1. Analisis Kasus yg menjadi Judul pada jurnal yg saya pilih
Dari Jurnal yg berjudul 'Wanprestasi dalam Perjanjian Jual Beli Kios (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Kupang dengan Nomor Perkara 18/Pdt.G/2016/PN.KPG), yg saya tarik sebagai Objek Journal Review, dimana Penggugat yg bernama Pak Langsang dan Ibu Dorce Ndoen Selaku tergugat telah sama-sama menyepakati dan menandatangani surat perjanjian jual beli kios yg didalamnya termasuk 1 unit depot air minum, dua buah lemari es, 6 buah etalase serta barang-barang yg nilai keseluruhannya sebesar Rp. 125.000.000 tertanggal 21 April 2015.dimana kedua belah pihak telah dinyatakan sepakat saling mengikatkan dirinya, cakap membuat suatu perjanjian, dan ada objek nya dan tentunya tidak melanggar UU yg sebagaimana telah tertuang di dalam pasal 1320KUHperdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian.Kemudian, pada bulan April 2015, Penggugat melakukan penyerahan kios kepada tergugat, yg setelahnya ditandatanganinya surat perjanjian jual beli sesuai akta dibawah tangan, dimana berisi tergugat akan mentransfer sejumlah uang Rp 100.000.000 sebagai tahap pertama dan sisanya Rp. 25.000.000 akan dibayar kemudian. Setelahnya, Tergugat ternyata hanya membayar Panjar sebesar Rp. 27.000.000 dan berjanji untuk membayar sisa panjar pada tanggal 5 Desember 2015. Disini kita harus tau terlebih dahulu jual beli dalam perspektif pasal 1458 KUhperdata dimana 'jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang tersebut belum di serahkan maupun harganya belum dibayar'. Tentunya, penggugat dan tergugar sudah melewati fase perjanjian yg sah. Namun, Tergugat ingkar atas perjanjiannya, dan pada saat Penggugat mendatangi tergugat untuk menagih sisa panjar, tergugat malah mengusir penggugat dengan meminta kembali uang yg telah di bayarnya dan menyuruh penggugat mengangkat kembali barang-barang dagangannya. Namun, untuk mengetahui apakah seorang itu dapat dikatakan telah melakukan pengikaran perjanjian atau yg biasa kita kenal dengan wanprestasi yg klasifikasinya yakni tidak melakukan prestasi yg telah disanggupi nya, melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana yg di janjikan, melaksanakan prestasi tetapi tidak tepat waktu, melaksanakan sesuatu yg menurut perjanjian tidak diperbolehkan. Nah, ketika kita tarik dari kasus diatas, maka tergugat dapat dikategorikan telah melaksanakan perjanjian tetapi tidak sebagaimana yg dijanjikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pembayaran uang panjar sebesar Rp. 27.000.000 yg dilaksanakan tergugat kepada penggugat, kemudian tergugat berjanji akan membayar sisa uang pembelian kios pada tanggal 5 Desember 2015, namun janji tersebut tidak dilaksanakan sampai gugatan penggugat diajukan ke pengadilan negeri kupang. Adanya pembayaran yg dilakukan oleh tergugat, membuktikan bahwa tergugat telah melaksanakan perjanjian tersebut akan tetapi tidak sesuai dengan apa yg diperjanjikan sebelumnya, karena tidak membayar sisa uang pembelian kios pada waktu yg telah di sepakati. Akibat hukum yg dilakukan Ibu Dorce Ndoen selaku tergugat kepada bapak Langsang selaku penggugat yaitu dalam bentuk membayar uang sisa pembayaran jual beli kios beserta isi dagangannya sebesar Rp. 80.500.000 dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 571.000. Karna dengan adanya perjanjian itu menyebabkan adanya akibat hukum serta hak dan kewajiban kedua belah pihak, seperti yg tertera dalam pasal 1338 Kuhperdata yg menegaskan 'Perjanjian yg dibuat oleh kedua belah pihak mengakibatkan perjanjian tersebut secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi keduanya' 2. Analisis Teori Pembuktian Subjektif dari kasus ini : Teori pembuktian subjektif dalam kasus wanprestasi ini adalah teori yang menyatakan bahwa pihak yang menuntut harus membuktikan bahwa pihak yang diadukan telah melakukan pelanggaran kontrak dengan sengaja atau secara tidak sengaja. Dalam teori ini, beban pembuktian ada pada pihak yang menuntut untuk menunjukkan bahwa pihak yang diadukan telah melakukan tindakan yang melanggar kontrak dengan maksud atau kesalahan, hal tersebut dapat ditarik dari pasal 1865 BW yg menyatakan 'Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut'. Dalam konteks wanprestasi, pelanggaran kontrak adalah tindakan yang melanggar ketentuan kontrak dan dapat memicu gugatan hukum oleh pihak yang dirugikan. Namun, untuk membuktikan bahwa pelanggaran tersebut terjadi, pihak yang menuntut harus membuktikan bahwa pihak yang diadukan telah melakukan pelanggaran secara sengaja atau tidak sengaja. Hal ini dapat dibuktikan oleh Bapak langsang selaku penggugat sudah memiliki Bukti P-1 berupa akta dibawah tangan yaitu perjanjian jual beli yg disahkan dihadapan notaris. Kemudian adanya bukti P-2 berupa surat keterangan yg ditandatangani oleh Tergugat pada tanggal 21 November 2015 bahwa tergugat melakukan pembayaran sebesar Rp. 27.000.000 dan sisanya sebesar Rp. 98.000.000 akan dibayar pada tanggal 5 Desember 2015. Dimana bukti P-2 ini telah Cocokan dengan bukti T-8 berupa fotokopi kwitansi pembayaran sebuah kios dengan seisinya yg dijadikan bukti bahwa adanya pembayaran oleh tergugat. Namun, adapun bantahan dari tergugat dalam posita jawabannya dengan tidak didukung oleh bukti-bukti hukum berupa dokumen/surat atau keterangan dari saksi yg di otomatisasi oleh hakim dengan fakta notoir yg tidak perlu di buktikan lagi oleh penggugat bahwa benar tidak adanya pembayaran kepada penggugat sesuai isi kesepakatan yg diperjanjikan yg tertanggal 21 april 2015 silam, dan hakim berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya menganggap hal itu sebagai suatu wanprestasi dengan mengingkari perjanjian yg telah disepakati yg mengakibatkan kerugian bagi penggugat. Dan penggugat tidak perlu lagi membuktikan semuanya karna didasarkan pada bukti-bukti yg telah di ajukan dan didukung dengan segala fakta-fakta persidangan.
3. Analisis Teori Pembuktian objektif dari kasus ini :
Teori pembuktian objektif dalam kasus wanprestasi ini menyatakan bahwa jika suatu kewajiban tidak terpenuhi, maka itu dianggap sebagai wanprestasi tanpa harus mempertimbangkan apakah pelanggaran tersebut disengaja atau tidak. Dalam hal ini, pembuktian kesalahan atau kelalaian tidak diperlukan untuk membuktikan bahwa sudah terjadi adanya wanprestasi Sesuai dengan apa yang dimaksud dalam pasal 1320 Kuhperdata. Dalam konteks hukum kontrak, wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak. Teori pembuktian objektif menyatakan bahwa jika suatu kewajiban tidak terpenuhi, maka pihak yang tidak memenuhi kewajiban tersebut akan dianggap melakukan wanprestas dimana dalam peristiwa ini hukum objektif sudah dapat ditemukan yaitu Perjanjian jual beli ( akta dibawah tangan yang sudah disahkan di hadapan notaris) dengan hal itu perjanjian jual beli itu menjadi undang-undang bagi pihak yang terikat didalamnya, disini dapat dibuktikan dari ibu dorce Ndoen selaku tergugat telah melakukan pengingkaran janji jual-beli sebuah kios dan seisinya yg dapat di lihat dari tanggung jawabnya selaku pembeli untuk melakukan pembayaran yg telah disepakati bersama penggugat tidak ditunaikan dan dengan sikap yg ditunjukkan Tergugat yg tidak melaksanakan sebuah prestasi secara keseluruhan sedangkan tempo waktu sudah lewat, maka hal itu membuktikan bahwa tergugat sudah melakukan wanprestasi. Dengan tidak mempertimbangkan tergugat mungkin memiliki alasan yang sah untuk tidak memenuhi kewajiban tersebut.