Anda di halaman 1dari 20

1.

Silahkan uraikan minimal 5 teori/sumber rujukan, setiap konsep tersebut dibawah ini
dengan menyebutkan pengarang tahun dan hal. Lampirkan daftar pustaka lengkap sesuai
kaidah penulisan ilmiah!
a) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
1) Pemerintahan yang tidak berasal dari rakyat tidak mempunyai legitimasi.
Pemerintahan yang tidak dijalankan oleh rakyat disebut pemerintahan
otoriter. Pemerintahan yang dijalankan tidak untuk rakyat adalah
pemerintahan korup. Dengan demikian ketiga bentuk pemerintahan
tersebut dinamakan pemerintahan tidak demokratis. Karena suatu
pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan
mewujudkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Selanjutnya dalam
pandangan Frans Magnis Suseno suatu negara disebut demokratis bila
terdapat 5 gugus dalam negara tersebut yaitu : negara hukum, kontrol
masyarakat terhadap pemerintah, pemilihan umum yang bebas, prinsip
mayoritas dan adanya jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk demokrasi, setidaknya dapat diupayakan
dengan pendekatan dari berbagai sudut pandang. Misalnya menggunakan
3 sudut pandang utama yakni : pertama Dilihat dari sudut pandang “titik
tekan” yang menjadi perhatiannya, demokrasi dapat dibedakan antara : 1)
Demokrasi formal; yaitu demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan
dalam bidang politik, tanpa disertai upaya untuk mengurangi atau
menghilangkan kesenjangan dalam bidang ekonomi. Jadi kesempatan
ekonomi dan politik bagi semua orang adalah sama. 2) Demokrasi
material; yakni demokrasi yang menekankan pada upaya-upaya
menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi, sedangkan persamaan
dalam bidang politik kurang diperhatikan, atau bahkan dihilangkan. 3)
Demokrasi gabungan, yakni demokrasi sintesis dari demokrasi formal dan
demokrasi material. Demokrasi ini berupaya mengambil hal-hal baik dan
membuang hal-hal buruk dari demokrasi formal dan demokrasi material.
2) Kedua, dari sudut pandang “cara penyaluran” kehendak rakyat, bentuk
demokrasi dapat dibedakan antara lain :
1. Demokrasi langsung, yakni rakyat secara langsung mengemukakan
kehendaknya di dalam rapat yang dihadidri oleh seluruh rakyat.
2. Demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif, yakni rakyat
menyalurkan kehendaknya, dengan memilih wakil- wakilnya untuk
duduk dalam dewan perwakilan rakyat. Pada era modern ini pada
umumnya, Negara-negara menjalankan demokrasi perwakilan
karena jumlah penduduk cenderung bertambah banyak dan
wilayah negara semakin luas, sehingga demokrasi langsung sulit
untuk dilaksanakan.
3. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum, yakni gabungan
antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Ini artinya,
rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk dalam Dewan
Perwakilan Rakyat, tetapi dewan itu dikontrol oleh pengaruh
rakyat dengan sistem “referendum” dan “inisiatif rakyat”
3) Ketiga, dari sudut pandang tugas-tugas dan hubungan antara alat-alat
perlengkapan negara”, demokrasi dapat dibedakan dalam beberapa bentuk,
antara lain :
1. Demokrasi dengan sistem parlementer, yakni dalam demokrasi ini
terdapat hubungan erat antara badan legislatif dengan badan
eksekutif. Hanya badan legislatif saja yang dipilih rakyat,
sedangkan badan eksekutif yang biasa disebut “kabinet” dipimpin
oleh seorang perdana menteri yang dibentuk berdasarkan
dukungan suara terbanyak yang terdapat dalam dewan perwakilan
rakyat atau di parlemen.
2. Demokrasi dengan sistem pemisahan kekuasaan, yakni demokrasi
dalam arti kekuasaan dipisahkan menjadi kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikati.
3. Demokrasi dengan sIstem referendum, yakni demokrasi
perwakilan dengann kontrol rakyat secara langsung terhadap
wakil-wakilnya di dewan perwakilan rakyat. Ada 2 macam
referendum yakni “referendum obligator” dan “referendum
fakultatif”. Dalam referendum obligator, kebijakan atau undang-
undang yang diajukan oleh pemerintah atau dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dapat dijalankan setelah disetujui oleh rakyat
dengan suara terbanyak. Referendum obligator biasanya
dilaksanakan terhadap hal-hal krusial atau penting, yang
menyangkut hajat orang banyakdan perubahan dasar negara,
seperti kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan
perubahan Undang-undang Dasar. Dalam referendum fakultatif,
undang-undang yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat baru
dimintakan persetujuan rakyat, apabila dalam jangka waktu
tertentu setelah undang-undang diumumkan, sejumlah rakyat
memintanya. Meskipun demokrasi itu telah menimbulkan banyak
penafsiran, serta banyak kritik dan kendala dalam penerapannya, namun
harus dipahami bahwa demokrasi pada dasarnya memiliki potensi untuk
memberikan sesuatu yang baik bagi manusia terutama dalam menghadapi
kekuasaan yang represif. Demokrasi juga memandang adanya kesetaraan
dalam poltik dan dapat melindungi hak-hak individu atau hak asasi
manusia, termasuk hak untuk memperoleh penghidupan yang layak, hak
untuk berkumpul daan menyatakan pendapat secara bebas dan
bertanggung jawab, serta hak- hak lainnya.
Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimiliki tanpa
perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin, karena itu bersifat
asasi dan universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia
memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-
citanya. Hak-hak yang awalnya mengemuka dan menonjol adalah hak atas
hidup (life), kebebasan (liberty), kepemilikan (property), kesamaan
(equality), dan kebebasan berbicara (freedom of speech). Meskipun pada
umumnya masih terbatas pada bidang politik, namun hak-hak itu
dicantumkan dalam berbagai piagam di Inggris. Mula- mula lahir Magna
Charta tahun 1216, sebagai suatu piagam Raja Inggris atas hak-hak
kebebasan rakyatnya. Kemudian disusul oleh Petition of Right tahun 1672
dan Bill of Right pada tahun 1688. Selanjutnya di Perancis lahir juga De
droit de I’homme et dul citizen tahun 1789. Tiga belas tahun sebelum itu
telah lahir Declaration of Independence tahun 1776 di Amerika Serikat
yang merupakan kemerdekaan Amerika Serikat atas Inggris.21 Gagasa
tentang Hak Asasi Manusia semakin berkembang sejalan dengan
perkembangan demokrasi terutama dengan menangnya negara-negara
demokrasi melawan negara-negara fasis dalam perang dunia II. Pada tahun
1948 Perserikatan Bangsa-bangsa mensahkan Universal Declaration of
Human Right, atas persetujuan 48 Negara walaupun ada 8 negara yang
abstain antara lain : Uni Soviet, Saudi Arabia, dan Afrika Selatan.
Meskipun Deklarasi hak asasi manusia tidak mengikat secara yuridis,
tetapi tetap merupakan pedoman dan tandar minimum yang dicita-citakan
oleh seluruh umat manusia. Di Indonesia hak asasi manusia secara implicit
telah tercantum dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar) 1945. Pada
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 telah tercantum rumusan yang
antara lain berbunyi, “…. dan untuk memajukan kesejahtraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, pedamaian abadi dan keadilan social”.
Lebih jelas lagi diatur dalam pasal 28 UUD 1945, bahwa kemerdekaan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagaimana ditetapkan dalam undang- undang. Demikian juga di
dalam pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya.”22 Hal tersebut menunjukkan
bahwa di Negara Indonesia pun sangat menjunjung tinggi dan melindungi
hak asasi manusia baik itu yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai aturan tertinggi maupun pada aturan-aturan lain yang
berada di bawahnya. Pada amandemen Undang-undang Dasar 1945 pun
dapat kita lihat betapa dijunjung tingginya hak asasi manusia, terbukti
dengan ditambahnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia. Tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa pada beberapa kasus telah terjadi pelanggaran
HAM yang sampai saat ini ada yang belum terselesaikan. Persoalan besar
yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu serta bagaimana menyiapkan
perangkat hukum yang lebih responsif agar pada masa yang akan datang
pelanggaran- pelanggaran HAM, terutama yang dilakukan oleh negara,
dapat dihindari.
b) Teori Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
1. Dasar Teori Demokrasi versi Hans Kelsen, awal dari datangnya ide
demokrasi menurut Hans Kelsen adalah adanya ide kebebasan yang berada
dalam benak manusia. Pertama kali, kosakata “kebebasan” dinilai sebagai
sesuatu yang negatif. Pengertian “kebebasan” semula dianggap bebas dari
ikatan-ikatan atau ketiadaan terhadap segala ikatan, ketiadaan terhadap segala
kewajiban. Namun, hal inilah yang ditolak oleh Hans Kelsen. Pasalnya,
ketika manusia berada dalam konstruksi kemasyarakatan, maka ide
“kebebasan” tidak bisa lagi dinilai secara sederhana, tidak lagi semata-mata
bebas dari ikatan, namun ide “kebebasan” dianalogikan menjadi prinsip
penentuan kehendak sendiri. Inilah yang kemudian menjadi dasar
pemikiran Hans Kelsen mengenai demokrasi. (Hans, 2006: 404).
2. Teori Hukum Kodrati Teori hukum kodrati melihat hak asasi lahir dari
Tuhan sebagai bagian dari kodrat manusia. Ketika manusia lahir sudah
melekat dalam dirinya sejumlah hak yang tidak dapat diganti apalagi
dihilangkan, apapun latar belakang agama, etnis, kelas sosial, dan orientasi
seksual mereka.Teori hokum kodrati menurut ahli :
John Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua
individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasasan
dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dicabutoleh Negara. Melalui suatu ―kontrak sosial(social contract),
perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan pada
Negara. Apabila penguasa Negara mengabaikan kontrak social itu dengan
melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di Negara itu bebas
menurunkan sang penguasa dan menggantinya dengan suatu pemerintah yang
bersedia menghormati hak -hak tersebut.
Rousseau mengatakan bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak
kodrati individu, melainkan hak kedaulatan warga Negara sebagai suatu
kesatuan. Setiap hak yang diturunkan dari suatu hukum kodrati akan ada pada
warga Negara sebagai satu kesatuan yang bisa diidentifikasi melalui
kehendak umum (general will).
3. Teori Positivisme atau UtilitarianDalam pandangan teori positivisme hak
barulah ada jika ada hukum yang telah mengaturnya. Moralitas juga harus
dipisah secara tegas dalam dimensi hukum. Adapun kepemilikan hak dari
tiap individui bisa dinikmati apabila diberikan secara resmi oleh
penguasa atau Negara. Dan yang paling menonjol dalam pandangan
ini ialah mempriorotaskan kesejahteraan mayoritas. Sedangkan
kelompok minoritas yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas bisa
diabaikan dan kehilangan hak-haknya.
4. Teori KeadilanDalam pandangan Rawls, tiap orang memiliki hak yang di
dasarkan pada konsep keadilan yang tidak bisa di tawar, karenahal tersebut
terkait dengan isu kesejahteraan masyarakat secara umum. Untuk itu,
keadilan akan terwujud apabila didasarkan pada prinsi-prinsip “posisi
asali”nya masing-masing. Dalam keadaanini tiap orang akan diasumsikan
memilih dua prinsip keadilan pokok. Prinsip pertama, tiap orang akan
diberikan hak yang sama luasnya. Prinsip kedua adalah kesetaraan yang di
dasarkan pada kompetisi yang adil dan hanya dijustifikasi bila ia
menguntungkan bagi pihak yang paling di rugikan. Bila diantara
keduanya mengalami pertentangan maka kebebasan yang setara
harus dimenangkan dari kesempatan yang setara. Pilihan atas kedua prinsip
ini, menurut Rawlsakan mengemuka karena para pihak yang mengadakan
kontrakberada dalam “keadaan tanpa pengetahuan”atau tidak tahu berbagai
fakta yang akan menempatkan posisi kita di suatu masyarakat.
Ketiga teori diatas memiliki persamaan dalam hal pengakuan,
perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perbedaannya terletak
pada pandangan mengenai asal muasal lahirnya hak yang paling mendasar tersebut
5. Teori kontruktivis seperti dikemukakan oleh Howard, adalah “Sebuah teori
moral tentang hakikat manusia”. Ham timbul dari tindakan manusia dan
merupakan pilihan visi moral tertentu tentang potensi manusia dan lembaga
lembaga sosial untuk merealisasikan visi itu. Evolusi konsepsi konsepsi
tertentu atau daftar HAM dalam teori konstruktivis dipandang sebagai hasil
interaksi timbal balik antar konsepsi konsepsi moral dan kondisi material
kehidupan yang diperantarai oleh institusi institusi sosial seperti hak. Jadi
teori konstruktuvis, bersesuaian dengan pandangan sosiologis bahwa HAM
gejala sosial, suatu ciptaan pikiran manusia. HAM adalah hak karena umat
manusia memutuskan demikian. Menusia menciptakan pengertiannya sendiri
tentang kehidupan yang secara moral berharga. Konseptualisasi HAM dengan
menggunakan teori kontruktivis, anarata kain dianut oleh Jack Donnelly.
Amartya sen menggunakan pendekatan kontruktif terhadap HAM dengan
mengaitakannya dengan etika sosial dan keterbukaan public. Sen
sebagaimana disebutkan oleh Linda Hajjar Leib berpendapat bahwa kekuatan
paksaan yang timbul dari hak ditetapan melalui perundang undangan
bukanlah kebutuhan yang tepat untuk menegakkan harapan yang diinginkan,
sesungguhnya kesadaran politik dari HAM yangs erring disalahgunakan yang
di akibatkan oleh tekanan public. Terhadap legislasi atau tindakan yang
melanggar hak. Dalam pandangan Sen, moral rill dalam HAM lebih luas dari
pada realitas hukumnya. Terori konteruktivis tentang HAM dibedakan dalam
dua tingkatan kontruksi, yaitu tingaktan moral dimana suatu konsep umum
tentang hak bukan individu atau engara yang menjadi legitimasi adanya hak.
Pada kontruksi politis, konsep hukum, politik, dan struktur sosial
membutuhkan mengembangan dimana hak pada umumnya mendapatkan
pembenaran, penafsiaran, pengejawantahan, dan dilaksanakan sebagai hal
dasaryang timbul dari sejarah dan konteks sosaial.

c) Sejarah Demokrasi dan HAM di Dunia


Demokrasi berasal dari bahasa Yunani dari kata demos yang artinya rakyat dan
kratos kekuasaan. Dalam waktu yang hampir bersamaan di wilayah lain
(Romawi)
diperkenalkan istilah Republic yang berasal dari kata res: kakuasaan dan publica:
rakyat banyak. Pada hakekatnya antara demokrasi dan republic secara
terminologis adalah sama. Sementara itu di wilayah lain prinsip ajaran demokrasi
telah dipraktekkan di Mesir jauh sebelum gelombang demokrasi muncul di
Yunani. Pendapat Samuel P. Huntington yang banyak menjadi rujukan dalam
diskursus politik menggambarkan perjalanan demokrasi jauh lebih singkat.
Sejarah demokrasi bukanlah suatu gerak maju yang lambat dan pasti melainkan
serangkaian gelombang yang telah maju, mundur, lalu bergulung-gulung dan
memuncak lagi. (United State Agency, 1991: 25). Demokrasi merupakan masalah
lama yang sampai saat ini masih tetap diperbincangkan. Pada dasarnya
munculnya ide tentang demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan
untuk mengatur kepentingan bersama beriringan dengan munculnya jaman logos
di kawasan Yunani
Demokrasi sesungguhnya memiliki sejarah panjang sejak bangsa Yunani Kuno
yang hidup pada tahun 500 Sebelum Masehi. Sejak saat itu, ada dua kata yang
teramat populer sepanjang masa hingga, demo (rakyat) dan kratos (pemerintahan)
yang melahirkan istilah demokrasi. Namun, ada yang beranggapan bahwa
demokrasi sesungguhnya telah dikembangkan gagasannya sejak masa Mesir kuno
dan Mesopotamia Kuno, tepatnya 3000 tahun Sebelum Masehi. Ada pula yang
meyakini awal demokrasi yang sejati baru dimulai 200 tahun yang lalu, tepatnya
ketika Amerika Serikat berhasil melancarkan revolusi dan mengeluarkan
konstitusi yang terkenal demokratis. Bagi kami, perbedaan ini bukanlah sesuatu
yang harus dipersoalkan. Mengapa? Karena perbedaan tersebut menunjukkan
kekayaan wacana tentang sejarah demokrasi. Meski sesungguhnya banyak para
sarjana sepakat tonggak historis gagasan demokrasi dimulai masa Yunani kuno,
yakni masa ditemukannya istilah tersebut ada baiknya kesemuanya pendapat
tersebut kita coba paparkan di bawah ini, disamping sebagai pemenuhan upaya
perolehan unsur objektivitas juga mencerminkan sikap bijak terhadap perbedaan
pendapat yang muncul. Secara kronologis menurut penulis demokrasi telah
melewati tiga tahap. Yang pertama demokrasi awal pada masa tercetusnya
pemikiran demokrasi pada abad ke-5 SM. Tahap ke dua adalah jaman pemikiran
modern tentang demokrasi yang ditandai dengan konsep-konsep dari J.J.
Rousseau, Montesqiue, John Lock. Tahap ke tiga pasca Perang Dunia ke dua
(Perang dingin). Sedangkan gelombang ke tiga adalah Pasca Perang dingin. Pada
masa ini ditandai fenomena munculnya negara- negara demokrasi baru secara
spektakuler. Secara kronologis menurut penulis demokrasi telah melewati tiga
tahap. Yang pertama demokrasi awal pada masa tercetusnya pemikiran demokrasi
pada abad ke-5 SM. Tahap ke dua adalah jaman pemikiran modern tentang
demokrasi yang ditandai dengan konsep-konsep dari J.J. Rousseau, Montesqiue,
John Lock. Tahap ke tiga pasca Perang Dunia ke dua (Perang dingin). Sedangkan
gelombang ke tiga adalah Pasca Perang dingin. Pada masa ini ditandai fenomena
munculnya negara-negara demokrasi baru secara spektakuler.
 Tahap pertama demokrasi bisa disebut demokrasi jaman Perikles.
Pemikiran Perikles sebagai pemikiran awal demokrasi terkesan aneh jika
dilihat dari kaca mata demokrasi sekarang ini, namun pemikirannya
mengilhami teori-teori politik selanjutnya. Pada masa ini di Athena
Yunani sudah terdapat Majelis yang terdiri dari 5000 sampai dengan 6000
anggota. Majelis merupakan lembaga politik pusat yang beranggotakan
laki laki dewasa (wanita, budak dan orang asing) tidak termasuk. Dengan
suara mayoritas dapat memutuskan masalah apa saja tanpa pembatasan
hukum apapun. Selain itu juga terdapat pengadilan yang dilakukan oeh
dewan juri yang beranggotakan 501 yang dapat memtuskan terdakwa
melalui suara mayoritas. (United State Agency 1991; 7)
 Dalam tahap kedua, konsep demokrasi menuju ke arah pematangan
dengan landasan intelektual pada jaman Pencerahan (Aufklärung) pada
abad ke- 17-18. Tokoh besar yang berpengaruh pada masa ini adalah John
Lock, J.J. Rousseau dan Mentesquieu. John Lock menerbitkan buku yang
sangat terkenal Two Treaties of Government tahun 1690. Pandangannya
nenegaskan bahwa semua pemerintahan yang sah mengubah secara
mendasar ppemikiran politik pada masa ini yang akhirnya mendrong
perkembangan lembaga lembaga demokrasi modern.
 Selanjutnya demokrasi memasuki tahap ketiga, yaitu masa pasca Perang
Dingin. Program Michael Gorbacev (Glasnost, Perestroika, dan
Democratization) yang dicanangkan di Uni Sovyet telah menyemaikan
benih munculnya negara-negara demokrasi baru di wilayah Eropa Timur.
Pada masa ini bisa dikatakan musim panennya demokrasi, kerena jumlah
negara demokrasi bertambah secara signifikan. Dalam perkembangannya
Pasca Perang dingin yang di tandai oleh kemenangan Blok Barat (ideology
liberal) telah mengubah peta politik dunia.
Demokrasi tidak hanya berkembang dalam kuantitas tetapi juga dalam bentuknya.
Pada masa ini masalah demokrasi bukan hanya masalah politik, banyak sekali
aspek lain yang ikut mengendalikan. Demokrasi bukan lagi sekedar masalah
pemerintahan oleh rakyat. Faktor kekuatan ekonomi menjadi pengendali gerak
demokrasi menuju ke arah yang semakin rumit karena banyaknya kepentingan
yang ikut menentukan dalam kancah demokrasi sebagai permainan. Secara arti
mengandung makna Demos (rakyat) dan Kratos (memerintah), dan dapat
diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat.
Berdasarkan beberapa sumber yang ada di internet dan buku, demokrasi di
Yunani kuno disebutkan mulai muncul dan berkembang sekitar 600 300 SM,
tepatnya di kota Athena. Disebutkan bahwa sistem demokrasi tersebut merupakan
yang terkuat dan stabil di zamannya. Sistem demokrasi di Yunani Kuno adalah
demokrasi langsung direct democracy. Demokrasi langsung merupakan sistem
politik dengan hak pembuatan keputusan politik dijalankan secara langsung oleh
seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayorita. Terlepas dari kita sepakat
atau tidak dengan penetapan tonggak sejarah permulaan lahirnya demokrasi, hasil
temuan ini layak untuk diterima secara bijak sebagai kekayaan data tentang
gagasan demokrasi dalam lintas waktu.
1) Demokrasi Mesir dan Mesopotamia Kuno
Kajian archeopolitics yang ambi sius dan optimistik oleh sejumlah ahli
sejarah politik menemukan bahwa nilai-nilai demokrasi sebetulnya telah
tumbuh pada masa Mesir dan Mesopotamia Kuno. Tulisan Yves Schemeil
yang berjudu Democracy before Democracy memiliki semangat tersebut.
Schemeil menemukan bahwa Mesopotamia nilai-nilai demokrasi sudah
ada sejak masa ini. Pada masa ini, tonggak sejarah kuno ditandai oleh
fenomena-fenomena: Narmer berhasil menyatukan Mesir Kuno (Upper
dan Lower Egypt); Sargon membawa Akkadian, seorang tokoh Samaria
yang mendirikan Dinasti Akkad di Mesopotamia; Raja Akhenaten
menemukan monoteisme; Ratu Hatshepsut mendelegitimasi hukum wanita
karena menganggap dirinya seolah-olah sebagai pria. Schemeil juga
menulis secara rinci dan komparatif bahwa nilai nilai demokrasi Mesir dan
Mesopotamia Kuno sesungguhnya lebih kaya daripada nilai-nilai
demokrasi pada masa Yunani kuno. Orang orang Mesir dan Mesopotamia
Kuno telah membentuk banyak dewan kota dan majelis yang jauh lebih
demokratis daripada "polis" Yunani. Mereka lebih bebas dan banyak
berbicara. Kebebasan berpendapat mereka juga dilindungi. Padahal,
pendapat-pendapat yang dilontarkan itu terkadang dapat membuat merah
telinga para pemimpinnya.
2) Demokrasi Yunani Kuno (507 SM-338 SM)
Pada masa Demokrasi Yunani Kuno (507 SM-338 SM), konsep konsep
demokrasi diakui secara formal dalam literatur kajian demokrasi. Periode
ini juga diakui sebagai fase awal. Asal kata demokrasi yang berasal dari
bahasa latin, yakni demos, rakyat, dan kratos, pemerintahan, merupakan
bukti awal bahwa pada masa Yunani sesungguhnya istilah demokrasi
sudah lahir. Basis sejarah inilah yan menunjukkan betapa kajian tentang
demokrasi usianya sudah sedemikian tua. Sejarawan Yunani, Thucydides,
menulis sebuah karya fenomenal dan sangat terkenal, The Peloponnesian
War, yang acapkali menjadi rujukan ketika mendiskusikan awal mula
lahirnya demokrasi pada masa Yunani Kuno. Tulisan ini merekam dengan
sangat baik perang antara negara-kota (city sate) Sparta melawan Athena.
Tulisannya juga memaparkan informasi postur demokrasi yang bisa digali.
Misalnya, konsepsi yang sangat terkenal dalam kajian pemerintahan dan
demokrasi, yakni Thucydides oligarki dan demokrasi. Kedua istilah ini
merupakan konsepsi yang melambangkan adanya kehidupan publik dalam
suatu masyarakat terkait dengan proses pengambilan keputusan politik.
Oligarki memberikan ruang bagi terjadinya partisipasi politik, meskipun
hanya terbatas pada kalangan elit, yakni para orang kaya. Sebaliknya,
demokrasi memberikan kekuasaan yang luas kepada demos untuk
memerintah dirinya sendiri. Perlu diketahui, upaya membayangkan
Yunani Kuno tidaklah sama dengan membayangkan tentang sebuah
negara Yunani. Yunani Kuno, saat itu, tidak seperti negara-negara modern
dewasa ini. Sebaliknya, Yunani Kuno "hanya" terdiri atas beberapa ratus
kota yang merdeka. Setiap kota itu masing-masing dikelilingi oleh daerah
pedalaman. Negara yang berdaulat inilah yang dikenal dengan istilah polis
atau negara-kota (city-state). Pada mulanya, orang-orang Yunani hidup
secara berkelompok dan saling terpisah antara satu dan lainnya. Lama
kelamaan, penduduk setiap lembah bergabung untuk kemudian
membentuk suatu komunitas politik. Mereka melakukan kegiatan
keagamaan dan aktivitas lainnya secara bersama-sama. Pusat komunitas
itu lazimnya seperti sebuah kawasan berbatu yang ada di dataran tinggi.
Kawasan ini berada di tengah-tengah dataran sehingga dapat melihat
seluruh kawasan secara menyeluruh. Pusat komunitas inilah yang disebut
polis.
3) Demokrasi Romawi Kuno
Polybus adalah sejarawan yang mencatat perkembangan demokrasi pada
masa Kerajaan Romawi mulai masa awal berlangsungnya peperangan
Perang Punic pada 264 SM hingga menyaksikan kehancuran Carthage
pada 146 SM. Melalui karyanya sebanyak 40 jilid yang tertuang dalam
judul The Universal History. Polybus yang seorang Yunani ini datang ke
Roma pada pertengahan abad kedua. Dia memuji Konstitusi Romawi
Kuno sebagai rezim yang berhasil memadukan elemen-elemen monarki,
aristokrasi, dan demokrasi. Perpaduan elemen itu menjamin adanya
ketetapan yang tidak mungkin dilakukan oleh rezim yang dikenal
sebelumnya. Orang Romawi menamakan sistemnya sebagai suatu
republik, res yang berarti kejadian atau peristiwa dalam bahasa Latin, dan
publicus yaitu publik. Apabila diterjemahkan secara bebas, republik
adalah sesuatu yang menjadi milik rakyat. Hak untuk ikut serta dalam
memerintah republik pada mulanya terbatas kepada golongan bangsawan
(patricia) atau kaum aristokrat. Namun, dalam perkembangannya, rakyat
biasa (plebs, kaum miskin) juga dapat masuk ke dalamnya. Seluruh
pejabat republik, The Consuls dan The Tribunes, dipilih untuk masa
jabatan setahun lamanya dalam satu majelis plebs. Oleh Polybus, the
consuls digambarkan seperti elemen monarki yang memiliki kewenangan
utama dalam menyelenggarakan rapat Senat. la juga menjadi wakil negara
untuk urusan luar negeri. Namun, mereka tidak memiliki hak kontrol atas
keputusan yang ditetapkan oleh Senat. Pada saat genting, the consuls dapat
memberikan rekomendasi untuk menyerahkan seluruh kekuasaan kepada
seorang diktator selama enam bulan lamanya
4) Demokrasi Abad Pertengahan
Kajian terhadap konsep demokrasi pada masa abad pertengahan diawali
oleh kajian kajian yang lebih dimaknai oleh pendekatan yang pertama kali
muncul, yaitu pendekatan klasik normatif. Pendekatan ini lebih banyak
membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara substantif.
Pendekatan ini mengikuti garis pemikiran klasik--dari zaman Yunani
Kuno, Abad Pertengahan hingga pemikiran sosialisme Karl Marx-yang
memaknai demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan (kerangka
preskripsi secara normatif untuk sistem politik). Tonggak perkembangan
demokrasi pada masa ini sesungguhnya diawali oleh lahirnya Magna Carta
(Piagam Besar) pada 15 Juni 1215. Magna Carta merupakan semacam
kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris. Dengan
piagam ini,
5) untuk pertama kalinya, seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk
mengakui dan menjamin beberapa hak dan previleges dari bawahannya
sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan
sebagainya. Abad Pertengahan, selanjutnya, memberi ruang yang leluasa
bagi bergulirnya gagasan demokrasi secara terus menerus. Momen lainnya
yang juga dianggap bersejarah adalah lahirnya iklim pencerahan dalam
kehidupan masyarakat Eropa masa itu. Atas dasar itu, abad ini juga
dikenal pula sebagai abad pencerahan (the enligthment). Abad ini menjadi
awal lahirnya pemikiran demokrasi dengan memperkenalkan adanya
konsep emansipasi dalam bidang sosial dan agama yang berlangsung pada
awal abad 17. René Descartes (1596-1650) adalah tokoh yang terkenal
dengan ucapannya; cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada).
Ucapan inilah yang mengilhami lahirnya gagasan nilai-nilai kebebasan
manusia. Hal ini melambangkan adanya kebebasan yang mendasar yang
dimiliki ole manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. René Descartes
Ucapannya itu juga menjadi gagasan baru yang meletakkan adanya
kombinasi kebebasan individual dengan sistem aturan masyarakat ketika,
pada saat yang sama, sistem yang otoritarian mengatur masyarakat secara
menyeluruh di Eropa." Sistem demokrasi perlahan-lahan menghapuskan
sifat kepemimpinan totaliter seperti yang terjadi pada sejarah keruntuhan
uni soviet. Demokrasi berusaha sebisa mungkin menyelenggarakan negara
secara terbuka dan partisipatif. Seluruh kritik, saran dan komentar yang
ditujukan kepada pemerintah atau pihak tertentu harus ditampung dan
boleh digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan
pembangunan negara. Alasan di atas menjadi dasar mengapa negara
demokrasi menyelenggarakan pemerintahan dari rakyat. Karena segala
sesuatunya selalu melibatkan rakyat. Bahkan pemerintah yang menduduki
kursi parlemen sebagai wakil rakyat tidak boleh menyimpan segala
permasalahan rakyat sendirian. Apabila ada kasus korupsi atau
perkembangan penting yang menyangkut kelangsungan hidup orang
banyak mereka juga harus melaporkan perkembangan kepada rakyat.
Media massa dalam negara demokrasi selalu beruntung. Ia memiliki peran
penting dalam menyalurkan setiap informasi dan perkembangan yang ada
di kubu rakyat maupun pemerintah sebagai wakil rakyat. Karenanya,
demokrasi memiliki 2 jenis -langsung dan tidak langsungyang terkait
dengan sejarah panjang antar negara.
6) Yunani
Sejarah keberadaan demokrasi di dunia diawali dari negara Yunani yang
pada waktu itu memiliki banyak filsuf bijak. Yunani menerapkan
demokrasi langsung dimana kekuasaan ada di tangan mayoritas. Sampai
sekarang, Yunani dianggap sebagai negara pelahir demokrasi di dunia.
Setiap warga negara yang ada di Yunani bebas mengungkapkan
pendapatnya, namun keputusan akan tetap di tangan golongan mayoritas.
Perbedaan mendasar demokrasi yang diterapkan di Yunani sebagai negara
pelopor demokrasi terletak pada warga negaranya. Tidak setiap penduduk
dianggap sebagai warga negara. Dan status warga negara resmi ini sangat
penting jika kita ingin terlibat dalam proses demokrasi politik. Yunani
yang pada waktu itu masih tergolong negara kota yang hanya menganggap
orang orang asli Yunani berkasta tinggi sebagai warga negara. Lapisan-
lapisan masyarakat yang sangat terasa sekali memang wajar dimaklumi.
Di masa lalu, perbudakan menjadi sangat biasa karena selum adanya
sejarah HAM yang menjadikan setiap manusia sama di mata hukum
masyarakat. Sistem kerajaan yang feodal turut pula melatarbelakangi
keputusan penggolongan masyarakat berdasarkan status dan pekerjaan.
Cerita mengenai demokrasi Yunani bahkan telah dimulai sejak abad ke-5
SM. Di zaman itu, Yunani yang menjadi negara kota, memusatkan diri di
Athena. Karenanya, Bapak Demokrasi Yunani bernama Cleisthenes lebih
dikenal sebagai Bapak Demokrasi Athena. Demokrasi di Yunani
membebaskan warga negara untuk berbicara serta bersuara di forum
terbukti. Seperti telah disinggung sebelumnya, yang termasuk warga
negara di Yunani kuno hanya kaum tertentu saja. Pembatasan ini bukan
tanpa tujuan. Seorang warga negara yang diberi hak leluasa berbicar juga
7) dituntut untuk memberikan sesuatu pada negara, terutama ketika Yunani
terlibat dalam perang. Sehingga boleh dikatakan gerakan bela negara di
Yunani kuno. dilaksanakan secara wajib militer dan berlaku untuk setiap
warga negara. Para saudagar asing dapat hidup di Yunani dengan aman,
namun tidak dapat ikut bersuara karena tidak termasuk warga negara.
Hanya sekitar 30.000 sampai 60.000 penduduk Yunani yang menjadi
warga negara. Padahal total jumlah penduduknya masa itu mencapai
400.000 jiwa. Para wanita, para budak, anak-anak, dan laki-laki di bawah
20 tahun tidak akan diwajibkan berperang karena tidak menjadi warga
negara. Setelah menerapkan demokrasi sejak abad ke-5 SM, pemungutan
suara perdana baru dilakukan pada abad ke-7 SM. Tepatnya dengan
diselenggarakan Apella (nama pemungutan suara) di Sparta, Yunani
membuktikan pemilihan secara langsung, umum dan bebas rahasia dapat
diadakan dengan lancar. Tentunya sejarah demokrasi parlemen di Yunani
berbeda dengan sejarah DPR dan sejarah MPR di Indonesia abad 20.
Yunani identik dengan Romawi. Romawi kuno menyumbang banyak harta
dan sokongan orang-orang besar di Yunani. Hampir seluruh jajaran
pemerintahannya yang demokratis di Yunani diisi oleh orang-orang
Romawi. Namun, Romawi lebih terkenal akan kekuatan perangnya
daripada sejarah mewarnainya demokrasi di Yunani.
8) Eropa
Demokrasi di Eropa dimulai sekitar abad ke-6 hingga ke-15. Pada masa
inilah kekuasan di Eropa tergantung otoritas gereja dan Paus yang sangat
dihormati. Sama seperti negara-negara lain di dunia, Eropa -terutama
bagian barat selalu terkekang dengan posisi budak di bawah tuan.
Demokrasi tumbuh di Eropa bagian barat karena kebanyakan kaum budak
dan rakyat jelata ingin melepaskan diri dari kebiasaan adat. Kekuasaan
otoritas gereja yang tidak selalu adil dan menyejahterakan seluruh
masyarakat membuat orangorang kecil merasa tidak dihargai. Mereka
bangkit dengan mengubah sistem menjadi demokrasi. Beberapa negara di
Eropa Barat telah mengaku menjadi negara demokratis, namun banyak
yang belum sepenuhnya menjalankan sistem demokrasi. Contoh negara
besar yang nyata beralih sistem ke demokrasi tercatat dalam sejarah
keruntuhan Uni Soviet. Setelah negara ini mengalami konflik sampai
pecah menjadi beberapa negara kecil, negara pecahan ini menerapkan
sistem demokratis karena tidak ingin mengulang lagi sejarah kelam
sosialis - komunis.
9) Inggris
Negara Inggris sangat erat dengan Magna Charta tahun 1215. Namun
bukan karena sejarah HAM yang diangkat oleh Magna Charta. Lebih dari
itu, Magna Charta 1215 juga menyangkut sejarah berdirinya negara
demokrasi di dunia. Piagam besar ini telah ditandatangani oleh beberapa
penguasa yang bersedia melaksanakan demokrasi di kalangan sesamanya.
Pemilihan parlementer pertama kali dilaksanakan di Inggris tahun 1265.
Sebelumnya, sejak dikeluarkannya Magna Charta, orang-orang diluar
golongan raja dan bangsawan merasa lebih terlindungi. Kekuasaan raja
yang sebelumnya tidak terbatas menjadi lebih sempir karena
diberlakukannya Magna Charta. Setiap orang berhak membela dirinya
sendiri dan memperjuangkan hak sebagai manusia. Memang pada awalnya
pemilihan parlementer hanya dilaksanakan oleh orangorang tertentu yang
berjumlah 3 % dari total penduduk Inggris. Seiring berkembangnya waktu,
sistem Monarki yang mulanya sebagai sistem resmi di Inggris menjadi
lapuk dan diganti dengan sistem demokrasi. Beberapa imigran dari daratan
Inggris pergi ke Amerika Serikat. Di sana, mereka mulai menyebarkan
sistem demokrasi yang menggeser keberadaan sistem lama yang
mengedepankan keturunan. Sistem demokrasi diterima masyarakat
Amerika Serikat dengan diadakannya majelis umum Virginia. Sehingga
dapat dikatakan demokrasi Amerika Serikat dimulai oleh orang Inggris
yang bermukim di Virginia pada abad ke-16.

d) Perkembangan Demokrasi dan HAM di Indonesia


Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan, Indonesia sering mengalami perubahan
berlakunya Undang-Undang Dasar. Mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS, UUD
1950, kembalinya UUD 1945 dan sampai dengan UUD 1945 setelah
diamandemen pada tahun 2002. Secara konsepsional, masingmasing UUD
merumuskan pengertian dan pengaturan hakekat demokrasi menurut visi
penyusun konstitusi yang bersangkutan. Pada awal kemerdekaan ketika UUD
1945 menjadi hukum dasar tertulis bagi segenap bangsa Indonesia, muncul
pergeseran gagasan ketatanegaraan yang mendominasi pemikiran segenap
pemimpin bangsa. Semula gagasan tentang peranan negara dan peranan
masyarakat dalam ketatanegaraan lebih dikedepankan. Gagasan itu disebut
gagasan pluralisme. Selanjutnya dengan melihat realita belum mungkin
dibentuknya lembaga-lembaga negara seperti dikehendaki UUD 1945 sebagai
aparatur demokrasi yang pluralistik, muncullah gagasan organisme. Gagasan
tersebut memberikan legitimasi bagi tampilnya lembaga MPR, DPR, DPA untuk
sementara dilaksanakan Presiden dengan bantuan Komite Nasional . Anehnya
tindakan darurat yang bersifat sementara dan pragmatis tersebut dirumuskan
dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Jangka waktu yang membatasi
kekuasaan Presiden dan Komite Nasional dalam menjalankan fungsi-fungsi
lembaga negara itu adalah sampai dengan masa enam bulan setelah berakhirnya
Perang Asia Timur Raya. Kemudian MPR yang terbentuk berdasar hasil
pemilihan umum oleh konstitusi di perintahkan bersidang untuk menetapkan
UUD yang berlaku tetap. Tindakan tersebut wajib dilakukan MPR dalam enam
bulan setelah lembaga yang bersangkutan terbentuk. Kita tahu bahwa UUD 1945
pada awal kemerdekaan disusun oleh sebuah panitia yakni Panitia Pe rsi apan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Secara konstitusional seharusnya UUD
ditetapkan oleh MPR dan bukan oleh PPKI. Patut apabila berdasarkan sejarah
penyusunannya dan redaksi Pasal II Aturan Peralihan, dikatakan bahwa UUD
1945 adalah UUD yang bersifat sementara. Kenyataan tersebut senada dengan
ucapan mantan Presiden Soekarno ketika berpidato di depan BPUPKI dan PPKI.
Rupa-rupanya gagasan pluralism demikian dominan dikalangan elite politik
Indonesia. Terbukti ketika tanpa menunggu enam bulan setelah Perang Pasifik
muncullah pemikiran untuk segera mengakhiri pemusatan kekuasaan yang
dimiliki Presiden berdasarkan pelimpahan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Gagasan pluralisme terwadahi dalam rapat Komite Nasional Indonesia tanggal 16
Oktober 1945. Komite Nasional tersebut mengusulkan agar ia diserahi kekuasaan
legislatif dan menetapkan GBHN serta hal itu agar disetujui oleh pemerintah. Atas
desakan tersebut, Wakil Presiden Muhammad Hatta atas nama Presiden
mengeluarkan Maklumat Pemerintah Nomor X Tahun 1945. Maklumat
Pemerintah tersebut memuat diktum yang intinya, sebagai berikut : a) Komite
Nasional Pusat sebelum terbentuk MPR dan DPR (hasil pemilihan umum)
diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;
b) Menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung
dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih
diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.
Lahirnya Maklumat Pemerintah Nomor X Tahun 1945 merupakan perwujudan
perubahan praktek ketatanegaraan (konvensi) tanpa ada perubahan UUD. Makna
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 telah berubah. Seharusnya Komite Nasional
Pusat adalah pembantu Presiden dalam menjalankan kekuasaannya. Semenjak
Maklumat Pemerintah tersebut Komite Nasional Pusat berubah fungsi sebagai
pengganti MPR dan DPR serta kekuasaan Presiden menjadi berkurang.
Selanjutnya pada tanggal 14 Nopember 1945 pemerintah telah mengeluarkan
Maklumat Pemerintah atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Dalam
Maklumat Pemerintah tersebut ditegaskan bahwa sistem pertanggungjawaban
Presiden kepada MPR menjadi Presiden bersama-sama Menteri-menteri
bertanggungjawab kepada parlemen (Komite Nasional Pusat). Akibatnya sistem
pemerintahan presidensiil berubah menjadi sistem pemerintahan parlementer
tanpa harus mengubah UUD 1945. Presiden tidak lagi menjadi kepala
pemerintahan melainkan hanya sebagai kepala negara. Sekali lagi kekuasaan
Presiden dikurangi. Gagasan pluralistik atau demokrasi yang pluralistik terwakili
oleh lahirnya Maklumat Pemerintah Tanggal 14 Nopember 1945. Kedua
maklumat tersebut secara mendasar telah berubah sistem ketatanegaraan kearah
pemberian porsi yang besar kepada peranan rakyat dalam partisipasinya
menyusun kebijakan pemerintahan negara. Ide untuk mendirikan partai-partai
politik sebagai bentuk pemberian kesempatan partisipatif rakyat seluasluasnya
melalui sistem multi partai mendapatkan tempat ketika diterbitkan Maklumat
Wakil Presiden Tanggal 3 Nopembe r 1945. Diterbitkannya Maklumat Wakil
Presiden tersebut atas usul Badan Pekerja Komite NasionalPusat. Intinya bahwa
pemerintah menyetujui timbulnya partai-partai polituk karena dengan partai-partai
politik itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran yang ada dalam
masyarakat bahwa pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun
sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada
bulan Januari 1946. Begitu kuatnya paham demokrasi pluralistik pada tahun 1945
1949 yang ditandai sistem multi partai telah mampu meredam sistem politik yang
otoriter dengan dominasi peranan pemerintahan negara. Hal itu terbukti bahwa
partai-partai politik telah mampu menjatuhkan cabinet yakni Kabinet Syahrir
I,II,III, Kabinet Syarifuddin sebagai pengganti Kabinet Syahrir II. Kondisi
demikian berlangsung sampai tahun 1947 . Setelah penyerahan kedaulatan
pemerintahan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 (KMB), UUD 1945
diganti dengan Konstitusi RIS. Negara RI berubah menjadi negara serikat dengan
sistem politik parlementer. Secara konstitusional pemerintahan dengan sistem
parlementer disebut sebagai parlementarisme konstitusional. Selama berlakunya
Konstitusi RIS tidak banyak kejadian yang berkenaan dengan demokrasi dan
peranan negara. Oleh karena keberadaan RIS hanya 8 bulan, saatsaat menuju
penyerahan kedaulatan. Sejak tanggal 17 Agustus 1945, Konstitusi RIS
digantikan oleh UUD 1950. Bentuk negara serikat berubah menjadi negara
kesatuan. Sistem demokrasi liberal yang sebenarnya dimulai pada saat RI
dibawah UUD 1950. Akibatnya jatuh bangunnya kabinet menjadi pemandangan
yang lazim. Menurut Rusdi Kartaprawira, selama periode 1950 1959 terdapat 7
kabinet. Hal itu berarti rata-rata umur 9 kabinet kurang dari 15 bulan saja.
Kenyataan seringnya kabinet silih berganti tersebut menimbulkn ketidakpuasan
dikalangan politisi. Demikian pula pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa
banyak menimbulkan kecemburuan sosial pada bagian-bagian lain dari wilayah
tanah air. Berbagai bentuk pemberontakan seperti : PRRI Permesta, Kahar
Muzakar, DI/TII, Andi Azis dan Andi Selle menjadi bukti keadaan seperti itu.
Dewan Konstituante yang mendapatkan tugas menetapkan dasar negara telah
gagal ketika di dalam persidangan kelompok pendukung Pancasila dan kelompok
pendukung Islam tak sepaham. Ketidaksepahaman mereka bertumpu pada usulan
agar Piagam Jakarta dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 ayat
(1) UUD 1945 diamandir, sehingga berbunyi : “ Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya“. Kecurigaan bahwa Indonesia akan menjadi negara Islam
menjadikan Konstituante gagal mengambil 10 keputusan atas rancangan UUD
baru. Melihat kenyataan adanya lembaga negara yang tidak berfungsi dalam
menetapkan UUD, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5
juli 1959. Dalam Dekrit tersebut ditetapkan kembalinya UUD 1945 sebagai
konstitusi negara RI sehingga konstruksi mekanisme ketatanegaraan kembali
seperti saat UUD 1945 diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945. Sekali lagi
mengenai peranan (pemerintahan) negara dalam penyelenggaraan demokrasi
terjadi perubahan yang mendasar ketika Ketetapan MPRS No. VIII / MPRS /
1965 menetapkan Demokrasi Terpimpin yang oleh Soekarno dikatakan sebagai
demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
dan perwakilan sebagai landasan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Ide tentang
Demokrasi Terpimpin banyak ditentang oleh kelompok oposisi. Mereka menolak
gagasan demokrasi semacam itu karena pengertian terpimpin bertentangan dengan
demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan sedangkankata terpimpin
justru akan meniadakan atau menghilangkan kebebasan itu sendiri. Demokrasi
Terpimpin menuju kearah praktek diktatorial dalam pelaksanaan demokrasi.
Runtuhnya pemerintahan Soekarno selanjutnya digantikan oleh Soeharto di tahun
1968. selama 2 tahun Soeharto menerima tugas dari Soekarno guna
menyelesaikan kemelut pemberontakan Gerakan 30 September / PKI atas dasar
Surat Perintah 11 Maret 1966. Keberhasilan tugas Soeharto menimbulkan
kepercayaan MPR sebagai simbol tertinggi perwakilan rakyat untuk
mengangkatnya selaku Presiden RI. Pada awalnya pemerintahan Orde Baru
dibawah Presiden Soeharto mengedepankan pluralisme dalam menyelenggarakan
demokrasi. Langgam sisitem politik yang bersifat pluralistic sebagaiperlawanan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang otoriter berdasarkan
Demokrasi Terpimpin. Format baru sistem politik Indonesia menemui bentuknya
ketika ditetapkan Demokrasi Pancasila sebagai landasan pelaksanaan demokrasi.
Demokrasi Pancasila bagi pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai langkah
Pelanggaran integrasi nasional. Berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1983
tentang GBHN, Demokrasi Pancasila diteguhkan dan Pancasila sebagai satu-
satunya azas yang mewarnai sistem politik di Indonesia. Formulasi azas tersebut
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1988 Tentang Ormas dan
Orpol. Bagaimanapun juga kanalisasi kekuatan politik dalam keharusannya untuk
menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas kurang mencerminkan gagasan
pluralisme yang menghendaki keanekaragamanisme di dalam penyelenggaraan
demokrasi. Runtuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 membawa pula
hapusnya konsep dan pelaksanaan Demokrasi Pancasila ditanah air.
Penyelenggaraan demokrasi kini bertumpu pada UUD 1945 setelah mengalami
amandemen . Secara redaksional tugas, fungsi dan wewenang DPR sebagai
perwujudan aspirasi rakyat masih seperti pengaturan UUD 1945 lama. Perubahan
hanya menyangkut sistematika pengaturan, tidak mengenai substansi materi
pengaturannya. Pada dasarnya DPR mempunyai fungsi legislasi (pengaturan),
pengawasan dan budgeting (anggaran). Ada satu kritik yang menyangkut sistem
pemerintahan negara. Sistem pemerintahan presidensiil yang dipertahankan dalam
UUD 1945 setelah amandemen oleh Yusril Ihza Mahendra dan beberapa tokoh
lain dipandang perlu diubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Alasannya
untuk memberi tempat kepada orang yang mempunyai kharisma dan pengikut
tetapi kurang kapabel untuk mengantisipasi sistem multi partai yang tak mungkin
menghasilkan pemenang mayoritas mutlak. Sementara ada pendapat lain yang
tetap menghendaki sistem pemerintahan presidensiil. Menurut pendapat tersebut
otoritarisme yang menggejala selama ini, bukan disebabkan oleh sistem
pemerintahan yang dianut tetapi oleh tidak dielaborasikannya secara ketat
prinsipprinsip konstitusionalisme didalam UUD 1945. Diakui bahwa UUD 1945
memang membangun sistem executive heavy, mengandung ambigu, terlalu
banyak atribusi kewenangan sehingga seringkali penguasa negara
menggunakannya guna mengakumulasikan kekuasaannya secara terus menerus.
Tepatlah kalau dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan “ yang sangat penting
dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat
para penyelenggara negara“. Namun sayangnya kepercayaan tersebut tidak
dikawal dengan sistem yang ketat . Mengenai pelaksanaan demokrasi setelah
amandemen UUD 1945 menunjukkan suatu kemajuan. Terbukti bahwa sebagian
besar aspirasi rakyat tentang penyelenggaraan pemerintahan negara telah
terakomodir. Sistem pengawasan, regulasi dan budgeting dari DPR berjalan
lancar tanpa campur tangan ataupun intimidasi dari kekuasaan atau rezim yang
sedang berkuasa. Hal itu menandakan adanya semangat dari penyelenggara
pemerintahan negara untuk tidak keluar dari koridor konstitusi dalam
mengartikulasikan demokrasi. Checks and balances memang perlu dalam
penyelenggaraan negara. Terlalu kuatnya posisi DPR dibanding pemerintah akan
menjadikan ketidakberdayaan pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Sebaliknya, terlalu kuatnya pemerintah ketika berhadapan dengan DPR akan
menjadikan lemahnya fungsi regulasi, pengawasan dan budgeting. Untuk
menciptakan suasana dinamis dalam penyelenggaraan negara tidak hanya
dibutuhkan konstitusi yang memberikan bingkai pengaturan tentang demokrasi
tetapi juga adanya kesadaran dari pihak pemerintah maupun DPR untuk tidak
terlalu berlebihan dalam berkompetisi. Iktikad baik kedua belah pihak sangat
diperlukan, yang terpenting adalah tercapainya tujuan membentuk masyarakat
adil dan makmur secepatnya.
2. Konsep tersebut masing masing berikan contoh kasus dan penegakannya, kemudian
bagaimana pendangan anda terkait penyelesain/penegakan tersebut, uraikan gagasan,
kritik anda terhadap empat kasus tersebut!
a) Demokrasi dan HAM
Pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan belum terselesaikan hingga
sekarang, menjadi luka bagi sebagian masyarakat. Hal ini yang akan menjadi
persoalan dalam bagi sebuah bangsa seperti luka yang terus dibiarkan dan
menjadi busuk tahun kian tahun. Para pegiat sosial HAM, YLBHI, Amnesty,
Kontras, Aksi Kamisan dan juga yang lain, bersama korban yang tetap merawat
memori kolektif untuk terus mengingat bahwa ada sebuah tindak ketidakadilan
dan negara seakan abai untuk menyeesaikannya. Padahal, sesuai dengan mandat
Pancasila sila kedua telah dijelaskan poin ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’.
Jikalau negara tetap abai terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM dan isu
kemanusiaan, serta tidak dengan tegas memutuskan perkara dengan adil maka
peradaban yang dibangun dalam negara tersebut hanyala palsu atau ilusi belaka.
Setiap kamis, dengan payung hitam dan panji-panji menuntut keadilan terus
digelar di depan Istana Presiden guna mendapatkan perhatian birokrasi
pemerintahan. Aksi Kamisan tersebut menjadi salah satu bentuk suatu langkah
untuk mengingtkan negara, dalam hal ini pemerintah untuk merespon dan
menyelesaiakn sekelumit permasalahan HAM di Indonesia, baik yang lampau
maupun baru-baru ini (Matahari, 2018). Negara pun juga tak kunjung merespon
aspirasi atau suara-suara para pegiat HAM dan kemanusiaan. Bahkan, orang-
orang desa di Rembang yang menuntut keadilan hingga ke Istana Presiden untuk
menyuarakan ruang hidupnya yang dirampas oleh Pabrik Semen pun juga tak
kunjung digubris.Kebebasan merupakan salah satu indikator dari nilai-nilai yang
terkandung dalam demokrasi. Kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara,
berekspresi, berserikat dan lainya. Kebebasan itu pula juga salah satu nilai dari
HAM. Indonesia, dalam pengukuran status kebebasan (Freedom Status) di dunia,
pada tahun 2018 teratifikasi termasuk golongan negara yang cukup terbuka,
dengan agregasi skor 64 dari besaran 100. Capaian agregasi tersebut diperoleh
dari rating kebebasan 3/7, kebebasan politik 2/7 dan kebebasan sipil 4/7. Namun,
di lain sisi Ken Aura Matahari, Perwakilan Amnesty International Indonesia
dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP (11/12/2018) menunjukan bahwa
permasalahan tingginya tingkat korupsi, pembredelan kebebasan berekspresi,
diskriminasi yang masih kuat, kekerasan terhadap aktivis atau masyarakat sipil
dan impunitas menjadi permasalahan yang masih dihadapi oleh Indonesia. Hal
tersebut yang kemudian menjadi sebuah simpulan sementara tentang kondisi
Indonesa bahwa belum sepenuhnya belum baik-baik saja dalam berkehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Dalam momen politik atau pesta demokrasi, nilai
dan jargon HAM digunakan sebagai simbol dan panji untuk meraup suara. Agar
tetap didukung dengan menyuarakan kemanusiaan, namun ketika jadi belum
sepenuhnya dapat terjamin permasalahan HAM digunakan sebagai isu dan
pembahasan prioritas dan teramat penting. Karena permasalahan atau pelangaran
HAM terdahulu jika tidak diselesaikan maka akan menjadi luka yang teramat
dalam bagi masyarakat.

Kusutnya Penyelesaian HAM

Penyelesaian kasus HAM yang tak kunjung usai menjadi beban negara untuk
menyeleseikannya. Beragam permasalahan salah satunya yakni politik dan hukum
menjadi satu dasar mandeknya penyelesaian HAM di Indonesia. Bukti yang sulit
ditemukan menjadi penyebab penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak bisa
diungkap secara menyeluruh. Bukti semakin sulit ditemukan karena orang-orang
yang diduga menjadi pelaku atau jembatan pelaku (mediator) juga tidak diketahui
keberadaannya. (Danusubroto dalam Vebriyanto, 2015). Selain itu, Al Araf,
Direktur Imparsial menjelaskan bahwa ada 5 faktor yang menurutnya menjadi
sumber permasalahan mandeknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Pertama, ia menilai, tidak adanya kemauan politik untuk menjadikan agenda
HAM sebagai agenda penting dalam masa pemerintahannya. Kedua, yakni adanya
pragmatisme politik menempatkan HAM dalam dinamika transaksional.
Sehingga, penyelesaian Kasus HAM terbentur dengan negosiasi dalam level elite
politik. Ketiga, lemahnya kewenangan Komnas HAM menjadi salah satu
penghambat penyelesaian kasus HAM masa lalu, karena Komnas HAM hanya
sebatas melakukan penyelidikan bukan penegakkan hukum, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 89.
Keempat, perhatian publik terhadap isu dan agenda HAM berkurang. Sehingga
permasalahan HAM dianggap hal yang biasa dan tidak menjadi penting. Kelima,
belum tuntasnya reformasi hukum seperti agenda reformasi peradilan militer yang
menjadi penghambat upaya penyelesaian kasus HAM. (Araf dalam Putra, 2016)

3. Coba simpulkan tiga topik diskusi hasil diskusi diluar kelompok anda!
a) Kelompok 5B
Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut
serta
memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya atau pemerintahan rakyat. Sistem
Pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu struktur yang terdiri dari fungsi fungsi
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang saling berhubungan, bekerja sama dan
mempengaruhi satu sama lain. Bentuk pemerintahan adalah suatu istilah yang
digunakan untuk merujuk pada rangkaian institusi politik yang digunakan untuk
mengorganisasikan suatu negara dalam menegakkan kekuasaannya atas suatu
komunitas politik. Terdapat dua jenis bentuk pemerintahan yang berlaku di dunia,
yaitu :1)Pemerintahan monarki (Kerajaan). 2) Pemerintahan republic.
b) Kelompok 5A
Konsep demokrasi dipraktikkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari suatu
negara ke negara lain. Setiap Negara dan bahkan setiap orang menerapkan definisi
dan kriterianya sendiri-sendiri mengenai demokrasi itu. Dalam system kedaulatan
rakyat, kekuasaan tertingi suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara
itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh
rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang kemudian
dikembangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”. Dan juga di setiap negara mempunyai sistem
pemerintahan yang berbeda-beda sesuai dengan kebijakan di negara tersebut.
Berkaitan dengan sistem pemerintahan, pada umumnya dibedakan dalam dua
sistem utama, yaitu sistem presidensil dan parlementer, diluar kedua sistem
tersebut merupakan sistem campuran atau kuasa parlementer atau kuasa
presidensil, ada juga menyebutnya sistem refendum. Dalam sistem pemerintahan
Presindesil, badan eksekutif tidak bergantung pada badan legislatif. Kedudukan
badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Sedangkan dalam
sistem pemerintahan Parlementer, memiliki wewenang dalam mengangkat
perdana menteri, demikian juga parlemen dapat menjatuhkan pemerintahan yaitu
dengan mengeluarkan mosi tidak percaya.
c) Kelompok 7A
Pengertian sistem pemerintahan dalam arti luas yang selanjutnya juga memilik
arti kajian yang menitik beratkan hubungan antar negara dengan rakyatnya.
Maksistem pemerintahan yang bersifat monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Maka
dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan merupakan sistem hubungan dan
tata kerja antara lembagalembaga negara. Secara umum bentuk sistem
pemerintahan terdiri dari dua sistem yaitu sistem pemerintahan parlementer dan
sistem pemerintahan presidensial. Tetapi dalam berbagai literatur terdapat juga
sistem pemerintahan semi parlementer dan sistem pemerintahan semi
presidensial. Sistem pemerintahan semi lebih identitk dengan sistem
pemerintahan campuran atau hybrid. Sistem pemerintahan semi merupakan sistem
pemerintahan campuran antara presidensial dengan parlementer. Sistem
pemerintahan semi presidensial merupakan campuran dua sistem pemerintahan
yaitu presidensial dan parlementer

Anda mungkin juga menyukai