Politik mencakup lebih dari sekedar pengelolaan masalah publik, struktur dan
organisasi pemerintah serta kampanye pemilu yang bersemangat. Lebih dari itu, politik
mencakup aspirasi, tujuan, keyakinan, dan nilai - nilai kemanusiaan. Politik berkaitan dengan
teori dan praktek, ketrampilan filosofis serta teknis. Terjun kedalam dunia politik, haruslah
memliki prasyarat utama. Atau komposisi utama berpolitik, agar berpolitik bukan saja
permainan belaka, tapi berpolitik adalah upaya sungguh-sungguh mengabdi pada
kepentingan rakyat banyak.
Dewasa ini, misalnya, dalam konteks pertarungan politik atau kontetasi politik
faham pencitraan makin diperhatikan. Pencitraan menjadi keharusan agar seseorang
kandidat (pemimpin) terpilih menduduki jabatan-jabatan politik. Tanpa pencitraan, rasa-
rasanya dunia politik tak menarik saja, katakanlah bumbu yang dianggap “pamungkas”
untuk memenangkan pertarungan “masak-memasak.”
Banyak sekali aspek yang diperhitungkan dalam mengkampanyekan citra politik.
Lembaga yang berperan “memuluskan” pencitraan adalah partai politik, media massa, juga
lembaga konsultan politik. Lembaga inilah yang menggagas, merumuskan dan
merampungkan paket pencitraan politik. Makalah ini akan mencoba menyoroti tentang
politik pencitraan di Indonesia, marketingnya dan sejauh mana pencitraan tersebut memiliki
andil terhadap tingkat keterpilihan tokoh. Juga tentang ekses buruk dari politik pencitraan
yang berlebihan.
Tidak dipilihnya media massa sebagai kampanye terbuka sangat terkait dengan;
Sebagai agen politik, media massa bisa melakukan proses pengemasan pesan dan
proses inilah yang sebenarnya membuat sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra
tertentu. Pencitraan politik seringkali sangat efektif untuk menaikkan pamor atau
menghancurkan pamor aktor politik. Namun masalahnya, media yang menjadi agen politik
harus meninggalkan objektivitasnya dan memanipulasi fakta sebagai alat untuk kepentingan
politik.
Sejauh ini, pola komunikasi tradisional masih menjadi pilihan strategi dominan oleh
para kandidat dan tim sukses. Kiyai dan ulama merupakan sasaran kampanye paling
strategis, sehingga hampir setiap saat kiyai dikunjungi oleh para kandidat. Bahkan kadang-
kadang jadwalnya bertabrakan dengan jadwal kandidat lain. Keyakinan para kandidat dan
tim sukses terhadap pengaruh ulama menjadi penyebab kenapa dipilih sebagai arena
kampanye. Sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat, masih dipandang penting dalam
sistem kepercayaan masyarakat termasuk dalam persoalan politik. Namun, karena hal itu,
tak urung ulama dikritik menjadi arena politik praktis.
Menjadikan kiyai dan ulama sebagai jalan menuju kursi kekuasaan politik tidak
sepenuhnya salah. Sah-sah saja setiap orang atau lembaga menggunakan haknya untuk
berpolitik. Namun yang disayangkan adalah apabila kiyai dan ulama dimanipulasi untuk
keperluan politik praktis jangka pendek yang bisa mengorbankan citra kiyai dan ulama
secara mayoritas. Karena politik tidak jauh dari praktik “siapa menguasai siapa, dan siapa
memanfaatkan siapa”.
Selain kiyai dan ulama, para kandidat juga berupaya memperoleh dukungan dari
militer. Lembaga ini memiliki pengaruh langsung terhadap masyarakat baik secara sukarela
maupun karena takut. Pendekatan-pendekatan personal dilakukan kepada pejabat, Ini
sudah bukan rahasia. Apalagi jika kita menengok parktek-praktek politik yang terjadi di
Indonesia selama ini.
Partai Politik
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk
dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara
konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Realitas politik di Indonesia menunjukan bahwa sebagian besar partai politik tidak
menjalankan fungsinya secara maksimal. Partai politik masih menerapkan pragmatisme
politik semata ketimbang mengimplementasikan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Kondisi ini
terutama terlihat jelas dalam tahapan kampanye, dimana sosialisasi dan pendidikan politik
sangat minim sekali (bahkan nyaris tidak ada).
Partai politik seperti pernah disinggung, memainkan peran yang kuat dalam
pencitraan politik kader-kadernya. Dengan mesin partai yang terstruktur, penggalangan
sumberdaya menjadi lebih mudah dan tepat. Mendekati musim pemilihan partai politik
berlomba melakukan seringkain bentuk pencitraan diri agar mendapat simpati dari
konstituen masyarakat. Partai-partai politik berlomba menciptakan iklan, yang dapat
mencitrakan partai atau tokohnya, yang dapat menarik perhatian rakyat. Ini dianggap
pilihan-pilihan politik yang kreatif,yang tujuannya mendapat dukungan yang luas
Yang menarik, bahwa ada partai politik yang membuat iklan dengan menampilkan
tokoh-tokoh masa lalu, yang berubah menjadi 'kontroversi'. Tapi, dianggap masalah
penampilan iklan itu, yang penting kontroversi itu menjadi konsumsi politik rakyat. Misalnya
yang menjad sorotan adalah, adanya sebuah partai yang tiba-tiba menggulirkan isu untuk
pengangkatan Almarhum Jenderal Soeharto sebagai Pahlawan. Ini jelas sebuah strategi
penggalangan emosi masasa yang cukup baik.
Bahkan, bagi partai partai yang ingin menjadi partai besar, tak segan-segan membuat
iklan yang lebih populis, merakyat, dan memposisikan partainya benar-benar sebagai partai
pembela rakyat. Partai politik masih berparadigma konvensional, yang menempatkan
kampanye sebagai ajang unjuk kekuatan ketimbang wahana penyampaian wacana politik
dalam rangka pendidikan politik bagi masyarakat. Kondisi ini menunjukan adanya mal-fungsi
dari partai politik, dalam hal ini fungsi partai politik sebagai sarana sosialiasi dan pendidikan
politik tidak berjalan.
Begitupula halnya dengan realisasi dari fungsi partai politik sebagai peredam dan
pengatur konflik. Partai politik belum bisa menempatkan diri sebagai sebuah institusi politik
yang inklusif yang menampung aspirasi masyarakat dan mendeteksi secara dini potensi dan
gejala munculnya konflik dalam masyarakat. Bahkan, kerap kali partai politik terlibat
langsung dalam konflik atau menjadi biang keladi munculnya sebuah konflik dalam
masyarakat.
Dan kondisi ini terlihat jelas dalam tahapan kampanye, dimana terjadi konflik
terbuka antar partai yang memunculkan konflik antar kelompok masyarakat. Mal-fungsi dan
partai politik (terutama dalam fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik
serta sarana peredam dan pengatur konflik) ini terjadi sebagai akibat dari; pertama,
kemunculan partai yang lebih disebabkan oleh eufona politik semata, bukan dilandasi oleh
kebutuhan dan pemikiran politik yang dewasa.
Hal ini menyebabkan partai-partai tersebut cenderung emosional dan reaktif dalam
berpolitik. Kedua, sebagian besar partai politik tidak memiliki visi, misi, platform, dan
program yang jelas. Ini merupakan dampak turunan dari kemunculan partai politik itu
sendiri yang dilandasi oleh euforia politik. Akibatnya tidak ada wacana politik yang dapat
ditawarkan kepada masyarakat, hanya konvoi dan arak-arakan saja.
Dalam kaitan itu, partai politik tidak melakukan pendewasaan politik tetapi
melakukan pembodohan politik kepada masyarakat. Ketiga, struktur dan infrastruktur
politik yang dimiliki oleh sebagian besar partai politik (baru) sangat tidak memadai bagi
terealisasinya fungsi-fungsi dari partai politik. Hal ini dimungkinkan karena usianya yang
masih relatif muda, dibutuhkan waktu yang panjang untuk mematangkan dan menguatkan
struktur dan infrastruktur partai politik sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Keempat, sebagian partai politik masih cenderung memiliki pemikiran politik yang
kurang dewasa, terutama menempatkan pemilu sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan
semata. Pemilu hanya dilihat sebagai alat untuk mendapatkan jatah kursi di legislatif. Fungsi
lain dari pemilu diabaikan begitu saja. Akibatnya, partai-partai politik terjebak pada
pragmatisme dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Mal-
fungsi dari partai politilt tersebut pada akhirnya akan mengurangi kualitas dari
penyelenggaraan pemilu, terutama berkaitan dengan pendidikan dan pendewasaan politik
masyarakat.
Media Massa
Politik sering menempatkan media sebagai medan perang sekaligus panglima. Hal ini
dimungkinkan ketika media memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan informasi mana
yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik. Kondisi ini menempatkan media
sebagai pembentuk citra baru bagi individu atau lembaga. Hal ini menjadikan berita terus
mengalami redefinisi sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Fakta juga kini telah berubah menjadi komoditas yang mudah dikemas, didaur ulang
dan dimaknai kembali. Maka wajar jika hampir seluruh media memberitakan hal yang sama
dan dari sumber berita yang sama. Seperti halnya pemberitaan masalah pilkada langsung,
hampir setiap media cetak maupun elektronik memberikan porsi ruang dan waktu untuk
mengulas pilkada langsung.
Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas pilkada langsung tak
sebatas hanya pada masa kampanye saja. Boleh dikatakan konstruksi citra politik justru
dibangun terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang
publik yang disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar atau tidak merupakan
dua hal yang terus diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak
disengaja telah melahirkan keberpihakan media.
Menurut John Hartley narasi berita hampir mirip dengan sebuah novel atau
karangan fiksi yang memunculkan sosok pahlawan dan penjahat. Media juga selalu punya
kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi untuk saling dipertentangkan sebagai
akibat pemahaman yang serampangan tentang.
Ruang-ruang publik yang termasuk di dalam media massa, menjadi ruang ekspresi
yang tak terlepas dari berbagai manuver, taktik, dan strategi politik yang digelar oleh elite
politik dalam suksesi. Teknik “pemasaran politik” dengan mengemas “citra” tentang sosok
calon kepala daerah dalam praktek politik citraan (politics of image), menempatkan media
massa sebagai pemegang kendali utama pemberitaan, karena salah satu kekuatan media
yang sangat diperhitungkan adalah kekuatan menciptakan opini publik.
Media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruki kultural yang
dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan
kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, surat kabar
menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan, siapa
penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak
layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi
membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang relevan dan tidak (Eriyanto).
Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar
untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara
melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan
akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan,
mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau
mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik
menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat.
Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk
mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka
dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pilkada langsung tak lebih dari pemilihan image
politik individu atau lembaga. Bukan calon kepala daerahnya, tetapi image-nya. Citraan-
citraan itulah yang dijual dalam pencalonan, kampanye dan janji-janji politiknya. Dalam
pilkada langsung orang dituntun memilih berdasarkan image.
Imagologi politik dalam tahapan pilkada ini mengarah pada semacam diskontinuitas
antara citra politik dan realitas politik, sehingga teknologi pencitraan mengkonstruksi
semacam realitas kedua (second reality) yang didalamnya kebenaran dimanipulasi. Dalam
bukunya simulation, Jean Baudrillard mendefinisikan simulakra sebagai sebuah strategi
penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang
menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan
pertandaan.
Citra politik menjelma menjadi “kekuatan utama” dalam mengendalikan wacana
politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya ada kekuatan pengetahuan, tetapi lebih
penting lagi menjelmanya “kekuatan citra” (power/image) sebagai kekuatan politik
Meskipun pada akhirnya pemberitaan media menunjukkan sifat netral atau berpihak,
merepresentasikan fakta atau rekayasa fakta, menggambarkan realitas atau hanya
mensimulasi realitas. Namun yang jelas media tidak dapat dilepaskan dari berbagai
kepentingan, baik itu kepentingan ekomomi maupun kepentingan ideologi.
Dalam menghasilkan pemberitaan politik misalnya, sebuah media dipengaruhi oleh
berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan
politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan
politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau permirsa, sistem
politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya (Ibnu Hamad).
Wajah media memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi media berupaya
mendekati obyektifitas pemberitaan, namun di satu sisi yang lain media juga tak luput dari
keberpihakan dan ketidakberimbangan yang dapat dijadikan celah bagi tim sukses untuk
terus memasukkan pesan dan citra politik sosok calon kepala daerah.
Celah ini bisa dimanfaatkan bagi elit politik maupun tim sukses untuk menjadikan
media sebagai sarana pemasaran massal. Tak heran bila beberapa pendapat mengatakan
bahwa komunikasi politik di era informasi telah menjelma menjadi ajang pemasaran massal
yang di dalamnya tanda dan citra memainkan peran sentral.
Dampak Negatif
Peter Schoder mengatakan bahwa “kita tidak mungkin disukai oleh semua orang”.
Kampanye politik bukanlah situasi perang, tetapi, kata Schoder, “setiap ide politik yang
dikemukakan oleh seseorang atau sebuah kelompok akan memecah masyarakat pada saat
ide itu diumumkan”.
Politik tak sama dengan peperangan. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan oleh
kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan sebagai
arena untuk membantai lawan politik tanpa etika dan sopan santun politik. Kampanye
politik merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi pemilih supaya menentukan pilihan
sesuai dengan tujuan sang kandidat. Oleh sebab itu, sering kali kampanye politik diisi oleh
penyerangan terhadap pribadi-pribadi kandidat dan pendukungnya dengan membuka
keburukan-keburukan dari segala dimensi.
Kampanye negatif merupakan trend universal di gelanggang politik dunia. Di negara-
negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun, kampanye terhadap keburukan-
keburukan lawan sering dilakukan. Namun, dalam konteks Indonesia yang memiliki kultur
Ketimuran yang kuat, membuka keburukan-keburukan lawan masih belum bisa diterima
secara terbuka, kecuali dalam kasus-kasus yang merugikan publik secara luas, seperti kasus
korupsi.
Kasus-kasus kerusuhan paska pilkada di berbagai daerah di Indonesia di era
reformasi merupakan fakta bahwa politik bisa bertransformasi menjadi perang ketika
benturan ide dan kepentingan politik diserahkan kepada massa yang anarkis. Pemanfaatan
berbagai sumber daya politik yang mengabaikan aturan politik menjadi asal mula
berubahnya politik menjadi perang.
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005
menunjukkan bahwa tiga faktor yang menyebabkan konflik antar elit politik, yang kadang
bisa berubah menjadi konflik fisik antar massa pendukung. Faktor itu meliputi:
1. Pluralisme identitas dan beragamnya kepentingan politik serta sumber daya politik
yang terbatas,
2. Pergeseran patronase politik di tingkat lokal menyebabkan terjadinya persaingan
politik antar elit lokal dalam mengisi jabatan-jabatan kekuasaan, dan
3. Transisi politik dan intervensi elit nasional yang bisa membuka pertarungan elit
menjadi pertarungan terbuka.
Beberapa peristiwa politik di Indonesia paska pergantian penjabat bupati/walikota,
menunjukkan bahwa konflik antar elit benar-benar terjadi. Dalam kasus pergantian pejabat
dan kepala dinas, sangat terasa disebabkan oleh terjadinya pergeseran patronase politik.
Pejabat-pejabat lama yang dianggap menjadi kubu kandidat lain dengan segera diganti
setelah penjabat baru dilantik. Pergeseran patronase politik ini juga menjadi ajang balas
dendam untuk membabat kubu politik lawan.
Persoalan yang lebih mendasar dari semua ini adalah makin menurunnnya kualitas
kehidupan politik di Indonesia. Pencitraan yang berlebihan dan tidak memiliki substansi
yang hendak dipersembahkan dalam kehidupan politik, jelas mengaburkan tujuan politik.
Apa tujuan berpolitik, tujuannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Sekedar contoh bagaimana terjadi perang citra yang tidak berkualitas sama sekali
terjadi pada masa kampanye pemilu. Para calon kandidat yang mau bertarung ramai-ramai
memasang poster mereka dengan pesan-pesan singkat dan Instan. Tidak ada sesuatu yang
lebih fundamental dibahas. Terlebih ketika para caleg melakukan “pendomplengan”
popularitas dengan menambahkan foto orang lain dalam posternya. Pembodpohan p[ublik
yang luar biasa.
Kedepannya, rakyat harus kritis dan elit poltik harus sadar dan berkemauan unutk
menciptakan iklim politik yang sehat. Pencitraan sah-sah saja, asalkan dia diberi oleh tujuan-
tujuan politik yang substansial dan fundamental menyangkut cita-cita menyejahteraan
rakyat seluruh Indonesia.
Wenaldy Andarisma
Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Komputer Indonesia