Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

Demokrasi dalam praktek bernegara dewasa ini, semakin mengalami puncak


perkembangannya, dimana demokrasi dalam pengertian yang sederhana, sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh dan untuk rakyat begitu gencar melanda setiap negara. Bahkan
saat ini telah terjadi kecenderungan global dimana demokrasi tidak sekedar menjadi wacana
intelektual (Intellectual Discourse) melainkan juga impian politik berbagai negara, khususnya
negara-negara berkembang. Hal ini mensyaratkan diakuinya suatu negara dalam pergaulan
Internasional terletak pada pengakuannya akan demokrasi.

Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki banyak
konotrasi makna, variatif, evolutif dan dinamis. Maka tidaklah mudah membuat suatu
defenisi yang jelas mengenai Demokrasi. Demokrasi bermakna variatif karena sangat bersifat
interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai penganut
kedaulatan rakyat atau penganut paham demokrasi, bahkan negara-negara yang menganut
paham komunis dengan pemerintahan yang otoriter seperti RRC pun menyebut dirinya
sebagai negara demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal berbagai
tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi protelar,
demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi parlementer, dan
lain-lain.

Demokrasi juga merupakan konsep evolutif dan dinamis, bukan konsep yang statis. Artinya,
konsep demokrasi selalu mengalami perubahan, baik bentuk-bentuknya maupun
substansialnya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio historis dimana konsep demokrasi
lahir dan berkembang.

Miriam Budiardjo menyatakan :


“Secara etimologis demokrasi berasal dari kata Yunani “demos” yang berarti rakyat,
“kratein” atau “krator” yang berarti kekuasaan/berkuasa. Jadi demokrasi artinya “rakyat
berkuasa” atau “government or rule by the people”.

Dahlan Thaib dalam bukunya Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi
menyebutkan :

“Asas kedaulatan rakyat atau paham demokrasi mengandung dua arti :

Pertama, demokrasi  yang berkaitan dengan sistem pemerintahan atau bagaimana caranya
rakyat diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan yang kedua, demokrasi
sebagai asas yang dipengaruhi keadaan kultural, historis satu bangsa sehingga muncul istilah
demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat dan demokrasi Pancasila”.

Cita-cita akan tumbuhnya Indonesia sebagai Negara yang adil makmur dan demokratis
menjadi mimpi seluruh anak bangsa. Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa kita untuk
mewujudkan cita-cita tersebut. Perubahan konstitusi yang dilaksanakan dalam empat tahap
telah secara nyata menjadikan Negara kita sebagai Negara yang sama sekali bebeda
dibandingkan apa yang terjadi di Indonesia semasa pemerintahan orde baru berkuasa.
Selama masa orde baru, demokrasi adalah hal yang hanya menjadi konsumsi mereka yang
bergelut dengan politik tingkat tinggi Negara, tidak mengakar kepada rakyat di kalangan
bawah. Hal ini terjadi karena keran demokrasi seakan dibungkam oleh rezim yang berkuasa.

Ketika reformasi bergulir, seketika itu pula gairah demokrasi yang lama terpendam mencuat
kepermukaan. Dimulai dengan pemilihan presiden langsung, perbaikan terhadap UU
pemerintahan Daerah sehingga melahirkan UU No. 32 Tahun 2004, yang salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih dengan cara yang demokratis. Cara demokratis ini
kemudian diterjemahkan oleh setiap daerah dengan melakukan pemilihan langsung baik
Gubernur maupun bupati/walikota.

Demokrasi Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah mulai


menunjukkan perubahan. Bila sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan memilih presiden
dan wakil presiden oleh MPR, pasca amandemen kekuasaan tersebut beralih ke tangan
rakyat. Rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya dalam suatu pelaksanaan pemilu
presiden dan wakil presiden. Implikasi perubahan kekuasaan memilih presiden dan wakil
presiden dari MPR ke tangan rakyat dalam perkembangan demokrasi dan ketatanegaran kita
pada gilirannya diikuti pula oleh pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasca
pemberlakuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, rakyat kembali
diberi “tiket” untuk melaksanakan peranan langsung menentukan pilihan politiknya terhadap
seorang kepala daerah dan wakilnya.

Diluar hiruk-pikuk tersebut, terdapat hal serius yang semestinya memperolah perhatian
memadai. Jika kita refleksikan bersama, dinamika politik yang sekarang tengah berlangsung
sebenarnya tidak lebih dari dinamika elitis. Mereka yang sibuk berkompetisi hanyalah para
elite partai yang sedang berkompetisi menuju kursi kekuasaan. Pada momen politik semacam
ini, mereka sibuk mengobral janji-janji manis kepada rakyat, mulai dari pendidikan gratis,
pengobatan murah, peningkatan kesejahteraan dan berbagai janji manis lainnya. Tujuannya
jelas, yaitu menarik simpati dan dukungan rakyat.

Undang-undang pemerintahan daerah yang baru ini menegaskan bahwa kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 56 ayat 1) . Pasangan
calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 56 ayat 2), meskipun
pasal ini akhirnya diajukan ke MK sehingga calon independen punya peluang untuk maju
dalam Pilkada.

Dalam realitas politik dan praktek penyelenggaraan proses rekruitmen calon kepala daerah
dan wakilnya yang sementara ini telah dilakoni oleh partai politik ternyata masih marak
diwarnai oleh praktek-praktek yang tidak elegan, kurang bermartabat, aroma money politics,
dan kisruh internal parpol.

Calon yang akan maju melalui pintu partai politik cenderung menjadi sapi perahan dimana
partai akan meminta sang calon untuk mempersiapkan dana yang akan digunakan dalam
proses pencalonan, hingga kampanye.

Ditengah ketidakdewasaan bangsa dalam urusan politik, pemilihan kepala daerah langsung
justru menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Didukung dengan tabiat tidak mau
kalah, menghalalkan segala cara untuk menang dan sebagainya, bukannya perwujudan
demokrasi yang ditemui, malah kerusuhan dan perselisihan yang tidak jelas ujung
pangkalnya, dan tentu saja konflik horizontal antar pendukung menjadi suatu keniscayaan.

Sebagai contoh, dari 246 Pemilukada yang diselenggarakan di Indonesia hingga Oktober
2010, hanya di 38 daerah yang tidak terjadi kisruh dan memasukkan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi, bukti bahwa sebagian besar calon kepala daerah tidak bisa menerima
kekalahan dengan lapang dada.

Perilaku elit politik seperti ini telah menjadi pakem di setiap pilkada. Hampir pasti jika ada
pilkada, maka akan ada permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu dapat
menimbulkan apatisme sebagian masyarakat terhadap politik.

Berpartisipasi atau tidak dalam politik tidak membawa pengaruh apa pun bagi masyarakat.
Pengalaman mengecewakan dimana setelah memberikan suaranya, segala janji yang
diucapkan pada masa kampanye langsung dilupakan, sehingga masyarakat cenderung
memandang politik dari pespektif untung-rugi.

Perspektif untung – rugi ini diwujudkan dalam bentuk partisipasi jangka pendek, yaitu
menanti imbalan materi yang jelas. Sepanjang ada uang, maka masyarakat akan ikut serta
dalam kampanye, setelah itu masyarakat akan menunggu apakah calon yang lain berani
mengeluarkan uang juga.

Hal ini tentu tidak lepas dari perilaku elit politik dan para calon yang berpikir jangka pendek.
Memenangkan pemilihan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, uang bukan
masalah,yang penting menang.

Hingga jika akhirnya memenangkan pemilihan, kebijakan-kebijakan yang diambil akan


semakin jauh dari orientasi kerakyatan, dan sibuk untuk memperkaya diri dan kelompoknya
atau membayar utang yang lahir dari proses kampanye.

Demokrasi

Demokrasi yang pada hakikatnya adalah kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
kini telah bergeser menjadi dari rakyat, oleh penguasa, dan untuk pengusaha. Rakyat kini
justru kehilangan hak-hak dasarnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Sebagai pemegang kedaulatan, partisipasi rakyat seharusnya tidak terhenti hanya dalam bilik
suara. Lebih dari itu, dalam setiap tahapan kehidupan bernegara dalam skala apa pun, rakyat
memiliki hak dan juga kewajiban untuk berpartisipasi. Dinamika kehidupan demokrasi secara
esensial terletak dalam partisipasi yang lebih luas dan menyeluruh.

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan
demokrasi maka terjaminlah hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi
negara.

Deliar Noer (1983 : 207) mengemukakan bahwa demokrasi sebagai dasar hidup bernegara
memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir masyarakat memberikan ketentuan pada
masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan
negara karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.

Secara historis tercatat bahwa prinsip demokrasi lahir sebagai saudara kembar dari prinsip
hukum dalam negara-negara demokrasi moderen. Jadi demokrasi dan hukum lahir dari ibu
kandung yang sama sehingga sering muncul adigum bahwa demokrasi dan hukum ibarat dua
sisi dari sebuah mata uang. Tidak akan ada demokrasi tanpa ada hukum yang tegak dan tidak
akan ada hukum yang tegak tanpa pembangunan kehidupan politik yang demokratis (Mahfud,
1999 :176).

Demokrasi memiliki kecendrungan yang sama dalam hal prinsip-prinsip yang dianut.
Beberapa prinsip demokrasi yang berlaku secara universal, antara lain:

1. Keterlibatan warga Negara dalam penbuatan keputusan politik

Ada dua pendekatan tentang keterlibatan warga Negara yaitu teori elitis dan partisipator

Pendekatan elitis adalah pembuatan kebijakan umum namun menuntut adanya kualitas
tanggapan pihak penguasa dan kaum elit, hal ini dapat kita lihat pada demokrasi perwakilan.

Pendekatan partisipatori adalah pembuatan kebijakan umum yang menuntut adanya


keterlibatan yang lebih tinggi.

1. Persamaan diantara warga Negara

Tingkat persamaan yang ditunjukan biasanya yaitu dibidang politik, hukum,bkesempatan


ekonomi sosial dan hak Kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga
Negara

1. Supremasi Hukum

Penghormatan terhadap hukum harus dikedepankan baik oleh penguasa maupun rakyat, tidak
terdapat kesewenang–wenangan yang biasa dilakukan atas nama hukum, karena itu
pemerintahan harus didasari oleh hukum yang berpihak pada keadilan

1. Pemilu berkala

Pemilihan umum, selain mekanisme sebagai menentukan komposisi pemerintahan secara


periodik, sesungguhnya merupakan sarana utama bagi partisipasi politik individu yang hidup
dalam masyarakat yang luas, kompleks dan modern.

Aplikasi dari teori tersebut dapat ditemui dalam kehidupan bernegrara saat ini di Indonesia.
Serangkaian pemilihan langsung telah mengubah wajah Indonesia secara tidak langsung.
Meskipun banyak terjadi fenomena kisruh dimana-mana, setidaknya proses pemilihan
pimpinan eksekutif di tingkat daerah juga telah mencerminkan usaha-usaha mewujudkan
demokrasi yang baik.
Kisruh dalam pilkada di indonesia saat ini seakan menjadi menu harian. Setiap media baik
lokal maupun nasional tidak pernah kosong dari berita tentang kericuhan dalam setiap
tahapan pilkada. Dari proses pendaftaran calon, kampanye, pemungutan suara hingga
pengumuman hasil, sealalu dibayangi peluang akan adanya kerusuhan horizontal antar massa
pendukung.

Pilkada yang diharapkan menjadi salah satu langkah konkrit menuju demokrasi berubah
menjadi ajang perebutan kekuasan dan unjuk kekuatan semata. Akhirnya yang menjadi
korban adalah warga masyarakat, karena penyelewengan demokrasi seperti ini akan
melahirkan pemimpin yang tidak amanah, karena hanya berburu kekuasan semata, tentu saja
dibarengi dengan motif ekonomi yang akan muncul berbarengan dengan hadirnya kekuasaan.

Amanah Undang-undang dasar pasal 18 ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati dan walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih
secara demokratis. Takaran demokratis ini kemudian diartikan bahwa pemilihan pimpinan di
tingkat lokal dan nasional harus dilaksanakan melalui pemilihan langsung, padahal, hal ini
adalah hasil dari kinerja perubahanamandemen UUD 1945 yangdilakukan secara parsial atau
yang oleh Denny Indrayana (2008 : 144-145) sebagai kecelakaan konstitusi.

Kecelakaan konstitusi dimulai pada saat perubahan UUD 1945, karena saat itu belum
disepakati mengenai pemilihan prseiden secara langsung, akhirnya dalam perubahan Kedua
UUD 1945 lahir istilah kompromistis Kepala daerah akan dipilih secara demokratis, yang
artinya bahwa peluang pilkada langsung tidak diututup, tapi juga tidak terbuka lebar.

Pilkada inilah natinya yang menjadi bom waktu bagi demokrasi di Indonesia. Demokrasi
yang diharapkan hadir untuk menjelmakan kedaulatan rakyat, justru menjadi ajang berebut
pengaruh dan uang sebagian kecil elit politik di tanah air, utamanya di tingkat daerah.

Denny Indrayana (2008 : 131) menyatakan bahwa monopoli partai politik dalam perekrutan
kepemimpinan nasional memang merisaukan. Monopoli ini menggairahkan korupsi.
Sederhananya, korupsi adalah kewenangan yang monopolistik, tanpa keterbukaan. Salah satu
penyebab maraknya politik uang di beberapa pemilihan kepala daerah adalah monopoli
pencalonan kepala daerah oleh parpol. Padahal kinrja parpol sendiri masih jauh dari semangat
antikorupsi.

Korupsi dalam proses pencalonan kepala daerah memang sangat mungkin terjadi ketika calon
yang bersangkutan harus mendapat tiket dari partai politik untuk bisa menjadi calon kepala
daerah. Praktik jual-beli dukungan seperti ini semakin marak karena memang sang calon
membutuhkan suara dari kader-kader partai untuk mendapatkan dukungan dalam
pemungutan suara, meskipun dalam kenyataannya, banyak juga kader partai yang akhirnya
membelot atau memberikan dukungannnya kepada calon lain.

Biaya yang dikeluarkan oleh calon inilah yang potensial menjadi penyebab korupsi. Jika
terpilih, tentu saja yang akan menjadi pekerjan rumah bagi sang calon kepala daerah yang
terpilih adalah untuk mengembalikan semua modal yang telah dikeluarkan dalam proses
politik pencalonannya.
Kita patut bersyukur bahwa akhirnya keran pencalonan kepala daerah tidak lagi menjadi
monopoli parpol. Telah terbuka peluang bagi calon perseorangan untuk ikut meramaikan
bursa calon kepala daerah. Meskipun tidak dapat dipungkiri kemungkinan relasi hubungan
antara eksekutif dan legislatif daerah yang akan menjadi lebih rumit karena efektifitas kerja
eksekutif daerah membutuhkan dukungan politik dari lembaga legislatif untuk melaksanakan
program kerjanya. Maka, akomodasi dan kompromi politik akan menjadi keseharian relasi
DPRD dan kepala daerah peresorangan ini.

Kesimpulan

Dibutuhkan usaha keras untuk memperbaiki keadaan, dengan menuntut paritisipasi aktif
seluruh golongan, seperti LSM, mahasiswa, pers dan sebagainya, sebagai tanggung jawab
moral untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Beberapa hal dapat diperjuangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, memperkuat
kesadaran masyarakat tentang demokrasi kerakyatan. Usaha ini dapat dilakukan dengan
pendidikan politik secara luas kepada rakyat. Dengan melakukan pendidikan politik secara
terus-menerus, diharapkan akan tumbuh kesadaran untuk tegaknya demokrasi. Bahwa
demokrasi tidak dapat dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan, tetwapi sarana untuk
menjaga amanah bagi kesejahteraan rakyat.

Kedua, optimalisasi peranan pers sebagai penggalang opini. Pers merupakan salah satu pilar
bagi perwujudan demokrasi. Oleh karena itu, diharapkan agar pers senantiasa kritis dan
menjaga perannya sebagai kekuatan penyeimbang..

Ketiga, menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Segala upaya yang dilakukan dan segala
peraturan yang dibentuk tanpa dibarengi penegakan hukum yang baik, akan berjalan sia-sia.

Daftar Pustaka

Ahmad Suheimi, Pemikiran Politik Barat, 2001, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Liberty,
Yogyakarta.

H. Zainal Abidin Ahmad, 2001 (Membangun) Negara Islam, Pustaka Iqra, Yogyakarta.

Jimly Asshiddiqie, 1995, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Gema Insani Press, Jakarta.

Miriam Budiardjo, 2000, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.

Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan UUD
1945, 2001, UII Press, Yogyakarta.

Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.


 

Muhammad Zulfan Hakim, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bagian Hukum tata negara sejak tahun
2008. Menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di UNHAS.

e-mail : zulfan@unhas.ac.id

chuppank@yahoo.com

Telah diterbitkan di Jurnal Humanis UNM Makassar Volume XII No 2 Mei Agustus 2011

3 Comments »

Samsung X Cover C3550
Posted in Uncategorized on Maret 26, 2012 by zulfanhakim

Baru saja saya membeli samsung X cover karena tergoda iklannya di You tube.

Ponsel ini sangat istimewa dan ternyata cocok utamanya untuk Indonesia atau tempat tinggal
saya, kota Makassar yang curah hujannya tidak menentu, serta banyak genangan air dimana-
mana.

Harganya termasuk murah, dibawah 1 Jutaan, dengan fitur tahan air debu dan guncangan,
ponsel sejenis ini sangat cocok untuk orang seperti saya yang sedikit ceroboh dan kadang
menjatuhkan barang.

tes rendaman air dalam ember, ponsel ini masih berfungsi dengan baik

saya hanya belum menjalankan tes banting karena sayang kalau HP nya tergores, padahal
masih baru :D

Leave a comment »

hukum keuangan negara


Posted in Uncategorized on Oktober 16, 2011 by zulfanhakim

http://www.ziddu.com/download/16849131/HkmKeuanganNegaraII.rar.html

Leave a comment »

Membeli Hukum di Negara Hukum


Posted in Uncategorized on Januari 27, 2010 by zulfanhakim

Membeli Hukum di Negara Hukum

Oleh : Zulfan Hakim

Mungkin anda tidak asing lagi dengan kalimat judul diatas. Sejak jaman kuda gigit besi,
semua orang tahu bahwa Indonesia adalah surga bagi para pelanggar hukum. Kekuasaan uang
jauh lebih berkuasa dibandingkan aturan hukum.

Praktik jual beli hukum terjadi di segala lini. Akan tetapi, seperti layaknya kasus korupsi,
sangat sulit membuktikannya karena mustahil anda menemukan kuitansi atau bukti
pembayaran praktek sogok-menyogok.

Dari tingkat penyelidikan di kepolisian, uang sudah mulai bermain. Hal ini antara lain
dilakukan dengan membayar sejumlah uang kepada pihak kepolisian untuk menghindari
penagkapan atau penahanan. Sejumlah sumber penulis yang tidak bersedia disebutkan
namanya, mengakui jika dia sudah lebih dari lima tahun menjadi bandar narkoba. Selama itu
pula dia dengan rutin menyetor “upeti” kepada seorang oknum polisi, demi menjaga
keamanan bisnisnya. Demikian juga dengan praktek perjudian.

Kalaupun anda di tangkap polisi, ini biasanya terjadi jika pejabat berganti, anda bisa
menghindari rumah tahanan dengan menyediakan sejumlah uang. Untuk kasus apapun, anda
bisa melakukan hal ini, apalagi jika mengaku sedang sakit. Semakin tinggi strata sosial
seseorang, maka semakin heboh penyakitnya.

Lepas dari tangan kepolisian, perkara anda bralih ke pihak kejaksaan. Pada tingkat ini, upaya
suap dilakukan untuk mengurangi tuntutan yang akan diberikan oleh jaksa di pengadilan.
Harga bervariasi, tergantung berat-ringannya kasus. Menurut informasi seorang kawan saya,
sewaktu dia di dakwa melakukan penganiayaan berat, jaksa meminta 10 juta rupiah untuk
mengurangi tuntutan dari 3 tahun menjadi 2 tahun.  (korbannya mengalami koma dan dirawat
selama 2 minggu di RS).

Di pengadilan, disinilah sesungguhnya hukum dan keadilan di perjual belikan. Ingin divonis
lebih ringan? Sediakan sejumlah uang untuk majelis hakimnya. Bisa kita temui sejumlah
makelar kasus (markus) baik berseragam (oknum kejaksaan atau pengadilan) wara-wiri di
pengadilan. Jika anda bisa menyediakan jumlah uang yang diminta, jangan kuatir anda akan
divonis berat. Dalam kasus kawan saya diatas, vonisnya dikurangi lagi menjadi 18 bulan
penjara.

Setelah proses peradilan selesai, tinggallah eksekusi putusan. Anda pilih masuk penjara
dengan fasilitas mewah ala bu Ayin, boleh. Bahkan, dalam kondisi tertentu, anda tidak perlu
masuk bui. Cukup sediakan uang dan…….. sim sala bim, anda bebas beredar di luar tembok
penjara. Kawan saya yang saya ceritakan tadi, tidak pernah menjalani hukumannya. Namanya
terdaftar di Rutan, akan tetapi orangnya ada diluar, bahkan sempat mengajak penulis untuk
rekreasi ke luar kota.

Seluruh proses suap yang dilakukannya menghabiskan lebih kurang 25 juta Rupiah.
Fantastis !!!!!!!!.
Ada apa dengan Indonesia? Mengapa ini semua bisa terjadi?

Jawabannya KORUPSI. Yah… hanya korupsi, the root of all evil.

Kita coba melihat satu-persatu.

Menjadi polisi, membutukan sejumlah uang agar anda lulus menjadi siswa sekolah
kepolisian. Besarnya bervariasi, tergantung seberapa kuat beking anda (biasanya oknum
perwira menengah), antara 25 juta hingga 50 juta rupiah. Lulus menjadi polisi, anda masih
perlu menyediakan sejumlah uang untuk ditugaskan di kota besar, bukan di daerah terpencil.
Seorang kawan anggota kepolisian mengakui membayar 10 juta rupiah agar tidak ditugaskan
di daerah terpencil. Demikian juga untuk ditugaskan di unit yang “basah”, harus bisa
menyetor sejumlah upeti kepada atasan. Unit lalu lintas adalah pilihan selain unit reserse
kriminal. Disinilah banyak uang bisa diperoleh. Suatu hal yang konyol, karena di kepolisian
Negara lain, seperti Amerika Serikat, menjadi polantas adalah kasta terendah dari strata unit
kepolisian. Pilihan utama adalah sebegai detektif, yang tidak perlu berseragam, dan bentuk
hukuman yang diberikan kepada anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran disiplin
adalah “diturunkan” dari detektif menjadi polisi lalu lintas. Di Indonesia, menjadi polantas
adalah idaman.

Menjadi jaksa juga sama. Butuh sejumlah uang untuk menjadi seorang jaksa, besarnhya
bervariasi antara 150 juta sampai 300 juta rupiah. Hal ini banyak diakui sejumlah alumni
fakultas hukum yang mencoba peruntungannya dalam seleksi CPNS Kejaksaan. Oknum jaksa
nakal beredar member tips dan nomor HP kepada para calon jaksa yang sementara mengikuti
seleksi, dengan menawarkan “bantuan” agar lulus.

Menjadi hakim? Ini butuh sekitar 500 juta rupiah.

WHAT…????!!! Setengah Milyar?????!!! Masya Allah……

Jadi, jangan heran jika uang jauh lebih berkuasa daripada hukum. Oknum Polisi, Jaksa dan
Hakim yang membeli kelulusannya tentu akan berusaha balik modal. Dengan cara apapun,
hutang harus dibayar. Ini terjadi karena dalam proses pendaftarannya, uang yang digunakan
untuk menyogok adalah hasil pinjaman yang harus dibayar, syukur-syukur kalau tidak
berbunga.

Sampai kapan ini akan menjadi cerita di Indonesia? Negeri yang konon katanya 85 %
penduduknya muslim, tapi kelakuannya sangat jahiliyah. Sepertinya pejabat Negara kita tidak
takut neraka, mungkin karena dampaknya tidak terlihat di dunia.

Untuk memberikan efek jera terhadap tindak pidana korupsi, harus dengan langkah radikal.
Kita membutuhkan tumbal. Hukuman maksimal harus dijalankan, yaitu hukuman mati. Jika
sudah ada koruptor yang dihukum mati, mudah-mudahan korupsi bisa berkurang. Lihat
contoh RRC yang berhasil meredam korupsi dengan hukuman mati.

Wallahu ‘alam…….

1 Comment »
Negeri Yang Aneh….
Posted in Uncategorized on Oktober 29, 2009 by zulfanhakim

Indonesia, sebuah negeri yang indah, membentang dari sabang sampai merauke, penuh
dengan keindahan alam dimana-mana, kolam susu kata Koes Ploes, batu dan kayu bisa jadi
tanaman, dan sejuta keindahan lainnya.

Tiap hari di televisi, kita dijejali informasi alangkah Inonesia ini negeri yang kaya, dengan
sumebr daya alam, tapi rakyatnya miskin dalam ketidak adilan.

Sebagai seorang warga Negara, saya ingin menyatakan keprihatinan saya tentang Indonesia
yang saya cintai dan saya banggakan.

Judul diatas, dengan ucapan ala Tora Sudiro; “negeri yang aneh….”

Ya, kalau mau jujur, mana ada Negara seperti Indonesia, utamanya soal hukum. Menanyakan
kapan hukum bisa tegak, sama saja dengan menegakkan benang basah. Kata almarhum
Asmuni “Hil yang Mustahal” meskipun bagi saya bukan hal yang mustahil jika seluruh
komponen bangsa terutama pemerintah dan para pembesarnya ingin melakukannya.

Justru disitu letak masalahnya.

Pejabat Negara berlomba memikirkan perut sendiri (para menteri yang baru dilantik belum
apa-apa sudah ingin menaikkan gajinya) Kejaksaan, dan Kepolisian saling jegal, KPK jadi
target kriminalisasi dan aneka perilaku aneh lainnya. Hukum jadi barang yang diabaikan
kalau tidak ingin disebut dimusuhi.

Saya punya kisah sederhana.

Suatu sore, saya mengendarai motor seperti biasa sepulang dari tempat kerja. Disebuah jalan
protokol yang lumayan padat, saya bertemu dengan sebuah mobil yang diatasnya terdapat
tulisan “Belajar”, demmikian pula di pintu dan bagian belakangnya. Seorang instruktur (pria)
mendampingi seorang siswa kursus mengemudi (wanita), yang saat itu mengemudi mobil
dengan sebelah tangan, tangan yang satunya memegang  ponsel.

Masya Allah………….

Separah itukah negeri kita? Bahkan sebuah lembaga kurus mengemudi mengajarkan hal yang
salah. Semua orang yang bisa membaca pasti paham jika menggunakan ponsel sambil
mengemudi itu sangat berbahaya. Bahkan dengan menggunakan perangkat bebas genggam
sekalipun, tetap berbahaya.

Lebih konyol lagi, banyak orang yang bukan sekadar bertelepon ria sambil mengemudi atau
mengendarai motor, tapi sambil SMS-an!!!

Ada apa dengan Indonesia ???

Orang bijak pernah berkata, kalau ingin mengetahui seberapa patuh suatu masyarakat kepada
hukum dan perundang-undangan, lihatlah kelakuan mereka di jalan raya.
Tingkah kita di jalan raya mencerminkan perbuatan dan tanggapan kita pada hukum.
Menyusul seenaknya, dari arah kiri maupun kanan, berbelok tanpa menyalakan lampu sein,
melanggar verbooden (katanya “toh polisi ngga ada”). Ogah memakai helm pengaman
dengan alasan “……dekat kok”, menggunakan trotoar, serta aneka pelanggaran lainnya yang
mencerminkan betapa tidak perdulinya kita dengan aturan.

Akhir-akhir ini muncul lagi fenomena gila. Anak muda yang mengendarai sepeda motor,
ogah menyalakan lampu depaan motornya, sekalipun malam hari, suasana gelap (seiring
pemadaman listrik) dan tetap dalam kecepatan tinggi, seolah mereka punya nyawa cadangan.

Ada apa dengan Indonesia?

Smoga ada yang bisa menjawab, yang jelas, kita tidak mungkin bertanya pada rumput yang
bergoyang….

wassalam

Anda mungkin juga menyukai