Anda di halaman 1dari 6

Bab III

Pembahasan

Salah satu wujud demokrasi adalah dengan Pemilihan Umum. Dalam kata lain,
Pemilu adalah pengejawantahan penting dari “demokrasi prosedural”. Berkaitan dengan ini,
Samuel P. Huntington dalam Sahid gatara (2008: 207) menyebutkan bahwa prosedur utama
demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka
pimpin. Selain itu, Pemilu sangat sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau
“demokrasi subtansial”, yakni demokrasi dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang memegang kekuasaan
tertinggi.
Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan
(representative government). Secara sederhana, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu
cara atau sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam
menjalankan pemerintahan.
Dalam pemilihan umum, biasanya para kandidat akan melakukan kampanye sebelum
pemungutan suara dilakukan selama selang waktu yang telah dientukan. Dalam kampanye
tersebut para kandidat akan berusaha menarik perhatian masyarakat secara persuasif,
menyatakan visi dan misinya untuk memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Pemilihan umum merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat
nyata bagi negara demokrasi. Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan
diakui paling realistik san rasional untuyk mewujudkan tatanan soaial, politik, ekonomi yang
populalis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu tak terbantahkannya
tesis-tesis demokrasi sehingga hampir semua penguasa otoriter dan tiran menyebut sitem
yang digunakannya sebagai sistem demokratis.

Disamping menjadi prasyarat demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap
awal dari proses perkembangan demokratis. Perjalanan panjang Indonesia
dalam menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata
kehidupan bangsa kedepan menuju kehidupan yang lebih baik. Bangsa Indonesia mempunyai
komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format berbeda dengan
sebelumnya, sehingga azas langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan
secara benar, konsekuen dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral,
maupun politis.
Dilihat dari sisi keanekaragaman masyarakat Indonesia dan kondisinya saat ini sistem
proporsional tertutup lebih cocok. Mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif Perkumpulan
untuk pemilu dan demokrasi (PERLUDEM) bahwa sistem pemilu proprosional untuk
fenomena politik Indonesia saat ini lebih menguntungkan. Walaupun sistem pemilu tidak ada
yang terbaik untuk suatu negara, yang terpernting adalah mencari sistem pemilu yang cocok
dan pas dengan suatu negara. Sebelum memutuskan hal tersebut , juga harus pas dengan
instrumen yang lain. Dengan sistem proprosional tertutup nanti biaya bisa ditekan karena
partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Selain itu juga bisa menutup
terbukanya peluang persaingan yang tidak sehat antara para caleg. Bukan berarti sistem
proporsional tertutup itu tanpa prasyarat, kalau tidak nantinya akan terjadi oligarkhi. Meski
dibilang tertutup bukan berarti publik tidak tahu sama sekali. Tetap ada daftar caleg yang
disampaikan kepada KPU untuk diumumkan. Sistem parliamentary thresold (PT) akan
mengurangi drastis jumlah partai di parlemen. Namun dalam multipartai sederhana tidak
berkaitan dengan besaran parliamentary thresold. Tujuan adanya PT adalah ingin
menyederhanakan partai dan juga proprosionalitas.
Yang diperketat untuk pemerintahan efektif adalah ambang batas fraksi di parlemen
ketimbang angka PT tinggi. Makin tinggi PT maka indeks ketidak proporsionalan makin
tinggi. Selain itu perlu adanya transparansi keuangan partai. Sebelumnya, setiap pemilu
rasanya negeri ini diancam taring-taring perbedaan landasan yang menjadi basis setiap
organisasi pesreta pemilu. Yang satu mengatas namakan agama, yang satu mengatas
namakan pancasila dan yang satunya lagi mengatas namakan nasionalis. Meski ketiganya
juga bersikeras sebagai kekuatan politik pancasila. Kompetensi politik dengan demikian lebih
mempunyai potensi untuk terbentuknya konflik politik. Tidak ada yang lebih mengerikan
bagi setiap negara berkembang selain dari pada itu.
Salah satu contoh kasus konflik dalam politik adalah hasil penghitungan suara pemilu
tahun 2019 yang  secara resmi telah diumumkan oleh KPU pada Selasa, 21 Mei 2019 pukul
01.46 WIB melalui Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019 tentang
Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. Dari hasil rekapitulasi
yang ditetapkan oleh KPU, pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin
menang atas paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Jumlah perolehan suara
Jokowi-Ma'ruf 85.607.362 atau 55,50 persen suara, sedangkan perolehan suara Prabowo-
Sandi 68.650.239 atau 44,50 persen suara. Selisih suara kedua pasangan mencapai
16.957.123 suara.
Pengumuman Pemilu 2019 ini disusul dengan aksi demo, karena adanya sikap tidak
terima masa akan hasil perhitungan Pemilu 2019 oleh KPU, menurut masa KPU telah
melakukan tindak kecurangan. Aksi ini dususul dengan bentrok dan kerusuhan di sejumlah
titik wilayah Jakarta mulai 21 hingga 23 Mei 2019, banyak aksi anarkis yang dilakukan oleh
demonstran mulai dari melempari batu, menyerang menggunakan petasan, penyerangan
aparat dan pembakaran fasilitas di beberapa titik. Seluruh tindakan ini sangat mencerminkan
jati diri warga negara yang tidak baik, dan sangat bertentangan dengan sila kedua pancasila
yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Akibat kerusuhan yang terjadi, 8 orang meninggal dunia, kerugian atas kerusakan
yang ditimbulkan juga sangat besar, selain itu apabila ditelisik dari segi ekonomi lebih dalam
terjadi kerugian dalam jangka pendek yang cukup besar bagi pebisnis dan ritel di pasar tanah
abang yang lokasinya dekat dengan kerusuhan, kerugian ini berupa turunnya omzet pedagang
karena pasar menjadi sepi. Dalam jangka panjang menurut ilmu ekonomi setelah terjadinya
konflik maka dikhawatirkan akan menimbulkan trauma bagi para investor, dimana jika
nantinya investor menurun,akan berdampak fatal kepada perekonomian di beberapa titik
kerusuhan, seperti lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat sekitar menurun. Kasus
kerusuhan ini bisa disebut sebagai ancaman dalam negeri, seharusnya apabila ada
ketidakpercayaan kepada KPU maka diselesaikan secara baik melalui hukum, agar tidak
menimbulkan kerusuhan atau kericuhan, apabila KPU terbukti melakukan kecurangan maka
hukum dijalankan secara bijak, dan jika ternyata terbukti tidak ada kecurangan maka para
demonstran harus ikhlas menerima, apabila masih memberontak maka perlu tindakan tegas
agar tidak mengancam keamanan negara.
Diantara beberapa korban meninggal dan pelaku kerusuhan adalah remaja berumur
16-20 tahun, hal ini mencerminkan kurangnya wawasan mengenai pendidikan pancasila dan
kewarganegaraan. Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang perlu ditanamkan adalah
nilai gotong royong, toleransi, musyawarah dalam masyarakat, menjadi warga negara yang
baik, menghargai HAM, dan lain lain, dimana nilai-nilai ini tidak hanya diajarkan melalui
teori yang ada di buku namun juga praktek dalam sehari-hari. Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan menjadi kebutuhan utama saat ini, khususnya dalam rangka merawat
persatuan dan keutuhan bangsa.
Kerusuhan tersebut bermula dari sejumlah oknum dan tokoh-tokoh tertentu
melakukan tindakan provokasi terhadap aparat. Sekitar pukul 23.00 WIB, di depan gedung
Bawaslu, muncul kelompok massa yang tak jelas asalnya. Mereka melakukan tindakan
provokatif dan anarkistis, polisi menduga sejumlah orang yang melakukan kerusuhan berasal
dari luar Jakarta. Mayoritas diduga berasal dari Jawa Barat, Banten dan Jawa Tengah. Selain
itu, mengatakan polisi menemukan bukti berupa satu mobil ambulans berlogo partai berisi
batu dan alat-alat. Diduga batu dan alat tersebut adalah amunisi massa untuk menyerang
polisi. Hal menguatkan dugaan pihak kepolisian tentang adanya settingan oleh oknum-oknum
yang mengatas namakan kepentingan masyarakat serta ormas-ormas yang mengatas namakan
agama. Kerusuhan tidak hanya terjadi di sekitar Bawaslu. DI beberapa tempat terjadi kerusuhan
sebagai dampak dari aksi unras di Bawaslau, yaitu di Flyover Slipi, Asrama Brimob Petamburan,
Jatinegara, Gambir, Jln Wahid Hasim, Sabang dan sekitarnya. Tujuh orang tewas, dan puluhan
lainnya luka-luka. Akibat dari kerusuhan ini, tujuh orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka,
beberapa fasilitas dan ruang publik rusak, aktivitas masyarakat terganggu dan menderita
kerugian.Transportasi massa seperi KRL dan Busway operasionalnya  juga terganggu.
Kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta bukan sesuatu yang alamiah.
Banyak petunjuk yang mengarah bahwa kerusuhan tersebut dengan desain. Desain kerusuhan
ini dipicu dan diawali oleh seruan untuk melakukan people power yang kemudian berganti
nama menjadi gerakan kedaulatan rakyat. Seruan inilah yang menjadi kemasan dari aksi-aksi
massa yang berujung kepada kerusuhan 21-22 Mei 2019.
Adanya pergantian massa pada malam hari 21 Mei 2019 menunjukkan bahwa sudah
ada operator-operator yang disiapkan untuk melakukan provokasi. Selain itu beberapa barang
untuk melakukan aksi rusuh tampak sangat terencana. Lemparan petasan yang tidak pernah
putus dari para perusuh menunjukkan adanya persiapan massa untuk melakukan perlawanan
kepada Polri dan melakukan aksi anarkis. Hal ini juga diperkuat dengan adanya temuan mobil
ambilan tanpa peralatan medik namun justru membawa batu.
Dari hasil penyidikan kepada orang-orang yang ditangkap karena melakukan aksi
rusuh, ditemukan barang bukti yang menunjukkan persiapan untuk melakukan aksi rusuh
sudah sangat matang. Bahkan Polri juga menemukan amplop dan uang dalam pevahan rupiah
dan dollar, yang mengindikasikan ada massa bayaran dalam aksi ini. Hal ini juga diperkuan
dengan mobilisasi massa dari luar daerah, terutama yang melakukan aksi penyerangan kepada
Asrama Brimob di Petamburan.
Dari berbagai aksi rusuh di beberapa tempat seperti di Thamrin, Slipi, Petamburan,
dan Gambir, sangat jelas bahwa Polri menjadi target utama oleh kelompok perusuh.
Kelompok ini juga memprovokasi massa yang melakukan aksi ke Bawaslu untuk melawan
petugas aparat keamanan. Tentu saja skenario yang diharapkan adalah semakin banyak massa
yang melawan maka situasi yang tidak terkendali terjadi, dan saat itulah dalang dari
kelompok perusuh ini akan memperoleh kesempatan dan keuntungannya.
Dalam menilai aksi rusuh 21-22 Mei 2019, harus dibedakan antara massa yang benar-
benar melakukan unjuk rasa ke Bawaslu karena tidak menerima hasil Pemilu, dengan
kelompok perusuh. Massa yang melakukan aksi unjuk rasa pada dasarnya tertib dan tidak ada
gesekan dengan petugas keamanan. Pada malam hari 21 Mei 2019 sebelum membubarkan
diri, massa yang unjuk rasa bahkan melambaikan tangan ke petugas dan saling jabat tangan,
namun yang terjadi kemudian adalah ada lemparan botol bahkan petasan dari massa. Hal ini
menunjukkan bahwa kelompok perusuh yang berada di antara massa memang sengaja
memprovokasi petugas dan akhirnya membenturkan petugas dengan massa unjuk rasa.
Kelompok yang melakukan aksi di Slipi teridentifikasi bukan dari masyarakat, hal
tersebut juga terjadi pada kelompok massa yang melakukan aksi penyerangan ke Asrama
Brimob di Petamburan, yang dari hasil penangkapan adalah massa dari daerah dan
merupakan bayaran. Kelompok perusuh teridentifikasi pula dari hasil sweeping di berbagai
daerah dimana ditemukan barang-barang berbahaya seperti senjata tajam dan molotov.
Dari berbagai temuan tersebut dapat disebutkan bahwa ada kelompok terorganisir
yang menyusup di antara massa yang berunjuk rasa di Bawaslu. Kelompok ini melakukan
aksi kerusuhan dengan sasaran utama adalah Polri. Selain menyerang secara langsung,
kelompok ini juga memprovokasi massa untuk ikut melakukan perlawanan terhadap Polri.
Untuk mencegah kasus ini kembali terulang, maka beberapa hal yang dapat dilakukan
terutama oleh aparat keamanan adalah sebagai berikut: pertama adalah memastikan bahwa
peserta unjuk rasa tidak disusupi oleh kelompok perusuh. Aksi penggledahan perlu dilakukan
di tempat-tempat tertentu, bukan untuk mempersulit peserta unjuk rasa namun justru untuk
memastikan peserta unjuk rasa tidak disusupi oleh kelompok tertentu yang akan mengadu
antara peserta unjuk rasa dengan aparat keamanan,
Kedua, aparat keamanan harus kompak dan satu bahasa. TNI Polri harus bersatu padu
dalam menjaga keamanan masyarakat dan mencegah terjadinya penyusupan. Dalam situasi
seperti ini sangat rawan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memecah belah TNI
Polri.
Ketiga, dari operator dan pelaku kerusuhan yang berhasil diamankan, harus dilakukan
penyidikkan hingga aktor intelektualnya dan ditindak tegas sesuai dengan aturan
perundangan yang berlaku, bahkan jika hal tersebut mengarah kepada kelompok elit, tetap
harus dilakukan tindakan tegas.
Keempat, dan yang paling penting, adalah rekonsiliasi nasional harus dilakukan. Ego
dan kepentingan politik dari kelompok dan pribadi harus disingkirkan, utamakan persatuan
dan kesatuan negara tercinta. Jika ada kelompok yang justru menolak untuk dilakukan
rekonsiliasi untuk mengakhiri polarisasi yang telah terjadi, maka dapat diduga bahwa
kelompok tersebut mempunyai agenda yang bertentangan dengan situasi aman dan damai.
Kepentingan politik akan selesai dan berhenti ketika para elit mau mengutamakan
kepentingan bangsa dan negaranya.

Anda mungkin juga menyukai