Pendahuluan
Demokrasi menjadi sebuah kata yang selau melekat dengan pengendalian kekuasaan
negara dan kehidupan politik. Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani Demos dan Cratein
yang berarti pemerintahan rakyat.1 Dalam perjalanan pemerintahan negara Indonesia,
demokrasi sering dijadikan slogan atau tameng bahkan legitimasi kekuasaan rezim yang
otoriter. Demokrasi kadang bersinar, tetapi tidak jarang tenggelam seperti yang dialami
praktik politik di Indonesia. Ada kalanya demokrasi terlalu bebas dan menitikberatkan pada
proses atau cara, melahirkan pemerintahan yang tidak stabil dan konflik di tengah-tengah
masyarakat. Namun, ada kalanya juga demokrasi dititikberatkan pada tujuan dengan
1
H. Sunoto, Filsafat Sosial Politik Pancasila (Yogyakarta: Andi Offset, 1987), hlm. 55-56.
melupakan demokrasi sebagai suatu proses atau cara, maka yang terjadi dalam real politik
adalah otoritarianisme yang sangat mencekam masyarakat.
Demokrasi memang tidak ada ubahnya dengan menggenggam seekor burung. Jika
burung itu terlalu kuat digengggam, maka demokrasi akan mati. Jika terlalu longgar dalam
genggaman, maka demokrasi itu akan lepas, bebas dan terbang tanpa kendali. Dengan
memahami prinsip-prinsip demokrasi, kiranya semakin banyak para praktisi politik dapat
memanfaatkannya dalam praktik politik menuju Indonesia yang demokratis dan sejahtera.
Akhir-akhir ini nilai demokrasi Indonesia mulai dibumbui dengan isu-isu dinasti
politik yang saat ini menjadi buah bibir sekaligus dilema di penghujung pemerintahan
Jokowi. Demokrasi tetaplah demokrasi seperti yang sudah dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat 2
UUD pascaamandemen ditentukan bahwa kedaulatan berada di tangan raky at yang
dilaksanakan menurut UUD. Dan pada Pasal 28 ditentukan hal yang mendasar bagi
demokrasi, yaitu tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan.2
Gibran Rakabuming Raka sebelumnya adalah Wali Kota Surakarta dan resmi
diumumkan sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang
diusung oleh Koalisi Indonesia Maju. Pengumuman ini menjadi puncak polemik seiring
dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil
presiden. Sorotan publik terkait menguatnya praktik dinasti politik tidak bisa dielakkan.
Peluang Gibran menjadi calon wakil presiden semakin terbuka setelah Mahkamah Konstitusi
membuka ruang kepala daerah maju di pemilihan presiden meski belum berusia 40 tahun. Ini
terjadi pada 16 Oktober 2023. Sejumlah pihak menyebutkan, keputusan Mahkamah
Konstitusi ini semestinya menjadi wilayah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan
DPR. Selain dinilai melampaui kewenangannya, MK juga dianggap tidak konsisten dengan
putusannya tersebut.
Syarat usia capres-cawapres itu diatur dalam Pasal 169 Huruf q di Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu menyebabkan antara lain usia
capres-cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah
2
Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia (Medan: Bina Media Perintis,
2008) hlm. 4.
atau penyelenggara negara. Reaksi publik semakin negatif karena putusan MK ini yang juga
tidak bisa dilepaskan dengan opini yang berkembang bahwa upaya uji materi tersebut
memang diperuntukkan guna memberi jalan politik bagi Gibran, putra sulung Presiden Joko
Widodo, untuk berlaga di pemilihan presiden. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas
pertengahan Oktober lalu juga menangkap ada kegelisahan publik seiring dengan putusan uji
materi MK terikat syariat usia bakal calon presiden dan wakil presiden tersebut. Apalagi, uji
materi ini sudah kuat diiringi dengan kepentingan memberi karpet merah kepada Gibran
untuk berlaga di Pilpres 2024.
Sebanyak 60,7 persen responden dalam jajak pendapat mengakui bahwa Langkah
Gibran Rakabuming Raka melaju dalam pemilihan presiden sebagai bakal calon presiden
yang diumumkan Prabowo pada Minggu, 22 Oktober 2023 adalah bentuk dari praktik politik
dinasti. Bagaimanapun, wacana soal politik dinasti masih dipandang negatif oleh publik.
Sebagian besar responden memandang politik dinasti ini cenderung lebih mengedepankan
kepentingan (politik) keluarga dibandingkan kepentingan Masyarakat. Tidak heran jika
kemudian separuh lebih responden dalam jajak pendapat ini menyatakan tidak setuju dengan
praktik politik dinasti ini.
Jika menurut rekam jejak pemerintahan dan keluarga Jokowi, peluang ini sebenarnya
sudah dimulai saat anaknya Gibran dan menantunya Bobby Nasution, berlaga di pemilihan
kepala daerah di Surakarta dan Kota Medan tahun 2020. Walaupun, kala itu belum terlalu
menonjol karena keduanya dipilih melalui kompetisi langsung meskipun di Pilkada Surakarta
lawan dari Gibran adalah pasangan calon dari jalur perseorangan yang dinilai banyak pihak
bukan lawan yang tangguh bagi Gibran.
Masyarakat bisa saja sibuk dengan polemik dinasti politik ini, namun keputusan tetap
di tangan masyarakat yang memegang kiblat sistem demokrasi Indonesia. Demokrasi tidak
hanya menjadi bagian dari lingkup negara atau pemerintah, sebagaimana cenderung
dianggap. Prinsip-prinsip demokratis ini relevan dengan pengambilan keputusan yang
kolektif.
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Adalah, Feri Amsari, saat dihubungi dari
Jakarta, mengatakan, dinasti politik adalah dinasti yang memberikan karpet merah pada
keluarga tertentu untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan politik. Persaingannya berbasis
kepada kepentingan keluarga tertentu yang menguasai atau mendominasi wilayah atau
kekuasaan tertentu. Ketika sistem pengisian jabatan berbasis keluarga, menurut Feri,
demokrasi menjadi kehilangan nilai. Hal ini karena konsep dinasti adalah konsep Kerajaan
yang menempatkan keluarga bangsawan dalam posisi-posisi yang signifikan. Proses ini
berjalan secara garis keturunan. Sebaliknya, persaingan dalam konsep demokrasi harus fair
atau adil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi kesempatan yang
sama untuk mengisi jabatan atau posisi signifikan.
Secara kelembagaan, lembaga demokrasi di negara kita secara prosedural sudah baik
karena sudah ada semua. Memang, menjadi disfungsi jika penempatan posisi orang-orangnya
atau dalam
Sistem politik adalah suatu tatanan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari
bagian-bagian yang berkaitan dengan yang lainnya secara teratur dan terencana untuk
mencapai tujuan politik yang baik untuk mengatur dan mengurus negara dan ilmu
ketatanegaraan. Maka dalam sistem politik ada dua hal pokok dalam sistem politik yaitu
kehidupan politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah. Dalam pertautan antara
kedua kehidupan politik ini, sistem politik suatu negara tergantung pada kondisi sosial
budaya masyarakat dan karakteristik pemerintah sebagai pemegang dan pelaksana kegiatan. 3
3
Ceppy Haicahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakart: Tiara Wacana, 1986), hlm. 112-113.
4
Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Telaah Filososfis (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm.27.
berketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia dan bersama-sama menjiwai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.5 Eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara
menghantar kita kepada pemahaman tentang konsep keterbukaan politik. Nilai-nilai yang
berhubungan dengan keterbukaan politik adalah nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai yang
terdapat dalam demokrasi meliputi: penyelesaian pertikaian secara damai dan sukarela,
pergantian penguasa secara teratur, keanekaragaman, keadilan dan kebebasan.6
Inti demokrasi politik adalah rakyat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan
politik karena mereka adalah pemegang kedaulatan. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat
memiliki hak yang harus dijamin dan dilindungi serta dihargai sebgaimana mestinya agar
partisipasi politiknya sungguh efektif.7
5
S.Pamuji MPA, Demokrasi Pancasila dan Ketuhanan Nasional (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm.16-
20.
6
Lambert D.Watun, Surip Stanislaus, Petrus J. Timorda Dim, Keterbukaan Politik dalam Demokrasi
Pancasila Tinjauan Etika Politi katas Kehidupan Demokrasi di Indonesia, dalam Prosiding Wawasan
Kebangsaan dan Nasionalisme, Yohanes Anjar Donobakti dan Surip Stanilaus (ed.), (Medan: Fakultas Filsafat
Universitas Santo Thomas, 2023), hlm. 129.
7
J. Soedjati Djiwandono, Setengah Abad Negara Pancasila (Jakarta: CSIS, 1995), hlm. 191.
DAFTAR PUSTAKA
Bangun, Zakaria, 2008. Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia. Medan: Bina
Media Perintis
Haicahyono, Ceppy, 1986. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Pamuji, S, 1982. Demokrasi Pancasila dan Ketuhanan Nasional. Jakarta: Bina Aksara.
Suseno, Magnis, 1995. Mencari Sosok Demokrasi: Telaah Filosofis. Jakarta: Gramedia.
Watun, Lambert D. Surip Stanislaus, Petrus J. Timorda Dim dalam Surip Stanislaus dan Yohanes
Anjar Donobakti (ed.), 2023. Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme. Medan: Fakultas