Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan
acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir
Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ),
membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode
sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan
adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan
kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk
pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada
hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk
mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak
persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara
Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak
lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak
persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk
memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan
pikiran dengan tulisan dan lisan.
Tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan penghormatan dan penegakan HAM sangat kuat
ketika bangsa ini memperjuangkan hak asasinya, yaitu: "kemerdekaan", yang telah berabad-abad
dirampas oleh penjajah.
Para pendiri negeri ini telah merasakan sendiri bagaimana penderitaan yang dialami karena hak
asasinya diinjak-injak oleh penjajah. Oleh karena itu, tidak mengherankan setelah berhasil
mencapai kemerdekaan, para pendiri negeri ini mencanturnkan prinsip-prinsip HAM dalam
Konstitusi RI (Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaannya) sebagai pedoman dan cita-cita yang
harus dilaksanakan dan dicapai.
Namun dalam perjalanan sejarah bangsa, pedoman dan cita-cita yang telah dicanturnkan dalam
konstitusi tersebut tidak dilaksanakan bahkan dilanggar oleh pemerintah yang seharusnya
melaksanakan dan mencapainya. Kita semua sudah mengetahui bahwa Pemerintah Orde Lama dan
Orde Baru tidak hanya tidak melaksanakan penghormatan dan penegakan HAM namun juga banyak
melakukan pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh alasan politis dan teknis. Alasan politis
adalah situasi politik di tingkat nasional dan tingkat intemasional (perang dingin). Di jaman Orde
Lama, focus kebijakan Pemerintah RI adalah "Revolusi". Kebijakan ini membawa kita ke konflik
internal (domestik) dan intemasional, serta berakibat melupakan hak asasi rakyat. Sedangkan di
jaman Orde Baru kebijakan pemerintah terfokus pada pembangunan ekonomi. Memang
pembangunan ekonomi juga termasuk upaya pemenuhan HAM (hak ekonomi dan sosial). Namun
kebijakan terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan hak sipil dan politik, telah
menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi itu sendiri. Adapun alasan teknis adalah karena
prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam konstitusi belum dijabarkan dalam hukum positif
aplikatif (Undang-undang Organik).
Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah melakukan upaya pemajuan HAM, termasuk
menciptakan hukum positif yang aplikatif. Dilihat dari segi hukum, tekad bangsa Indonesia
tercermin dari berbagai ketentuan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
(UUD 45) dan Pancasila, dalam Undang-undang Dasar yang telah di amandemen, Undang-undang
Nomor 39/1999 tentang HAM, Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan
ratifikasi yang telah dilakukan terhadap sejumlah instrumen HAM intemasional.
1. Dalam Pembukaan UUD 45 dengan tegas dinyatakan bahwa "pejajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Dalam Pancasila yang
juga tercantum dalam Pembukaan UUD 45 terdapat sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab".
Da1am P4, meskipun sekarang tidak dipakai lagi, namun ada penjelasan Sila kedua yang masih
relevan untuk disimak, yaitu bahwa "dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia
diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku,
keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya.
Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa
salira " serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain".
2. Dalam amandemen kedua UUD 1945, pasal 28 telah dirobah menjadi bab tersendiri yang
memuat 10 pasal mengenai hak asasi manusia. 3. Dalam Undang-undang Nomor 39/1999 tentang
HAM telah dimuat hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen utama HAM intemasional,
yaitu : Deklarasi Universal HAM, Konvensi hak sipil dan politik, Konvensi hak, ekonomi, sosial
dan budaya, konvensi hak perempuan, konvensi hak anak dan konvensi anti penyiksaan. Undang-
undang ini selain memuat mengenai HAM dan kebebasan dasar manusia, juga berisi bab-bab
mengenai kewajiban dasar manusia, Komnas HAM, partisipasi masyarakat dan pengadilan HAM.
4. Dalam Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM khususnya dalam Bab III
dinyatakan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Kejahatan
genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
antara lain dengan cara yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat kepada
anggota kelompok dimaksud. Sedangkan kejahatan terhadap , kemanusiaan adalah perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung
kepada penduduk sipil, antara lain berupa perbudakan, penyiksaan, perbudakan seksual dan
pelacuran secara paksa, penganiayaan terhadap suatu kelompok, penghilangan orang secara paksa,
dan kejahatan apartheid. Dalam Bab VII diatur pidana bagi pelaku pelanggaran HAM berat adalah
hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10
tahun.
Selain produk hukum nasional tersebut, Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah konvensi HAM
intemasional, di antaranya yang terpenting adalah :
Kesimpulan akhimya, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, setiap fase perkembangan
pemajuan HAM yang ditandai berupa lahimya suatu konvensi, kovenan, atau deklarasi dan program
aksi temyata selalu dilatarbelakangi oleh suatu pristiwa penting yang mendorong timbulnya
kesadaran masyarakat intemasional untuk menggalang segala kekuatan mengatasi masalah itu.
Kedua, HAM adalah konsep yang berkembang secara amat dinamis, dari semula yang
keberadaannya hanya implisit di dalam kewajiban menjadi eksplisit, dari yang sederhana dan
terbatas pada beberapa hak menjadi hak-hak yang luas dan sangat terinci. Ketiga, bangsa Indonesia
telah menyadari pentingnya HAM sejak berjuang untuk mendapatkan hak kemerdekaan yang
dirampas oleh penjajah. Karenanya, para pendiri negeri ini telah mencantumkan prinsip-prinsip
HAM dalam Konstitusi. Namun diakui bahwa prinsip-prinsip HAM dalam Konstitusi tidak segera
dijabarkan oleh Pemerintah masa Orde Lama dan Orde Baru dalam hukum positif, bahkan
sebaliknya malah dilanggar. Keempat, setelah memasuki era reformasi, pemerintah kita mulai giat
untuk memasukkan HAM dalam kerangka hukum nasional. Hal ini antara lain terlihat dari
pengesahan UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM serta
ratifikasi sejumlah konvensi HAM intemasional.
Begitu reformasi total digulirkan pada tahun 1998, Indonesia tengah mengalami masa
transisi dari rezim yang otoriter menuju rezim demokratis. Sebagaimana dengan pengalaman
negara-negara lain yang mengalami masa transisi, Indonesia juga menghadapi persoalan yang
berhubungan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang terjadi di masa lampau yang
tidak pernah diselesaikan secara adil dan manusiawi. Selama pemerintahan Orde Lama sampai
dengan Orde Baru, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi di mana yang termasuk
dalam kategori berat dan berlangsung secara sistematis. Tidak sedikit kalangan masyarakat telah
menjadi korban dan menderita dalam ketidakadilan, tanpa harapan akan adanya penyelesaian secara
adil.
Pendekatan pembangunan yang mengutamakan "Security Approach" selama lebih
kurang 32 tahun orde baru berkuasa "Security Approach" sebagai kunci menjaga stabilitas dalam
rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Pola pendekatan
semacam ini, sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah,
karena stabilitas ditegakan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.
Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh orde baru selama lebih kurang 32 tahun, dengan
pemusatan kekuasaan pada Pemerintah Pusat nota bene pada figure seorang Presiden, telah
mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin
negara terhadap rakyat.
Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran hak
asasi manusia oleh negara dan pemimpin negara dalam bentuk pengekangan yang berakibat
mematikan kreativitas warga dan pengekangan hak politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini
dilakukan oleh pemegang kekuasaan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.
Kualitas pelayanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya good
governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang. akuntabilitas, penegakan hukum
yang berkeadilan dan demokratisasi. Serta belum berubahnya paradigma aparat publik yang
masih dirinya sebagai birokrat bukan sebagai pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan
pelayanan publik yang buruk dan cenderung untuk timbulnya pelanggaran hak asasi manusia.
Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan
yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun
oleh aparat.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi,
walaupun Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia
yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai
hak akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan ras, warna
kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya
adalah bahwa instrumen tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi
perempuan.
Sumber :