Anda di halaman 1dari 6

Memandang Tren di 2018

(Politik, Sosial, Budaya, dan Kemahasiswaan)

ABSTRAK
Esai ini berusaha mengkaji bagaimana tren yang terjadi di tahun 2018 dari segi
politik, sosial, budaya, dan kemahasiswaan. Esai ini difokuskan pada argumen
tidak ada visi strategik yang pasti. Hal ini semakin terlihat jelas fungsi dan
peranan pers terhadap pemilihan umum demokrasi pada pasal 28 UUD 1945 yaitu
menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan mengakui hal itu. Pers yang meliputi media cetak, elektronik dan
media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan maksud tersebut.
Di masa mendatang, peranan pers bukan saja sebagai penyebar informasi dan
memberikan pendidikan dalam Pilkada dan Pemilu. tetapi terkadang pers
dijadikan inspirasi oleh pemangku kekuasaan dalam mengambil langkah yang
strategis dan siginifikan. Sehingga, pers harus dijaga dan ditingkatkan demi
kepentingan nasional.

Kata kunci : peranan pers, pemilihan umum, visi strategik, kepentingan


nasional, demokratis
Sebagai negara dengan sistem demokrasi, pemilihan umum adalah cara
masyarakat Indonesia dalam memilih pemimpin negaranya. Begitu pula saat ini
sedang musimnya pemilihan umum, yaitu pilkada 2018 dan pilpres 2019. Namun,
ada sebagian masyarakat yang memilih untuk golput. Semakin tinggi jumlah
masyarakat yang golput, berarti tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu
semakin rendah.
Melirik sedikit sejarah pemilihan umum di Indonesia, partisipasi
masyarakat dalam Pemilu di masa Orde Lama dan Orde Baru tergolong sangat
tinggi. Namun hal tersebut tidak berarti bahwa masyarakat benar-benar telah
melakukan proses demokrasi dengan baik, karena tidak terpenuhinya unsur
langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil.

Pemilu pertama yang berlangsung pada 1955 mencatat tingkat partisipasi


publik hingga 91,1% dan angka golput sebanyak 8,6%. Angka Golput terendah
terjadi pada pemilu berikutnya yaitu 1971, yang turun hingga angka 3,4%. Angka
golput terbesar terjadi pada era reformasi pasca Orde Baru, yaitu pada pilpres
2009, yang mencetak angka golput sebanyak 29,3%. Pilpres 2009 merupakan
pemilihan umum pertama di mana masyarakat Indonesia bisa memilih presiden
dan wakil presidennya secara langsung. Sementara dalam lingkup daerah, pilkada
serentak yang pertama kali diadakan pada 2015 hanya diikuti oleh 70% pemilih
dari daerah yang mengadakan pemilihan. Artinya, tingkat golput dalam Pilkada
serentak 2015 mencapai 30%. (sumber: KPU oleh H. Soebagio)

Tingginya tingkat golput bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk


regulasi, konflik dalam partai politik, serta para kandidat kepala daerah yang tidak
memiliki nilai jual di mata masyarakat.

Oleh karena itu, untuk mengatasi jumlah golput dan menyukseskan


pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilihan Umum
(Pemilu) Pileg dan Pilpres 2019, bukan sekedar mengandalkan lembaga
penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun ikut dilibatkan dari peran pers untuk
mengawal jalannya proses Pilkada dan Pemilu tersebut.

Setiap tahapan Pilkada dan Pemilu tanpa peran pers akan sia-sia, sehingga
pers dianggap penting sebagai media penyebar informasi secara akurat dan
berimbang kepada massa. Peran pers sangat besar dalam mengkampanyekan
setiap tahapan Pemilu selain mengandalkan metode sosialisasi tatap muka,
spanduk, baliho, pamplet, media sosial (facebook, instagram, WhatAps, Twitter,
line, skype, email).
Harapan dari peran pers sendiri agar kegiatan tahapan Pilkada dan Pemilu
tepat sasaran, sehingga masyarakat paham dan mengerti maksud dan tujuan yang
disampaikan penyelenggara pemilu.

Selain itu, pers juga berperan menunjukkan sikap dengan mengawal dan
memberitakan Pilkada dan Pemilu, seperti dari segi regulasi, kelembagaan
penyelenggara, pengawas dan pemantau Pilkada dan Pemilu, juga lembaga survei,
hingga pemilih. Selanjutnya, visi, misi, program kerja paslon juga menarik, tapi
harus tetap menjaga independen, jangan menjadi corong kandidat tertentu.

Kemudian pers pula mengawal proses pelaksanaan tahapan kampanye,


verifikasi data pemilih, penggunaan hak suara dan penghitungan kertas suara
hingga pelantikan. Penyelenggara Pilkada dan Pemilu pun tidak luput dari
pengawasan pers supaya dituntut bersikap profesional dalam bertugas. Jika ada
yang tidak sesuai atau diluar jalur, maka KPU dan Bawaslu perlu “dicubit” dan
ditegur supaya tugasnya tidak menyimpang, karena siapa lagi yang bertugas
mengawalnya kalau bukan peran pers dan masyarakat.

Peran pers bukan saja sebagai penyebar informasi dan memberikan


pendidikan dalam Pilkada dan Pemilu. tetapi terkadang pers dijadikan inspirasi
oleh pemangku kekuasaan dalam mengambil langkah yang strategis dan
siginifikan. Sehingga, pers harus dijaga dan ditingkatkan demi kepentingan
nasional. Salah satu prioritas penting Bawaslu misalnya, sesuai dengan UU No.15
Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu adalah mengutamakan strategi
pencegahan untuk meminimalisasi pelanggaran daripada melakukan penindakan
pelanggaran itu sendiri.

Peranan strategis pers terhadap pemilihan umum yang demokrasi terbagi


menjadi 3 hal yaitu sebagai a)sarana pendidikan politik b)sarana sosialisasi dan
promosi c)sarana kontrol sosial demokrasi

Peranan pers sebagai sarana pendidikan politik, tidak dapat dipungkiri


bahwa pers memegang peranan yang sangat penting terutama dalam kaitannya
dengan upaya pencerahan dan pencerdasan masyarakat, khususnya pada bidang
sosial dan politik. Karena kita sangat memahami, bahwa sejatinya pendidikan
politik bukan saja menjadi “domain” atau tugas pertama dan utama partai politik;
baik fungsionarisnya, kadernya maupun simpatisannya. Melainkan ada “ruang
kosong” sebagai wilayah terbuka yang patut dan pantas dikelola oleh segenap
insan pers secara objektif, proporsional dan profesional.

Pendidikan politik dimaksud, tidak saja berbicara berkenaan dengan


pemenuhan “hak” setiap warga negara untuk “memilih ataupun dipilih”. Tidak
juga sekadar untuk memberitahukan masyarakat terkait siklus Pemilu yang
diselenggarakan setiap lima tahun sekali tersebut. Lebih jauh dari itu, pendidikan
politik yang diusung oleh pers bertujuan untuk memberikan kesadaran dini kepada
setiap individu sebagai Warga Negara yang telah memenuhi “persyaratan yuridis”
tentang pentingnya berpartisipasi aktif dan berkontribusi positif di dalam setiap
“momentum emas” kehidupan berdemokrasi itu.

Peranan pers sebagai sarana sosialisasi dan promosi, sudah menjadi


rahasia umum bahwa Pemilu menjadi ajang “test case” atau uji kelayakan bagi
setiap partai politik hingga calon anggota legislatif di Pusat dan Daerah untuk
mengukur popularitas, elektabilitas dan bahkan akseptabilitasnya masing-masing
di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, pers memiliki ranah yang sangat luas
untuk membantu mensosialisasikan dan mempromosikan cita-cita para calon
sebagai pertimbangan untuk ikut dalam kompetisi lima tahunan itu.

Kampanye melalui pers juga diyakini akan memberi manfaat signifikan


bagi tersebarluaskannya visi, misi, program kerja, karakteristik dan “rekam jejak”
masing-masing partai politik dan para calon tersebut secara “gradual” dan massif.

Peranan pers sebagai sarana kontrol sosial demokrasi, Hampir semua


penduduk di Negeri ini sudah sangat memahami dan memaklumi bahwa ajang
perhelatan demokrasi bersiklus lima tahunan ini; menggelontorkan biaya tinggi
dan melibatkan sumber daya yang sangat banyak serta beragam. Bahkan, pada
beberapa daerah tertentu, ditengarai sering berpotensi terjadinya konflik sosial
hingga isu SARA (Suku, Adat, Agama dan Ras). Oleh karenanya, diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dan serius dari semua pihak termasuk insan pers,
untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu serentak.
Ibarat kata pepatah Minang, pada saatnya nanti jangan sampai terjadi kondisi
“pitih abih samba tak lamak” alias sia-sia.

Sebagai salah satu sarana alternatif kontrol sosial dalam upaya penataan
kehidupan berdemokrasi di Negeri yang telah berdaulat semenjak 17 Agustus
1945 lalu, secara lebih spesifik, insan Pers dituntut untuk tetap kritis terhadap
masih adanya upaya provokasi, intimidasi dan praktek “politik uang” hingga jual
beli suara serta kemungkinan adanya pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan
oleh “lembaga penyelenggara” Pemilu tersebut atau bahkan oleh peserta Pemilu
pada setiap tingkatannya. (alumni fakultas hokum UMMY Solok : Risko
Mardianto, SH)

Pencegahan hanya dapat dilakukan melalui peran pers di dalamnya.


Dengan semakin efektifnya informasi yang disebarluaskan pers, diyakini kuat
akan menumbuhkan rasa peduli dan sadar dari masyarakat untuk ikut
berpartisipasi aktif dalam pemilu. Sedangkan dampaknya akan semakin baik
tingkat partisipasi pemilih setiap Pilkada dan Pemilu.

Selain itu, lembaga penyelenggara Pemilu harus menjaga sikap netralitas


dan integritas. Bahkan setiap bertindak selalu mengedepankan sikap profesional,
berimbang dan berlandaskan aturan-aturan secara tegas tanpa tebang pilih. Penulis
tegaskan sekali lagi bahwa pers bukan merupakan corong salah satu partai politik,
tetapi pers siap memberikan ruang yang sama bagi setiap pasangan calon atau
kandidat dalam Pilkada dan Pemilu. Pers berperan dalam mengawal Pemilu yang
Demokratis. Semoga, kekompakan semua elemen dalam mengawal Pilkada 2018
dan Pemilu 2019 nanti bisa menghasilkan pemilu yang demokratis dan
bermartabat di negeri Serumpun Sebalai tercinta.

  ”Ada seribu harapan ketika suksesi terjadi.


       Harapan ini dibangun di hati nurani setiap rakyat.
       Sering kali harapan itu tidak lebih dari dongeng yang terlampau indah.
       Di dalam dongeng itu, rakyat berkhayal.
       Siapa calon pemimpin yang punya telinga nurani dan moralitas
       untuk mencatat dan mendengarkan dongeng-dongeng rakyat itu?
       Mungkin tak ada yang bisa memberi jaminan, juga saya.
       Hanya Sang Hyang Widhi Wasa yang tahu, Astungkara.—

Kesimpulan
Bangsa yang maju adalah bangsa yang mau berpartisipasi pada setiap
kebijakan yang dibuat pemerintah salah satunya adalah pemilihan umum (pemilu),
pers memegang peranan penting terhadap mengawal proses pemilihan umum yang
demokratis. Hal ini untuk memastikan bahwa prosesi monitoring, evaluasi dan
kontrol sosial yang dilakukan oleh pers terhadap dinamika “pesta politik rakyat”
nan ritual itu berjalan dengan akurasi dan presisi yang tinggi serta tanpa tekanan
dari pihak manapun. Jika pers sebagai media “mainstream” telah memainkan
perannya dengan baik dan bertanggung jawab, maka dapat dipastikan bahwa
pemilu yang memiliki jargon Luber serta Jurdil itu akan menghasilkan para
pemimpin dan pengemban amanat rakyat yang memiliki integritas dan
kompetensi yang sangat memadai untuk menjalankan pemerintahan yang bersih,
baik dan melayani sepenuh hati.
Daftar Pustaka

Jurnal
Laura Edgar, Claire Marshall dan Bassett, Michael. (Agustus, 2006)
Partnership, Putting Good Governance Principles in Practice, dalam
Institute On Governance. Diakses dari
http://www.iog.ca/publications/2006_partnerships.pdf 
p a d a   t a n g g a l   2 2   A p r i l   2 0 1 8 , pukul 13.00 WIB.

Sumber Website
https://www.rappler.com/indonesia/data-dan-fakta/158472-sketsatorial-sejarah-
golput-pemilu-indonesia , diakses pada 22 April 2018 pukul 22.31
http://www.portalberitaeditor.com/peran-pers-dalam-pemilu-dan-pilkada/ ,
diakses pada 22 April 2018 pukul 22.36
http://www.rakyatpos.com/peran-pers-dalam-mengawal-pemilu-
demokratis.html/ , diakses pada 23 April 2018 pukul 08.00

Anda mungkin juga menyukai