Anda di halaman 1dari 10

BAB 4

Demokrasi: Teori dan Praktik


Apa itu Demokrasi?
Secara etimologis, kata demokrasi (dari bahasa Yunani) adalah bentukan dari dua kata
demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Perpaduan kata demos dan
cratein atau cratos membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai sebuah
bentuk pemerintahan rakyat di mana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan
oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung oleh rakyat atau melalui mekanisme
pemilihan yang berangsung secara bebas. Secara substansial, demokrasi adalah –seperti yang
pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln— sesuatu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Demokrasi merupakan sebuah kumpulan ide dan prinsip tentang kebebasan, bahkan juga
mengandung sejumlah praktik dan prosedur menggapai kebebasan yang terbentuk melalui
perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat, demokrasi merupakan bentuk
institusionalisasi dari kebebasan. Untuk melihat apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan
demokratis atau tidak terletak pada sejauh mana pemerintahan tersebut berjalan pada: prisnip
konstitusi, hak asasi manusia, dan persamaan warga negara di hadapan umum.

Menurut Joseph A. Schmiter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk


mencapai keputusan politik di mana setiap individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan
cara perjuagan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook menyimpulkan bahwa demokrasi
adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan yang terpenting secara langsung atau
tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari warga
negara dewasa.

Philipp C. Schmitter mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di


mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakannya di wilayah publik oleh
warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetensi dan kerja sama dengan
wakil-wakil mereka. Henry B. Mayo menyimpulkan bahwa demokrasi sebagai sistem politik
merupakan suatu sistem yang menujukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip-prinsip politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.

Dapat disimpulkan bahwa hakikat demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang
tertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Pemerintahan
demokrasi adalah pemerintahan yang meliputi tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian bahwa suatu pmerintahan yang sah
adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat
melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum.
2. Pemerintahan oleh rakyat memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan
kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi elit negara negara atau elit
birokrasi. Selain pengertian ini, unsur ini megandung pengertian bahwa dalam
menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat.
3. Pemerintahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan
oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.

Norma dan Pilar Demokrasi


Setidaknya ada enam norma atau unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat
yang demokratis.
1. Kesadaran akan pluralisme. Kesadaran akan kemajemukan tidak sekedar pengakuan pasif
akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Kesadaran atas kemajemukan menghendaki
tanggapan dan sikap positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara pasif. Jika norma ini
dijalankan secara sadar dan konsekuen diharapkan dapat mencegah munculnya sikap
pandangan hegemoni mayoritas dan tirani minoritas.
2. Musyawarah. Makna dan semangat musyawarah ialah mengharuskan adanya keinsafan
dan kedewasaan warga negara untuk secara tulus menerima kemungkinan untuk
melakukan negosiasi dan kompromi-kompromi sosial dan politik secara damai dan bebas
dalam setiap keputusan bersama. Konsekuensi dari prinsip ini adalah kesediaan setiap
orang maupun kelompok untuk menerima pandangan yang berbeda dari orang atau
kelompok lain dalam bentuk-bentuk kompromi melalui jalan musyawarah yang berjalan
secara seimbang dan aman.
3. Cara haruslah sejalan dengan tujuan. Norma ini menekankan bahwa hidup demokratis
mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Demokrasi
pada hakikatnya tidak hanya sebatas pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi, tetapi
harus dilakukan secara santun dan beradab.
4. Norma kejujuran dalam pemufakatan. Suasana masyarakat demokrasi dituntut untuk
menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat untuk mencapai
kesepakatan yang memberi keuntungan semua pihak. Musyawarah yang benar dan baik
hanya akan berlangsung jika masing-masing pribadi atau kelompok memiliki pandangan
positif terhadap perbedaan pendapat dan orang lain.
5. Kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban. Pengakuan akan kebebasan nurani,
persamaan hak dan kewajiban bagi semua merupakan norma demokrasi yang harus
diintegrasikan dengan sikap percaya pada iktikad baik orang dan kelompok lain.
6. Trial and error dalam berdemokrasi. Demokrasi bukanlah sesuatu yang telah selesai dan
siap saji, tetapi ia merupakan sebuah proses tanpa henti.

Pakar politik J. Kristiadi menyebutkan sepuluh pilar demokrasi sebagai berikut.


1. Kedaulatan rakyat.
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah.
3. Kekuasaan mayoritas (hasil pemilu).
4. Jaminan hak-hak minoritas.
5. Jaminan hak-hak asasi manusia.
6. Persamaan di depan hukum.
7. Proses hukum yang berkeadilan.
8. Pembatas kekuasaan pemerintah melalui konstitusi.
9. Pluralisme sosial, ekonomi dan politik.
10. Dikembangnya nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerja sama dan mufakat.

Sekilas Sejarah Demokrasi


Demokrasi yang dipraktikkan pada abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M terbentuk
demokrasi langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara
langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Demokrasi langsung
tersebut berjalan secara efektif karena negara kota Yunani kuno merupakan sebuah kawasan
politik yang kecil, sebuah wilayah dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 300.000 orang.

Demokrasi Yunani kuno berakhir pada Abad Pertengahan. Pada masa ini masyarakat
Yunani berubah menjadi masyarakat feudal yang ditandai oleh kehidupan keagamaan terpusat
pada Paus dan pejabat agama dengan kehidupan politik yang diwarnai dengan perebutan
kekuasaan di kalangan para bangsawan.

Demokrasi tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan, ditandai oleh
lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) di Inggris. Magna Charta adalah suatu piagam yang
memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John. Terdapat dua hal yang sangat
mendasar pada piagam ini: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi
manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.

Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di Eropa adalah


gerakan pencerahan (renaissance) dan reformasi. Renaissance merupakan gerakan yang
menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani kuno. Philip K. Hitti menyatakan
bahwa gerakan pencerahan di Barat merupakan buah dari kontak Eropa dengan dunia Islam yang
ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban dan ilmu pengetahuan. Pemuliaan
ilmuwan Muslim terhadap kemampuan akal ternyata telah berpengaruh pada bangkitnya kembali
tuntutan demokrasi di masyarakat Barat.

Gerakan reformasi merupakan penyebab lain kembalinya tradisi demokrasi di Barat,


setelah sempat tenggelam pada Abad Pertengahan. Gerakan demokrasi adalah gerakan revolusi
agama di Eropa pada abad ke-16. Tujuan dari gerakan ini merupakan gerakan kritis terhadap
kebekuan doktrin gereja. Selanjutnya, gerakan reformasi ini dikenal dengan gerakan
Protestanisme Amerika. Gerakan ini dimotori oleh Martin Luther King yang menyerukan
kebebasan berpikir dan bertindak. Salah satu asas dalam prinsip hukum alam itu adalah
pandangan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung
prinsip-prinsip keadilan yang universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja,
bangsawan, maupun rakyat jelata. Unsur universitalitas hukum alam pada akhirnya
mempengaruhi kehidupan politik di Eropa. Politik didasarkan pada perjanjian yang mengikat
kedua belah pihak.

Lahirnya istilah kontrak sosial antara yang berkuasa dan yang dikuasai tidak lepas
dari dua filsuf Eropa, John Locke (Inggris) dan Montesquieu (Pernacis). Pemikiran keduanya
telah berpengaruh pada ide dan gagasan pemerintah demokrasi. Menurut Locke (1632-1704),
hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak kepemilikan, sedangkan
menurut Montesquieu (1689-1744), sistem pokok yang dapat menjamin hak-hak politik tersebut
adalah melalui prinsip trias politica. Trias politica adalah suatu sistem pemisahan kekuasaan
dalam negara menjadi tiga bentuk kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Demokrasi Indonesia
Sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat periode: periode 1945-1959,
periode 1959-1965, periode 1965-1998, dan periode pasca-Orde Baru.

1. Periode 1945-1965

Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Namun,
dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikkan
demokrasi model Barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk
mendominasi kehidupan sosial-politik.

Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini jarang dapat
bertahan lama. hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi
nasional yang sedang dibangun.

Faktor-faktor dia atas ditambah dengan kegagalan partai-partai dalam Majelis


Konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar
baru, mendorong Presiden Soekarno untuk mngeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli
1959, yang menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian,
masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir, digantikan oleh Demokrasi Terpimpin
yang memosisikan Presiden Soekarno menjadi pusat kekuasaan negara.

2. Periode 1959-1965

Periode ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin. Ciri-ciri demokrasi ini adalah
dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI)
dalam panggung politik nasional. Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukkan
kepemimpina persoalan yang kuat. UUD 1945 memberi peluang seorang presiden untuk
memimpin pemerintahan selama lima tahun, ketetapan MPRS No. III/1963 mengangkat Ir.
Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Lahirnya ketetapan MPRS ini secara otomatis telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.

Ini terbukti melahirkan tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945. Pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuat
demikian. Sejak diberlakukan Dekrit Presiden 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh
Presiden Soekarno.

Dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif, Demmokrasi Terpimpin sebenarnya ingin


menempatkan Presiden Soekarno ibarat seorang ayah dalam sebuah keluarga besar dengan
kekuasaan terpusat berada di tangannya. Kekeliruan sangat besar dalam Demokrasi Terpimpin
adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni lahirnya absolutisme dan terpusatnya
kekuasaan pada diri pemimpin, dan pada saat yang sama hilangnya kontrol sosial dan check and
balance dari legislatif terhadap eksekutif.

Peran politik Partai Komunis Indonesia (PKI) sangatlah menonjol. Dalam Dekrit
Presiden 5 Juli menegaskan bahwa didirikan banyak badan ekstra konstitusional seperti Front
Nasional yang digunakan oleh PKI sebagai wadah kegiatan politik.

Akhir dari sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno yang berakibat pada perseteruan
politik ideologis antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30
September 1965.

3. Periode 1965-1998

Periode ini merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Barunya.
Orde Baru, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk meluruskan
kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang terjadi dalam masa
Demokrasi Terpimpin. Kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan
persiden seumur hidup untuk Presiden Soekarno telah dihapuskan, diganti dan dipilih kembali
melalui proses pemilu.

Demokrasi Pancasila menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, demokrasi dalam


bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan
kepastian hukum. Kedua, demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan
yang layak bagi semua warga negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya
bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.

Demokrasi Pancasila dikampanyekan oleh Orde Baru baru sebatas retorika politik belaka.
Penguasa Orde Baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. M. Rusli Karim menyatakan
ketidakdemokratisan penguasa Orde Baru ditandai oleh:
1. Dominannya peranan militer (ABRI).
2. Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik.
3. Pengebirian peran dan fungsi partai politik.
4. Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik.
5. Politik masa mengambang.
6. Monolitisasi ideology negara.
7. Inkorporasi lembaga nonpemerintah.

4. Periode Pasca-Orde Baru

Periode pasca-Orde Baru sering disebut dengan era Reformasi. Periode ini erat
hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan dengan demokrasi
dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto dari
tampuk kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998, setelah lebih tiga puluh tahun berkuasa dengan
Demokrasi Pancasilanya.
Pengalaman pahit yang menimpa Pancasila, yang pada dasarnya sangat berbuka, inklusif,
dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk
menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Demokrasi yang hendak dikembangkan
setelah kejatuhan rezim Orde Baru adalah demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-
embel di mana hak rakyat merupakan komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan
pemerintahan yang demokratis.

Unsur-unsur Pendukung Tegaknya Demokrasi


Beberapa unsur-unsur penting penompang tegaknya demokrasi antara lain: 1. Negara
hukum, 2. Masyarakat Madani, 3. Aliansi kelompok strategis.

1. Negara Hukum (Rechstaat atau The Rule of Law)

Negara hukum memiliku pengertian bahwa negara memberikan perlindungan hukum


bagi warga negaa melalui perlembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak serta
penjaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara garis besar, negara hukum adalah sebuah negara
dengan gabungan kedua konsep rechstaat dan the rule of law. Konsep rechstaat memiliki ciri-
ciri, yaitu : 1. Adanya perlindungan terhadap HAM; 2. Adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM; 3. Pemerintahan
berdasarkan peraturan; dan 4. Adanya perlindungan HAM. Adapun konsep the rule of law yang
dicirikan oleh adanya: 1. Supremasi aturan-aturan hukum; 2. Kesamaan kedudukan di depan
hukum; dan 3. Jaminan perlindungan HAM.

Moh. Mahfud M.D. menyatakan bahwa ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut.
a. Adanya perlindungan konstitusional, yang artinya selain menjamin hak-hak individu,
konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh atas hak-hak yang
dijamin.
b. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
c. Adanya pemilu yang bebas.
d. Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
e. Adanya kebebasan berserikat dan beroposisi.
f. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Istilah negara hukum dalam penjelasan UUD 1945 berbunyi: “Indonesia ialah negara
yang berdasar atas hukum dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka.”

2. Masyarakat Madani

Masyarakat madani adalah masyarakat dengan ciri-cirinya yang terbuka, egaliter, bebas
dari dominasi, dan tekanan negara. Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat
signifikan dalam membangun demokrasi. Posisi penting masyarakat madani adalah adanya
partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara
atau pemerintah.
Dalam praktiknya, masyarakat madani dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai
mitra kerja lembaga-lembaga negara maupun melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan
pemerintah. Masyarakat madani sebagaimana negara menjadi sangat penting keberadaannya
dalam mewujudkan demokrasi. Masyarakat madani dapat tumpuan sebagai komponen
penyeimbang kekuatan negara yang memiliki kecendrungan koruptif.

3. Aliansi Kelompok Strategis

Aliansi kelompok strategis terdiri dari partai politik, kelompok gerakan dan kelompok
penekan atau kelompok kepentingan termasuk di dalamnya pers yang bebas dan bertanggung
jawab. Adapun kelompok gerakan yang diperankan oleh organisasi masyarakat seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), Pergerakan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa
Nasionalis Indonesia (GMNI) dan organisasi masyarakat lainnya.

Sejenis dengan kelompok ini adalah kelompok penekan atau kelompok kepentingan.
Kelompok ketiga ini adalah sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan
pada criteria keahlian sepeti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia
(AIPI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), dan sebagainya. Bersamaan dengan kelompok politik, kedua kelompok dua terakhir ini
dapat saling bekerja sama dengan kelompok lainnya untuk melakukan opsisi terhadap
pemerintah manakala ia berjalan tidak demokratis.

Parameter Tatanan Kehidupan Demokratis


Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme penyelenggaraannya
melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip dasar demokrasi itu adalah persamaan,
kebebasan, dan pluralisme. Robert A. Dahl menyatakan bahwa terdapat tujuh prinsip yang harus
ada dalam sistem demokrasi, yaitu kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan umum yang
jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan
mengakses informasi, kebebasan berserikat.

Sedikitnya tiga aspek dapat dijadikan landasan untuk mengukur sejauh mana demokrasi
itu berjalan dalam suatu negara. Ketiga aspek tersebut antara lain:
1. Pemilihan umum sebagai proses pembentukan pemerintah.
2. Susunan kekuasaan negara, yakni kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk
menghindari penumpukan kekuasaam dalam satu tangan atau satu wilayah.
3. Kontrol rakyat, yaitu suatu relasi kuasa yang berjalan secara simetris, memiliki
sambungan yang jelas, dan adanya mekanisme yang memungkinkan kontrol dan
keseimbangan terhadap kekuasaan yang dijalankan eksekutif dan legislatif.

Parameter demokrasi juga bisa diketahui melalui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Hak dan kewajiban politik dapat dinikmati dan dilaksanakan oleh warga negara
berdasarkan prinsip-prinsip dasar HAM yang menjamin adanya kebebasan, kemerdekaan,
dan rasa merdeka.
b. Penegakan hukum yang berasaskan pada prinsip supremasi hukum, kesamaan di depan
hukum, dan jaminan terhadap HAM.
c. Kesamaan hak dan kewajiban anggota masyarakat.
d. Kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab.
e. Pengakuan terhadap hak minoritas.
f. Pembuatan kebijakan negara yang berlandaskan pada pelayanan, pemberdayaan, dan
pencerdasan.
g. Sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif
h. Keseimbangan dan keharmonisan.
i. Tentara yang professional sebagai kekuatan pertahanan.
j. Lembaga peradilan yang independen.

Pemilihan Umum dan Partai Politik dalam Sistem Demokrasi


1. Pemilu Indonesia di Era Reformasi

Pemilihan umum merupakan salah satu mekanisme demokrasi untuk menentukan


pergantian pemerintahan di mana rakyat dapat terlibat dalam proses pemilihan wakil mereka di
parlemen dan pemimpin nasional maupun daerah yang dilakukan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, adil, dan aman. Sejak era Reformasi Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama yang
dilakukan dengan banyak partai politik. Sebanyak 48 partai politik menjadi kontestan Pemilu
1999 ini.

Perjalanan reformasi Indonesia semakin menunjukkan kualitasnya pada pemilu 2004


yang dilaksanakan secara serentak pada 5 April 2004. Rakyat tidak hanya terlibat langsung
dalam pemilihan wakil mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), mereka dapat
langsung memilih presiden dan wakil presiden. Putaran pertama yang diselenggarakan pada 5
Juli 2004 yang memenangkan pasangan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf
Kalla. Pasangan ini merupakan presiden dan wakil presiden pertama Indonesia yang dipilih
secara langsung oleh rakyat di era reformasi.

Pemilu 2009 merupakan pemilihan umum ketiga di era Reformasi. Pemilu 2009 sejumlah
38 partai nasional dan 6 partai local dari daerah pemilihan Nanggroe Ace Darussalam. Pada
pemilu presiden dan wakil presiden ini mengantarkan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono menjadi pemenangnya. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu maupun
pemilukada adalah lembaga pengawas dan pemantau pemilu: Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu).

2. Partai Politik

Selain sebagai struktur kelembagaan politik yang anggotanya bertujuan mendapatkan


kekuasaan dan kedudukan politik, partai politik adalah sebagai wadah bagi penampungan
asprirasi rakyat. Terkait dengan partai politik adalah sistem kepartaian yang berbeda pada setiap
negara: ada sistem satu partai, sistem dwipartai dan banyak partai.
a. Sistem satu partai

Sistem ini sama seperti tak ada partai politik, karena hanya ada satu partai untuk
menyalurkan aspirasi rakyat. Asiprasi rakyat kurang berkembang, segalanya ditentukan oleh satu
partai tanpa adanya partai lain, baik sebagai saingan maupun sebagai mitra. Contohnya, Partai
Fasis di Italia, Partai Komunis di Uni Soviet, RRC dan Vietnam.

b. Sistem Dwipartai

Sistem ini adalah sistem dua partai sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Seperti di
Amerika Serikat, ada Partai Republik dan Partai Demokrat.

c. Sistem Banyak (Multi) Partai

Negara yang menganut sistem multipartai antara lain Jerman, Perancis, Jepang, Malaysia,
dan Indonesia. Jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, maka dibentuk pemerintahan
koalisi yang terdiri banyak partai politik.

Islam dan Demokrasi


Larry Diamond, Juan J. Linze, dan Seymour Martin Lipset menyimpulkan bahwa dunia
Islam tidak memiliki prospek untuk menjadi demokratis serta tidak memiliki pengalaman
demokrasi yang cukup andal. Samuel P. Huntington meragukan Islam dapat berjalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang secara kultural lahir di Barat. Setidaknya ada tiga pandangan
tentang Islam dan demokrasi.

Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Hubungan Islam
dan demokrasi bersifat saling menguntungkan secara eksekutif. Islam dipandang sebagai sistem
politik alternatif terhadap demokrasi. Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena
itu demokrasi sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi didefinisikan secara prosedural
seperti dipahami dan dipraktikkan di negara-negara Barat. Islam merupakan sistem politik
demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan
negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Di antara tokoh dari kelompok ini
adalah Al-Maududi dan Moh. Natsir.

Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik
demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Islam di dalam dirinya demokratis
tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan
Ijma’ (konsensus).
Terdapat beberapa argumen teoteris yang bisa menjelaskan lambannya pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi di dunia Islam. Pertama, pemahaman doctrinal mengahmbat praktik
demokrasi. Elie Khudourie menyatakan bahwa gagasan demokrasi masih cukup asing dalam
tradisi pemikiran Islam. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum Muslim yang cenderung
memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Upaya liberisasi
pemahaman keagamaan dalam rangka mencari konsensus dan sintesis antara pemahaman doktrin
Islam dengan teori-teori modern seperti demokrasi dan kebebasan.

Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara Muslim


sejak paruh pertama abad dua puluh, tetapi gagal. Karena warisan kultural masyarakat Muslim
sudah terbiasa dengan autokrasi dan ketaatan absolut kepada pemimpin. Langkah yang sangat
diperlukan adalah penjelasan kultural mengapa demokrasi tumbuh subur di Eropa, sementara di
kawasan dunia Islam malah otoritarianisme yang tumbuh dan berkembang.

Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tidak ada hubungan dengan
teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk
membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, dan di atas segalanya adalah waktu.
John Esposito dan O. Voll adalah di antara tokoh yang optimis terhadap masa depan demokrasi
di dunia Islam, sekalipun Islam tidak memiliki tradisi kuat berdemokrasi.

Dalam konteks demokrasi Indonesia, kesungguhan dan kesabaran dari kalangan elit
nasional untuk membangun demokrasi di negeri ini dengan cara berpolitik santun, bersih dari
unsur-unsur politik manipulatif serta berorientasi kesejahteraan rakyat. Kesungguhan dan
kesabaran mereka diharapkan tercermin dalam sokongan mereka untuk menyerukan nilai-nilai
Islam.

Anda mungkin juga menyukai