LARRY DIAMOND” Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Politik
Dosen pengampu :
Dr. Nasiwan, M.Si
Di susun oleh :
Farhani Riska Septia
18416244019
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2020 1. Level Demokrasi Menururt Prof. Schumpater dan Larry Diamond Demokrasi Substansial Secara substansial, demokrasi mengandaikan sebuah abstraksi yang sulit diterjemahkan dalam prakteknya. Misalnya tata aturan pemerintahan yang mengandaikan bahwa yang menggerakkan negara adalah masyarakat negara secara keseluruhan. Secara mekanisme seturut dengan demokrasi Yunani Kuno, masyarakat negara-kota dikumpulkan di sebuah lapangan besar untuk menampung seluruh masyarakat dalam acara musyawarah terkait kebijakan yang diambil bersama oleh pemerintah negara-kota. Semua masyarakat mempunyai hak suara terkecuali perempuan, budak dan anak-anak. Hal ini menegaskan bahwa unsur inklusifitas seluruh komponen masyarakat kecuali yang telah disebutkan dalam demokrasi merupakan harga mati. Melibatkan peran keseluruhan masyarakat dalam menentukan arah perjalanan negara, atau bagaimana sebuah kekuasaan tersebut dapat diakses oleh masyarakat secara umum untuk menentukan kebaikan bersama. Konsep di atas lambat laun akan sangat terasa abstrak sekali untuk bisa diwujudkan dalam praktek kehidupan politik kontemporer. Akhirnya, banyak yang mempertanyakan bagaimana prosedur kongkrit demokrasi substansial sehingga bisa mengimplementasikannya dengan baik. Demokrasi normatif Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idial hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut, biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara, misalnya dalam UUD 1945 naskah sebelum amandemen sebagai berikut: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnuya oleh MPR (Pasal 1 ayat 2). “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan UU” (Pasal 28). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat 2). Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 di atas merupakan definisi normatif dari demokrasi. Tetapi, kita juga harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari dalam suatu negara. Demokrasi Prosedural Pengertian demokrasi prosedural ala Joseph Schumpeter (2003) tidak bisa terlepas dari kritiknya terhadap para teoritisi demokrasi di era sebelumnya. Ia berangkat dari argumen tajam terhadap konsep semacam “will of all”, “common good” yang menjadi pijakan para ilmuwan politik klasik (era Yunani Klasik seperti Plato dan Aritotels hingga abad pencerahan seperti John Locke dan J.J. Rousseau) dalam mendefinisikan demokrasi. Schumpeter menawarkan sebuah definisi lain tentang demokrasi. Dia lebih menitikberatkan pemaknaan demokrasi dari segi metode atau prosedur bagaimana demokrasi dapat memunculkan orang yang dapat duduk di pemerintahan agar menjalankan kebijakan politik. Ia mengatakan, “the democratic method is that institutional arrangement for arriving at political decisions in which individuals acquire the power to decide by means of a competitive struggle for the people’s vote” (Ibid: 09). Metode demokrasi adalah bagaimana tatanan kelembagaan agar mencapai keputusan politik dimana individu-individu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetisi dalam memperoleh suara rakyat. Schumpeter menekankan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai proses atau prosedur bagaimana seseorang mengikuti kontestasi pemilihan umum untuk menduduki jabatan politik, serta dengan jabatan tersebut dia memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang mengikat. Definisi yang diberikan Schumpeter ini kemudian akrab dipahami sebagai “demokrasi prosedural”. Untuk mendukung definisinya tersebut, Schumpeter mengajukan beberapa dasar argumen (Ibid: 9-11). Diantaranya: dengan mendefinisikan demokrasi sebagai prosedur mendapatkan kekuasaan melalui pemilihan umum, maka secara tegas sistem pemerintahan demokrasi akan berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan yang lain, misalnya monarkhi atau kerajaan. Dalam sistem pemerintahan monarkhi, siapa yang akan menduduki kekuasaan politik berdasarkan pada garis keturunan dari penguasa sebelumnya. Di sisi lain, demokrasi sangat berbeda karena anak raja atau anak presiden tidak otomatis bisa menggantikan posisi anaknya, namun dia harus melewati mekanisme pemilihan umum, baik pemilihan umum itu melalui pemilihan langsung atau melalui perwakilan di parlemen. Alasan lainnya, dalam pemahaman demokrasi klasik, kepemimpinan bukan hal yang penting untuk dibahas dalam bekerjanya sistem demokrasi. Seakan-akan siapa pun yang bakal menjadi penguasa bersifat pasif dan hanya akan menjalankan arahan dari dorongan mewujudkan “kebaikan bersama” atau “kehendak umum”. Padahal, kepemimpinan politik menjadi faktor yang menentukan bagaimana arah kebijakan politik itu akan keluar. Bahkan, sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, secara praktik, jangan-jangan sebagaimana yang berulang telah disebutkan yang dimaksud dengan “kebaikan bersama” sebenarnya tidak lebih dari keputusan politik yang dikeluarkan oleh pemimpin politik. Schumpeter juga mengakui bahwa definisi demokrasi yang ia ajukan tidak lebih dari sekedar pemaknaan atas persaingan atau kompetisi antar para pemimpin. Bagi dia, kehidupan politik tidak akan lepas dari proses kompetisi dalam menggalang dukungan melalui pemilihan umum. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi prosedural yang berisi kompetisi antar para pemimpin tersebut harus berlangsung secara bebas. Artinya, bebas dalam berkompetisi (tidak boleh ada yang melarang individu untuk mengajukan dirinya) dan bebas memilih (bagi warga negara).
2. Negara Indonesia Jika Menggunakan Level Demokrasi Menururt Prof. Schumpater
dan Larry Diamond Indonesia jika menggunakan level demokrasi menurut Prof. Schumpater dan Larry Diamond lebih tepat menggunakan demokrasi normatif. Hal ini dikarenakan secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idial hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut, biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara. Di Indonesia sendiri contohnya adalah UUD 1945 naskah sebelum amandemen sebagai berikut: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnuya oleh MPR (Pasal 1 ayat 2). “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan UU” (Pasal 28). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat 2). Kutipan pasal-pasal dan ayat- ayat UUD 1945 tersebut merupakan definisi normatif dari demokrasi. Jadi demokrasi di suatu negara harus diselenggarakan berdasarkan suara rakyat. Seperti dalam ungkapan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Pemerintahan bersumber dari rakyat dan hasilnya pun juga akan kembali lagi untuk rakat. Negara dapat menjamin kemerdekaan bagi rakyatnya, contohnya kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing serta beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Selain itu negara juga menjamin kemerdekaan rakyat untuk berserikat dan berkumpul, mengelurkan pikiran baik secara lisan maupun tulisan yang semua itu telah diatur di dalam Undang-undang. DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/User/Downloads/745-2338-1-PB.pdf (diakses pada 4 April 2020)
Dwi, Dian. 2019. Pengertian Demokrasi Prosedural Menurut Joseph Schumpater. Diakses dari (pada 4 April 2020) http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Sunarso,%20M.Si./Konsep %20&%20Implement%20Demok%20Indo.pdf (diakses pada 5 April 2020)