Anda di halaman 1dari 13

Makalah tentang Penyitaan

PENYITAAN
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Hukum Acara Perdata”
Disusun oleh:
Ayu Istiawati 210214200
Halimatus Sa’diyah 210214223
Muclis Rulli Fachruddin 210214230
SinggihAji Sukma 210214208
Dosen Pengampu:
Farida Sekti Pahlevi M.Hum
Kelas : SM.G
JURUSAN SYARI’AH & EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
2015/2016
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam sebuah lingkup peradilan, terdapat berbagai macam hal yang harus dilakukan
dan pasti akan terjadi. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari mengajukan
sebuah gugatan, pemeriksaan suatu perkara, penyitaan, pembuktian, pemberian suatu putusan
sampai upaya banding untuk memertahankan suatu hak atas kebenaran yang diharapkan.
Di dalam pembahasan kali ini akan memberikan penjelasan yang berkaitan dengan sita.
Sita merupakan suatu tindakan dimana menempatkan harta kekayaan dari tergugat berada
dalam pengawasan agar tidak terjadi pemindah tanganan kepada pihak ketiga guna
memerlancar proses pemeriksaan suatu perkara.
Sebagai pihak yang berada dalam lingkup persengketaan, seorang penggugat memiliki
suatu hak untuk mengajukan sebuah permohonan untuk diadakan sita terhadap harta
kekayaan dari tergugat. Hal tersebut dapat diajukan kepada hakim walaupun suatu perkara
belum diperiksa dan diadili oleh pihak pengadilan. Dan sita pun dapat dilakukan sebelum
adanya putusan dari hakim yang berkekuatan hukum tetap. Lantas pastinya akan muncul
berbagai permasalahan atas sita yang dilakukan sebelum terjadinya putusan dari hakim yang
berkekuatan hukum tetap tersebut. Hal tersebut selanjutnya akan dijelaskan dalam
pembahasan kali ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyitaan?
2. Apa saja macam-macam sita?
3. Bagaimana hakikat dari penyitaan?
4. Bagaimana proses terjadinya penyitaan?
5. Bagaimana tugas juru sita dalam Peradilan Agama?
6. Bagaimana peran juru sita dalam Peradilan Agama?
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mampu memahami makna dari penyitaan
2. Agar mahasiswa mampu memahami macam-macam penyitaan dan perbedaannya
3. Agar mahasiswa mampu memahami makna dari hakikat penyitaan
4. Agar mahasiswa mampu memahami proses terjadinya penyitaan
5. Agar mahasiswa mampu memahami tugas dari juru sita
6. Agar mahasiswa mampu memahami peran dari juru sita
D. Manfaat
1. Diharapkan dengan adanya penjelasan dari pembahasan ini dapat memberikan
pengetahuan yang lebih tentang penyitaan.
2. Dengan adanya pembahasan tentang penyitaan diharapkan kelak agar dapat menjadi
pedoman ketika menjadi seorang yang berkecipung di lingkup peradilan agar tidak
gegabah dalam mengambil keputusan dalam melakukan tindakan penyitaan.
3. Setidaknya apabila suatu saat terlibat untuk menjadi pihak yang bersengketa tidak
serta merta melakukan permohonan untuk dilaksanakan adanya penyitaan kepada
tergugat tanpa adanya alasan-alasan yang logis dan dasar-dasar yang kuat.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Penyitaan
Sita adalah saat tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional atas permohonan
satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengketa atau menjadi jaminan dari
kemungkinan dipindahtangankan dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan
oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang tersebut, untuk menjamin suatu putusan
perdata dapaat dilaksanakan.1[1]
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesianya beslah tetapi
istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya, antara
lain:
a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada dalam keadaan
penjagaan (to take costody the property of a defendant).
b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan
perintah pengadilan atau hakim.
c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan,
tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang
debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (ezecutorial verkoop) barang yang disita
tersebut,
d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan,
sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau
tidak tindakan penyitaan tersebut.2[2]
B. Macam-Macam Sita
1. Sita Jaminan (Consevatior Beslaag)
Sita ini dilakukan untuk menjamin hak-hak pihak yang dimenangkan dalam suatu perkara
sehingga gugatannya tidak sia-sia (Illusior). Dasar hukumnya Pasal 227 HIR/ 261 RBg.
Tujuannya untuk menjamin terlaksananya putusan pengadilan. Sita ini dapat dilakukan jika
ada permintaan dari penggugat dengan mengemukakan alasan ada dugaan atau sangkaan
bahwa tergugat akan berusaha menghilangkan, merusak, memindahtangankan benda-benda
harta kekayaan miliknya. Benda-benda yang menjadi objek sita ini adalah benda bergerak
dan benda tidak bergerak milik tergugat.
2. Sita Revindiksi (Revindicatior Beslaag)
Adapun yang dimaksud dengan sita revindiksi, yaitu penyitaan terhadap barang milik
penggugat yang berada ditangan tergugat. Dasar hukumnya Pasal 226 HIR / 260 RBg.
Tujuannya untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon dan berakhir dengan

1[1]Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), 124.

2[2]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 282.
penyerahan barang yang disita. Objeknya hanya terdapat pada benda yang bergerak dan sita
ini hanya terbatas atas sengketa hak milik.3[3]
3. Sita Harta Bersama (Maritale Beslaag)
Adapun yang dimaksud dengan sita harta bersama, yaitu sita yang diletakkan atas harta gono
gini yang berada pada suami ataupun istri dalam perkara permohonan cerai, gugat cerai, atau
gugatan harta bersama.
4. Sita Eksekusi (Executorial Beslaag)
Adapun yang dimaksud dengan sita eksekusi, yaitu sita yang dilakukan sebagai bagian dari
pelaksanaan putusan, yakni sita yang dilakukan setelah ada putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.4[4]
C. Hakikat Sita
Dari pengertian tersebut, dapat dikemukakan beberapa esensi fundamental sebagai
landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan, yakni:
a. Sita merupakan tindakan eksepsional
Hukum acara membolehkan dilakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan debitur
atau tergugat tetapi perlu diingat, bahwa penyitaan merupakan tindakan hukum yang bersifat
eksepsional. Hal ini disebabkan:
1) Penyitaan memaksakan kebenaran gugatan
Sesuai dengan pasal 227 HIR maupun pasal 720 Rv, penggugat dapat meminta agar
dilakukan proses penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat. Atas permintaan tersebut,
hakim diberi wewenang untuk mengabulkan pada tahap awal sebelum dimulainya proses
pemeriksaan perkara. Dalam hal yang demikian, sebelum pengadilan mengetahui secara jelas
dan konkret dasar-dasar alasan gugatan, pengadilan telah bertindak menempatkan harta
kekayaan tergugat dalam penjagaan seolah-olah harta itu diasingkan dari penguasaan tergugat
sebagai pemilik. Dengan demikian, tanpa memedulikan kebenaran dalil gugatan yang
diajukan kepada tergugat, hakim atau pengadilan bertindak memaksakan kepada tergugat
akan kebenaran dalil penggugat, sebelum kebenaran tersebut diuji dan dinilai berdasarkan
fakta-fakta melalui proses pemeriksaan. Inilah salah satu sifat eksepsional dari tindakan
penyitaan.

3[3]Martha Eri Safira, Hukum Acara Perdata (Ponorogo: Senyum Indonesia, Tt), 1-2.

4[4]Mardani, Hukum Acara Perdata...., 124.


Pada dasarnya, tindakan ini merupakan tindakan yang kurang layak (unfair), oleh karena
itu, walaupun tindakan penyitaan ini diperbolehkan oleh undang-undang tetapi sedapat
mungkin tindakan ini dihindari, kecuali sedemikian nyatanya kebenaran dalil gugatan karena
didukung oleh fakta-fakta yang bersifat objektif sehingga tindakan penyitaan dapat
ditolerir.5[5]
2) Penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan
Sekiranya tindakan penyitaan dilakukan oleh hakim sesudah proses pemeriksaan pokok
perkara berlangsung, hal itu tetap diambil mendahului putusan, seolah-olah kepada tergugat
dipaksakan kebenaran putusan yang menyatakan dirinya wanprestasi sebelum putusan yang
bersangkutan diambil dan dijatuhkan. Meskipun dengan demikian, oleh karena undang-
undang memberi wewenang kepada hakim meletakkan sita sebagai tindakan eksepsional.
a) Hakim dapat menghukum tergugat berupa tindakan menempatkan harta kekayaannya di
bawah penjagaan, meskipun putusan tentang kesalahannya belum dijatuhkan
b) Dengan demikian, sebelum putusan diambil dan dijatuhkan, tergugat telah dijatuhi hukuman
berupa penyitaan harta kekayaan tergugat.
Tindakan eksepsional penyitaan pada tahap proses ini, jauh lebih layak dibanding dengan
yang diletakkan pada tahap awal proses pemeriksaan. Penyitaan yang diambil sesudah proses
pemeriksaan pokok perkara berjalan, dianggap lebih objektif dan rasional, karena pengabulan
sita yang diberikan telah memiliki landasan pertimbangan yang lebih memadai. Oleh karena
itu, sistem ini yang tepat direkomendasikan untuk mengabulkan permohonan sita.6[6]
b. Sita merupakan tindakan perampasan
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa penyitaan berarti menempatkan harta kekayaan
tersita di bawah penjagaan pengadilan untuk memenuhi kepentingan pemohon, dalam hal ini
penggugat atau kreditor. Ditinjau dari segi nilai HAM, penyitaan tidak berbeda dengan
perampasan harta kekayaan tergugat. Padahal, salah satu hak asasi yang paling dasar adalah
hak mempunyai milik, dan Pasal 36 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa pada
prinsipnya seseorang tidak boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum.
Akan tetapi, meskipun hak itu bersifat universal namun berdasarkan landasan
eksepsional yang diberikan kepada hakim oleh undang-undang, tindakan perampasan itu

5[5]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata..., 283.

6[6] Ibid.,283-284.
dijustifikasi hukum acara, sehingga tindakan itu sah menurut hukum, walaupun tergugat
sebagai pemilik belum dinyatakan salah dan bertanggungjawab atas perkara yang
disengketakan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sehubungan dengan hal itu, tanpa mengurangi kebolehan meletakkan sita pada harta
kekayaan tergugat sebelum putusan pengadilan dijatuhkan dan berkekuatan hukum tetap,
pengabulan permintaan sita harus benar-benar dinilai dan dipertimbangkan dengan seksama
dan objektif.7[7]
c. Penyitaan berdampak psikologis
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian ialah dampak psikologis yang timbul dari
penyitaan. Dari segi pelaksanaan, penyitaan sifatnya terbuka untuk umum:
1) Pelaksanaannya secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya
2) Secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa, namun dapat dan
boleh pula disaksikan oleh anggota masyarakat luas
3) Secara administratif yustisial, penyitaan barang tertentu harus diumumkan dengan jalan
mendaftarkan dalam buku register kantor yang bersangkutan, agar diketahui umum sesuai
dengan asas publisitas.
Berdasarkan hal tersebut, penyitaan berdampak psikologis yang sangat merugikan nama
baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis. Tindakan
penyitaan meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafiditas korporasi dan bisnis yang
dijalankan, padahal belum tentu penyitaan yang dilakukan dibenarkan dan dikuatkan sampai
akhir proses penyelesaian perkara. Sekiranya pun pada akhirnya penyitaan dinyatakan tidak
sah dan diperintahkan untuk diangkat, sangat sulit bagi tersita untuk mengembalikan dan
memulihkan citra yang baik kepada kondisi semula.
Pengaruh buruk penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri
pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial.
Oleh karena itu, pengadilan tidak layak terlampau menyederhanakan pengabulan permintaan
sita tanpa dasar alasan dalam pertimbangan yang serius.8[8]
d. Sita merupakan tindakan hukum, yang artinya:
1) Sita dilakukan menurut dan berdasarkan aturan hukum (hukum acara perdata)

7[7] Ibid.

8[8]Ibid., 285.
2) Sita belum merupakan tindakan realistis karena belum ada tindakan riil, melainkan hanya
bersifat formil semata, kecuali dalam hal eksekusi.
e. Sita merupakan tindakan hakim, yang artinya:
1) Sita hanya dapat dilakukan atas perintah hakim yang memeriksa perkaranya itu
2) Hakim lain atau pejabat lainnya tidak berwenang untuk memeriksa sita
f. Sita hanya dilakukan atas permohonan pihak yang bersengketa, yang artinya:
1) Sita hanya dapat dilakukan jika ada permohonan
2) Hakim tidak dapat meletakkan sita tanpa adanya permohonan
3) Yang berhak mengajukan permohonan adalah pihak yang bersengketa itu saja
4) Pihak ketiga tidak berhak mengajukan permohonan sita
g. Tujuan akhir dari sita ialah untuk menjamin agar putusan hakim nantinya, sekiranya tuntutan
dalam pokok perkara dikabulkan dan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, yang
artinya:
1) Putusan hakim secara nyata dapat diwujudkan
2) Putusan hakim tidak hampa karena barang sengketa telah tiada, rusak atau dipindah tangan
pada pihak ketiga dan sebagainya
3) Sita merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dilaksanakannya putusan perdata.9[9]
D. Tata Cara Penyitaan
Secara garis besar tata penyitaan sebagai berikut:
1. Sita hanya dapat dilaksanakan atas dasar penetapan pengadilan. Artinya sita baru dapat
dilaksanakan bila sudah ada penetapan Pengadilan Agama. Pennetapan tersebut harus
mengandung kriteria sebagai berikut:
a. Adanya petitum yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan sita
terhadap objek yang disebutkan dalam surat penetapan. Dalam amar putusan atau penetapan
tersebut juga diperintahkan agar pelaksanaan sita dibantu oleh 2 orang saksi.
b. Adanya penjelasan dalam surat penetapan tentang objek yang akan disita.
2. Penyitaan dilakukan oleh juru sita atau panitera berdasarkaan surat tugas yang ditunjuk
dalam surat penetapan.
3. Pemberitahuan penyitaan secara formal harus sudah diberitahukan kepada termohon sita atau
penggugat. Surat pemberitahuan tersebut berisi jam, hari, dan tanggal pelaksanaan sita,
menyebutkan objek sita dan menghadirkan juru sita.

9[9]H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2011), 70-71.
4. Pelaksanaan sita dituangkan dalm Berita Acara Penyitaan. Berita Acara Sita antara lain
memuat hari dan tanggal pelaksanaan sita, penetapan sita, para pihak yang berperkara, objek
sita, kehadiran pihak yang disita pada waktu pelaksanaan sita, nama jelas juru sita, dan dua
orang saksi.
5. Pendaftaran sita. Berita Acara Penyitaan didaftarkan dan diumumkan dikantor pendaftaran
yang berwenang. Misalnya, harta sitaan berupa tanah bersertifikat didaftarkan di Badan
Pertanahan Nasional. Sedangkan, tanah yang belum bersertifikat dicatatkan dikantor lurah
atau desa.10[10]
6. Menempatkan barang sitaan ditemmpat semula, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penjagaan sita benda bergerak atau tidak bergerak diserahkan kepada tergugat atau termohon
sita.
b. Tidak boleh menyertakan penjagaan dan penguasaan kepada permohon sita (penggugat) atau
kepada pihak ketiga atau kepala desa.
c. Termohon sita berhak memakai, menikmati, dan menjalankan kegiatan usaha yang melekat
pada barang sita, kecuali bila barang sita dapatt menjadi habis dalam pemakaian.11[11]
E. Tugas Juru Sita Di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
Kedudukan juru sita pada Pengadilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama pada Pasal 38 berbunyi ”Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya
Juru Sita dan Juru Sita Pengganti”.
Dalam Pasal 103 Jo. Pasall 10, 13, 16 KMA/004/Sk/11/92, tercantum bahwa tugas juru
sita sebagai berikut:
1. Juru Sita bertugas:
a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan pemberitahuan penetapan
atau putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilann;
d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
2. Juru Sita berwenang melakukan tugasnya didaerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan.12[12]

10[10]Ibid., 125.

11[11]Ibid.
F. Peranan Juru Sita Dalam Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
Kedudukan Juru Sita dalam struktur organiisasi Peradilan Agama jelas bahwa kedudukan
Juru Sita memiliki koordinasi dengan Paniitera, dimana kedudukan tugasnya membantu
Panitera. Sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, bahwa: Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera
Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita
Kemudian secara spesifik, Juru Sita memiliki tugas-tugasnya yang lebih rinci, karena Juru
Sita pada pelaksanaan tugasnya lebih menitik beratkan pada bidang pekerjaan teknis, yaitu
meliputi:
1. Bertanggung jawab atas sah dan patut tugas kejurusitaan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
2. Berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam tugas Juru Sita Pengganti secara vertikal dan
horizontal;
3. Melaksanakan tugas perintah Ketua Pengadilan melaksanakan penyitaan terhadap objek
sengketa tertentu dalam perkara;
4. Bertanggungjawab terhadap misi dan visi serta integrritas citra pengadilan yang terkait
dengan pelaksanaan tugas kejurusitaan;
5. Meneliti instrumen dan PHS yang diterima terutama hari dan tanggal sidang serta alamat
para pihak yang akan dihubungi;
6. Mempersiapkan blanko-blanko dan surat kejurusitaan yang akan disampaikan kepada pihak
yang berkepentingan;
7. Mengetik surat yang akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan;
8. Menyampaikan surat-surat kejusitaan kepada alamat yang bersangkutan;13[13]
9. Dalam menyampaikan surat pemanggilan dengan memperhatikan alokasi waktu sidang agar
klasifikasi surat menjadi patut;
10. Mengupayakan penyampaian surat kejurusitaan agar benar-benar diterima oleh pihak yang
berhak atau yang berwenang sehingga klasifikasi surat menjadi sah;
11. Berusaha menyampaikan surat kejurusitaan pada saat waktu dan tempat yang tepat agar
berhasilguna dan berdayaguna;

12[12]Ibid.

13[13] Ibid., 127.


12. Membuat dan menandatangani berita acara penyitaan;
13. Menyerahkan salinan resmi berita acara penyitaan kepada pihak yang berkepentingan;
14. Menyerahkan surat-surat yang telah menjadi akta autentik kepada pihak yang
berkepentingan;
15. Menyampaikann informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan tentang situasi di
lapangan;
16. Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk kelancaran pelaksanaan tugas.14[14]

14[14]Ibid.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Penyitaan adalah suatu proses dimana menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa
dalam keadaan penjagaan.
2. Macam-macam penyitaan:
a. Sita jaminan: Penyitaan terhadap harta milik tergugat
b. Sita revindiksi: Penyitaan terhadap harta milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat
c. Sita harta bersama: Penyitaan yang diletakkan atas harta perkawinan (harta gono-gini)
d. Sita eksekusi: Penyitaan yang dilakukan atas adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap.
3. Hakikat dari penyitaan:
a. Sita merupakan tindakan eksepsional
b. Sita merupakan tindakan perampasan
c. Sita berdampak psikologis
d. Sita merupakan tindakan hukum
e. Sita merupakan tindakan hakim
f. Sita dilakukan atas permohonan pihak yang bersengketa
4. Tata cara penyitaan
a. Sita hanya dapat dilaksanakan atas dasar penetapan pengadilan
b. Penyitaan dilakukan oleh juru sita atau panitera berdasarkan surat tugas yang ditunjuk dalam
surat penetapan
c. Pemberitahuan penyitaan secara formal harus sudah diberitahukan kepada tergugat
d. Pelaksanaan sita dituangkan dalam berita acara penyitaan
e. Pendaftaran sita
f. Menempatkan barang sitaan di tempat semula dengan adanya ketentuan yang mengaturnya.
5. Tugas juru sita:
a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan pemberitahuan penetapan
atau putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilann;
d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
e. Juru Sita berwenang melakukan tugasnya didaerah hukum Pengadilan yang bersangkutan.
6. Peran juru sita:
Kedudukan juru sita dalam struktur organisasi Peradilan Agama memiliki koordinasi dengan
panitera, dimana tugasnya adalah membatu penitera sebagaimana tersebut dalam Pasal 26
ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Daftar Pustaka
Arto, H.A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2011.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Mardani. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Safira, Martha Eri. Hukum Acara Perdata. Ponorogo: Senyum Indonesia, Tt.

Anda mungkin juga menyukai