Anda di halaman 1dari 4

Korupsi Dan Nasib Demokrasi Indonesia

Disadur dari Beberapa Sumber

Oleh Cep Ahmad Muhtar

Diantara faktor lahirnya demokrasi adalah, karena rakyat muak dengan teokrasi dan juga
aristokrasi, sebuah sistem politik-pemerintahan yang diatur oleh sekelompok elite aristokrat. Secara
teoretik, demokrasi memberi ruang seluas-luasnya kepada rakyat untuk eksis dan ikut berpartisipasi
mengelola negara dan pemerintahan yang dalam sistem monarki maupun teokrasi peran mereka
diabaikan.

sistem demokrasi sebenarnya adalah momentum yang sangat baik bagi rakyat untuk menentukan
kemakmuran dan keadilan,

tapi sayang Banyak para elite politik yang menjadikan demokrasi hanya sebatas cara, strategi, taktik
atau "kendaraan” untuk menggapai kekuasaan dan mengeruk keuntungan material belaka. Maka
ketika kekuasaan itu berhasil mereka genggam, mereka tidak lagi memikirkan rakyat yang
memilihnya.

Lahirnya KPK adalah harapan terwujudnya demokrasi menuju masyarakat Adil makmur sejahtera,
namun faktanya KORUPSI merajalela.

Di zaman pemerintahan Presiden Soekarno pun yang memerintah sejak tahun 1945 hingga tahun
1966 sudah menjadi masalah. Puncaknya adalah di zaman kekuasaan Presiden Soeharto yang
memerintah dari tahun 1966 selama 32 tahun hingga tahun 1998. Presiden Soeharto akhirnya
"dipaksa" turun oleh gerakan reformasi yang dimotori ratusan ribu mahasiswa yang menduduki
Gedung DPR/MPRtahun 1998.

Tepatnya Setelah 53 tahun merdeka yakni setelah era reformasilah sesungguhnya upaya
pemberantasan korupsi menunjukkan hasilnya. Perarturan perundang-undangan tentang korupsi
dikeluarkan yang dikenal dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lembaga pemberantasan korupsi pun dibentuk yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, di zaman pemeirntahan Soekarno sudah ada.


Tahun 1958 muncul Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan
Pemberantasan Korupsi. Kemudian, Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Demikian juga di zaman Pemerintahan Soeharto ada Undang-Undnag Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun masyarakat tahu bahwa aturan itu hanya diterapkan
terhadap orang-orang tertentu saja. Para pejabat seperti Menteri, gubernur dan bupati/walikota
tidak tersentuh oleh peraturan itu.
Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) diisi oleh para pemikir reformis, maka
UU No. 3 Tahun 1971 diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diperbaiki lagi melalui Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan undang-undang baru di zaman reformasi inilah masyarakat bisa melihat bahwa pejabat
publik tidak bisa lagi melakukan korupsi dan berlindung di bawah peraturan yang ada.

Namun kendatipun demikian ternyata Nasib demokrasi semakin terpuruk dan rusak , karena
faktanya demokrasi dicederai oleh maraknya tindak pidana korupsi, yang akhirnya melahirkan
Distrust/hilangnya kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintah.

Ini adalah realita yang terjadi saat ini, banyak tuduhan dan praduga bahwa demokrasilah yang
menjadi biang terjadinya korupsi dinegara ini, padahal sejak negara ini lahir, aturan yang mengarah
pada upaya pencegahan tindak pidana korupsi sudah ada.

Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan korupsi,
diantaranya sebagai berikut;

Faktor Penyebab Korupsi Yang Mencederai Demokrasi

1. Besarnya uang yang harus dikeluarkan kandidat saat pelaksanaan pemilu “memaksa”
kandidat untuk melakukan korupsi begitu terpilih.
2. Pembiayaan partai politik (parpol) yang tidak transparan
3. Lemahnya integritas para pejabat.
4. Money Politik Fragmatisme menjadikan rakyat ketagihan
5. Menjadikan demokrasi hanya sebatas sebagai "kendaraan”, maka tak jarang para elite politik
menggunakan berbagai macam cara kotor untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan
6. Banyak juga orang yang memilih calon tertentu bukan karena uang atau kualitas tetapi lebih
pada karena solidaritas atau sentimen kelompok, keagamaan, etnisitas, partai, ormas, dan
sebagainya
7. Banyak kaum elite menjadikan demokrasi hanya sebatas "lipstik” atau "gincu” saja bukan
"roh” atau "spirit” kekuasaan.

Demokrasi di zaman Orde Baru adalah contoh dari apa yang disebut "pseudo-demokrasi”,
yakni "demokrasi pura-pura” atau "pura-pura demokrasi”. Berbagai sarana demokrasi dibuat
(parpol, parlemen, pemilu, dan sebagainya) untuk "menyuarakan aspirasi rakyat” tetapi
semua itu hanyalah omong kosong dan tipu muslihat belaka karena yang mengendalikan,
mengontrol, dan memimpin kekuasaan pada hakikatnya bukanlah rakyat melainkan
penguasa.

Partai politik pasca Reformasi adalah harapan untuk menjadi solusi dalam mewujudkan
demokrasi di indonesia
Setelah dipilihnya B.J. Habibie menjadi presiden dicabutlah peraturan pembatasan partai.
Melalui adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, pada pertengahan Oktober 1998
sudah tercatat sebanyak 80 partai politik dibentuk. Pada masa selanjutnya tercatat terdapat
48 partai yang diperbolehkan ikut dalam pemilihan umum.

Yang mrnjadi alasan karena pada masa Orde Baru wadah penyaluran aspirasi rakyat sangat
dibatasi.

Banyak peraturan yang dibentuk untuk membatasi aspirasi rakyat dengan dalih demi
menjaga kestabilan negara salah satunya adalah kebijakan pembatasan partai.

Setelah Pemilu 1979, terjadi penyusutan jumlah partai politik, yaitu menjadi dua partai
politik dan satu Golongan Karya (Golkar). Dua partai politik tersebut adalah Partai Persatuan
Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.

Pada masa Orde Baru, Golkar selalu memenangkan pemilu. Dua partai lainnya hanya berdiri
untuk menunjukkan citra bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Harus diakui bahwa
ketika beberapa elemen kritis dinegeri ini mendorong terjadinya reformasi untuk demokrasi,
tidak banyak dari mereka yang membayangkan bahwaperubahan ini akan membawa akibat
yang sangat penting pada peran partai politik.

wacana dominan tentang “reformasi” yang merupakan fenomena elektrik di sepanjang akhir
1997 dan sepanjang 1998 itu pada umumnya mengasumsikan masalah terpokok bagi sebuah
perubahan di Indonesia terdapat pada negara (state) dan bukan masyarakat (civil society).
Kekuasaan yang korup, sentralistis, dan abai terhadap hak-hak sipil dan politik rakyat.

Parpol memainkan peran khusus yang tak dapat digantikan oleh organisasi lainnya.
Peranpenting ini mendudukkan parpol di posisi pusat (‘political centrality’).

Posisi pusat ini memiliki dua dimensi:

1. Setelah berhasil mengagregasikan berbagai kepentingan dan nilai yang ada dalam
masyarakat, parpol kemudian mentransformasikannya* menjadi sebuah agenda yang
dapat dijadikan platform* pemilu. Diharapkan platform tersebut mampu menarik
banyak suara dari rakyat sehingga parpol akan mendapatkan banyak kursi di parlemen*.
Selanjutnya parpol harus mampu mem-pengaruhi proses politik dalam legislasi* dan
impleinentasi* program kebijakan publik itu.
2. . Parpol adalah satu-satunya pihak yang dapat menerjemahkan kepentingan dan nilai
masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat. Hal ini dapat mereka
lakukan setelah mereka mendapatkan posisi yang kuat dalam parlemen daerah maupun
nasional.

Di antara banyak fungsi demokratisasi oleh parpol, ada lima yang sangat penting:
1. Mengagregasikan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dan berbagai kalangan
masyarakat.
2. Menjajaki, membuat, dan memperkenalkan kepada
masyarakat platform pemilihan umum parpol mereka.
3. Mengatur proses pembentukan kehendak politis (‘political will’) dengan menawarkan
alternatif-alternatif
kebijakan yang lebih terstruktur.
4. Merekrut, mendidik, dan mengawasi staf yang kompeten untuk kantor publik mereka
dan untuk menduduki
kursi di parlemen.
5. Memasyarakatkan, mendidik, serta menawarkan kepada anggota-anggotanya saluran
mana yang efektif bagi partisipasi* politik mereka sepanjang masa antarpernilu

Anda mungkin juga menyukai