Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MATA KULIAH HUKUM KOMUNIKASI

NEGARA HUKUM DEMOKRASI DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT

Dosen Pengampu

I.N. Winata, M.I.Kom

Disusun oleh: Setyo Budi Pratiwi G.311.11.0030

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS SEMARANG

2014
A. Pendahuluan
Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme
kekuasan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi
tersebut saling berkaitan antara satu sama lain tidak dapat dipisahkan, karena
pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan
berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain
negara hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu
negara bukanlah manusia, tetapi hukum. Prinsip demokrasi atau kedaulatan
rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan
dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.
Sedangkan dalam negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum
harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang
berpuncak pada konstitusi.
Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Suatu identifikasi
"kedaulatan rakyat" dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin
sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem
lain di dalam sebuah masyarakat kompleks, sehingga konsep kedaulatan
rakyat harus ditafsirkan secara baru. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat
adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi" tentang persoalan-persoalan
publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif,
dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar
dalam kehidupan bernegara. Sistem demokrasi, baik dalam sistem demokrasi
langsung maupun demokrasi perwakilan, adanya kebebasan tertentu bagi
rakyat merupakan persyaratan mutlak bagi berlangsungnya sistem.
Kebebasan merupakan persyaratan mutlak agar rakyat dapat memainkan
perannya yang terbaik dalam sistem demokrasi. Paska reformasi bangsa
Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum yang melindungi setiap
warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat,
menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini dilindungi
peraturan perundang-undangan di Indonesia baik didalam batang tubuh UUD
1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan
hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada
keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat, untuk itu kebebasan pers,
hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi
harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.
B. Pembahasan
Suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi yang
merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial
tertinggi. Oleh karena itu, hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk
kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena
hukum tidak dimaksudkan hanya untuk menjamin kepentingan beberapa
orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua
orang sehingga negara hukum yang dikembangkan bukan absolute
rechtsstaat, tetapi democratische rechtsstaat.
Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-
kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan
kehendak bersama secara diskursif (Prakosa, 2008). Konsep ruang publik
politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar
konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era globalisasi
ini. Partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita
menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten
digunakan. Seluruh partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang
yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan
mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung
jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri
mereka, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari
represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa
konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang
publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan".
Negara Orde Baru adalah sebuah sistem administrasi otoriter yang
merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan publik
semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale. Negara Orde
Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan
legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah
sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan
rakyat menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan
reformasi.
Negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai
sistem alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat.
Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Kedua,
ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi
nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi
di lain pihak. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang
manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan
berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik.
Jika publik cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara argumen-argumen
dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang kemudian mendapat
kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma
argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada
kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan mendapatkan
mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu
sendiri.
Kebebasan pers dalam ruang publik politik, ruang publik di media
massa berarti membicarakan otoritas individu atau warganegara sebagai
pengguna dan pemanfaat media yang memiliki otonomi, sehingga dalam
ruang publik tersebut setiap anggota masyarakat dari berbagai latar belakang
yang berbeda sebagai warganegara yang posisinya setara (memiliki hak dan
kebebasan yang sama) melakukan diskursus tanpa mengalami kendala
struktural. Media massa dalam konteks ini memiliki fungsi memasok dan
menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan
memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya
sebagai wadah independen di mana isu-isu permasalahan umum dapat
diperdebatkan. Media massa memiliki faktor yang sangat determinan dalam
sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, di mana sejak jaman kolonial
hingga pasca orde baru, media memainkan peranan yang signifikan dalam
pergeseran- pergeseran sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi.
Habermas mengatakan bahwa pemanfaatan Public sphere di bidang
politik secara optimal ditandai dengan adanya kondisi demokratis dalam skala
yang luas yang ditandai dengan berfungsinya public sphere, yaitu ruang yang
mempertemukan kehidupan politis dan sosial, di luar alat-alat/lembaga-
lembaga negara yang formal, yang terdiri atas warganegara yang terlibat
dalam debat-debat publik yang penting (Kadarsih, 2008).
Pasca tahun 1999 lalu, atau tepatnya paska kelahiran UU no 40 tahun
1999 tentang pers, pers Indonesia menerima kado yang sangat didamba
selama ini yaitu kebebasan berpendapat. Ironisnya praktik kebebasan pers,
justru membuka peluang bagi kalangan pebisnis mengeksploitasi pornografi,
kekerasan dan mistik. Pebisnis melahirkan media baru cenderung berorientasi
pada keuntungan finansial dan mengabaikan fungsi ideal pers sebagai sarana
komunikasi yang sehat. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan
berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar atau
media. Fenomena euphoria kebebasan berdampak pada kualitas pelaksanaan
kebebasan pers. Diskursus mengenai bagaimana pers Indonesia berkembang
pesat pasca 1999 tentu tidak akan jauh dari realita lapangan akan ‘ledakan’
kuantitas perusahaan pers. Hal ini tak dapat dipungkiri lagi merupakan imbas
dari kebebasan berpolitik yang diberikan oleh pemerintah. Dimana kebebasan
berpolitik, termasuk pula kebebasan pers, merupakan modal ideal dalam
rangka tumbuh kembangnya budaya demokrasi di negeri ini. Menurut Heru
Sutadi dengan melihat realita sosial di lapangan bahwa dari empat fungsi pers
yang ada, yaitu fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan
ekonomi, hanya fungsi kontrol sosial yang berkembang secara proporsional,
sedangkan yang lainnya amat timpang atau bahkan tidak berkembang sama
sekali (Yulianto, 2013). Maka, istilah kebebasan pers yang kebablasan dapat
dipertanggungjawabkan adanya.
C. Kesimpulan
Pentingnya kebebasan didalam menentukan berlangsungnya sistem
demokrasi, oleh para ahli ketatanegaraan pendukung demokrasi, kebebasan
disebut sebagai pilar demokrasi. Ukuran batas kebebasan ini, diungkapkan
oleh John F. Kennedy: “Hak setiap orang berkurang ketika hak orang lain
terancam.” (Cummings and Wise dalam Wahono, 2013). Artinya, suatu
kebebasan sudah dapat dibatasi jika karena kebebasan tersebut ada
kemungkinan dapat mengancam kebebasan orang lain.
Begitu pula dalam kebebasan berpendapat dimana dalam hal ini
adalah pres. Setelah halangan struktural kebebasan pers berhasil disingkirkan,
maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi
masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh
bebas. Kebebasan pers adalah sesuatu hal yang didamba semua pihak.
Namun, mau tak mau kebebasan tersebut tetap harus berjalan pada koridor
yang bertanggungjawab. Meski tak bertanggungjawab kepada negara, pers
memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada publik. Publik harus
dilayani sebaik mungkin secara seimbang dan proporsional.
D. Daftar Pustaka
Adi Prakosa. 2008. Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat (SKI 4).
Diunduh pada 19 Oktober 2014 pukul 18.00 WIB pada
http://adiprakosa.blogspot.com/2008/03/demokrasi-kebebasan-
berpendapat-ski-4.html
Andrian Eka Yulianto. 2013. Pers dalam Kebebasan Berpendapat. Diunduh
pada 20 Oktober 2010 pukul 02.00 WIB
http://andrianekayulianto.blogspot.com/2013/09/pers-dalam-
kebebasan-berpendapat.html
Hadi Wahono. 2013. Kebebasan sebagai Pilar Demokrasi. Diunduh pada 19
Okteber 2014 pukul 18.00 WIB pada
http://hadiwahono.blogspot.com/2013/05/kebebasan-sebagai-pilar-
demokrasi.html
Ristiana Kadarsih. 2008. Demokrasi dalam Ruang Publik: Sebuah Pemikiran
Ulang untuk Media Massa di Indonesia. Jurnal Dakwah.

Anda mungkin juga menyukai