Demokrasi merupakan sebuah kumpulan ide dan prinsip tentang kebebasan, bahkan juga
mengandung sejumlah praktik dan prosedur menggapai kebebasan yang terbentuk melalui
perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat, demokrasi merupakan bentuk
institusionalisasi dari kebebasan. Untuk melihat apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan
demokratis atau tidak terletak pada sejauh mana pemerintahan tersebut berjalan pada: prisnip
konstitusi, hak asasi manusia, dan persamaan warga negara di hadapan umum.
Dapat disimpulkan bahwa hakikat demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang
tertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Pemerintahan
demokrasi adalah pemerintahan yang meliputi tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian bahwa suatu pmerintahan yang sah
adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat
melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum.
2. Pemerintahan oleh rakyat memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan
kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi elit negara negara atau elit
birokrasi. Selain pengertian ini, unsur ini megandung pengertian bahwa dalam
menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat.
3. Pemerintahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan
oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Demokrasi Yunani kuno berakhir pada Abad Pertengahan. Pada masa ini masyarakat
Yunani berubah menjadi masyarakat feudal yang ditandai oleh kehidupan keagamaan terpusat
pada Paus dan pejabat agama dengan kehidupan politik yang diwarnai dengan perebutan
kekuasaan di kalangan para bangsawan.
Demokrasi tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan, ditandai oleh
lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) di Inggris. Magna Charta adalah suatu piagam yang
memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John. Terdapat dua hal yang sangat
mendasar pada piagam ini: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi
manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Lahirnya istilah kontrak sosial antara yang berkuasa dan yang dikuasai tidak lepas
dari dua filsuf Eropa, John Locke (Inggris) dan Montesquieu (Pernacis). Pemikiran keduanya
telah berpengaruh pada ide dan gagasan pemerintah demokrasi. Menurut Locke (1632-1704),
hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak kepemilikan, sedangkan
menurut Montesquieu (1689-1744), sistem pokok yang dapat menjamin hak-hak politik tersebut
adalah melalui prinsip trias politica. Trias politica adalah suatu sistem pemisahan kekuasaan
dalam negara menjadi tiga bentuk kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Demokrasi Indonesia
Sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat periode: periode 1945-1959,
periode 1959-1965, periode 1965-1998, dan periode pasca-Orde Baru.
1. Periode 1945-1965
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Namun,
dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikkan
demokrasi model Barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk
mendominasi kehidupan sosial-politik.
Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini jarang dapat
bertahan lama. hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi
nasional yang sedang dibangun.
2. Periode 1959-1965
Periode ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin. Ciri-ciri demokrasi ini adalah
dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI)
dalam panggung politik nasional. Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukkan
kepemimpina persoalan yang kuat. UUD 1945 memberi peluang seorang presiden untuk
memimpin pemerintahan selama lima tahun, ketetapan MPRS No. III/1963 mengangkat Ir.
Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Lahirnya ketetapan MPRS ini secara otomatis telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Ini terbukti melahirkan tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945. Pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuat
demikian. Sejak diberlakukan Dekrit Presiden 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh
Presiden Soekarno.
Peran politik Partai Komunis Indonesia (PKI) sangatlah menonjol. Dalam Dekrit
Presiden 5 Juli menegaskan bahwa didirikan banyak badan ekstra konstitusional seperti Front
Nasional yang digunakan oleh PKI sebagai wadah kegiatan politik.
Akhir dari sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno yang berakibat pada perseteruan
politik ideologis antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30
September 1965.
3. Periode 1965-1998
Periode ini merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Barunya.
Orde Baru, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk meluruskan
kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang terjadi dalam masa
Demokrasi Terpimpin. Kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan
persiden seumur hidup untuk Presiden Soekarno telah dihapuskan, diganti dan dipilih kembali
melalui proses pemilu.
Demokrasi Pancasila dikampanyekan oleh Orde Baru baru sebatas retorika politik belaka.
Penguasa Orde Baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. M. Rusli Karim menyatakan
ketidakdemokratisan penguasa Orde Baru ditandai oleh:
1. Dominannya peranan militer (ABRI).
2. Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik.
3. Pengebirian peran dan fungsi partai politik.
4. Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik.
5. Politik masa mengambang.
6. Monolitisasi ideology negara.
7. Inkorporasi lembaga nonpemerintah.
Periode pasca-Orde Baru sering disebut dengan era Reformasi. Periode ini erat
hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan dengan demokrasi
dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto dari
tampuk kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998, setelah lebih tiga puluh tahun berkuasa dengan
Demokrasi Pancasilanya.
Pengalaman pahit yang menimpa Pancasila, yang pada dasarnya sangat berbuka, inklusif,
dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk
menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Demokrasi yang hendak dikembangkan
setelah kejatuhan rezim Orde Baru adalah demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-
embel di mana hak rakyat merupakan komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan
pemerintahan yang demokratis.
Moh. Mahfud M.D. menyatakan bahwa ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut.
a. Adanya perlindungan konstitusional, yang artinya selain menjamin hak-hak individu,
konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh atas hak-hak yang
dijamin.
b. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
c. Adanya pemilu yang bebas.
d. Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
e. Adanya kebebasan berserikat dan beroposisi.
f. Adanya pendidikan kewarganegaraan.
Istilah negara hukum dalam penjelasan UUD 1945 berbunyi: “Indonesia ialah negara
yang berdasar atas hukum dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka.”
2. Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat dengan ciri-cirinya yang terbuka, egaliter, bebas
dari dominasi, dan tekanan negara. Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat
signifikan dalam membangun demokrasi. Posisi penting masyarakat madani adalah adanya
partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara
atau pemerintah.
Dalam praktiknya, masyarakat madani dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai
mitra kerja lembaga-lembaga negara maupun melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan
pemerintah. Masyarakat madani sebagaimana negara menjadi sangat penting keberadaannya
dalam mewujudkan demokrasi. Masyarakat madani dapat tumpuan sebagai komponen
penyeimbang kekuatan negara yang memiliki kecendrungan koruptif.
Aliansi kelompok strategis terdiri dari partai politik, kelompok gerakan dan kelompok
penekan atau kelompok kepentingan termasuk di dalamnya pers yang bebas dan bertanggung
jawab. Adapun kelompok gerakan yang diperankan oleh organisasi masyarakat seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), Pergerakan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa
Nasionalis Indonesia (GMNI) dan organisasi masyarakat lainnya.
Sejenis dengan kelompok ini adalah kelompok penekan atau kelompok kepentingan.
Kelompok ketiga ini adalah sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan
pada criteria keahlian sepeti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia
(AIPI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), dan sebagainya. Bersamaan dengan kelompok politik, kedua kelompok dua terakhir ini
dapat saling bekerja sama dengan kelompok lainnya untuk melakukan opsisi terhadap
pemerintah manakala ia berjalan tidak demokratis.
Sedikitnya tiga aspek dapat dijadikan landasan untuk mengukur sejauh mana demokrasi
itu berjalan dalam suatu negara. Ketiga aspek tersebut antara lain:
1. Pemilihan umum sebagai proses pembentukan pemerintah.
2. Susunan kekuasaan negara, yakni kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk
menghindari penumpukan kekuasaam dalam satu tangan atau satu wilayah.
3. Kontrol rakyat, yaitu suatu relasi kuasa yang berjalan secara simetris, memiliki
sambungan yang jelas, dan adanya mekanisme yang memungkinkan kontrol dan
keseimbangan terhadap kekuasaan yang dijalankan eksekutif dan legislatif.
Parameter demokrasi juga bisa diketahui melalui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Hak dan kewajiban politik dapat dinikmati dan dilaksanakan oleh warga negara
berdasarkan prinsip-prinsip dasar HAM yang menjamin adanya kebebasan, kemerdekaan,
dan rasa merdeka.
b. Penegakan hukum yang berasaskan pada prinsip supremasi hukum, kesamaan di depan
hukum, dan jaminan terhadap HAM.
c. Kesamaan hak dan kewajiban anggota masyarakat.
d. Kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab.
e. Pengakuan terhadap hak minoritas.
f. Pembuatan kebijakan negara yang berlandaskan pada pelayanan, pemberdayaan, dan
pencerdasan.
g. Sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif
h. Keseimbangan dan keharmonisan.
i. Tentara yang professional sebagai kekuatan pertahanan.
j. Lembaga peradilan yang independen.
Pemilu 2009 merupakan pemilihan umum ketiga di era Reformasi. Pemilu 2009 sejumlah
38 partai nasional dan 6 partai local dari daerah pemilihan Nanggroe Ace Darussalam. Pada
pemilu presiden dan wakil presiden ini mengantarkan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono menjadi pemenangnya. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu maupun
pemilukada adalah lembaga pengawas dan pemantau pemilu: Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu).
2. Partai Politik
Sistem ini sama seperti tak ada partai politik, karena hanya ada satu partai untuk
menyalurkan aspirasi rakyat. Asiprasi rakyat kurang berkembang, segalanya ditentukan oleh satu
partai tanpa adanya partai lain, baik sebagai saingan maupun sebagai mitra. Contohnya, Partai
Fasis di Italia, Partai Komunis di Uni Soviet, RRC dan Vietnam.
b. Sistem Dwipartai
Sistem ini adalah sistem dua partai sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Seperti di
Amerika Serikat, ada Partai Republik dan Partai Demokrat.
Negara yang menganut sistem multipartai antara lain Jerman, Perancis, Jepang, Malaysia,
dan Indonesia. Jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, maka dibentuk pemerintahan
koalisi yang terdiri banyak partai politik.
Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Hubungan Islam
dan demokrasi bersifat saling menguntungkan secara eksekutif. Islam dipandang sebagai sistem
politik alternatif terhadap demokrasi. Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena
itu demokrasi sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi didefinisikan secara prosedural
seperti dipahami dan dipraktikkan di negara-negara Barat. Islam merupakan sistem politik
demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan
negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Di antara tokoh dari kelompok ini
adalah Al-Maududi dan Moh. Natsir.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik
demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Islam di dalam dirinya demokratis
tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan
Ijma’ (konsensus).
Terdapat beberapa argumen teoteris yang bisa menjelaskan lambannya pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi di dunia Islam. Pertama, pemahaman doctrinal mengahmbat praktik
demokrasi. Elie Khudourie menyatakan bahwa gagasan demokrasi masih cukup asing dalam
tradisi pemikiran Islam. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum Muslim yang cenderung
memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Upaya liberisasi
pemahaman keagamaan dalam rangka mencari konsensus dan sintesis antara pemahaman doktrin
Islam dengan teori-teori modern seperti demokrasi dan kebebasan.
Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tidak ada hubungan dengan
teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk
membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, dan di atas segalanya adalah waktu.
John Esposito dan O. Voll adalah di antara tokoh yang optimis terhadap masa depan demokrasi
di dunia Islam, sekalipun Islam tidak memiliki tradisi kuat berdemokrasi.
Dalam konteks demokrasi Indonesia, kesungguhan dan kesabaran dari kalangan elit
nasional untuk membangun demokrasi di negeri ini dengan cara berpolitik santun, bersih dari
unsur-unsur politik manipulatif serta berorientasi kesejahteraan rakyat. Kesungguhan dan
kesabaran mereka diharapkan tercermin dalam sokongan mereka untuk menyerukan nilai-nilai
Islam.