Anda di halaman 1dari 15

KEBEBASAN SUARA HATI DAN HAK PERLAWANAN

Makalah Ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah


Etika Politik Islam.

Dosen Pengampu: Dr. Mardian Idris Harahap, M.Ag

Oleh:
Kelompok 5
Nobel Sinatra Ginting (0404181011)
Arfa Dilla Syuhada (0404181021)

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
T.A. 2021/2022
KATA PENGANTAR

‫بِ ۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱلر َّۡح ٰ َم ِن ٱل َّر ِح ِيم‬


Segala puji dan syukur hanya semata-mata kita berikan kepada Allah rabb
semesta alam yang telah menganugerahkan kepada kita semua kenikmatan, dan sebaik-
baik nikmatnya adalah nikmat Islam dan berada di atas sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan pemahaman para sahabat. Kita memohon kepada Allah agar
menghidupkan kita semua di atasnya dan mewafatkan kita di atasnya pula dan
memudahkan kitaa agar mampu mengucapkan kalimat tauhid (Laa ilaaha illallaah)
ketika menjelang kematian kita.
Shalawat dan salam semoga selalu dicurahkan atas Nabi yang mulia, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta para sahabat beliau, keluarga beliau,
para ulama yang mengajarkan kepada umat ini dengan ilmu yang merupakan warisan
para nabi, sehingga mereka bisa berjalan dengan penuh pengetahuan dan cahaya yang
terang benderang sehingga tak bingung ketika muncul fitnah (ujian, perkara yang
berkaitan dengan darah dan kehormatan seseorang, serta yang semakna dengannya),
terutama di akhir zaman ini. Kita memohon keteguhan kepada-Nya agar tak terbawa ke
dalam gelombong fitnag yang menenggelamkan ini.
Terkait materi Kebebasan Suara Hati Dan Hak Perlawanan , kita akan
menjumpai bagaimana sebuah kebebasan disesuaikan pada tempatnya. Meletakkan
setiap hak untuk melakukan perlawanan untuk meningkatkan kebaikan dengan cara
yang bijak dan yang telah di ajarkan untuk mengatakn setiap manusia adalah pemimpin
dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang kalian pimpin.
Dalam pembahasan kali ini, ada beberapa sebab kenapa kita perlu memahami
bentuk kebebasan berekspresi dan beberapa bentuk kebebasan dalam menuntut hak
bahkan jika kita melakukan perlawanan maka ada hal-hal yang akan menjadi landasan
kenapa setiap kejadian aka nada resiko dan akibat dan penggunaan sebab akibat disini
menyadarkan kita bahwa kebebasan itu ada bentuknya.

i
Dalam makalah ini kami mempertajam dan memperluas wawasan kita para
mahasiswa/i untuk lebih mengetahui apa yang dibahas pada makalah ini, hal ini sangat
diperlukan untuk menambah wawasan dan keilmuan kita, dan sekaligus sebagai bahan
pembelajaran mahasiswa/i pada bidang studi Etika Politik Islam.
Dalam proses pendalaman materi yang kami terima, tentunya kami peroleh dari
berbagai sumber, dan insya allah sudah dikoreksi dengan seksama sehingga makalah ini
dapat saya selesaikan. Oleh karena itu kami sampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu & ayah yang senantiasa berdo’a untuk memudahkan urusan saya.
2. Bapak Dr. Mardian Idris Harahap, M.Ag selaku dosen pembimbing.
3. Rekan mahasiswa/i yang memberikan masukan pada makalah ini.
Demikian makalah ini saya kerjakan, semoga bermanfaat untuk teman teman
sekalian.

Medan, 17 Oktober 2021

Penulisa
Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................2
C. Tujuan Pembahasan......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Kebebasan Suara Hati...................................................................3
1. Kebebasan social politik.............................................................3
2. Kebebasan individu....................................................................3
3. Kebebasan fisik...........................................................................4
4. Kebebasan Yuridis.....................................................................4
5. Kebebasan Psikologi...................................................................4
6. Kebebasan Moral........................................................................4
B. Hak Perlawanan.............................................................................5
C. Kebebasan Suara Hati Dan Hak Perlawanan Dalam Revolusi. 8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.....................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bersosialisasi dan bernegara masyarakat pastilah harus
berdasarkan hukum dan ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat, guna menjamin
hak–hak masyarakat maka pemerintah telah berupayah menghujutkan hukum yang adil
guna menjamin hak–hak warga negara. Manusisa sebagai mahkluk sosial tidak terlepas
dengan interaksi dan konflik sesama manusia lain. Konflik yang terjadi di kehidupan
sehari-hari di masyarakat dapat terjadi apabila seseorang menguasai, mengurangi, atau
melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan mempertahankan hak yang
bersangkutan. Di Indonesia hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban antara
individu dengan individu, dan individu dengan badan hukum atau bisa di sebut hukum
privat iyalah hukum perdata dan hukum acara perdata. Hukum acara perdata mengatur
tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, pemeriksaan, memutusnya dan
pelaksanaan dalam putusan tersebut.1
Lingkaran pandangan kebebasan menurut Franz Magnis Suseno berkaitan
dengan suara hati. Suara hati merupakan filter terakhir yang dimiliki manusia dalam
menilai setiap sikap dan tindakannya. Suara hati akan membentuk sebuah penilaian
yang otonom atas sikap dan tindakan kita berhadapan dengan tuntutan masyarakat,
moral spontan dan ideologinya. Suara hati adalah kesadaran moral dalam situasi
konkret.
Suara hati adalah pusat kemandirian manusia. Manusia secara moral hanyalah
berkewajiban untuk menaati segala bentuk perintah, larangan dan kebiasaan sejauh
sesuai dengan suara hatinya. Suara hati merupakan pangkal otonomi manusia, pusat
kemandiriannya. Suara hati adalah piece de resistence, unsur perlawanan yang akan
mengganggu kerukunan dengan pihak yang tidak benar. Suara hati membuat manusia
menjadi sadar bahwa manusia selalu berhak untuk mengambil sikap sendiri karena
tuntutan suara hati bersifat mutlak. Suara hati mutlak hanyalah tuntutan untuk tidak
pernah menyeleweng dari apa yang kita sadari sebagai kewajiban kita. Tuntutan untuk
selalu bertindak dengan baik jujur, wajar dan adil.2

1
Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta, hlm. 2.

1
Suara hati yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno apabila dipertautkan
dengan sosok hakim, maka akan selaras dengan tuntutan hakim untuk memutus tidak
hanya dengan memperhatikan pembuktian sebagaimana yang menjadi syarat untuk
memutus suatu perkara, namun ditegaskan bahwa hakim juga harus memutus dengan
keyakinan hakim. Keyakinan hakim ini tentu adalah dimaksudkan sebagai tuntunan
suara hati yang mengawal hakim untuk tidak keluar dari kaidahkaidah moral keadilan
yang seharusnya dijewantahkan dalam putusan.

B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian penyusunan makalah ini maka ada beberapa hal yang akan kita
bahas bersama yaitu:
1. Apa itu Kebebasan Suara Hati?
2. Apa Itu Hak Perlawanan?
3. Bagaimana Bentuk Kebebasan Suara Hati Dan Hak Perlawanan Dalam
Revolusi

C. Tujuan Penelitiian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Mengetahui Apa itu Kebebasan Suara Hati.
2. Mengetahui Apa Itu Hak Perlawanan.
3. Mengetahui Bagaimana Bentuk Kebebasan Suara Hati Dan Hak Perlawanan
Dalam Revolusi.

2
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Cet. pertama,
Pustaka Filsafat 1987) 53-57.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebebasan Suara Hati
Kebebasan mengandung dua pengertian, ialah: dia mampu untuk menentukan
diri sendiri, dan ia tidak dibatasi oleh orang lain atau masyarakat. Kebebasan dalam
pengertian pertama bersifat positif: sebagai kemampuan yang ada pada manusia.
Kebebasan dalam pengertian kedua bersifat negative; sebagai tidak adanya pembatasan.
Kedua segi kebebasan itu perlu dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan; yaitu kedua-
duanya merupakan satu kebebaasan manusia.3 Macam kebebasan:
1. Kebebasan social politik
Subyek kebebasan social politik adalah suatu bangsa atau rakyat. Kebebasan
social politik merupakan produk perjuangan bangsa/ rakyat sepanjang sejarah. Ada dua
bentuk yaitu pertama yaitu tercapainya kebebasan politik rakyat dengan membatasi
kekuasaan absolute raja. Bentuk kedua adalah kemerdekaan yang dicapai oleh Negara-
negara yang terjajah terhadap Negara penjajah.
Contoh bentuk pertama adalah revolusi Prancis, dimana absolutism para raja
dipatahkan oleh rakyat.
Contoh bentuk kedua adalah sejarah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang
terlepas dari penajahan Belanda.
2. Kebebasan individu
Subyek kebebasan individu adalah manusia perorangan. Berbeda dengan kajian
kebebasan social politik dimana kebebsana social politik dibahas dalam etika politik,
sedangkan etika umum yang dibahas adalah kebebasan individu. Beberapa arti
kebebasan (individu) dapat dibedakan:
a. Kesewenang-wenangan
1) Di sini bebas dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan
keterikatan. Kebebasan dalam arti ini dilihat sebagai kesempatan berbuat
semau-maunya.
2) Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas
disebut kebebasan, disini bebas disalahgunakan. Sebab bebas
sesungguhnya tidak berarti lepas dari segala keterikatan. Kebebasan yang

3
Drs. A.M. Hoeta Soehoet, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Yayasan Kampus Tercinta-IISP
2002), hlm. 32.

3
sejati mengandaikan keterikatan oleh norma-norma. Norma-norma tidak
menghambat adanya kebebasan, tapi justru memungkinkan tingkah laku
bebas.
3. Kebebasan fisik
Tidak ada paksaan atau rintangan dari luar. Jika dia bias bergerak kemana saja
tanpa hambatan apapun maka dia bebas. Orang di ikat tentu tidak bebas. Tapi
pengertian bebas tidak hanya itu, banyak pahlawan yang pernah ditahan dan mereka
tetap bebas sepenuh-penuhnya. Tiadanya kebebasan fisik bias disertai adanya kebebasan
dalam arti yang lebih mendalam. Sebaliknya kalau ada orang dapat bergerak dengan
bebas, hal itu belum menjamin dia bebas secara sungguh-sungguh. Contoh orang yang
bergerak secara bebas tanpa halangan namun dia menggunakan kebebasan ini untuk
setiap hari pergi ke perjudian. Orang ini sudah kecanduan sudah menjadi budak
kebiasaannya.
4. Kebebasan yuridis
Ini berkaitan erat dengan hukum. Kebebasan dalam arti ini adalah syarat-syarat
fisis dan social yang perlu dipenuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara
konkret. Adanya hukum memberikan kebebasan bagi masing-masing individu.
5. Kebebasan psikologis
Kebebasan psikologis adalah kemampuan untuk mengembangkan serta
mengarahkan hidupnya. Kemampuan itu menyangkut kehendak (free will). Kebebasan
ini menyangkut bahwa manusai adalah makhluk yang berakal, ia dapat berpikir sebelum
bertindak. Ia sadar penuh dan pertimbangan yang matang sebelum bertindak. Jika
manusia bertindak bebas, itu berarti ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebab yang
diperbuatnya. Ada suatu makna dari perbuatannya.
6. Kebebasan moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis, namun tidak
boleh disamakan denganya. Menurut Bertens kebebasan moral mengandaikan
kebebasan psikologis, sehingga tanpa kebebasan psikologis tidak mungkin ada
kebebasan moral. Namun kalau ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan
moral.

4
Sebagai contoh: seorang sandera dipaksa teroris untuk menanda tangani surat
pernyataan. Ini jelas secara psikologis dia bebas, namun ia melakukan sesuatu di luar
kehendaknya karena terpaksa.

B. Hak Perlawanan
Pada zaman sekarang, hak adalah sesuatu hal yang ada untuk berhadapan dengan
tindakan-tindakan yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, terutama
berhadapan dengan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, menentang kekuasaan
negara: dengan menolak ketaatan atau dengan memakai kekerasan".
Perlu diketahui, hak perlawanan tidak sama dengan anarkisme. Anarkisme
secara prinsipil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak perlawanan
justru mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang menjamin
keberlakuannya. Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem ketika
kekuasaan negara mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan
citra hukum yang paling fundamental.
Hak perlawanan selalu hanya dibenarkan kalau terpenuhi dua syarat: pertama,
ketika tindakan-tindakan penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan. Kedua,
semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang ketidakadilan itu sudah
dicoba dan tidak berhasil, termasuk dengan cara protes-protes politik biasa.
Magnis dalam catatan apabila negara menutup segala kemungkinan masyarakat
untuk menyuarakan protes, negara sendirilah yang harus dipersalahkan jika masyarakat
mengambil jalan kekerasan.4
Bahwa secara prinsipil warga negara berhak untuk melawan tindakan kekuasaan
negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, tidak dapat disangkal dan
memang tidak disangkal dalam pustaka etika hukum dan politik (walaupun hak itu oleh
banyak pengarang dianggap problematis).
"Perlawanan aktif yang mengambil jalan kekerasan moral tidaklah wajib, tetapi
dari segi hukum kodrat halal dan sah berhadapan dengan suatu pemerintah yang
kriminal, yang secara sadar bertindak melawan hukum kodrat. Perlawanan aktif itu
dapat dibenarkan tidak hanya dari segi hak manusia untuk membela diri, melainkan
sama dengan hak hukum untuk memaksa pada umumnya, dari kodrat manusia yang
tidak mengizinkan pemeliharaan tatanan umum tanpa pemakaian kekerasan dan
4
Ibid, Franz hlm. 157.

5
paksaan, jadi akhirnya karena hukum kodrat diarahkan pada perwujudan tatanan
umumnya. Dari lain pihak, hakikat hukum sebagai tatanan mengimplementasikan
bahwa perlawanan aktif hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus ekstrem."
Tidak mungkin ada hak hukum atas perlawanan, karena, perlawanan dengan
sendirinya melanggar hukum. Kita baru bicara tentang perlawanan apabila protes warga
negara melanggar hukum. Jadi, pertanyaan kita termasuk etika, bukan teori hukum.5
Jadi, hak negara untuk menuntut ketaatan secara prinsipil terbatas oleh tujuan
negara, kesejahteraan umum, dan dalam paham kesejahteraan umum termasuk pula
keadilan. Apabila negara menetapkan peraturan yang tidak lagi sesuai dengan prinsip-
prinsip keadilan, warga negara tidak wajib untuk menaatinya. Dan kekuasaan negara
hanya boleh dipergunakan untuk menunjang tatanan negara yang adil. Maka suatu
tindakan kekuasaan negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, boleh
dilawan.
Perlawanan itu dipandang sebagai semacam hak darurat untuk membela diri
terhadap serangan yang tidak adil hak mana dimiliki oleh setiap orang. Jadi, bukan
hanya perampok yang boleh dilawan apabila mau merampas harta dan hak seseorang,
tetapi juga negara apabila telah menjadi perampok.
Hak perlawanan dibedakan menjadi dua: pasif dan aktif. Perlawanan pasif ialah
tidak menaati suatu perintah atau peraturan negara. Misalnya, kita menolak untuk
membayar pajak. Penolakan terhadap wajib militer pun termasuk di sini.
Perlawanan pasif itu, secara etis, dapat dibenarkan. Tidak dapat disangkal.
Apabila keadilan atau salah satu hak asasi manusia dilanggar dengan kasar, perlawanan
itu malah merupakan tuntutan etis. Hak perlawanan pasif itu dapat disimpulkan
langsung dari tuntutan untuk selalu menaati suara hatinya sendiri, dan dari keterbatasan
prinsipil hak negara untuk menuntut ketaatan.
Menurut Aristoteles, dalam negara yang baik, manusia yang baik mesti juga
merupakan warga negara yang baik. Tetapi, dalam negara yang buruk, manusia yang
baik mesti menjadi warga negara yang buruk (karena sebagai manusia yang baik ia
tidak dapat menyesuaikan diri dengan pola pergaulan negara yang buruk itu), sedangkan
warga negara yang baik (yang hidup sesuai dengan aturan negara yang buruk itu yang
tidak adil) adalah manusia yang buruk.

5
Jacques rancière, Dissensus, terjmh. steven Corcoran (London: Continuum 2010), hlm. 27.

6
Bentuk-bentuk lain dari perlawanan yang pasif adalah kritik lisan dan tertulis
walaupun tidak diizinkan, pencetakan tulisan-tulisan secara diam-diam, pemogokan
kerja, boikot, demonstrasi damai, dan pelarian ke luar negeri. Ciri khas perlawanan pasif
ialah bahwa tidak dipergunakan ancaman atau kekerasan fisik. 6
Nah, perlawanan yang secara etis problematis adalah perlawanan aktif. Di sini
termasuk kekerasan terhadap benda milik orang lain atau negara dan terhadap manusia,
Tindakan-tindakan perusakan, sabotase, pemberontakan dan revolusi, termasuk juga
penghasutan agar orang lain melakukan tindakan semacam itu.
Ciri khas perlawanan aktif ialah dipergunakan kekerasan untuk mencapai tujuan-
tujuan dimaksud. Sifat perlawanan aktif secara hakiki berlainan dengan perlawanan
pasif. Menggunakan kekerasan berarti mau memaksa. Memaksa dengan sendirinya
adalah sikap terhadap manusia lain yang tidak memadai, karena tidak menghormati
kebebasannya.
Dengan memaksa, saya mengubah situasi secara sepihak dan dengan demikian
mengubah syarat hidup orang lain. Ini menimbulkan pertanyaan: dari mana saya
mengambil legitimasi untuk memaksakan perubahan kehidupan pada orang lain? Cita-
cita luhur, termasuk perjuangan demi keadilan, mengizinkan banyak interpretasi dan
belum tentu merupakan cita-cita mereka yang terkena oleh tindak kekerasan saya itu.
Pemaksaan selalu menyerupai pemerkosaan dan pemerkosaan demi tujuan baik pun
tidak dapat dibenarkan.
Kekerasan selalu membahayakan kesehatan, keutuhan badan, dan bahkan nyawa
orang lain yang tidak bersalah. Dengan demikian, kekerasan sendiri menjadi
pelanggaran hak-hak asasi manusia. Padahal, tindak kekerasan justru mau
dilegitimasikan sebagai perlawanan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Dengan demikan, kekerasan adalah sarana yang tidak adil. Sering dibuat distingsi antara
kekerasan terhadap benda dan terhadap orang. Yang kedua memang ditolak, tetapi yang
pertama dikatakan dibenarkan.
Walaupun distingsi itu tidak sama sekali tanpa arti, namun tetap meragukan.
Karena, garis antara benda milik orang lain dan orang yang memilkinya hanyalah tipis.
Sebagai makhluk jasmani, manusia memerlukan benda-benda material untuk dapat
hidup. Maka miliknya dapat dipandang sebagai perpanjangan tubuhnya, sebagai
6
albert Camus, The Plague, terjmh. stuart gilbert (new York: vintage inter - national, 1975).
Hlm. 13-19.

7
lingkaran luar dimensi jasmani manusia. Dan oleh karena itu, pelanggaran terhadap
milik seseorang juga melanggar keutuhannya sebagai manusia. Dengan demikian,
kekerasan terhadap benda pun secara etis tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan sarana
untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang luhur.7
Satu-satunya situasi di mana perlawanan dengan kekerasan dapat dibenarkan
adalah situasi di mana saya langsung diancam, entah benda milik saya, entah nyawa
saya. Setiap orang berhak untuk membela diri terhadap kekerasan yang tidak sah.
Sedangkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan luhur, kekerasan tidak dapat
dibenarkan.
Kekerasan yang dilegitimasi demi tujuan-tujuan moral atau religius merupakan
salah satu sumber keganasan, kebrutalan, dan ketidakadilan yang paling utama dalam
sejarah umat manusia. Tidak ada manusia yang lebih menakutkan daripada sang fanatik
yang berdasarkan pahamnya tentang suatu tujuan suci mau memaksakan kehendaknya
kepada orang lain atau merasa berhak untuk merusak dan membunuh.

C. Kebebasan Suara Hati Dan Hak Perlawanan Dalam Revolusi


Perlawanan yang tidak hanya untuk menentang kebijakan atau peraturan
tertentu, melainkan bertujuan untuk menumbangkan pemegang kekuasaan dan
mengubah seluruh system ketatanegaraan disebut revolusi. Berbeda dengan perlawanan
pasif, perlawanan aktif dapat meluas menjadi usaha revolusioner.
Dengan revolusi, di sini dimaksud suatu perubahan undang-undang dasar negara
secara mendadak yang dipaksakan oleh suatu gerakan massal. Ciri khas revolusi ialah
bahwa ia tidak legal. Ia merupakan upaya perubahan di luar dan bertentangan dengan
tatanan hukum yang sedang berlaku. Revolusi harus dibedakan dari kudeta dan putsch,
di mana sekelompok kecil merebut kekuasaan, atau orang-orang yang berkuasa sendiri
menghapus konstitusi yang lama.
Dalam penilaian terhadap legitimasi revolusi, kita harus membedakan antara
legalitas dan legitimasi moral. Revolusi dengan sendirinya bertentangan dengan hukum
yang berlaku. Yang menarik ialah, kata Magnis-Suseno, sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Zippelius, kualifikasi hukum revolusi ditentukan oleh hasilnya.
Apabila revolusi gagal, para pelaku sudah pasti akan dihukum. Tetapi, apabila revolusi

7
Manalu, Dimpsos, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik.(Gajah Mada University
Press, 2009), hlm. 6.

8
berhasil, revolusi menciptakan hukum dan tatanan kenegaraan baru yang dengan
sendirinya menjadi legal dan merupakan sumber hukum.
Negara selalu memerlukan kekuasaan, maka kalau kekuasaan baru itu lama-
kelamaan diakui masyarakat, kekuasaan baru itu dengan sendirinya sah. Lebih lanjut,
Magnis-Suseno menjelaskan dalam catatan kaki, mengutip Zippelius, “Kualifikasi
yuridis revolusi ditentukan oleh sukses. Apabila revolusi gagal, artinya bersifat pidana
(strafrechtlich). Apabila berhasil, artinya yuridis (staatsrechtlich). Apabila kekuasaan
negara baru, dapat mempertahankan diri, maka yang terjadi bukan hanya situasi
kekuasaan yang baru, melainkan juga situasi hukum yang baru.”8
Tetapi etika politik tidak memasuki masalah-masalah legalitas, melainkan
mempertanyakan legitimasi moral revolusi. Dapatkah suatu revolusi dibenarkan secara
moral?
Singkatnya, dengan mengambil contoh Revolusi Prancis, Revolusi Oktober,
revolusi di Vietnam, Kamboja, atau Iran, Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik,
menjelaskan bahwa revolusi (yang jelas dengan kekerasan), sulit dicarikan dasar
legitimasi moralnya.
Bahwa revolusi, selalu dilakukan dengan kekerasan dan menindas hak-hak asasi
manusia. Revolusi dilakukan untuk mengakhiri penindasan. Tapi, penindasan selalu
melahirkan penindasan baru.

8
Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 146-168,

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita berhak atas kebebasan kita. Kenyataan yang sama dasariahnya dengan
kebebasan kita adalah bahwa kita adalah anggota masyarakat. Bahkan kita lebih dari itu
kita hanya berada di dunia dan kita hanya dapat hidup terus menerus berkat dukungan
masyarakat. Kebebasan manusia secara hakiki terbatas oleh kenyataan bahwa kita
adalah anggota masyrakat. Kita manusia tidak dapat mencukupi kehidupan kita secara
sendirian (solitaire). Setiap anggota masyarakat mempunyai kebebasan, kebebasan
masing-masing individual akhirnya membatasi kebebasan masing-masing. Ada dua arah
keterbatasan yaitu:
a. hak kita untuk melakukan sesuatu menemukan batasnya dalam hak orang lain atas
kebebasan yang sama dengan kita; contoh kita berhak melewati jalan, bebas
menggunakan jalan itu namun orang lainpun berhak melewatinya dan bebas
melewtinya, oleh karena sama-sama mempunyai hak, maka ada batasan kebebasan
dalam hal ini
b. kita hanya dapat hidup karena kebutuhan kita terus menerus dipenuhi oleh orang lain,
oleh masyarakat, oleh Negara. Kita berhak tapi juga masyarakat juga berhak, oleh
karena itu masyarakat juga berhak untuk membatasi kesewenangan saya demi
kepentingan bersama.
Perlawanan itu dipandang sebagai semacam hak darurat untuk membela diri
terhadap serangan yang tidak adil hak mana dimiliki oleh setiap orang. Jadi, bukan
hanya perampok yang boleh dilawan apabila mau merampas harta dan hak seseorang,
tetapi juga negara apabila telah menjadi perampok.
Hak perlawanan dibedakan menjadi dua: pasif dan aktif. Perlawanan pasif ialah
tidak menaati suatu perintah atau peraturan negara. Misalnya, kita menolak untuk
membayar pajak. Penolakan terhadap wajib militer pun termasuk di sini.
Perlawanan pasif itu, secara etis, dapat dibenarkan. Tidak dapat disangkal.
Apabila keadilan atau salah satu hak asasi manusia dilanggar dengan kasar, perlawanan
itu malah merupakan tuntutan etis. Hak perlawanan pasif itu dapat disimpulkan
langsung dari tuntutan untuk selalu menaati suara hatinya sendiri, dan dari keterbatasan
prinsipil hak negara untuk menuntut ketaatan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Mertokusumo. (2002). Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta.


Franz Magnis Suseno. (1987) Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Cet.
pertama, Pustaka Filsafat.
Drs. A.M. Hoeta Soehoet. (2002). Pengantar Ilmu Komunikasi. Yayasan Kampus
Tercinta-IISP.
Jacques rancière. (2010). Dissensus, terjmh. steven Corcoran. London: Continuum.
Camus, albert. (1975) The Plague, terjmh. stuart gilbert. new York: vintage inter –
national.
Manalu, Dimpsos. (2009). Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik. Gajah
Mada University Press.

11

Anda mungkin juga menyukai