Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Remidial

Disusun Oleh:
Egi Ahmad Hidayat

Kelas XII IPS 4


SMA NEGERI 1 TALAGA
2015

KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan
anugerah dan kasih sayang, petunjuk dan kekuatannya yang telah diberikan pada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah

yang berjudul

Perkembangan Pers di Indonesia. Tanpa pertolongan-Nya mungkin saya tidak


akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Yang akan memberikan manfaat di
kemudian hari guna kemajuan ilmu pengetahuan.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Bantarujeg, Desember 2015


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Sejarah Pers di Indonesia...............................................................................3
2.2 Perkembangan Pers Nasional.........................................................................7
2.2.1 Pers pada masa Penjajahan Belanda dan Jepang.....................................7
2.1.2 Pers pada masa Revolusi.........................................................................8
2.1.3 Pers pada masa Demokrasi Liberal..........................................................9
2.1.4 Pers pada masa Demokrasi Terpimpin.....................................................9
2.1.5 Masa Orde Baru.....................................................................................10
2.1.6 Masa Reformasi.....................................................................................12
BAB III PENUTUP..............................................................................................15
3.1 Kesimpulan..................................................................................................15
3.2 Saran............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada
komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan
penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes
Gutenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh
Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan
jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang
Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, korankoran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang
mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan
Suara Asia.
Kemerdekaan

Indonesia

membawa

berkah

bagi

jurnalisme.

Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai


media

komunikasi.

Menjelang

penyelenggaraan Asian

Games

IV,

pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi


Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembredaran
media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan
dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang
melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang
mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa
aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan
Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi
menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan jurnalisme diatur dengan
Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan
Dewan Pers.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah pers di Indonesia ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan pers di Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui sejarah pers di Indonesia
2. Mengetahui sejarah perkembangan pers di Idonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pers di Indonesia
Berbicara perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa
dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa
dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah
berjasa memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di
Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya
media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.
Tentang awal mula dimulainya dunia persurat kabaran di tanah air
kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, Oud Batavia (G. Kolf Batavia
1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah
terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun
1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa
(berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari
Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini,
dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit
pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada
tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat
sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis.
Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu
pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan
bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah
meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis
yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha
persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal
pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan
berkala dan surat kabar di Batavia.
Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk
memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa

media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para


pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam
menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada
umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa
pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi
di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk
berbagai keperluan.
Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai
alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri
kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun
di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan
apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang
terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang,
bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam
pendokumentasian ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo
Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah
memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah,
kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan,
percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya
yang terjadi di negeri kita.
Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia
hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja
masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu
diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar
beritanya boleh dikata kurang seru dan kering. Yang diberitakan cuma
hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton,
kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan
kriminal.
Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai
menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara
pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers

terkemuka, dalam bukunya Kedudukan Pers Dalam Masyarakat (1951)


menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya
dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa
kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan
otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak
onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi
kebijakan atasannya.
Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum
yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi
ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag
(Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja
menjadi santapan empuk bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah
mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu
berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita
Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara
demikian

akhirnya

disukai

oleh

para

pengelolanya

karena

bisa

mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.


Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh
martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat
kebijaksanaan

baru

yang

menguntungkan

penduduk.

Keberanian

menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak


sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung
curhat tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah
dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang
menyerempet soal politik mulai marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya Medan Prijaji
pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi.
Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan
bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah
Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin
redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini
menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan

aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang


memelopori kebebasan Pers kaum pribumi.
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang
terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang
tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah
di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon
telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa
yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara
para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa
yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata
alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita,
terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan
pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari Sarikat
Islam telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan
kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api,
Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga
telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni
Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan,
Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada
tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah
memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun
1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti
menjadi Sinar Indonesia.
Penerbitan media massa pergerakan dilakukan secara sembunyisembunyi namun ada juga yang mendapatkan izin dari pemerintahan
Belanda. Dan ketika isi media acapkali berseberangan dengan pola fikir
pemerintah Belanda sesering itulah pers di breidel.
Munculah kebijakan pembelengguan kebebasan menyuarakan pesan
kebebasan negeri yang tertuang dalam undang-undang
1) Drukpers reglement tahun 1856 tentang aturan sensor preventif.
2) Pers ordonantie tahun 1931 tentang pembredelan surat kabar.

Pada

masa

ini

tokoh-tokoh

pergerakan

yang

mengopinikan

kemerdekan lewat media massa seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir dibuang
ke Boven Digul oleh dua penguasa tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda, yaitu Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936) dan Gubernur
Jenderal Tjarda van Star. De Jonge sendiri menamakan artikel-artikel tokoh
pergerakan (memberi labelling) gezagsvijandige artikelen atau tulisan-tulisan
yang memusuhi pemerintah.
Di masa pemerintahan Jepang kehidupan pers lebih dipersempit,
selain UU Belanda UU No 16 yang pasal-pasalnya sangat menakutkan
mengenai izin terbit, pembelengguan kebebasan pers dengan memasukan
tokoh-tokoh pergerakan kedalam penjara, dan membreidel penerbitannya
diberlakukan. Di setiap surat kabar ditempatkan Shidooin (penasihat) yang
tidak jarang menulis artikel dengan mencatat nama anggota redaksi
2.2 Perkembangan Pers Nasional
2.2.1 Pers pada masa Penjajahan Belanda dan Jepang
2.2.1.1 Zaman Belanda
Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya
memuat berita- berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan
dari

harian-harian

di

Eropa.

Sedangkan

di

Surabaya

Soerabajash

Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti


menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit
Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat
kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan
Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan
Makassaarch Handelsbland. Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak
mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan.
Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua
penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum
diperiksa oleh penguasa setempat.
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16
surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu
diantaranya adalahBintang
7

Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret


Melayudan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar
berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo
2.2.1.2 Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada
di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan
alasan menghemat alat- alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar
pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar.
Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita
Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni
Domei.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai
pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan
yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya
bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
2.1.2

Pers pada masa Revolusi


Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers

Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa


Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno,
terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat,
termasukpers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat,
yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita
Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta
Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
2.1.3

Pers pada masa Demokrasi Liberal


Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa

demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik
dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu
merupakan alat propaganda dari Par- Pol. Beberapa partai politik memiliki
media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers
partisipan.
8

2.1.4

Pers pada masa Demokrasi Terpimpin


Pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi liberal,

menyebabkan Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku di


Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah
demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Selanjutnya, pada Februari
1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang
diinginkannya. Hampir berselang dengan terjadinya berbagai pemberontakan di
banyak daerah di Indonesia yang melihat sentralitas atas hanya daerah dan
penduduk Jawa.
Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan di pusat sendiri,
membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang pada 14
Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia terkungkung dalam perseturuan antara
parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan militer. Namun,
tak berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke Undang-Undang
Dasar 45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi,
karena keterlibatan kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di Sumatera.
Prinsip-prinsip demokrasi yang hendak ditegakkan oleh pemerintah, yaitu
sebagai berikut :
1) Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
2) Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur, tetapi demokrasi yang berbeda
dengan demokrasi liberal.
3) Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan
kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial.
4) Demokrasi terpimpin adalah alai, bukan tujuan.
Demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan
berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan
negara, kepribadian bangsa, kepentingan rakyat banyak, dan batas
pertanggungjawaban kepada Tuhan.
2.1.5

Masa Orde Baru


Setelah berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI, berakhir pula masa

pemerintahan Orde Lama. Kemudian bangsa Indonesia memasuki alam

Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru ini fungsi -dan sistem pers masih
belum berjalan dengan baik. Ketika itu surat kabar-surat kabar yang terbit
merupakan terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama clan
menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang
terbit merupakan parlemen masyarakat.
Gejala-gejala pers liberal kembali melekat. Apalagi ketika menjelang
Pemilu 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak membangun kembali
memenuhi lembaran-lembaran surat kabar kita. Timbulnya gejala-gejala yang
tidak menguntungkan tersebut, antara lain disebabkan tidak adanya pembinaan
yang tegas, baik dari instansi-instansi resmi maupun badan-badan atau
organisasi-organisasi yang berkepentingan tentang adanya pers nasional yang
sehat, pers nasional yang dapat melaksanakan fungsi-fungsinya, baik yang
bersifat universal maupun sebagai alat perjuangan bangsa.
Namun, ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan
di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan
sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan
masyarakat di mana pers itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini pers
merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu menyadari
bahwa pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan yang
bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun demikian, kita juga
menyadari bahwa perubahan sebagai akibat dari pembangunan tidak akan
terjadi jika rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode, dan
hasil-hasil yang akan dibawa oleh pembangunan itu. Untuk inilah diperlukan
penerangan

yang

lugs

kepada

rakyat

tentang

maksud

Berta

tujuan

pembangunan. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah


satu alat yang vital dalam proses pembangunan.
Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada masa Orde
Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang
sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers
pada

masa-masa

ini

menjadi

penghalang

bagi

rakyat

untuk

menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam


kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian

10

dilatarbelakangi adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai


pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para elit berusaha
membendung berbagai pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan diri
atau

kroni-kroninya.

Kehidupan

pemerintahan

diliputi

dengan

penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik korupsi, kolusi, dan


nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945.
Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru pun akhirnya
tumbang oleh kekuatan rakyat yang dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu
tuntutan mahasiswa-rakyat Wall adanya kebebasan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan
kebebasan pers.
2.1.6 Masa Reformasi
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
ialah terjadinya reformasi sejak 1998 dengan turunnya Soeharto sebagai presiden
RI. Runtuhnya Orde Baru membuka era demokrasi dan kebebasan pers yang
sebelumnya tidak pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia. Kemudian yang
menjadi pertanyaan sekarang, apakah reformasi, proses demokratisasi, dan
kebebasan pers An sudah berjalan dengan balk, khususnya dalam membawa
kemajuan rakyat banyak?
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang hares
disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiders Habibie mempunyai
andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkah
kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.
Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya
UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut,
setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin
kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu
takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun
militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi
salah satu di antara empat pilar demokrasi.
Beratnya ongkos produksi dan banyaknya pesaing tidak mengurangi
perkembangan media massa di Indonesia sekarang. Akan tetapi, kondisi

11

yang sama juga telah melahirkan jenis-jenis pers yang aneh. Banyak
pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah memberitakan apa saja, kecuali yang
benar. Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak bebas dan
bertanggung jawab; pers Orde Habibie adalah pers yang bebas dan tidak
bertanggung jawab.
Diwarnai oleh suasana politik yang tidak menentu, hampir Semua surat
kabar memusatkan perhatiannya pada berita politik. Karena situasi politik
sebenarnya cenderung tidak banyak berubah, pers menjadi sangat aktif untuk
membuat berita politik dengan mengakses sumber-sumber berita yang tidak
lazim, sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan segala efek sampingnya, pers kita sekarang sedang menikmati
bulan madu kebebasannya. Bila kita kecewa dengan kinerjanya, kita tidak punya
hak untuk mencabut kebebasan itu. Semua orang sepakat walaupun sebagian
hanya dalam kata-kata bahwa reformasi harus dilanjutkan. Salah satu institusi
yang sangat berperan dalam proses reformasi ini adalah pers. Sekaranglah
saatnya pers Indonesia menemukan jati dirinya, dengan merumuskan
perannya secara jelas. Siapakah yang paling bertanggung jawab di sini? Jelas
sekali, bukan pemerintah, bukan Dewan Pers, apalagi TNI; tetapi insan pers
sendiri, khususnya para pemimpin dan penentu kebijakan surat kabar.
Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar komunikasi
bercerita tentang tiga modus peran pers. Pers dapat menjadi watch-dog,
yang segera menggonggong ketika terjadi penyimpangan pada perilaku
rezim. Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers. Peran watchdog ini sudah lama kita tepiskan sebagai peran yang tidak sesuai dengan
pers Pancasila.
Secara ideal, kita sudah memilih peran pers sebagai mitra (partner)
pemerintah. Di sini pers berdampingan dengan pemerintah mengemban
misi mulia memberikan penerangan dan pendidikan (membangun masyarakat).
Lalu, lahirlah pers pembangunan. Secara praktis, pers kita selama Orde Baru
mengambil posisi sebagai budak pemerintah (slave). Kemitraan hanya tumbuh di
antara yang setingkat, yang sama (equal). Dalam hubungan yang supra dan
subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah.

12

Pers Indonesia sekarang harus menggeser paradigms lama dan harus


menjadi lembaga independen, yang memihak pads kebenaran. Pers
Indonesia boleh jadi sekali waktu bekerja untuk menyukseskan program
pemerintah atau menyorot kebijakan pemerintah dengan kritis atau sekadar
mendampingi pemerintah. Akan tetapi, dalam posisi yang bermacam macarn itu is tetap menjadi lembaga yang menuntut perubahan demi
kepentingan rakyat banyak.
Ini berarti pers harus membantu proses demokratisasi. Demokrasi
merupakan sebuah sistem yang berusaha memenuhi keinginan seluruh rakyat.
Karena tidak ada satu pun yang dapat memenuhi keinginan seluruh
rakyat, maka paling tidak kits harus memperhatikan keinginan rakyat
yang terbanyak.
Namun, setelah berjalan kurang lebih lima tahun, yang terjadi bukan
pers yang sehat, tetapi anarki di bidang media massa. Pers Indonesia
belum mampu menjadi pilar demokrasi dan mendukung reformasi, tetapi malah
menjadi salah satu penyebab berbagai macam keresahan sosial. Mengapa
demikian? Masalahnya sangat sederhana. Dengan kebebasan pers yang
hampir tanpa batas, tetapi tidak diiringi profesionalitas yang tinggi di
kalangan pekerja pers, maka yang terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan
kalangan pers dalam menjalankan tugasnya. Opini yang berkembang
adalah pers gosip, pornografi, clan berita-berita yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu, dalam pandangan sebagian anggota DPR, ada wacana
tentang perlunya merombak UU No. 40 tahun 1999 dengan perlunya
memasukkan kembali prinsip perijinan dan mekanisme pengawasan dalam
penerbitan pers. Dalam era reformasi ini, bukan pemerintah lagi yang
berperan sebagai regulator, tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers sendiri.
Pers harus bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk masyarakat.
Wacana perlunya regulator bagi penerbitan media massa mungkin
bukan suatu solusi terbaik bagi kalangan media di Indonesia. Namun
demikian, jika ingin menyelamatkan demokrasi dan reformasi, maka pers harus
menata dirinya sendiri dan mengatur diri tanpa adanya campur Langan
(intervensi) dari penguasa.

13

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah pers Indonesia tidaklah sepanjang sejarah pers bangsa
bangsa yang lebih dahulu memerdekakan dirinya. Jika kita merunut titik
pangkalnya, awal pers di Indonesia memainkan peranan dalam memberikan
pencerahan pada masyarakat bermula pada masa, ketika Belanda menjajah
Indonesia. Dalam masa-masa penjajahan, kemunculan pers pribumi ditujukan
untuk memotivasi, menyentil memberikan pendidikan politik dan membakar
perasaan rakyat agar mau berjuang melepaskan diri dari penjajahan. Agar
lekas memperoleh kemerdekaan.
3.2 Saran
Dengan mempelajari sejarah pers, diharapkan kita dapat mengetahui
bagaimana perkembangan pers dari zaman penjajahan hingga sekarang dan
kitapun dapat mengetahui bagaimana system pers yang berjalan selama ini.
Dengan demikian, pers sangat penting bagi masyarakat untuk
mengetahui berita berita yang ada di dunia khususnya di Indonesia ini. Dan
kita dapat menimbulkan rasa persatuan dan kesatuan terhadap bangsa
Indonesia

14

DAFTAR PUSTAKA
Ismail,

Taufiq

Moeljanto.

1995.

Prahara

Budaya.

Jakarta

Mizan

Notodidjojo, Soebagijo. 1998. PWI di Arena Masa. Jakarta : Balai Pustaka


Suadi, Haryadi. 2006. Medan Prijaji Koran Politik Pribumi. Jakarta : Pikiran
Rakyat
www. Google.com
www. Sejarah Pers.com
http://farelbae.wordpress.com

15

Anda mungkin juga menyukai