberal, sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat
individualistik. Pada tahun 1959-1966 diterapkan Demokrasi Terpimpin,
yang dalam praktiknya cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga
berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998 diterapkan Demokrasi
Pancasila. Model ini pun tidak mendorong tumbuhnya partisipasi rakyat.
Sesudah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat, kebebasan memilih, kebebasan berpolitik dan lain-
lain semakin bebas.
Periode Demokrasi Parlementer (1945-1965) Periode ini merupakan awal
perkembangan demokrasi di Indonesia. Namun sayangnya demokrasi pada
periode ini tidak mempunyai modal cukup untuk menjadi mapan dalam
implementasinya, entah dalam teori, konsep dan praktiknya. Demokrasi
pada periode ini hanya menjadi pemersatu dan alat koalisi antar suku dan
agama yang beragam di Indonesia untuk dapat menjadi bangsa. Namun
demokrasi parlementer ini ternyata kurang begitu cocok diterapkan di
Indonesia karena dalam prosesnya timbul banyak perpecahan politik dan
partai-partai politik yang mendominasi terpecah belah. Sehingga Demokrasi
Parlementer ini digantikan menjadi Demokrasi Terpimpin (Guided
Democracy).
Periode Demokrasi Terpimpin / Orde Lama (1959-1965) Ciri-ciri demokrasi
ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis
dan peranan tentara (ABRI) dalam panggung politik nasional.3 Dominasi
kekuasaan politik presiden pada saat itu terbukti melahirkan tindakan dan
kebijakan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Misalnya, pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) padahal dalam hal ini presiden tidak memiliki
wewenang. Namun sejak pada tahun 1959 diberlakukannya dekrit
presiden, setelah itu banyak penyimpangan konstitusi oleh presiden atas
dasar dominasi kekuatan politik presiden. Akhir dari sistem demokrasi
terpimpin Soekarno yang berakibat pada perseteruan politik ideologis
antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal denga Gerakan
30 September 1965 (G 30 S PKI)
Periode Demokrasi Pancasila / Orde Baru (1965-1998) Periode ini
merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto yang disebut masa
Orde Baru. Sebutan Orde Baru merupakan kritik terhadap periode
sebelumnya, Orde Lama. Demokrasi Pancasila pada periode ini secara
garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, menegakkan
kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum. Kedua,
mengutamakan kehidupan yang layak bagi semua warga negara. Ketiga,
pengankuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak
memihak. Namun ternyata tawaran-tawaran Demokrasi Pancasila hanya
retorika politik belaka, sehingga terjadi ketidakdemokratisan pernguasa
Orde Baru yang ditandai oleh :
Zaman kuno
Lihat pula: Demokrasi Athena
Cleisthenes, "bapak demokrasi
Athena"
Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani
kuno di negara-kota Athena.[12][13] Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena
mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi
pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai
"bapak demokrasi Athena."[14]
Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki dua ciri
utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan
yudisial di pemerintahan,[15] dan majelis legislatif yang terdiri dari semua
warga Athena.[16] Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh
berbicara dan memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di
negara-kota tersebut. Akan tetapi, kewarganegaraan Athena tidak
mencakup wanita, budak, orang asing (μέτοικοι metoikoi), non-pemilik
tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.[butuh rujukan]
Dari sekitar 200.000 sampai 400.000 penduduk Athena, 30.000 sampai
60.000 di antaranya merupakan warga negara.[butuh rujukan] Pengecualian
sebagian besar penduduk dari kewarganegaraan sangat berkaitan dengan
pemahaman tentang kewarganegaraan pada masa itu. Nyaris sepanjang
zaman kuno, manfaat kewarganegaraan selalu terikat dengan kewajiban
ikut serta dalam perang.[butuh rujukan]
Demokrasi Athena tidak hanya bersifat langsung dalam artian keputusan
dibuat oleh majelis, tetapi juga sangat langsung dalam artian rakyat, melalui
majelis, boule, dan pengadilan, mengendalikan seluruh proses politik dan
sebagian besar warga negara terus terlibat dalam urusan publik.[17] Meski
hak-hak individu tidak dijamin oleh konstitusi Athena dalam arti modern
(bangsa Yunani kuno tidak punya kata untuk menyebut "hak"[18]), penduduk
Athena menikmati kebebasan tidak dengan menentang pemerintah, tetapi
dengan tinggal di sebuah kota yang tidak dikuasai kekuatan lain dan
menahan diri untuk tidak tunduk pada perintah orang lain.[19]
Pemungutan suara kisaran pertama dilakukan
di Sparta pada 700 SM. Apella merupakan majelis rakyat yang diadakan
sekali sebulan. Di Apella, penduduk Sparta memilih pemimpin dan
melakukan pemungutan suara dengan cara pemungutan suara kisaran dan
berteriak. Setiap warga negara pria berusia 30 tahun boleh ikut
serta. Aristoteles menyebut hal ini "kekanak-kanakan", berbeda dengan
pemakaian kotak suara batu layaknya warga Athena. Tetapi Sparta
memakai cara ini karena kesederhanaannya dan mencegah pemungutan
bias, pembelian suara, atau kecurangan yang mendominasi pemilihan-
pemilihan demokratis pertama.[20][21]
Meski Republik Romawi berkontribusi banyak terhadap berbagai aspek
demokrasi, hanya sebagian kecil orang Romawi yang memiliki hak suara
dalam pemilihan wakil rakyat. Suara kaum berkuasa ditambah-tambahi
melalui sistem gerrymandering, sehingga kebanyakan pejabat tinggi,
termasuk anggota Senat, berasal dari keluarga-keluarga kaya dan ningrat.
Namun banyak pengecualian yang terjadi.[butuh rujukan] Republik Romawi juga
[22]
Abad Pertengahan
Selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki
pemilihan umum atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil
penduduk. Sistem-sistem tersebut meliputi:
Era modern
Abad ke-18 dan 19
Bangsa pertama dalam sejarah modern yang
mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada
tahun 1755. Konstitusi Korsika didasarkan pada prinsip-
prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak yang
baru diberikan di negara demokrasi lain pada abad ke-20. Pada tahun
1789, Prancis pasca-Revolusi mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia
dan Warga Negara dan Konvensi Nasional dipilih oleh semua warga
negara pria pada tahun 1792.[30]
Ju
mlah negara pada 1800–2003 yang memiliki skor 8 atau lebih pada
skala Polity IV, cara yang sering dipakai untuk mengukur demokrasi.
Transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam serangkaian
"gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang,
revolusi, dekolonisasi, religious and economic circumstances[pranala nonaktif
permanen]
. Perang Dunia I dan pembubaran Kesultanan
Utsmaniyah dan Austria-Hungaria berakhir dengan terbentuknya beberapa
negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu
demokratis.
Pada tahun 1920-an, demokrasi tumbuh subur tetapi terhambat Depresi
Besar. Amerika Latin dan Asia langsung berubah ke sistem kekuasaan
mutlak atau kediktatoran. Fasisme dan kediktatoran terbentuk di Jerman
Nazi, Italia, Spanyol, dan Portugal, serta rezim-rezim non-demokratis
di Baltik, Balkan, Brasil, Kuba, Cina, dan Jepang.[38]
Perang Dunia II mulai memutarbalikkan tren ini di Eropa Barat.
Demokratisasi Jerman dudukan Amerika Serikat, Britania, dan
Prancis (diragukan[39]), Austria, Italia, dan Jepang dudukan menjadi model
teori perubahan rezim selanjutnya.
Akan tetapi, sebagian besar Eropa Timur, termasuk Jerman dudukan
Soviet masuk dalam blok-Soviet yang non-demokratis. Perang Dunia diikuti
oleh dekolonisasi dan banyak negara merdeka baru memiliki konstitusi
demokratis. India tampil sebagai negara demokrasi terbesar di dunia
sampai sekarang.[40]
Pada tahun 1960, banyak negara yang menggunakan sistem demokrasi,
meski sebagian besar penduduk dunia tinggal di negara yang
melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan bentuk-bentuk
pembohongan lainnya (terutama di negara komunis dan bekas koloninya).
Gelombang demokratisasi yang muncul setelah itu membawa keuntungan
demokrasi liberal sejati yang besar bagi banyak
negara. Spanyol, Portugal (1974), dan sejumlah kediktatoran militer di
Amerika Selatan kembali dikuasai rakyat sipil pada akhir 1970-an dan awal
1980-an (Argentina tahun 1983, Bolivia, Uruguay tahun 1984, Brasil tahun
1985, dan Chili awal 1990-an). Peristiwa ini diikuti oleh banyak bangsa
di Asia Timur dan Selatan pada pertengahan sampai akhir 1980-an.
Malaise ekonomi tahun 1980-an, disertai ketidakpuasan atas penindasan
Soviet, menjadi faktor runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tanda
berakhirnya Perang Dingin dan demokratisasi dan liberalisasi bekas
negara-negara blok Timur. Kebanyakan negara demokrasi baru yang
sukses secara geografis dan budaya terletak dekat dengan Eropa Barat.
Mereka sekarang menjadi anggota atau calon anggota Uni Eropa.
Sejumlah peneliti menganggap Rusia saat ini bukanlah demokrasi sejati
dan lebih mirip kediktatoran.[41]
Indeks Demokrasi yang disusun The Economist pada Desember 2019.
Warna hijau mewakili negara-negara yang lebih demokratis. Warna
merah gelap mewakili negara-negara otoriter.
Tren liberal ini menyebar ke beberapa negara di Afrika pada tahun 1990-an,
termasuk Afrika Selatan. Contoh terbaru liberalisasi adalah Revolusi
Indonesia 1998, Revolusi Bulldozer di Yugoslavia, Revolusi
Mawar di Georgia, Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi
Cedar di Lebanon, Revolusi Tulip di Kyrgyzstan, dan Revolusi
Yasmin di Tunisia.
Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi
elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972).[42] Menurut World Forum on
Democracy, jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192
negara di dunia dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang
sama, negara-negara demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House
sebagai negara yang bebas dan menghormati hukum dan HAM) berjumlah
85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia.[43]
Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15 September
sebagai Hari Demokrasi Internasional.[44]
Negara
Artikel utama: Indeks Demokrasi
Negara-negara berikut dikategorikan sebagai demokrasi penuh oleh Indeks
Demokrasi pada tahun 2011:[45]
Norwegia
Islandia
Denmark
Swedia
Selandia Baru
Australia
Swiss
Kanada
Finlandia
Belanda
Luksemburg
Irlandia
Austria
Jerman
Malta
Republik Ceko
Uruguay
Amerika Serikat
Kosta Rika
Korea Selatan
Belgia
Mauritius
Spanyol
Index Demokrasi memasukkan 53 negara di kategori berikutnya, demokrasi
tidak sempurna: Argentina, Benin, Botswana, Brasil, Bulgaria, Tanjung
Verde, Chili, Kolombia, Kroasia, Siprus, Republik Dominika, El
Salvador, Estonia, Prancis, Ghana, Yunani, Guyana, Hungaria, Indonesia, I
ndia, Israel, Italia, Jamaika, Latvia, Lesotho, Lituania, Makedonia, Malaysia,
Mali, Meksiko, Moldova, Mongolia, Montenegro, Namibia, Panama, Papua
Nugini, Paraguay, Peru, Filipina, Polandia, Portugal, Rumania, Serbia, Slow
akia, Slovenia, Afrika Selatan, Sri
Lanka, Suriname, Taiwan, Thailand, Timor-Leste, Trinidad dan
Tobago, Zambia[45]
Bentuk-bentuk demokrasi
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung
dan demokrasi perwakilan.
Demokrasi langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi di mana
setiap masyarakat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan
suatu keputusan politik. Dalam sistem ini, setiap masyarakat mewakili
dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki
pengaruh langsung terhadap keadaan politik jabatan yang terjadi. Sistem
demokrasi digunakan pada jaman awal terbentuknya demokrasi di mana
ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh
masyarakat berkumpul untuk membahasnya. Di jaman modern sistem ini
menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar
dan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam satu forum merupakan hal
yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari
masyarakat sedangkan masyarakat modern cenderung tidak memiliki
waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik tingkat negara,
wilayah, daerah hingga jenjang yang terbawah.
Demokrasi dibedakan menjadi:
Berdasarkan Tujuan
Prinsip-prinsip demokrasi
Kedaulatan masyarakat
Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
Kekuasaan mayoritas
Hak-hak minoritas
Jaminan hak asasi manusia
Pemilihan yang bebas, adil dan jujur
Persamaan di depan hukum
Proses hukum yang wajar
Pembatasan pemerintah secara konstitusional
Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat