Anda di halaman 1dari 12

Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia

Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan
acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir
Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ),
membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode
sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan
adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan
kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk
pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada
hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk
mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak
persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara
Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak
lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak
persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk
memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan
pikiran dengan tulisan dan lisan.

B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )


a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan
untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk
menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara
formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi )
yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam
Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik.
Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode
Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau
demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh
Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan
menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima
aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing
– masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya.
Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan,
fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari
kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan
kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM
mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang
kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi
terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi
terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik
maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan
hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan
HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu
seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang
perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk
wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi
HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui
Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak –
hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM
mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah
pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya
restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah
produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin
dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana
tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal
HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM
seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang
berkembang seperti Inonesia. Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan
kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan
masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi
yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui
pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti
kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang
menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke
strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap
akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni
1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi
pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada
pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap
beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan
HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan
pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari
pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang
terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang
HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan
dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa
penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang –
undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah
dan ketentuan perundang – undangam lainnya.

KONSEP HAM MENURUT MASYARAKAT INDONESIA

Tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan penghormatan dan penegakan HAM sangat kuat
ketika bangsa ini memperjuangkan hak asasinya, yaitu: "kemerdekaan", yang telah berabad-abad
dirampas oleh penjajah.

Para pendiri negeri ini telah merasakan sendiri bagaimana penderitaan yang dialami karena hak
asasinya diinjak-injak oleh penjajah. Oleh karena itu, tidak mengherankan setelah berhasil
mencapai kemerdekaan, para pendiri negeri ini mencanturnkan prinsip-prinsip HAM dalam
Konstitusi RI (Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaannya) sebagai pedoman dan cita-cita yang
harus dilaksanakan dan dicapai.

Namun dalam perjalanan sejarah bangsa, pedoman dan cita-cita yang telah dicanturnkan dalam
konstitusi tersebut tidak dilaksanakan bahkan dilanggar oleh pemerintah yang seharusnya
melaksanakan dan mencapainya. Kita semua sudah mengetahui bahwa Pemerintah Orde Lama dan
Orde Baru tidak hanya tidak melaksanakan penghormatan dan penegakan HAM namun juga banyak
melakukan pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh alasan politis dan teknis. Alasan politis
adalah situasi politik di tingkat nasional dan tingkat intemasional (perang dingin). Di jaman Orde
Lama, focus kebijakan Pemerintah RI adalah "Revolusi". Kebijakan ini membawa kita ke konflik
internal (domestik) dan intemasional, serta berakibat melupakan hak asasi rakyat. Sedangkan di
jaman Orde Baru kebijakan pemerintah terfokus pada pembangunan ekonomi. Memang
pembangunan ekonomi juga termasuk upaya pemenuhan HAM (hak ekonomi dan sosial). Namun
kebijakan terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan hak sipil dan politik, telah
menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi itu sendiri. Adapun alasan teknis adalah karena
prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam konstitusi belum dijabarkan dalam hukum positif
aplikatif (Undang-undang Organik).
Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah melakukan upaya pemajuan HAM, termasuk
menciptakan hukum positif yang aplikatif. Dilihat dari segi hukum, tekad bangsa Indonesia
tercermin dari berbagai ketentuan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
(UUD 45) dan Pancasila, dalam Undang-undang Dasar yang telah di amandemen, Undang-undang
Nomor 39/1999 tentang HAM, Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan
ratifikasi yang telah dilakukan terhadap sejumlah instrumen HAM intemasional.

1. Dalam Pembukaan UUD 45 dengan tegas dinyatakan bahwa "pejajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Dalam Pancasila yang
juga tercantum dalam Pembukaan UUD 45 terdapat sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab".
Da1am P4, meskipun sekarang tidak dipakai lagi, namun ada penjelasan Sila kedua yang masih
relevan untuk disimak, yaitu bahwa "dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia
diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku,
keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya.
Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa
salira " serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain".
2. Dalam amandemen kedua UUD 1945, pasal 28 telah dirobah menjadi bab tersendiri yang
memuat 10 pasal mengenai hak asasi manusia. 3. Dalam Undang-undang Nomor 39/1999 tentang
HAM telah dimuat hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen utama HAM intemasional,
yaitu : Deklarasi Universal HAM, Konvensi hak sipil dan politik, Konvensi hak, ekonomi, sosial
dan budaya, konvensi hak perempuan, konvensi hak anak dan konvensi anti penyiksaan. Undang-
undang ini selain memuat mengenai HAM dan kebebasan dasar manusia, juga berisi bab-bab
mengenai kewajiban dasar manusia, Komnas HAM, partisipasi masyarakat dan pengadilan HAM.
4. Dalam Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM khususnya dalam Bab III
dinyatakan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Kejahatan
genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
antara lain dengan cara yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat kepada
anggota kelompok dimaksud. Sedangkan kejahatan terhadap , kemanusiaan adalah perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung
kepada penduduk sipil, antara lain berupa perbudakan, penyiksaan, perbudakan seksual dan
pelacuran secara paksa, penganiayaan terhadap suatu kelompok, penghilangan orang secara paksa,
dan kejahatan apartheid. Dalam Bab VII diatur pidana bagi pelaku pelanggaran HAM berat adalah
hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10
tahun.

Selain produk hukum nasional tersebut, Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah konvensi HAM
intemasional, di antaranya yang terpenting adalah :

1. Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), diratifikasi


dengan UU No.7 /1984.

2. Konvensi HAK Anak (CRC), diratifikasi dengan Keppres No.36/1990.

3. Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), diratifikasi dengan UU No.5/1998.


4. Konvensi Penghapusan Diskriminasi Ras (CERD), diratifikasi dengan UU No.29/1999.

5. Sejumlah (14) konvensi ILO (Hak pekerja).

Kesimpulan akhimya, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, setiap fase perkembangan
pemajuan HAM yang ditandai berupa lahimya suatu konvensi, kovenan, atau deklarasi dan program
aksi temyata selalu dilatarbelakangi oleh suatu pristiwa penting yang mendorong timbulnya
kesadaran masyarakat intemasional untuk menggalang segala kekuatan mengatasi masalah itu.
Kedua, HAM adalah konsep yang berkembang secara amat dinamis, dari semula yang
keberadaannya hanya implisit di dalam kewajiban menjadi eksplisit, dari yang sederhana dan
terbatas pada beberapa hak menjadi hak-hak yang luas dan sangat terinci. Ketiga, bangsa Indonesia
telah menyadari pentingnya HAM sejak berjuang untuk mendapatkan hak kemerdekaan yang
dirampas oleh penjajah. Karenanya, para pendiri negeri ini telah mencantumkan prinsip-prinsip
HAM dalam Konstitusi. Namun diakui bahwa prinsip-prinsip HAM dalam Konstitusi tidak segera
dijabarkan oleh Pemerintah masa Orde Lama dan Orde Baru dalam hukum positif, bahkan
sebaliknya malah dilanggar. Keempat, setelah memasuki era reformasi, pemerintah kita mulai giat
untuk memasukkan HAM dalam kerangka hukum nasional. Hal ini antara lain terlihat dari
pengesahan UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM serta
ratifikasi sejumlah konvensi HAM intemasional.

Undang-undan HAM di Indonesia

Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas


perlindungan hak asasi manusia (HAM). Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan
dengan teori HAM, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau
dimasukkan dalam UUD. Gagasan mengenai Piagam HAM yang pernah muncul di awal Orde Baru
itu muncul dalam wacana perdebatan HAM ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-
kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM. Isinya bukan hanya memuat Piagam HAM, tetapi juga memuat
amanat kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan HAM,
termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional tentang HAM.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-
reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus
isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan
untuk memasukkan perlindungan HAM ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai.
Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan HAM ke dalam Bab XA, yang berisi 10
Pasal HAM (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang
ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak
sipil, politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini
juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan
dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan HAM
dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu isu yang menjadi
riak perdebatan dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari
pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I.
Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan pejuang HAM dan aktifis pro-reformasi yang
tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan
pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal
itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran HAM masa lalu untuk menghindari tuntutan
hukum. Undang-Undang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat
digunakan untuk pelanggaran HAM di masa lalu.
Terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu :
a. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen
UUD 45.
b. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu
Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
c. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum
terhadap pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam realitasnya secara keseluruhan telah
dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia dalam menguraikan rincian HAM. Berikut ini akan
dijelaskan secara lebih detail bentuk-bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di
Indonesia.
a. Amandemen UUD 1945
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika
kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul
jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak
secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan
bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya
Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM
didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini
diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan
melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu
akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutiona right). Pemikiran ini
kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen II
UUD 45. HAM dalam amandemen UUD 1945 antara lain :
1) Pasal 27 Hak jaminan dalam bidang hukum dan ekonomi.
2) Pasal 28 memberikan jaminan dalam bidang politik berupa hak untuk mengadakan
perserikatan, berkumpul dan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan.
a) Pasal 28 A Pasal ini memberikan jaminan akan hak hidup dan mempertahankan
kehidupan.
b) Pasal 28 B Pasal ini memberikan jaminan untuk membentuk keluarga,
melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah, jaminan atas hak anak
untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan anak dari
kekerasan dan diskriminasi.
c) Pasal 28 C Pasal ini memberikan jaminan setiap orang untuk mengembangkan
diri, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat dari iptek, seni dan budaya,
hak kolektif dalam bermasyarakat.
d) Pasal 28 D Pasal ini mengakui jaminan, perlindungan, perlakuan dan kepastian
hukum yang adil, hak untuk berkerja dan mendapatkan imbalan yang layak,
kesempatan dalam pemerintahan dan hak atas kewarganegaraan.
e) Pasal 28 E Pasal ini mengakui kebebasan memeluk agama, memilih
pendidikan, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal. Juga mengakui kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.
f) Pasal 28 F Pasal ini mengakui hak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi dengan melalui segala jenis saluran yang ada.
g) Pasal 28 G Pasal ini hak perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan
harta benda, rasa aman serta perlindungan dari ancaman. Juga mengakui hak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat
manusia, serta suaka politik dari negara lain.
h) Pasal 28 H Pasal ini mengakui hak hidup sejahtera lahir batin, hak bertempat
tinggal dan hak akan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak pelayanan
kesehatan, hak jaminan sosial, hak milik pribadi.
i) Pasal 28 I Pasal ini mengakui hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun yaitu hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak tidak
diperbudak, hak diakui sebagai pribadi di depan hukum, hak tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut. Pasal ini juga mengakui hak
masyarakat tradisional dan identitas budaya.
j) Pasal 28 J Pasal ini menegaskan perlunya setiap orang menghormati hak asasi
orang lain. Juga penegasan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia harus
tunduk pada pembatasan-pembatasannya sesuai dengan perimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam negara demokratis.
3) Pasal 29 mengakui kebebasan dalam menjalankan perintah agama sesuai kepercayaan
masing-masing.
4) Pasal 31 mengakui hak setiap warga negara akan pengajaran.
5) Pasal 32 mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya.
6) Pasal 33 mengandung pengakuan hak-hak ekonomi berupa hak memiliki dan menikmati
hasil kekayaan alam Indonesia.
7) Pasal 34 mengatur hak-hak asasi di bidang kesejahteraan sosial. Negara berkewajiban
menjamin dan melindungi fakir miskin, anak-anak yatim, orang terlantar dan jompo untuk
dapat hidup secara manusiawi.
b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang HAM
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal
13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan
yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan
menjadi isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk
hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada
saat itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen
UUD 45 dan kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok
yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat
diterima oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang
HAM, di samping secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan
amandemen UUD 45.
c. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana dari Ketetapan
MPR No XVII/MPR/1998 Tentang HAM di atas, karena salah satu dasar hukumnya
adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua
pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang-Undang tentang HAM. Pendapat
pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai HAM tersebar dalam
berbagai Undang-Undang. Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang-Undang khusus
tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang-Undang tentang HAM
diperlukan mengingat TAP MPR tentang HAM yang sudah ada tidak berlaku
operasional dan Undang-Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung materi
HAM. Selain itu, Undang-Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai payung bagi
peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama ini.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan tentang HAM juga
mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah
melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
d. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Undang-Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam
penegakan HAM dalam level Undang- Undang setelah UU. No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM. Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah
ditolak oleh DPR sebelumnya.
e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di
Muka Umum.
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui
Undang Undang ini bertujuan :
1) Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan
HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.
2) Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam
menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
3) Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas
setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam
kehidupan berdemokrasi.
4) Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
HAM dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya antara lain :
a. UU No. 3/ 1997 tentang Peradilan Anak
b. UU No. 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak
c. UU No. 23/ 2004 tentang PKDRT
d. UU No. 13/ 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak asasi manusia
ke dalam hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya diletakkan dalam konteks dua
ajaran berikut, yakni ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis (monistic school). Ajaran
yang pertama melihat hukum internasional dan nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah
dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional
sebagai bagian integral dari sistem yang sama. Sebagai bagian dari masyarakat internasional,
Indonesia juga tidak bisa menafikan hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan
ketentuan hukum Indonesia. Jadi meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak
asasi manusia yang kuat di dalam negeri seperti dipaparkan di muka, tetap dipandang perlu untuk
mengikatkan diri dengan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan
pengikatan itu, selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional
(supreme law of the land), juga memberikan legalitas kepada warga negaranya untuk menggunakan
mekanisme perlindungan HAM internasional, apabila ia (warga negara) merasa mekanisme
domestik telah mengalami “exshausted” aliasmenthok.
Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen internasional hak asasi
manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional pokok hak asasi manusia. Delapan
instrumen internasional hak asasi manusia yang diratifikasi itu meliputi :
a. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan;
b. Konvensi Internasional tentang Hak Anak;
c. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan;
d. Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah Raga;
e. Konvensi Internasional tentang Menentang Penyiksaan;
f. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
g. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik;
h. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan adanya
RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan terencana. Ratifikasi tersebut
diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut ini :
a. Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain
(pada 2004);
b. Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005);
c. Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan
Prostitusi Anak (pada 2005);
d. Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik
Bersenjata (pada 2006);
e. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta
Roma (pada 2008).(ekobudi cg)

Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia


Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga – lembaga resmi oleh
pemerintah seperti
a. Komnas HAM (UURINomor 39 Tahun 1999 Bab VIII, pasal 75 s/d. 99)
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993.
Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia
internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Komnas HAM bertujuan:
1) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi
manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi sebagai berikut :
1) Fungsi pengkajian dan penelitian. 3) Fungsi pemantauan.
2) Fungsi penyuluhan. 4) Fungsi mediasi.
b. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan
berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus
terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan
atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompk bangsa, ras, kelompok, etnis, dan agama.
Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
c. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia KPAI dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun
2002. komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan nasional
perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997.
Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya: diskriminasi, eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan
dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang mendorong lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 181
Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini adalah sebagai upaya
mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi
Nasional ini bersifat independen dan bertujuan:
a. menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan.
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
c. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan hak asasi perempuan.
e. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk :
1) Memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan HAM ketika
penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc
mengalami kebuntuan;
2) Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk menyelesaikan di
luar pengadilan HAM.
f. LSM Pro-demokrasi dan HAM
Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia),
Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia).

Problematik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia

Begitu reformasi total digulirkan pada tahun 1998, Indonesia tengah mengalami masa
transisi dari rezim yang otoriter menuju rezim demokratis. Sebagaimana dengan pengalaman
negara-negara lain yang mengalami masa transisi, Indonesia juga menghadapi persoalan yang
berhubungan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang terjadi di masa lampau yang
tidak pernah diselesaikan secara adil dan manusiawi. Selama pemerintahan Orde Lama sampai
dengan Orde Baru, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi di mana yang termasuk
dalam kategori berat dan berlangsung secara sistematis. Tidak sedikit kalangan masyarakat telah
menjadi korban dan menderita dalam ketidakadilan, tanpa harapan akan adanya penyelesaian secara
adil.
Pendekatan pembangunan yang mengutamakan "Security Approach" selama lebih
kurang 32 tahun orde baru berkuasa "Security Approach" sebagai kunci menjaga stabilitas dalam
rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Pola pendekatan
semacam ini, sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah,
karena stabilitas ditegakan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.
Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh orde baru selama lebih kurang 32 tahun, dengan
pemusatan kekuasaan pada Pemerintah Pusat nota bene pada figure seorang Presiden, telah
mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin
negara terhadap rakyat.
Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran hak
asasi manusia oleh negara dan pemimpin negara dalam bentuk pengekangan yang berakibat
mematikan kreativitas warga dan pengekangan hak politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini
dilakukan oleh pemegang kekuasaan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.
Kualitas pelayanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya good
governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang. akuntabilitas, penegakan hukum
yang berkeadilan dan demokratisasi. Serta belum berubahnya paradigma aparat publik yang
masih dirinya sebagai birokrat bukan sebagai pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan
pelayanan publik yang buruk dan cenderung untuk timbulnya pelanggaran hak asasi manusia.
Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan
yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun
oleh aparat.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi,
walaupun Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia
yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai
hak akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan ras, warna
kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya
adalah bahwa instrumen tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi
perempuan.

Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia


Pendekatan Security yang terjadi di era orde baru dengan mengedepankan upaya represif
menghasilkan stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar menimbulkan terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia tidak boleh terulang kembali, untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus
ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan
partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat, bahkan
berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu desentralisasi
melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah perlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan
tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjutkan dan dilakukan pembenahan atas segala
kekurangan yang terjadi.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi
pelayan masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang struktural, infromental, dan
kultular mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitapelayanan public untuk mencegah
terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.
Perlu penyelesaian terhadap berbagai Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal di tanah air
yang telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh
sesama kelompok masyarakat dengan acara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana dan
adil.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan
yang sama bagi semua hak asasi manusia di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup, persamaan, kebebasan dan
keamanan pribadi, perlindungan yang sama menurut hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja
yang adil. Untuk itu badan-badan penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
perempuan, lebih konsekuen dalam mematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana
yang telah diratifikasi dalam Undang undang No.7 Tahun 1984, mengartikan fungsi Komnas anti
Kekerasan Terhadap Perempuan harus dibuat perundang-undangan yang memadai yang menjamin
perlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkan sanksi yang memadai terhadap semua jenis
pelanggarannya.

Penyelesaian Kasus HAM


Hak Asasi Manusia di miliki sejak dalam kandungan hingga akhir hidupnya. Pada kasus diatas
merupakan tindakan pelanggaran HAM karena orang tua yang tega menyiksa anaknya. Kejadian ini
sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Kasus ini di picu karena orang tua yang belom siap untuk
memiliki anak karena masalah ekonomi, atau mungkin juga kejiwaan yang terganggu dan ini
menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terhadap anak. Maka dari itu KOMNAS
Perlindungan anak dan KOMNAS HAM segera menyelesaikan kasus ini agar tidak terjadi hal
seperti ini lagi karena anak merupakan titipan dari tuhan yang harus di jaga dan di rawat dengan
baik dan benar , dengan begitu generasi penerus di Indonesia akan semakin baik jika mental ,
kejiwaan dan psikologisnya yang di berikan dari kecil hingga sekarang sudah baik.

Sumber :

Anonim. Lembaga-Lembaga HAM. (Online),(http://suryafahik.blogspot.com/2012/08/lembaga-


lembaga-ham.html#ixzz3Gz0v1eOg, 22 Oktober 2014)

Anonim. Pengaturan HAM manusia. (Online),(http://ditpolairdajambi.blogspot.com/2012 /01/


pengaturan- hak-asasi-manusia-di.html, 22 Oktober 2014)

Adrian. Sejara Ham di Indonesia. (Online), (http://adrianynwa.blogspot.com/2013/03/sejarah-ham-


di-indonesia.html, 22 Oktober 2014)

Anda mungkin juga menyukai