Anda di halaman 1dari 21

A.

Pengertian Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia yang terbentuk dari kata
demos yang artinya rakyat dan kratein yang artinya pemerintahan/kekuasaan, sehingga arti
dari demokratia adalah kekuasaan atau pemerintahan rakyat. Secara umum, Pengertian Demokrasi
merupakan suatu sistem pemerintahan yang melibatkan rakyat dalam sistem pemerintahan negara.

Selain itu, Pengertian Demokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atas kekuasaan negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut. Pilar demokrasi yang biasa kita kenal adalah prinsip trias politica, dimana
membagi ketiga kekuasaan politik negara yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dalam
mewujudkan ketiga jenis lembaga negara yang bersifat independen dan berada dalam kesejajaran
satu sama lain, diharapkan agar ketiga lembaga negara ini dapat saling mengontrol dan mengawasi.

Sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah demokrasi pancasila, dimana sistem
demokrasi ini mementingkan keinginan, aspirasi dan suara hati nurani rakyat. Pengambilan
keputusan pada sistem demokrasi ini dilakukan oleh wakil-wakil di Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dengan cara voting atau musyawarah mufakat. Selain itu, Demokrasi Pancasila
merupakan perwujudan kerakyatan yang yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan yang memiliki semangat ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terdapat dua prinsip mengenai sistem pemerintahan negara, yaitu yang pertama adalah Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Dan yang
kedua adalah pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Dalam Pengertian Demokrasi, ada beberapa macam demokrasi yaitu sebagai berikut :

1. Demokrasi pancasila merupakan demokrasi yang berfokus pada aspirasi, kepentingan dan suara
rakyat serta memiliki jiwa dan dasar paham pancasila/nilai luhur pancasila yang bersumber
pada tata nilai sosial budaya.

2. Demokrasi liberal merupakan demokrasi yang menekankan pada kebebasan manusia untuk
kepentingan manusia dan kekuasaan pemerintah dibatasi oleh undang-undang.

3. Demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang mengarah pada otoriter dan pimpinan
tunggal.

4. Demokrasi totaliter merupakan demokrasi yang memiliki tujuan utama dengan menghalalkan
segala cara.

5. Demokrasi proletar merupakan demokrasi yang mensejahterakan rakyat, segala sesuatunya


ditentukan dan dikuasai oleh negara serta tidak mengenal kelas sosial.

6. Demokrasi titular merupakan demokrasi yang berupa campuran modern dan lama (gaya
fragmentaris).
7. Demokrasi formal merupakan demokrasi yang menempatkan persamaan kedudukan setiap
orang dalam politik tanpa disertai upaya dalam menghilangkan kesenjangan dalam ekonomi.

8. Demokrasi material merupakan demokrasi yang menciptakan persamaan sosial ekonomi,


dimana berada di negara sosial komunis.

9. Demokrasi campuran merupakan demokrasi yang menciptakan kesejahteraan rakyat dengan


menempatkan semua orang dengan hak yang sama.

Pada Pengertian Demokrasi, terdapat ciri-ciri demokrasi yaitu antara lain :

1. Jaminan kekuasaan yang telah disepakati bersama.

2. Jaminan kemerdekaan bagi warga negara untuk beroposisi dan berkumpul.

3. Jaminan HAM.

4. Kekuasaan dalam pemerintahan dikontrol oleh rakyat melalui perwakilan yang dipilih rakyat.

5. Persamaan kedudukan dan perlakuan bagi seluruh warga negara dalam hukum.

Dalam Pengertian Demokrasi, ada beberapa prinsip demokrasi yaitu :

1. Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM).

2. Persamaan kedudukan di depan hukum.

3. Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi.

4. Kebebasan pers.

5. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat.

6. Pemilu yang jujur, adil dan bebas (sesuai aspirasi rakyat).

7. Peradilan yang tidak memihak untuk mencapai keadilan dan bersifat jujur.

Pengertian Demokrasi menurut para ahli


1. Menurut Abraham Lincoln

Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the
people, by the people and for the people). Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem
demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama dalam
mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara
terbanyak.
2. Menurut Hans Kelsen

Demokrasi merupakan pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat, dimana yang melaksanakan
kekuasaan negara adalah wakil-wakil rakyat yang terpilih dan rakyat yakin bahwa segala kehendak
dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara.

3. Menurut Sidney Hook

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting


secara langsung ataupun tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas
dari rakyat dewasa.

4. Menurut H. Harris Soche

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan melekat
pada diri rakyat atau orang banyak dan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mempertahankan,
mengatur dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang
diserahi untuk memerintah.

5. Menurut Ranny

Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, kesamaan politik, konsultasi atau dialog dengan rakyat dan
berdasarkan pada aturan mayoritas.

6. Menurut Hannry B. Mayo

Demokrasi merupakan kebijaksanaan umum yang ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil
yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi kebebasan politik.

7. Menurut Merriam, Webster Dictionary

Demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat yang khususnya oleh mayoritas dan
pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi tetap dilakukan oleh rakyat baik secara langsung ataupun
tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan mengadakan
pemilu bebas yang diadakan secara periodik dan rakyat umum khususnya untuk mengangkat
sumber otoritas politik dan tidak adanya distingsi kelas yang berdasarkan
kesewenang-wenangan/keturunan.

8. Menurut C.F. Strong

Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari
masyarakat yang ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah
akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.

9. Menurut Abdul Ghani Ar Rahhal

Demokrasi didefinisikan sebagai kekuasaan rakyat oleh rakyat. Rakyat merupakan sumber
kekuasaan. Ia menyebutkan bahwa Plato adalah orang yang pertama kali mengungkap teori
demokrasi, dimana sumber kekuasaannya merupakan keinginan yang satu bukan majemuk
10. Menurut Yusuf Al-Qordhawi

Demokrasi merupakan wadah masyarakat untuk memilih seorang untuk mengurus dan mengatur
kepentingan masyarakat. Pimpinannya bukan orang yang dibenci, peraturannya bukan yang
masyarakat tidak kehendaki dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban penguasa apabila
pemimpin tersebut salah. Masyarakat juga berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga
tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya atau sistem politik yang tidak mereka kenal
dan tidak sukai.

B. Sejarah Demokrasi

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan, dalam bentuk klasik sudah digunakan sejak zaman Yunani
Kuno (+/- abad V SM). Pada masa itu, Yunani dengan Negara kotanya (polis) telah mempraktekkan
pemerintahan dengan partisipasi langsung rakyat dalam membicarakan persoalan pemerintah
(demokrasi langsung).

Pada zaman Romawi sampai dengan abad pertengahan (abad XV) pelaksanaan sistem demokrasi
mengalami kemunduran karena banyak berkembang praktek-praktek tirani, oligarki, dan diktator.
Namun, semenjak zaman Renaissance (abad XVI – XIX), ajaran demokrasi bangkit kembali dengan
pertimbangan-pertimbangan ini:
a. Rakyat tidak senang dengan adanya praktek-praktek yang sewenang-wenang dari penguasa.
b. Rakyat menuntut persamaan hak dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
c. Pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep atau teori-teori demokrasi yang mengarah
pada prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia.

Para pelopor yang telah berjasa dalam mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi, antara lain John
Locke (1632 – 1704), Montesquieu (1689 – 1755) dan J.J. Rousseau (1712 – 1770) dengan teorinya
masing-masing.

Perkembangan demokrasi selanjutnya semakin dibutuhkan sebagai sistem pemerintahan oleh


Negara-negara di seluruh dunia. Menurut Hans Kelsen, pada dasarnya demokrasi itu adalah
pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam perkembangan demokrasi dewasa ini dapat
kita peroleh gambaran sebagai berikut:
a. Yang melaksanakan kekuasaan Negara demokrasi adalah wakil-wakil rakyat yang terpilih, di
mana rakyat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil rakyat
dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
b. Cara melaksanakan kekuasaan Negara demokrasi adalah senantiasa mengingat kehendak dan
keinginan rakyat.
c. Kekuasaan Negara demokrasi yang boleh dilaksanakan mungkin untuk memperoleh hasil yang
diinginkan oleh rakyat asal saja tidak menyimpang dari dasar-dasar pokok demokrasi.
Versi 2

Negara yang pertama kali melaksanakan sistem demokrasi adalah Athena. Ia tepatnya berupa
negara-kota yang terletak di Yunani. Proses pemerintahan di Athena itu dimulai oleh Kleistenes
pada tahun 507 sebelum Masehi dengan perubahan konstitusi dan diselesaikan oleh Efialtes pada
tahun 462-461 sebelum Masehi. Setelah kematian Efialtes, tidak ada badan politik yang lebih
berkuasa daripada Dewan Rakyat. Dewan Rakyat di Athena terbuka bagi semua warga negara lelaki
yang merdeka dan sudah dewasa, tidak peduli pendapatan atau tingkatannya. Pertemuan diadakan
40 kali setahun, biasanya di suatu tempat yang disebut Pniks, suatu amfiteater alam pada salah satu
bukit di sebelah barat Akropolis. Dalam teori, setiap anggota Dewan Rakyat dapat mengatakan apa
saja, asalkan ia dapat menguasai pendengar. Salah seorang tokoh penting pada masa jaya Athena
ialah Perikles, seorang prajurit, aristokrat, ahli pidato, dan warga kota pertama. Pada musim dingin
tahun 431-430 sebelum Masehi, ketika perang Peloponnesus mulai, Perikles menyampaikan suatu
pidato pemakaman. Alih-alih menghormati yang gugur saja, ia memilih memuliakan Athena :

“Konstitusi kita disebut demokrasi, karena kekuasaan tidak ada di tangan segolongan kecil
melainkan di tangan seluruh rakyat. Dalam menyelesaikan masalah pribadi, semua orang setara di
hadapan hukum; bila soalnya ialah memilih seseorang di atas orang lain untuk jabatan dengan
tanggung jawab umum, yang diperhitungkan bukan keanggotaannya dalam salah satu golongan
tertentu, tetapi kecakapan orang itu. Di sini setiap orang tidak hanya menaruh perhatian akan
urusannya sendiri, melainkan juga urusan negara.

Selanjutnya di Eropa selama berabad-abad sistem pemerintahan sebagian besar adalah monarki
absolut. Awal timbulnya demokrasi ditandai dengan muculnya Magna Charta tahun 1215 di
Inggris. Piagam ini merupakan kontrak antara raja Inggris dengan bangsawan. Isi piagam tersebut
adalah kesepakatan bahwa raja John mengakui dan menjamin beberapa hak yang dimiliki
bawahannya. Selanjutnya sejak abad 13 perjuangan terhadap perekembangan demokrasi terus
berjalan.

Pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi antara lain John Locke dari Inggris
(1632-1704) dan Montesquieu dari Perancis (1689-1755). Menurut Locke hak-hak politik
mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik. Montesquieu,
menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik dengan pembatasan kekuasaan yang
dikenal dengan Trias Politica. Trias Politica menganjurkan pemisahan kekuasaan. Ketiganya
terpisah agar tidak ada penyalahgunaan wewenang.

Reformasi intelektual yang disusul oleh reformasi dan revolusi sosial yang berlangsung sepanjang
abad ke 17 dan 18 di Eropa Barat, diantaranya telah melahirkan sistem demokrasi di dalam tata
bermasyarakat dan berpemerintahan. Sebenarnya yang terjadi di Eropa ketika demokrasi menjadi
alternatif adalah penerusan dari suatu tradisi tentang tata cara pengaturan hidup bersama yang
dilaksanakan oleh warga kota Athena, Yunani, pada beberapa abad sebelum masehi. Sejak tiga
dekade terakhir dunia menyaksikan kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan demokrasi.
Sejak tahun 1972 jumlah negara yang mengadopsi sistem politik demokrasi telah meningkat lebih
dari dua kali lipat, dari 44 menjadi 107. Pada akhir tahun 90-an, hampir seluruh negara di dunia ini
mengadopsi pemerintahan demokratis, meski masing-masing dengan variasi sistem politik tertentu.
Versi 3

Sejarah Munculnya Demokrasi

1. Dalam pandangan Sejarah Dunia


Demokrasi dalam sejarah peradaban muncul sejak jamam Yunani Kuno di mana rakyat
memandang kediktatoran sebagai bentuk pemerintahan terburuk. Capaian praktis dari pemikiran
demokrasi Yunani adalah munculnya “negara kota”. Dengan Polis adalah bentuk demokrasi
pertama. Demokrasi berasal dari taka tain yaitu demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan).
Peradaban Yunani menunjukkan bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara bagian
yang kecil-kecil (tidak lebih dari 10.000 warga). Setiap orang menyuarakan pendapatnya atas
persoalan-persoalan pemerintahan. Istilah demokrasi sendiri pertama kali di kemukakan pada
pertengahan abad 5 M di Athena.
Dari Wikipedia :
The term democracy first appeared in ancient Greek political and philosophical thought. The
philosopher Plato contrasted democracy, the system of "rule by the governed", with the alternative
systems of monarchy (rule by one individual), oligarchy (rule by a small élite class) and timocracy.
(Political Analysis in Plato's Republic at the Stanford Encyclopedia of Philosophy)
Although Athenian democracy is today considered by many to have been a form of direct
democracy, originally it had two distinguishing features: firstly the allotment (selection by lot) of
ordinary citizens to government offices and courts, and secondarily the assembly of all the citizens.
All the male Athenian citizens were eligible to speak and vote in the Assembly, which set the laws of
the city-state; citizenship was not granted to women, or slaves. Of the 250,000 inhabitants only
some 30,000 on average were citizens. Of those 30,000 perhaps 5,000 might regularly attend one or
more meetings of the popular Assembly. Most of the officers and magistrates of Athenian
government were allotted; only the generals (strategoi) and a few other officers were elected.
Uraian di atas memberi gambaran terhadap kita bahwa dari semua manusia yang ada dikerajaan
itu hanya 2% yang berperan dalam menentukan pergerakan pemerintahan. Dan diantara 2% itu
hanya segelintir orang yang dapat mengakses kekuasaan.[4]
Konsep demokrasi memang sedikit sulit untuk dipahami karena banyak memiliki kesamaan
makna yaitu variatif, evolotif dan dinamis. Untuk itu tidak begitu mudah membuat definisi yang
baku tentang demokrasi. Banyak Negara yang mengklaim bahwa negaranya merupakan negara
demokrasi, walaupun nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahannya banyak yang dilanggar.
Demokrasi diakui banyak orang dan negara sebagai system nilai kemanusiaan yang paling
menjanjikan masa depan umat manusia di dunia. Abraham Lincoln adalah presiden Amerika Serikat
pertama yang pernah mengatakan, bahwa demokrasi adalah memerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat.
Hilang dan munculnya kembali paham demokrasi
Baron de La Brède et de Montesquieu (18 Januari 1689 – 10 Februari 1755)
Demokrasi di Yunani sendiri akhirnya menghilang. Baru setelah ratusan bahkan ribuan
tahun kemudian paham demokrasi muncul kembali. Tapatnya di Perancis saat terjadi revolosi
Perancis. Ia adalah Baron de La Brède et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 – meninggal 10
Februari 1755) yang lebih dikenal dengan Montesquieu. Momtesquieu terkenal dengan teorinya
mengenai pemisahan kekuasaan yaitu Trias Politika dimana kekuasaan dibagi menjadi Legeslatif,
Eksekutif dan Yudikatif. Ia juga yang mempopulerkan istilah “feodalisme” dan kekaisaran
Bizantium”.
Peristiwa diserangnya Penjara Bastille memulai runtuhnya kerajaan dan masyarakat
meruntuhkan kerajaan tersebut, melakukan rapat besar untuk membuat suatu bentuk dari
pemerintahan yang berbeda dari Kerajaan mereka mengatakan bahwa setiap orang berhak menjadi
pemimpin tidak hanya para keluarga Raja. Ide yang sangat bagus dan enak ditelinga membuat
masyarakat mendapatkan angan-angan bahwa suatu saat mereka dapat mempunyai kesempatan
menjadi penguasa layaknya raja. Akhirnya semua lapisan masyarakat menyutujuinya dan Memilih
orang-orang yang dapat berperan dalam tiga unsur demokrasi tersebut.
Perjuangan demokrasi di Perancis sendiri juga tidak mudah karena raja tidak ingin
menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Walau demikian perubahan di Perancis ini telah
mempengaruhi banyak Negara tetangganya. Hingga muncullah sistem Monarki Parlementari di
Inggris, German, Italia, dan Eropa barat.
Setelah revolosi Perancis, krisis akibat perebutan kekuasaan masih terus berlangsung. Pada
akhirnya perancis kembali dengan system monarki dengan Napoleon Bonaparte sebagai kaisarnya.
Kegagalan demokrasi di Perncis ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian besar
masyarakat di Eropa untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang berkeadilan. Setidaknya
mereka ingin terbebas dari tirani gereja dan pemerintah negaranya. Dengan ditemukannya benua
Amerika, di mana di benua tersebut tidak ada kekuasaan kaisar dan penduduk aslinyapun
peradabannya dianggap masih primitive, maka masyarakat Eropa yang ingin mendapatkan
kebebasan berbondong-bondong ke Amerika untuk membangun negara baru dengan dasar
kebebasan. Perancis kemudian menghadiahkan patung Liberty (kebebasan) yang dibangun di New
York sebagai simbol penyambutan kepada para pencari kebebasan.
C. Pemikiran dan Teori-Teori Demokrasi
Sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa digambarkan dalam tiga fase utama: Fase
Klasik (Demokrasi Athena), Fase Pra-Pencerahan, Fase Modern dan Fase Kontemporer (Paska
Perang Dingin).[6]
1. Fase Klasik
Fase Klasik ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan
ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states)
di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia,
dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats
untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya.
Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM),
Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-
pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model
kekuasaan para autocrats dan tyrants. Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem
demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan
dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu
saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan
sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi
yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis
dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung
sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang
memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan
nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang
akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas
dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran
mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah
demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens)
yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang
berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi
langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang).
Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan
selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing!
Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak
tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan
imigran.
2. Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)
Yang mengemuka adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh
para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo
Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu
(1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan
liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan
eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan
(Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis. Pemikiran awal dalam sistem
demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak
dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua
revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi
Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem
demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi
Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia secara universal.
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa
kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada
orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-
hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi
tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa
tunggal, yaitu sebagai berikut.
a) Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b) Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c) Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara
kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam
negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat
padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah
ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap
kekuasaan lainnya.[7]
3. Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20)
Menyaksikan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori
tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara
dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan
bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi
khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778),
John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich
Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat
konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang
kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan
penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu
perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill
mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi
liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan
pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan
yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan
Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk
intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu
masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang
menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai
“panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum
proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah
dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan
langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori
perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi
perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis
dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan
kepentingan kaum proletar. Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan
demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua
mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat,
sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan
peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem
pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-
betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah
melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada
hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
4. Era Kontemporer
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin
kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang
melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi
jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh,
kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Demokrasi
kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di
negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada
aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl
umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana warganegara
melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori
demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-
partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh
kekuasaan. Praktik demokrasi pada fase-fase tersebut tidak berarti selalu berjalan
berkesinambungan, tetapi bisa terjadi overlapping dan bahkan ruptures, sehingga perkembangan
tersebut tidaklah berjalan linear. Demikian pula, harus diingat bahwa selalu ada diskrepansi atau
gap antara “pemikiran”,“gagasan (ideas)” dengan praksis dan realitas yang sedang berkembang.
Dengan demikian tidak berarti bahwa dalam fase klasik realitas politik di Athena merupakan
pengejawantahan total gagasan demokrasi yang ada. Bisa jadi bahwa gagasan yang muncul pada
suatu era ternyata masih merupakan gagasan yang belum terealisasi sebelumnya, atau kalaupun
terealisasi ternyata mengalami berbagai penyimpangan atau perbedaan.

Versi 4

Kata ‘demokrasi’ berasal dari kata Yunani ‘demos’ yang berarti ‘people’ (rakyat, orang-orang,
kelompok orang), lalu ‘kratein’ yang berati ‘to rule’ (memerintah). Permulaan model dan penerapan
demokrasi murni tidak ditemukan di negeri manapun selain Yunani di abad ke 6 Sebelum Masehi.
Jadi, arti sebenarnya dari demokrasi adalah “rule by the people”. Orang Yunani memandang
kediktatoran sebagai bentuk pemerintahan terburuk yang mungkin. Peradaban Yunani menunjukkan
bahwa masyarakat Yunani dipecah menjadi kota-negara bagian yang kecil-kecil (tidak pernah lebih
dari 10.000 warga), dan semua orang menyuarakan pendapatnya atas persoalan-persoalan
pemerintahan. Kondisi ini serupa dengan jika semua penduduk Indonesia tersambung dengan
internet dan memiliki kemerdekaan untuk menyuarakan pendapatnya untuk didengarkan oleh
pemerintah (ThinkQuest Team 26466)

Tidak ada sistem perwakilan di Pemerintahan Yunani. Setiap orang adalah anggota badan
pengambil keputusan seumur hidupnya. Kelihatannya hampir berbentuk demokrasi total kecuali
fakta bahwa wanita, budak dan penduduk asing (lebih dari 50% populasi) tidak dianggap sebagai
warganegara djadi tidak diijinkan memberi suara mereka. Sejak saat itu dunia mengakui sistem
yang dijalankan di Yunani dengan cara meniru, mengadopsi, menjadikan dasar, atau menyesuaikan
dengan situasi, dsb. Bangsa-bangsa bergerak menuju arah dan penerapan demokrasi dalam
pemerintahan mereka masing-masing.

Pericles, seorang di antara para pemimpin demokrasi Athena tahun 430, berargumentasi
bahwa demokrasi berhubungan dengan toleransi, tetapi tidak membuat klaim khusus bagi
pemerintahan mayoritas. Baik Plato maupun Aristoteles mengingatkan bahwa demokrasi harus
mempertimbangkan ‘the larger’ dan ‘the wiser’.Aristoteles tetap menyebutkan pentingnya
pemerintahan mayoritas dengan mengatakan bahwa ‘the majority ought to be sovereign, rahter than
the best, where the best are few … A feast to which all contribute is better than one given at one
man’s expense.”

Plato khususnya prihatin jika demokrasi lebih mengutamakan mayoritas yang tidak
berpendidikan atau miskin yang kemudian bisa membenci kaum kaya, atau pemerintahan diatur
oleh mereka yang tidak bijaksana. Biasanya minoritas yang kalah termasuk ‘the wiser’. Hanya di
abad ke 17 pengukuhan terhadap demokrasi didasarkan pada asumsi tentang kesetaraan semua
warga negara, hal ini muncul sebagai akibat dari reformasi Protestan.

Kerajaan Romawi (509-27 SM) mengambil elemen-elemen demorkasi Yunani dan


diterapkan dalam pemerintahannya. Pemerintahan Romawi adalah perwakilan demokrasi yang
terwakili dalam para bangsawan di Senat dan perwakilan di warga biasa di Dewan. Kekuasaan
pemerintahan terbagi dalam dua cabang tersebut dan mereka memberi suara untuk berbagai
masalah. Cicero, negarawan Romawi masa itu berpendapat bahwa masyarakat memiliki hak
tertentu yang harus dipelihara, ia juga berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan
politik harus berasal dari rakyat.

2. Demokrasi di Abad-Abad Pertengahan


Kekristenan dengan pengaruh ajaran Alkitab bahwa manusia diciptakan setara di mata
Tuhan, tertanam kuat dalam masyarakat abad-abad pertengahan, pemikiran demokratis tentang
kesetaraan dapat dimengerti oleh banyak orang. Abad pertengahan mengambil bentuk lain dari
pemerintahan yang disebut feodalisme (masyarakat memiliki hak-hak tertentu dan feodalisme
mengembangkan sistem peradilan untuk membela hak-hak tersebut.

3. Demokrasi di Inggris
Tahun 1215, Magna Carta ditanda tangai hasil pemaksaan para bangsawan terhadap Raja
John yang kemudian terciptalah Parlemen atau Badan pembuat hukum yang menyatakan bahwa
hukum tertulis lebih berkuasa daripada raja dengan demikian kekuasaan keluarga kerajaan mulai
dibatasi dan rakyat mulai mendapat sebagian kekuasaan. Selanjutnya kekuasaan Parlemen semakin
menguat dengan munculnya berbagai peraturan yang membatasi kekuasaan raja. Semkia nkuat
Parlemen, semakin banyak hak hak rakyat untuk menyatakan pendapatnya. dasar-dasar demokrasi
Inggris inilah yang mengilhami dan mempengaruhi pemerintahan maerika Serikat.

Filsuf Inggris John locke dan seorang filsuf Perancis Jean-Jacques Rousseau
mempengaruhi penguatan nilai-nilai demokrasi walaupun tidak konklusif merujuk langsung pada
demokrasi (Political Dictionary). John Locke dalam bukunya Two Treatises menyatakan bahwa
dibawah ‘kontrak sosial’, tugas pemerintah adalah untuk melindungi ‘hak-hak alamiah’, yang
mencakup ‘hak untuk hidup, kemerdekaan, dan kepemilikan properti.’

Kemudian Rousseau memperluas pemikiran tersebut dalam bukunya The Social Contract
(1762). Kedua filsuf ini sangat berpengaruh dalam mempersiapkan jalan menuju demokrasi
Amerika di jaman modern.

4. Jalan Menuju Demokrasi modern


Revolusi Amerika adalah kejadian penting lain dalam sejarah demokrasi. Deklarasi
Kemerdekaan tahun 1776 Tohams Jefferson mengakui pengaruh John Locke dan Rousseau dalam
penyusunan dokumen kemerdekaan. Dari Locke diambil pemikiran tentang semua manusia
diciptakan setara bahwa manusia punya hak hidup, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan. Lalu
dari Rousseau diambil pemikiran bahwa rakyat semua orang dapat mengadakan perlawanan
menghadapi pemerintah manakala pemerintah tidak menghargai hak-hak tersebut.
Revolusi Perancis membuka jalan pada pemikiran bahwa kemerdekaan terjadi setelah
cabang-cabang pemerintahan legislatif, yudikatif dan eksekutif dipisahkan. Rakyat Perancis
menggulingkan raja, kemudian menetapkan ‘Deklarasi Hak-hak Manusia’ dalam hal kemerdekaan,
hak milik, keamanan, dan penolakkan kepada penindasan.
Di seluruh dunia, revolusi mulai bermunculan melawan monarkhi, dan pemerintahan
demokratis mulai menjamur. Sebelum abad ke 19 berakhir, hampir semua morarkhi Eropah barat
telah mengadopsi suatu konstitusi yang membatasi kekuasaan keluarga kerajaan dan memberikan
sebagian kekuasaan kepada rakyat. Demokrasi menjadi semakin populer. Sampai tahun 1950
hampir setiap negara yang independent memiliki pemerintahan yang memiliki beberapa prinsip dan
cita-cita demokrasi. Bangsa yang dijadikan model dari prinsip-prinsip tersebut adalah Amerika
Serikat.

Para komentator pada periode 1780 – 1920 secara umum menerima permis bahwa “yang
paling miskinpun’ memiliki hak sesungguhnya untuk bersuara sebagaimana orang-orang kaya,
sekalipun banyak dari antara mereka yang prihatin bahwa tirani mayoritas akan muncul. Jadi
untaian lain pemikiran demokrasi berargumentasi lebih kepada kesetaran kemampuan, bukan
kesetaraan hak.

5. Demokrasi Amerika
Demkorasi Amerika modern adalah dalam bentuk suatu republik demokratik atau
demokrasi perwakilan. Suatu demkorasi perwakilan muncul di Amerika Serikat sebab penduduk
baru sudah muak dengan pajak tanpa perwakilan dan mereka menginginkan sistem yang lebih fair
dimana orang bisa bersuara untuk mengatur negara. Mereka menginginkan demokrasi perwakilan
dimana perwakilan yang dipilih yang akan mengatur pemerintahan. Para perwkailan tersebut dipilih
dengan pemikiran bahwa mereka akan secara tepat mewakili konstituen mereka, tetapi dalam
kejadian di mana thal ini tidak terjadi, pemerintah Amerika Serikat dibagi menjadi 3 cabang untuk
mengawasi penyelewengan. Ketiganya adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tidak ada satupun
yang memiliki kekuasaan absolut. Ketiga cabang pemerintahan tersebut dimaksudkan sebagai cara
untuk menghindari tirani mayoritas

Apa yang terjadi di Iran adalah contoh bahwa dunia benar-benar sedang mengarahkan diri
pada kesadaran kemerdekaan, ke arah demokrasi sesungguhnya. Apa yang bakal terjadi ke depan
dalam 10 tahun mendatang, mungkin sulit ditebak karena implikasi dari demokrasi adalah
kebebasan individu yang dijamin, maka segala hal dapat terjadi.

Apakah demokrasi adalah melawan Tuhan atau teokrasi? Dari sudut pandang agama,
pergeseran menuju demokrasi pernah menjadi wacana panas yang menimbulkan berbagai keributan.
Demokrasilah yang telah membuat negara dan agama dipisahkan sehingga agama menjadi urusan
privat individu. Tetapi juga demokrasi telah menolong menyelamatkan kemanusiaan di mana ketika
agama mengambil alih tugas pemerintahan, berbagai bencana kemanusiaan seperti perang dan
penindasan atas nama Tuhan terjadi.

Sejarah agama-agama dipenuhi dengan catatan-catatan berdarah dan mengerikan tentang


politisasi agama. Ketika para rohaniwan mulai memasuki area yang menurut Yesus “Berikanlah
kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar”, maka mulailah terjadi degradasi
kerohanian.
Kitab-kitab Perjanjian Lama mencatat bahwa Allah mengakui adanya permintaan rakyat
Israel untuk memiliki raja seperti bangsa-bangsa di sekitar mereka. Jika sebelumnya Musa sebagai
pemimpin mereka dan Musa sekaligus adalah nabi, kini umat Israel meminta seorang raja. Ketika
Allah memenuhi permintaan umat Israel untuk memiliki seorang raja, bibit demokrasi sudah mulai
muncul. Tetapi contoh proto-demokrasi itu telah menghasilkan perang saudara, perpecahan bangsa,
dan pembuangan ke Babilonia.

Suara mayoritas yang menyesatkan punya contoh dalam Perjanjian Lama, ketika Harun harus
dipaksa oleh sebagian besar umat Israel untuk membuat anak lembu mas. Masih ada beberapa
peristiwa lain di mana rakyat menuntut sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Sedangkan pada jaman Yesus, Yesus ‘memimpin’ semacam gerakan yang mengedepankan
‘the masses’ sehingga kelihatan bahwa Yesus berpihak kepada orang sederhana, miskin, menderita
dan tersingkir dalam masyarakat. Ia menyuarakan hak orang banyak untuk diperlakukan sama oleh
aturan agama, dan mengambil kewenangan untuk mengkritisi kekuasaan religius masa itu. Yesus
berjalan searah dengan perkembangan peradaban manusia. Ia memulai pemikiran baru bagi masa
itu untuk memisahkan apa yang menjadi hak kaisar dan apa yang menjadi hak Allah (walaupun
seluruhnya jelas milik Allah)

Demokrasi mungkin tidak terhindarkan dalam perkembangan peradaban manusia. Tetapi


demokrasi tidak bisa serta merta menempatkan manusia independen dari Tuhan. Demokrasi
memiliki dasar dalam agama, dan tidak bertentangan dengan agama, sepanjang demokrasi
memperbaiki kualitas pemahaman dan tanggung jawab bahwa manusia adalah ciptaan Allah, semua
manusia diciptakan setara, semua manusia harus mempertanggung jawabkan hidupnya kepada
Pencipta – Allah semesta alam.

Demokrasi dalam perspektif Barat


Berbicara demokrasi dalam perspektif Barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis,
karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang kemudian berkembang menjadi
beberapa fase, yaitu:
Fase Klasik
Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik
dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city
states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi
(democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants
atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan
terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399
SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang
mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai
ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan
(egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem
politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut
memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato,
misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap
dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato
mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana
kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral,
pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher
Kings”.
Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan
kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat
terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang
kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah
demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens)
yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang
berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi
langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang).
Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalam Polis kurang dari sepertiganya dan
selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing!
Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak
tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan
imigran.
· Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)
Yang mengemukan pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut
yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara
lain adalah Niccolo Machiavelli(1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-
1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran
Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan
terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan
kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan
Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki
Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem
demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi
Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai
bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar
bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
· Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20)
Pada fase modern ini dapat disaksikan dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang
demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas,
nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi
perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang
Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-
1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883),
Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau
membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak
yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan
penyelewengan.
Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan
yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan
konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem
demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga
hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas
merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De
Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam
kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang
mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang
menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai
“panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum
proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah
dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan
langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori
perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi
perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis
dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan
kepentingan kaum proletar.
Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung
ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan
demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses
perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan
makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja
modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu
secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui
perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada
hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin
kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang
melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi
jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh,
kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di
seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin
mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir
seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami
bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus
pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau
kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki
pengaruh kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi
seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era
paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana demokrasi (liberal),
menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih
mengalami persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus
mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar,
namun munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil
sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami
pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis. Munculnya berbagai pemikiran dan
gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan
feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global
yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut
terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini
adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan
populisme di Eropa dan AS.
Demokrasi dalam perspektif Islam
Esposito dan Piscatori (dalam Eko Taranggono, 2002) mengidentifikasi adanya tiga varian
pemikiran mengenai hubungan Islam dan demokrasi, yaitu:
1) Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep
yang sama dengan demokrasi.
2) Islam tidak berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa
berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara muslim dan non muslim dan
antara laki-laki dengan perempuan. Ini bertentangan dengan equalitynya demokrasi.
3) Theodemocracy yang diperkenalkan oleh Al-Maududi yang berpandangan bahwa Islam
merupakan dasar demokrasi. Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan
Tuhan, tetapi perlu diakui bahwa kedaulatan rakyat merupakan subordinasi kedaulatan Tuhan.
Berikut penjelasan atas ketiga kelompok yang sudah dikategorikan di atas. Pertama, bagi
kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa adalah impossible jika Islam memiliki
kesamaan dengan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak
bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama yang
berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid Qutb.
Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu
persamaan semua warga negara adalah impossible dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak
mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya
dan miskin, dan antara faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya. Selain itu, ia juga menolak
legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang memerlukan
penyempurnaan.
Dalam Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional
sebagai bagian dari demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan Syaikh
Fadillah Nuri, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan. Sayyid
Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu
adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang
terhadap yang lainnya. Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara
menyeluruh terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan
kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi merupakan suatu bentuk jahiliyah
(kebodohan pra Islam), sambil menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada
prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral
sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya.
Kedua, Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi
mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini
dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu ‘Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa
ada kemiripan wawasan antara demokrasi dengan Islam, seperti keadilan, (QS. asy-Syuraa: 15),
persamaan (QS. al-Hujuraat: 13), akuntabilitas pemerintahan (QS. an-Nisaa: 58), musyawarah
(QS. asy-Syuraa: 38), tujuan negara (QS. al-Hajj: 4), dan hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab: 70). Akan
tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara demokratis
menikmati kedaulatan rakyat mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan diterapkan untuk
dibatasi oleh batas-batas yang telah di gariskan oleh hukum-hukum Ilahi.
Khomeini mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi Islam
berbeda dengan demokrasi liberal, Ia meyakini bahwa kebebasan mesti dibatasi dengan hukum, dan
kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi,
dengan sebaik-baiknya. Konstitusi Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul
faqih mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber pada hukum
agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang secara prinsipil menganut
sistem demokrasi.
Ketiga, kelompok yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang bahwa
sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka Islam menerima
sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang masuk dalam kategori
kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari Mesir, Rashid al-Ghannouchi,
pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran.
Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa
dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem
yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama
yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan
kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama
berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah,
prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan
berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang
wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam,
prinsip ijma’ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta
pengendalian nafsu bagi penguasa.

2. Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Dunia Barat dan Islam


2.1 Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Dunia Barat
Sistem demokrasi yang dianut oleh Dunia Barat, yang sampai saat ini kita kenal, antara lain :
a. Demokrasi Liberal; yang berprinsip :
1. Kontrol terhadap negara, alokasi sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol
2. Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional,
3. Kekuasaan eksekutif dibatasi oleh peraturan perundangan,
4. Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang,
untuk memperjuangkan dirinya.
b. Demokrasi Komunis; yang berprinsip :
1. Merupakan bentuk demokrasi yang sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip
agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari
pemikiran yang rasional dan nyata
2. Demokrasi komunis muncul karena adanya komunisme
3. Negara yang menganut system demokrasi Komunis hanya dikendalikan 1 partai komunis pada
bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif
4. Prinsip Demokrasi Komunis adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran
rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya dan karenanya
komunisme juga disebut anti liberalisme
2.2 Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi, pertama, syura merupakan suatu prinsip
tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya
saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam,
lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalahahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala
negara atau khalifah
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung
jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hokum termasuk rekrutmen
dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi
dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh
Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-
Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat
diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari
kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki
tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah
harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’
memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara
dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil
sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada
keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik.
Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat
harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan
amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan
dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka
rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai
amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan
rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang
berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian,
pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat),
melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib
senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan
sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga
masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu
dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-
amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk
mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak
yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi
kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

Macam-macam Demokrasi
 Demokrasi sederhana, yaitu demokrasi yang terdapat dalam desa-desa berdasarkan gotong
royong dan musyawarah.
 Demokrasi barat atau demokrasi liberal oleh kaum komunis disebut demokrasi kapitalis.
Demokrasi barat ialah demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropa Barat dan Amerika.
Tujuan dari demokrasi barat, yaitu agar manusia tidak diangap sebagai alat belaka,
melainkan mansia dipandang sebagai makhluk hidup yang memiliki tujuan sendiri.
 Demokrasi timur atau demokrasi rakyat adalah demokrasi yang dianut oleh negara-negara
komunis, seperti Rusia RRC, dll. Tujuan demokrasi timur sama dengan tujuan demokrasi
barat letak perbedaannya yaitu cara pelaksanaan dan cara pandangannya terhadap manusia.
 Demokrasi Tengah Yang dimaksud dengan demokrasi tengah ialah facisme dan nazisme
di Italia dan Jerman pada masa pemerintahan Mussolini dan Hitler. Semboyan dictator
Hitler ialah “Ein Fuhrer, ein Volk, ein Ja!” dengan semboyan ini dimaksudkan bahwa jika
fuhrer telah mengatakan sesuatu hal, maka rakyat haruslah engatakan ya, yang berarti
menyatakan setuju. Demokrasi tengah bertujuan tidak dianggap penting orang
perseorangan, yang dipentingkan ialah bangsa yaitu rakyat sebagai keseluruhan semboyan
Hitler. “DU Bist Nichts, dein Volk ist alles”.
 Demokrasi terpimpin atau demokrasi terdidik ialah demokrasi yang memisahkan pemimpin
(kaum intelek) yang telah masuk untuk demokrasi dan rakyat Jelata sebagian besar masih
buta huruf dan belum masuk untuk demokrasi, karena itu maka untuk melaksanakan
demokrasi para pemimpin harus memimpin atau mendidik rakyat untuk demokrasi.
 Demokrasi pancasila adalah suatu paham demokrasiyang dijiwai oleh sila-sila dalam
pancasila. Prinsip demokrasi pancasila yaitu musyawarah untuk mufakat hakikat dari
musywarah untuk mufakat dalam kemurniannya adalah suantara cara khas yang bersumber
pada Sila ke-4 (kerakyatan yang dipimpin oleh nikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.

Demokrasi Amerika, Demokrasi Liberal Bergaya “Cowboy”


Amerika selama ini dikenal dunia sebagai negara empunya demokrasi, bahkan sering
disebut sebagai negara paling hebat demokrasinya. Demokrasi menjadi satu dari dua asas ideologi
Amerika Serikat. Dasar lainnya adalah ekonomi liberal yang tercermin dalam bentuk kapitalisme.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari
rakyat, baik secara demokrasi langsung atau melalui demokrasi perwakilan. Arti umum demokrasi
adalah rakyat memiliki kekuasaan, hak dan turut dalam mengambil keputusan serta mempunyai
otoritas untuk mengawasi pelaksanaannya. Namun kiprahnya di dunia Internasional ternyata tidak
mencerminkan jiwa sejati sebagai negara demokrasi. Banyak standard ganda dalam berdemokrasi
digunakan sehingga Demokrasi Amerika bisa disebut demokrasi liberal ala Cowboy. Demokrasi
bergaya Cowboy dengan slogan demokrasi sejati tetapi bergaya kapitalis imperialisme.
Demokrasi liberal atau demokrasi konstitusionaladalah sistem politik yang melindungi secara
konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.Dalam demokrasi liberal, keputusan-
keputusan mayoritas dari proses perwakilan atau langsung diberlakukan pada sebagian besar
bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan
pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.
Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak
sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa Perang Dingin,
istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat. Pada zaman
sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan dengan demokrasi langsung
atau demokrasi partisipasi. Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan
demokrasi barat banyak dipraktekkan di Amerika Serikat, Britania Raya dan Kanada.

Kritik Terhadap Denokrasi Liberal


Krisis dan kritik terhadap model demokrasi liberal sebenarnya sudah jauh hari diingatkan
oleh beberapa kalangan. Kritik terhadap demokrasi datang dari tradisi Marxisme – utamanya Lenin
– yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum borjuis. Lenin mengolok
demokrasi liberal sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise), dimana
instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik terkonsentrasi pada
segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu, alih-alih berpihak kepada kesejahteraan proletar,
model demokrasi ini hanya akan menghasilkan model politik massa mengambang serta lahirnya
oligarkh dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan menjawab tuntutan serta penderitaan
rakyat. Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik terhadap demokrasi liberal juga datang dari
kalangan pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang
menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang
kompetitif dan adil.

Kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan
partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas
hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara
rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Demokrasi, dalam cita-cita yang
sesungguhnya, perlahan-lahan mati. Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks
demokrasi sangat tepat dan jitu.

Terdapat beberapa hal yang harus dikritisi terhadap demokrasi liberal. Demokrasi cenderung
melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan
digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan
finansial, Prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah
dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk berusaha
bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan
multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya.

Media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik membuat
moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung
pada semakin kecil dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat.
Tidak hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta
tentang negara dan kekuasaan. Negara adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum
berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan dengan masalah ekonomi. Negara dan
sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan kesejahteraan,
bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu negara membutuhkan
sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia
– yang bertumpu pada kekuatan modal besar , maka demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu
juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis itu mulai tercipta. Di ujung jalan, tampaknya
kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan perdagangan bebas, ia mulai
mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai menyiasati demokrasi. Lalu
muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk yang
mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik “silent takeover”. Istilah terakhir ini dipinjam
dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah penjajahan yang terselubung.

Sumber :

http://demokrasiindonesia.com/2012/07/29/demokrasi-amerika-demokrasi-liberal-bergaya-cowboy/

http://hati.unit.itb.ac.id/?p=670

Anda mungkin juga menyukai