Anda di halaman 1dari 6

MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMILIH PEMULA MELALUI

LITERASI DIGITAL

I. Pendahuluan

Pemilu di Indoneisa merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi dan menjadi

sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintah.

pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Partisipasi politik dalam

negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan

negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan

keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Pemilihan umum dapat dikatakan

sebagai salah satu sarana demokrasi dan bentuk perwujudan kedaulatan rakyat untuk

menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang aspiratif, berkualitas, serta bertanggung

jawab untuk mensejahterakan rakyat.

Dalam pemilihan Umun ada beberapa aspek yang menarik untuk di bahas salah

satunya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Suatu kategori kelompok

pemilih yang sangat menarik untuk diamati dan diteliti lebih jauh adalah pemilih

pemula. Pemilih Pemula adalah pemilih-pemilih yang baru pertama kali akan

memberikan suaranya dalam Pemilu. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui

bentuk-bentuk partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilu, faktor-faktor

pendukung partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilu serta faktor-faktor

penghambat partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilu. Terutama di era 4.0 saat
ini, segala hal sudah terdigitalisasi. Maka hendaknya proses peningkatan partisipasi

politik pemilih pemula juga dilakukan secara digital dengan berbagai upaya salah

satunya peningkatan pengetahuan pemilih pemula dengan literasi digital.

II. Pembahasan

Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami

informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Sehingga literasi tidak hanya

sebatas kemampuan seseorang membaca dan menulis tetapi juga bagaimana

kemampuan seseorang mengelola dan memahami informasi yang di dapat sebagai suatu

pengetahuan baru.

Literasi digital atau kemelekan digital (melek digital) adalah pengetahuan dan

kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam

menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya

secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum sesuai dengan kegunaannya

dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

Paul Gilster mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan untuk

memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber

dengan sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. UNESCO sendiri

menguraikan bahwa literasi digital adalah kecakapan yang tidak hanya melibatkan

kemampuan penggunaan perangkat teknologi, informasi dan komunikasi, tetapi juga

melibatkan kemampuan untuk dalam pembelajaran bersosialisasi, sikap berpikir kritis,

kreatif, serta inspiratif sebagai kompetisi digital.


Salah satu bentuk pengaplikasian dari kemampuan literasi digital yaitu melalui

penggunaan dalam hal pengaksesan, penemuan, pengevaluasian, pemanfaatan informasi

mengenai kegiatan pemilihan umum sebagai wujud partisipasi politik para pemilih

pemula. Pemilih pemula merupakan suatu kelompok pemilih yang baru pertama kali

turut berpartisipasi dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (Bakti

dkk, 2012).

Sebagai generasi kelompok pemilih yang tumbuh berkembang di era digital

maka para pemilih pemula pun turut serta beradaptasi dengan perkembangan

kontemporer yang ada terkait dengan proses pencarian informasi (information

searching) politiknya. Kelompok pemilih tersebut menggunakan media online sebagai

bahan rujukan informasi politiknya dan sekaligus mengkombinasikannya dengan

bermacam media lainnya.

Aktivitas perpolitikan di era saat ini, tidak hanya terjadi secara fisik semata,

melainkan saat ini aktivitas perpolitikan mulai memasuki ke ranah virtual. Segala

aktivitas politik yang terjadi di media digital tentunya membawa dampak terhadap

perkembangan informasi yang tersebar secara massif di media digital. Informasi yang

tersebar secara massif tersebut, semakin menyulitikan para pemilih pemula dalam

mengumpulkan informasi dalam membangun pengetahuan politik. Pasalnya informasi

yang beredar di media digital tidak selalu memiliki kebenaran, banyak juga informasi

yang bersifat palsu dan menyesatkan. Terlebih lagi, kecenderungan kalangan anak muda

yang hanya memanfaatkan media digital sebagai sarana hiburan, dapat membuat

kemampuan berfikir kritis mereka dalam menganalisis informasi di media digital

menjadi kurang terasah dengan terampil, Sehingga semakin menyultikan para pemilih
pemula dalam memilah informasi yang didapatkannya. Oleh karena itu penguasaan

kemampuan literasi digital sangat diperlukan oleh kalangan pemilih pemula, agar dalam

proses pencarian informasi, evaluasi informasi hingga pemanfaatan informasi dapat di

implementasikan secara maksimal dalam bentuk partisipasi politik bagi para pemilih

pemula.

Namun fenomena saat ini menurut (Perangin-angin & Zainal, 2018) pemilih

pemula cenderung lebih memanfaatkan media sosial sebagai rujukan berita dan

informasi politiknya. kecenderungan pemilih pemula memilih media sosial sebagai

sumber informasinya karena mereka sudah terbiasa dan akrab dengan penggunaan

media sosial, hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian (Abadi & Putri, 2016) yang

menunjukkan bahwa pemilih pemula mengetahui dan mengenal calon presiden dan

wakil presiden melalui media digital 70.43% sedangakat dari media cetak sebesar

28,28%. Lalu hal itu dipertegas oleh data penelitian yang diungkapkan oleh

(Ratnamulyani & Maksudi, 2018) memaparkan bahwa akses informasi pemilih pemula

terkait dengan pemilu di dapat dari media sosial yaitu twitter sebanyak 35 %, Facebook

28%, Instagram 28%. Dari berbagai data tersebut menunjukkan bahwasanya

kecenderungan pemilih pemula memenuhi kebutuhan informasi terkait pengetahuan

politiknya, cenderung memanfaatkan media sosial sebagai sumber pengetahuan

politknya.

Pemilih pemula yang cenderung memanfaatkan media sosial daripada situs

resmi dalam mengumpulkan informasinya perlu untuk mengembangkan kemampuan

evaluasi informasi ketika menelusuri media sosial agar dapat mengidentifikasi berbagai

informasi palsu serta menyesatkan. Banyaknya informasi yang beredar di media sosial
terlebih menjelang pilkada atau pesta demokrasi yang syarat akan kepentingan, semakin

menyulitkan kalangan pemilih pemula dalam mencari informasi faktual di media sosial.

Terlebih informasi yang beredar di media sosial pada saat ini banyak juga mengandung

berita palsu/hoax. Tingginya informasi palsu yang beredar di media sosial diungkapkan

oleh (Mastel, 2019) yang bahwa saluran penyebar berita informasi hoaxs 87.50%

berasal dari media sosial, 67.50% berasal dari aplikasi chatting, 28,20% berasal dari

situs website, 6.40% dari media cetak serta 8.70% berasal dari televisi/radio. Dari data

tersebut mengungkapkan bahwa tingginya informasi palsu yang beredar di internet,

cenderung melalui media sosial. Hal tersebut membawa kekhawatiran kepada pemilih

pemula, mereka yang cenderung memanfaatkan media sosial sebagai rujukan

informasinya lebih rentan terpapar hoax daripada mereka yang memanfaatkan situs

resmi maupun sumber informasi lainnya.

Tingginya penyebaran informasi hoax pada pesta demokrasi sebelumnya,

membuat pemilih pemula perlu untuk mengebangkan pemikiran kritis dalam

mengevaluasi informasi di media sosial. Perlunya mengembangkan pemikiran kritis

dalam mengevaluasi informasi, yaitu karena beragamnya konten informasi yang

disajikan baik dari media nasional, situs resmi hingga penulis anonim memiliki

heterogenitas dalam segi kualitas serta keakuratan informasi.

III. Kesimpulan

Pemilu yang demokratis paling tidak harus memiliki 5 pilar diantaranya adalah

regulasi yang jelas, peserta pemilu yang berkompeten, pemilih yang cerdas,

penyelenggara pemilu yang berintegritas, dan birokrasi yang netral. Dimana pilar yang
satu saling mendukung dengan pilar yang lainnya. Tanpa satu pilar, maka tidak

mungkin mencapai pemilu yang demokratis, kelimanya harus saling menguatkan.

Sehingga menjadi tanggung jawab Bersama bagi KPU sebagai penyelenggara, Bawaslu

sebagai pengawas, serta partai politik dan calon perseorangan untuk menyajikan data

yang akurat, benar dan terpercaya. Kemudian diharapkan juga adanya tim siber yang

dapat mendeteksi pelanggaran di media sosial, seperti oknum penyebaran berita hoaxs,

isu politik identitas dan ujaran kebencian, kemudian ada regulasi yang jelas terhadap

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai