Anda di halaman 1dari 17

PENANGKAPAN DAN PENAHANAN DALAM HUKUM

POSITIF INDONESIA
MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Hukum Acara Pidana

Dosen Pengampu : Dr. Suharto, Drs.,SH.,M.Hum

Disusun oleh :

Kelompok 5 (Semester 5B)

1. Ananda Liony Putra (1811111005)


2. Yurike Andam Sari (1811111061)
3. Devi Nila Sari (1811111140)
4. Mita Ustadziyah (1811111007)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA

SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Pe nangkapan
dan Penahanan dalam Hukum Positif Indonesia” dalam mata kuliah Hukum Acara
Pidana
Makalah ini disusun untuk mengembangkan kemampuan  pemahaman
pembaca terhadap Hukum Acara Pidana. Pemahaman tersebut dapat dipahami
melalui pendahuluan, pembahasan masalah, serta penarikkan garis kesimpulan dalam
makalah ini.
Makalah ini disajikan dalam konsep dan bahasa yang sederhana sehingga
dapat membantu pembaca dalam memahami makalah ini. Dengan makalah ini,
diharapkan kita dapat memahami mengenai peraturan penangkapan dan penahanan.
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Dosen Dr. Suharto,Drs.,SH.,M,Hum yang
telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah dalam mata
kuliah Hukum Acara Pidana.
Kami menyadari bahwa di dalam karya tulis ini masih banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan karena keterbatasan data dan pengetahuan penulis serta waktu
yang ada pada saat ini, dengan rendah hati penulis mengharap kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan karya tulis yang kami kerjakan ini.Terlepas dari itu
semua, ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
karya tulis ini. Akhir kata penulis berharap karya tulis yang sederhana ini dapat
membawa manfaat besar bagi pembacanya.

Sidoarjo, 06 Oktober 2020

Kelompok 5B
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... I
Daftar Isi .......................................................................................................II
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................1
Bab II Pembahasan
A. Penangkpan.....................................................................................…2
B. Penahanan...........................................................................................6
Bab III Kesimpulan.......................................................................................12
Daftar Pustaka...............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang
demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan
semata-mata. Maka dari itu, Indonesia membutuhkan yang namanya sebuah hukum
yang hidup atau yang berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana
yang tentram dan teratur bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu,
hukum tersebut juga butuh ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap
warga Negara.
Hukum Acara Pidana merupakan keseluruhan aturan hukum yang mengatur
bagaimana negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan
wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pelaku tindak pidana. Didalam
KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur
tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang
dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.
Pemaparan diatas sangat menarik dan melatar belakanngi penulis untuk
membahas mengenai penangkapan yang dilakukan oleh petugas terhadap tersangka
pelaku tindak pidana.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ruang lingkup penangkapan di dalam hukum positif
Indonesia?
2. Bagaimana ruang lingkup penahanan di dalam hukum positif
Indonesia?
BAB II

PEMBAHASAN
A. Penangkapan
a. Pengertian Penangkapan
Penangkapan menurut ketentuan pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan
bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang di
atur dalam Undang-undang ini. Menurut pasal 17 KUHAP ditentukan
bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.
Apabila perumusan pasal 1 butir 20 dan pasal 17 tersebut dibaca
secara cermat akan nampak adanya hal-hal yang membingungkan dan
menimlkan kekaburan. Karena dalam pasal 1 butir 20 dinyatakan
bahwa penangkapan adalah tindakan penyidik terhadap tersangka atau
terdakwa guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan berdasarkan “buti yang cukup’ . sedangkan menurut pasal 17
tindakan (perintah) penangkapan dilakukan terhadap seseorang (tidak
tersurat sebagai tersangka atau terdakwa) yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”.
Jadi kalau menurut pasal 1 butir 20 tindakan penangkapan di dasarkan
pada bukti yang cukup sedangkan menurut pasal 17 tindakan
penangkapan di dasarkan pada butki permulaan yang cukup. Meskipun
menggunakan istilah yang sama yaitu penagkapan namun dalam
penerapannya mengandung pengertian yang berbeda. Penangkapan
berdasarkan pasal 17 KUHAP hanya berlaku untuk penangkapan guna
kepentingan penyidikan sedangkan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP
selain untuk kepentingan penyidikan juga untuk penuntutan dan
peradilan. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengertian
bukti dan bukti permulaan, maka terlebih dahulu maka perlu dipahami
apa yang dimaksud dengan buikti dana barang bukti serta buikti
permulaan. Hal ini sangat penting karena dalan praktek hukum sering
kali timbul kerancuan dan kekaburan pengertian dikalangan aparat
penegak hukum dan praktisi

b. Proses dan Syarat Penangkapan


Untuk mencegah terjadinya tindakan secara sewenang-wenang
terhadap tersangka atau terdakwa, maka pelaksanaan penangkapan
harus dilakukan sesuai dengan persyaratan/ ketentuan yang diatur
KUHAP, yaitu sebagai berikut:
a) Tindakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan
penuntutan/peradilan (pasal 1 butir 20)
b) Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras
melakukan tindak pidana, baru dilakukan apabila penyidik telah
memiliki alat bukti permulaan yang cukup; (pasal 1 butir 20 JO 17
KUHAP)
c) Pelaksanaan penangkapan dilakukan dengan surat perintah
penangkapan (model serse:A-5) yang ditanda tangani oleh kepala
kesatuan/Instansi (KAPOLWIL, KAPOLRES atau KAPOLSEK)
selaku penyidik [pasal 1 butir 60 JO 16 ayat (2)]; Apabila yang
melaksanakan penangkapan adalah penyidik/penyidik membantu,
maka petugasnya cukup memberikan satu lembar kepada
tersangka dan satu lembar kepada keluarga yang disangka
ditangkap (pasal 18)
d) Surat perintah penangkapan berisi:
1. Pertimbangan dan dasar hukum tindakan penangkapan
2. Nama-nam petugas, pangkat, Nrp, jabatan
3. Identitas penangkapan yang tidak ditangkap (ditulis
secara jelas atau lengkap
4. Uraian singkat tentang tindak pidana yang
dipersangkakan
5. Tempat atau kantor dimana tersangka akan diperiksa
(pasal 18 ayat 1)
6. Jangka waktu berlakunya Surat Perintah penangkapan.
7. Selain untuk kepentingan penyidikan, Penyidik atau
Penyedik pembantu berwenang melakukan tindakan
penangkapan terhadap tersangka atau terdakwa atas
permintaan PU untuk kepentingan penuntutan, atau atas
permintaan Hakim untuk kepentingan peradilan atau
atas permintaan instansi atau penyidik lain atau Interpol
(pasal 7 ayat 1 huruf j Jo pasal 1 butir 20 KUHAP)
8. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran, meskipun tidak
dapat ditangkap akan tetapi apabila sudah dipanggil
secara sah dua kali berturut-turut tidak mau memenuhi
panggilan tanpa alasan yang sah, dapat ditanggap oleh
Penyidik (pasal 19 ayat 2 KUHAP)
c. Mengapa penangkapan dilakukan
P
enangkapan dilakukan antara lain guna mendapatkan waktu yang
cukup untuk mendapatkan informasi yang akurat. Seseorang ditangkap
apabila diduga keras melakukan tindak pidana dan ada dugaan kuat
yang didasarkan pada permulaan bukti yang cukup. Hal ini
menunjukkan perintah penangkapan tidak tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang.1 Ketentuan mengenai penangkapan dalam
KUHAP amat berbeda dengan ketentuan dalam HIR, dahulu
penangkapan dilakukan tanpa adanya bukti sehingga tidak terdapat
kepastian hukum.2
d. Siapa yang berhak melakukan penangkapan
Petugas yang berwenang melakukan penangkapan adalah
Polisi Republik Indonesia (Polri) sebagaimana diatur dalam Pasal 18
KUHAP. Jaksa penuntut umum tidak berwenang melakukan
penangkapan kecuali dalam kedudukannya sebagai penyidik.3
Petugas keamanan seperti satpam atau hansip juga tidak
berwenang melakukan penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap
tangan, sebab dalam kasus tertangkap tangan setiap orang berhak
melakukan penangkapan. Pelaksanaan penangkapan menurut
Drs.DPM Sitompul, SH dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:4
1) Penangkapan Tanpa Surat Perintah
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan
penangkapan dengan syarat dalam keadaan tertangkap tangan.
Tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah
1
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT Citra Aditya Barkti, 2007),
hal.26.
2
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penarapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal.158.
3
Yahya Harahap, op.cit., hal.158
4
Sitompul, Polisi dan Penangkapan, (Bandung: Tarsito, 1985), hal.10.
tertangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana;
dengan segera setelah dilakukannya tindak pidana; sesaat
setelah masyarakat meneriaki pelaku tindak pidana; dan setelah
ditemukan benda yang diduga keras digunakan untuk
melakukan tindak pidana, dimana benda tersebut menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau
melakukan tindak pidana tersebut. Setelah dilakukan
penangkapan tanpa surat perintah, polisi harus memperhatikan
hal-hal ketentuan dalam Pasal 111, Pasal 18 ayat (2), Pasal 5
ayat (2) KUHAP.
2) Penangkapan Dengan Surat Perintah
Syarat penangkapan dengan surat perintah adalah
sebagaimana syarat penangkapan pada umumnya yang dinilai
sah apabila memenuhi syarat yang telah ditentukan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:5
a. Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan
harus membawa surat perintah penangkapan. Surat
perintah penangkapan merupakan syarat formal yang
bersifat imperatif. Hal ini demi kepastian hukum dan
menghindari penyalahgunaan jabatan serta menjaga
ketertiban masyarakat.
b. Surat perintah penangkapan harus diperlihatkan kepada
orang yang disangka melakukan tindak pidana. Surat
tersebut berisi :
1. Identitas tersangka, seperti nama, umur, dan
tempat tinggal. Apabila identitas dalam surat
tersebut tidak sesuai, maka yang bersangkutan
berhak menolak sebab surat perintah tersebut
dinilai tidak berlaku.
2. Alasan penangkapan, misalnya untuk
pemeriksaan atas kasus pencurian dan lain
sebagainya.
3. Uraian singkat perkara kejahatan yang
disangkakan terhadap tersangka, misalnya
disangka melakukan kejahatan pencurian
sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP..
5
Yahya Harahap, op.cit., hal.159-160
4. Tempat pemeriksaan dilakukan
Salinan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada
keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan,
pemberitahuan tidak dapat diberikan secara lisan. Apabila salinan
surat perintah penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarga,
mereka dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan tentang
ketidakabsahan penangkapan sekaligus dapat menuntut ganti
kerugian.
Selain surat perintah penangkapan, aparat yang bersangkutan
harus dilengkapi dengan surat perintah tugas yang ditandatangani
oleh kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik. Isi
surat perintah tugas antara lain, pertimbangan dan dasar
penangkapan; nama, pangkat, nrp, jabatan dan kesatuan tugas; tugas
yang harus dilakukan; batas waktu berlakunya perintah tugas serta
keharusan untuk membuat laporan hasil penangkapan bagi aparat
yang diberi surat perintah tugas.6
Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 KUHAP7. Mengenai
bukti permulaan yang cukup, KUHAP tidak mengaturnya, melainkan
diserahkan kepada penyidik untuk menentukannya. Menurut Kapolri
dalam SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982,

B. PENAHANAN
a. Pengertian Penahanan
Menurut pasal 1 butir 21 KUHAP penahan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang –undang ini. Dari rumusan
pasal tersebut maka jelas kiranya,bahwa penahanan dapat dilakukan
oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan penetapannya
kepada tersangka atau terdakwa.8

6
Sitompul, op.cit., hal.16
7
http://penangkapanpenahanandll.blogspot.co.id/2010/02/penangkapan-penahanan-
penggeledahan.html
8
Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia,
Setara Press, Malang, 2014, hlm. 90.
Tidak ada perdebatan terkait penggunaan istilah, karena di
dalam pasal 21ayat (1) ditegaskan, bahwa penahanan dapat dilakukan
berdasarkan bukti yang cukup. Selain bukti yang cukup terdapat syarat
– syarat lain untuk dapat dilakukannya penahanan, syarat – syarat
tersebut antara lain dengan syarat subjektif dan syarat objektif.
1. Syarat Subjektif Penahanan
Menurut terminologi bahasa,subjektif artinya adalah menurut pendapat
sendiri, atau menurut masing – masing pribadi. Salah satu syarat
penahanan adalah adanya syarat subjektif, yaitu syarat yang hanya
pihak yang melakukan penahanan yang bias memahami.
Syarat ini tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, “Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup,dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana”
Di dalam rumusan tersebut tercantum “ adanya kekhawatiran”,
yakni mengenai kekhawatiran hanya pihak yang khawatir saja yang
bisa memahami, tidak dapat terukur dan tidak dapat dibuktikan, oleh
karena itu disebut dengan alasan subjektif.
Ketika penyidik penuntut umum dan atau hakim tidak memiliki
rasa khawatir bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti serta mengulangi tindak
pidana, maka syarat subjektif tidak terpenuhi. Akan tetapi walaupun
syarat subjektif terpenuhi, masih dibutuhkan satu syarat lagi agar
penahanan dapat dilakukan, yaitu syarat objektif.9
2. Syarat Objektif Penahanan
Objektif memiliki makna berkenaan dengan keadaan sebenarnya
tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Syarat ini
menjadi syarat berikutnya dalam menentukan penahanan. Pasal
21ayat (4) mensyaratkan,
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka
atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan

9
Ibid , 91.
maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam
hal :
a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih;
b) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat
(3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal
353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453,
Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 505
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal
26 Rechtordonantie (Pelanggaran terhadap ordonansi Bea
dan Cukai, terakhir diubah dengan staatblad Tahun 1931
Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang Undang
Tindak Pidana Imigrasi ( Undang – Undang Nomor.8 drt.
Tahun 1955 Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),
Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47
dan Pasal 48 Undang – Undang nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor
37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Ketentuan tersebut dinamakan syarat objektif karena terukur
dan dapat dibuktikan tidak atas penilaian pribadi masing – masing
pihak. Ukurannya jelas yaitu untuk tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan untuk tindak pidana
walaupun tidak diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih akan tetapi
mengganggu dan membahayakan ketertiban umum dapat dikenai
upaya paksa penahanan.

b. Jenis Penahanan
Terdapat tiga macam jenis penahanan sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu;
1. Penahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN)

Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang


bersangkutan, penahanan rumah tahanan negara dapat
dilakukan :

 Di kantor kepolisian negara;


 Di kantor kejaksaan negeri;
 Di lembaga pemasyarakatan;
 Di rumah sakit. (penjelasan Pasal 22 ayat (1) KUHAP)
 Di tempat lain dalam keadaan yang memaksa, misalnya
tersangka atau terdakwa pecandu narkotika, sejauh
mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus
merupakan tempat perawatan (penjelasan Pasal 21
KUHAP).
2. Penahanan Rumah
 Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal
atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan
mengadakan pengawasan terhadapnya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan (Pasal 22 ayat (2) KUHAP).
 Oleh karena itu tahanan rumah juga merupakan jenis
penahanan, maka tersangka bila akan ke luar rumah harus
dengan ijin penyidik, penuntut umum atau hakim yang
memberi perintah penahanan.
 Karena masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan, maka penahanan rumah tersebut
juga dikurangkan yang besarnya adalah sepertiga dari
jumlah lamanya waktu penahanan (Pasal 22 ayat (4) (5)
KUHAP).
 Di samping itu, apabila masih diperlukan maka penahanan
rumah tersebut juga diperlukan ijin perpanjangan
penahanan.
3. Penahanan Kota
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau
tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban
bagi tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu yang
ditentukan (Pasal 22 ayat (3) KUHAP).
Demikian juga karena tahanan kota merupakan jenis
penahanan, maka tersangka bila akan keluar kota harus seijin
pejabat yang menahan.
Karena masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan, maka masa penahanan kota tersebut juga
dikurangkan, yang besarnya adalah seperlima dari jumlah
lamanya waktu penahanan (Pasal 22 ayat (4) (5) KUHAP).

c. Lamanya Penahanan
Lamanya penahanan diatur dalam KUHAP masing-masing di dalam
Pasal 24 untuk penyidik, Pasal 25 untuk Penuntut Umum (PU), Pasal
26 untuk hakim Pengadilan Negeri (PN), Pasal 27 untuk hakim
Pengadilan Tinggi (PT) dan Pasal 28 untuk Hakim Mahkamah Agung
(MA).
Dari pasal-pasal KUHAP tersebut di atas dapat diringkas sebagai
berikut :

 Lamanya penahanan oleh :


a. Penyidik maksimum 20 hari
Perpanjangan oleh penuntut umum maksimum 40 hari
b. Penuntut umum maksimum 20 hari
Perpanjangan oleh ketua PN maksimum 30 hari
c. Hakim PN maksimum 30 hari
Perpanjangan oleh ketua, PN maksimum 60 hari
d. Hakim PT maksimum 30 hari
Perpanjangan oleh ketua, PT maksimum 60 hari
e. Hakim MA maksimum 50 hari
Perpanjangan oleh ketua MA 60 hari

b. Penangguhan Penahanan
Penangguhan penahanan didasarkan pada Pasal 31 KUHAP yang
berbunyi :
1. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut
umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing
dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa
jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang
ditentukan.
2. Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim
sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam
hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana
dimaksud ayat (1).
Yang dimaksud syarat disini ialah wajib lapor, tidak keluar
rumah atau kota. Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka
atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan.
Berapa jumlah minimum uang jaminan, tidak ditentukan
dalam undang-undang, hal tersebut terserah pada kebijaksanaan
penyidik, penuntut umum atau hakim yang berwenang dalam tingkat
pemeriksaan, yang disesuaikan dengan kemampuan penjamin serta
berat ringannya kejahatan.
Di samping besar kecilnya uang jaminan penangguhan
penahanan hendaknya difikirkan secara bijaksana oleh pejabat yang
hendak melakukan penangguhan penahanan, pantas tidaknya seorang
terdakwa ditangguhkan penahanannya jika dilihat dari sudut keadilan,
dan kepatutan masyarakat luas.
Jadi perlu dibatasi (R. Soesilo, 1977 : 41) hanya pada hal-hal
yang sungguh-sungguh perlu dan dalam hal-hal tertentu serta jangan
merupakan sesuatu kebiasaan. Namun sebaliknya para penegak hukum
juga jangan sampai menutup sama sekali kesempatan baik ini yang
diberikan oleh undang-undang kepada tersangka atau terdakwa.

BAB II
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penangkapan menurut ketentuan pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan bahwa
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang di atur dalam Undang-undang ini. Menurut pasal 17 KUHAP
ditentukan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
P
enangkapan dilakukan antara lain guna mendapatkan waktu yang cukup
untuk mendapatkan informasi yang akurat. Seseorang ditangkap apabila diduga
keras melakukan tindak pidana dan ada dugaan kuat yang didasarkan pada
permulaan bukti yang cukup. Hal ini menunjukkan perintah penangkapan tidak
tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Ketentuan mengenai
penangkapan dalam KUHAP amat berbeda dengan ketentuan dalam HIR, dahulu
penangkapan dilakukan tanpa adanya bukti sehingga tidak terdapat kepastian
hukum.
Menurut pasal 1 butir 21 KUHAP penahan adalah penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang –
undang ini. Dari rumusan pasal tersebut maka jelas kiranya,bahwa penahanan
dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan
penetapannya kepada tersangka atau terdakwa.
 Syarat Subjektif Penahanan

Menurut terminologi bahasa,subjektif artinya adalah menurut pendapat sendiri,


atau menurut masing – masing pribadi. Salah satu syarat penahanan adalah
adanya syarat subjektif, yaitu syarat yang hanya pihak yang melakukan
penahanan yang bias memahami.
Syarat ini tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, “Perintah penahanan
atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana”.
 Syarat Objektif Penahanan
Objektif memiliki makna berkenaan dengan keadaan sebenarnya tanpa
dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Syarat ini menjadi syarat
berikutnya dalam menentukan penahanan. Pasal 21ayat (4) mensyaratkan,
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan
dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), Pasal
296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372,
Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal
480 dan Pasal 505 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan
Pasal 26 Rechtordonantie (Pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan
Cukai, terakhir diubah dengan staatblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal
1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang Undang Tindak Pidana Imigrasi ( Undang
– Undang Nomor.8 drt. Tahun 1955 Lembaran Negara Tahun 1955
Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan
Pasal 48 Undang – Undang nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3086).

DAFTAR PUSTAKA

HMA KUFFAL, SH, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum


Rusli Muhammad.2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT Citra
Aditya Barkti.
Harahap Yahya.2006. Pembahasan Permasalahan dan Penarapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan.Jakarta : Sinar Grafika
Tolib Effendi.2014 Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan
Pembaharuannya di Indonesia. Malang : Setara Press
Sitompul,1985. Polisi dan Penangkapan, Bandung: Tarsito.
http://penangkapanpenahanandll.blogspot.co.id/2010/02/penangkapan-penahanan-
penggeledahan.html
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai